The Paragon Plan (TERBIT)

By aranindy

204K 20.3K 2.4K

SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 4 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GR... More

Prolog
BAB 1
BAB 3
Pendukung Acara Finding Estuarian
A/N
Epilog (Dihapus)
Pengumuman TPP I
Pre Order The Paragon Plan
Informasi PO TPP
PO TPP (Shopee)
SPECIAL OFFER TPP (AGAIN!)

BAB 2

26.1K 3.1K 349
By aranindy

Begitu syuting untuk segmen pertama rampung, Desi berlari memeluk wanita yang baru saja keluar dari aula, "Kak Kat!"

"Hei, Des." Katyana tertawa renyah, balas memeluknya hangat, "Tiga bulan ini lo jangan bosen-bosen liat muka gue, ya."

"Nggak janji, deh." Desi menjulurkan lidah sambil mengerling jahil, "Kalau sampai kak Kat kepilih jadi Grisha dan gue jadi Jihan-nya, tiga hari tiga malem gue bakal ngadain tumpengan."

"Amin." Katyana tertawa sambil manggut-manggut, "We need to work hard."

"Katyana, Desi, tungguin dong!" bersamaan dengan panggilan tersebut, dua orang pria buru-buru mensejajari langkah mereka.

"Gila sih, Kat," Nick, pemuda blesteran itu menepuk pundak Katyana dengan senyum merekah, "penjelasan lo tentang Grisha keren banget."

Robert mengacungkan jempolnya, tanda setuju, "Gue yakin dewan juri pasti terkesan sama pemikiran lo tadi."

"Thanks, guys."

"Wah, fraksinya udah mulai kebentuk, nih." gumaman Desi langsung mengalihkan perhatian Katyana sepenuhnya. Mengikuti arah pandang juniornya tersebut, ia mendapati Arin dan Felli sudah tiba lebih dulu di ruang makan, masing-masing dikelilingi oleh tiga kandidat pemeran Jihan, Surya, dan Fairuz—sama seperti dirinya.

Katyana tak perlu bertanya pada Desi apa maksud dari fraksi. Di mata penonton, pembentukan kelompok yang ada saat ini mungkin terjadi secara natural tanpa disengaja, tapi sesungguhnya semua itu telah diatur jauh-jauh hari.

Satu minggu sebelum tinggal di asrama, tim Finest memberikan arahan kepada para finalis agar berada di grup yang sudah mereka tentukan. Demi meyakinkan penonton bahwa ada persaingan sengit di antara Arin, Felli, serta Katyana—tim pun berusaha membangun situasi di mana ketiganya memiliki squad sendiri-sendiri.

"Gue jadi iri sama pemeran Rosa." keluh Nick seraya melihat Ferra, Rita, dan Westi yang asyik bercengkerama di meja makan, acuh tak acuh dengan ketegangan di antara ketiga grup, "Mereka satu-satunya finalis yang bisa temenan sama semua orang tanpa beban."

"Mau gimana lagi?" sahut Desi, mengangkat kedua bahu, "Tante Ferra Cs 'kan seumuran nyokap kita, malah aneh kalau tim Finest maksa mereka buat terikat dengan satu kelompok. Terlalu kentara settingan-nya."

Katyana mendengarkan percakapan mereka dalam diam, memilih tak berkomentar, "Gimana kalau kita cari duduk dulu?" ia kemudian mengajak ketiganya menuju meja makan panjang di tengah ruangan.

"Ouch," seperti baru menyadari sesuatu, Robert tiba-tiba berbisik di telinga Katyana, terkekeh geli, "Felli kayaknya sebel banget sama lo, Kat."

Benar saja apa kata Robert. Begitu Katyana duduk di seberang Felli, gadis itu langsung mengerucutkan bibir, tak mampu menutupi kedongkolan hatinya.

"Hai, Felli." tanpa ada yang mengira, senyum Katyana mencuat ke permukaan. Dibanding mendamprat si junior yang sudah memberikan tatapan sinis kepadanya, ia justru menyapa ramah.

Felli sontak tersipu, antara bingung, malu, sekaligus takjub. Ia sama sekali tak menyangka Katyana bersedia menyapanya lebih dulu, "H-hai, Kak Kat."

Melihat kegugupan itu, Katyana menepuk-nepuk punggung tangan Felli yang ada di atas meja, dengan gestur menenangkan, "Meski kita punya pandangan yang berbeda, tapi gue suka opini lo tentang Grisha."

Felli terkesiap, gelagapan, "Oh, ng-nggak, Kak Kat." luntur sudah ketidaksukaan yang sempat muncul di wajahnya, kini hanya ada rasa segan di sana, "Aku lebih kagum dengan penjelasan kakak tadi."

"It'll be a tough competition for all of us," tidak hanya berbicara pada Felli, Katyana juga menoleh ke arah Arin yang duduk di ujung meja, "Kita sama-sama berusaha, ya."

Bagaikan terhipnotis, Felli dan Arin mengangguk khidmat. Sebagai salah satu big senior di dunia hiburan, empati dan respek yang Katyana berikan pada mereka benar-benar patut dikagumi. Dibanding mengumbar kata-kata manis atau basa-basi belaka, ia bersikap sportif dan terbuka pada kedua rivalnya, secara efektif mencairkan ketegangan di tempat itu.

Penilaian positif terhadapnya pun langsung melesat tinggi.

"Sepertinya kalian semua sudah akrab."

Semua orang di meja makan serempak menoleh ke arah sumber suara. Gisel, ditemani seluruh dewan juri berjalan masuk ke dalam ruangan, berniat bergabung bersama para finalis untuk makan malam bersama.

"Arin, Felli, Katyana." Endaru melambaikan tangan, mempersilakan ketiganya pindah ke dekat Elgar yang sudah duduk di kepala meja, "Sebagai kandidat pemeran utama, kalian harus sering-sering menghabiskan waktu bareng Elgar, ya. Don't be so shy, girls."

Mengikuti saran sang produser, Arin segera mengambil tempat di sisi kiri Elgar, dan Katyana di sisi kanan. Sedangkan Felli duduk di sebelah Katyana, tampak senang-senang saja walau tidak mendapat posisi di samping Elgar.

"Kak Kat." Selagi Arin dan para juri sibuk berbicara dengan Elgar, Felli malah bergelayut manja di lengan Katyana, berusaha menarik perhatiannya, "Boleh nggak sesekali kita diskusi bareng tentang Estuaria? Aku tertarik dengan pandangan kakak tentang Grisha."

Katyana langsung mengiyakan tanpa pikir panjang, "Of course. It's always nice to see others' perspectives."

"Waah, gue nggak nyangka kalian ternyata selengket ini." celetukan Meisi menyebabkan semua atensi tertuju pada Felli dan Katyana, "Padahal kalau gue lihat, ketiga kandidat punya personality yang beda-beda, tapi ternyata tetap bisa klik, ya?"

Willy manggut-manggut setuju, "Arin yang tegas, Felli yang ekspresif, dan Katyana yang anggun—kalian punya warna berbeda untuk menghidupkan karakter Grisha," ia lalu memegangi kepalanya, pura-pura pusing, "ini jelas akan menyulitkan kami memilih salah satu dari kalian."

Candaan Willy seketika disambut tawa oleh mereka semua.

Hari pertama yang meriah dan menyenangkan, dengan muka gembira Katyana mulai mengambil makanan di tengah meja, namun gerakannya terhenti saat merasakan sentuhan ringan di punggung tangannya. Begitu menoleh ke samping kiri, ia mendapati tangan besar Elgar juga ingin mengambil sendok nasi yang sudah dipegangnya.

Tanpa melunturkan senyum, Katyana mempersilakan Elgar mengambil duluan. Tapi keinginannya langsung terbuang jauh gara-gara pria itu menahan tangannya—hanya beberapa detik—sebelum melepaskannya pelan-pelan, "After you."

"T-terima kasih." Katyana mengangguk kaku, perasaannya mendadak tak enak. Padahal menurut gosip, Elgar adalah laki-laki yang baik, sopan, dan gemar tersenyum. Tapi kenapa Katyana sama sekali tak menemukan keramahan dari interaksi kecil yang baru saja terjadi? Ia justru merasakan kejanggalan dari cara pria itu memandangnya.

Kalkulatif. Penuh prasangka.

Meski jantungnya mulai melompat-lompat, Katyana tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Ia menuangkan nasi ke atas piring seolah tak terjadi apa-apa.

"Katyana." panggilan yang lebih mirip gertakan pelan itu membuatnya berhenti mengunyah. Di tengah keramaian orang-orang yang bicara dalam suara keras, sejujurnya Katyana punya alasan untuk pura-pura tak mendengar suara Elgar. Tapi sayangnya, rasa penasaran berhasil menguasainya.

Dengan hati-hati ia mengangkat kepala, dan langsung menyesali tindakannya. Tanpa sanggup dikendalikan, keringat dingin mulai mengucur di keningnya. Rasa cemas itu berhasil membuat bahunya tegang.

"Anggun?" Elgar mengulang kata-kata Willy dengan seulas senyum tipis, menatap Katyana tepat di manik mata, "He must be blind."

***

Sekitar pukul sepuluh malam, kegiatan syuting hari pertama diakhiri. Para kru meminta seluruh pendukung acara untuk beristirahat di kamar masing-masing.

"Good night." setelah mengucapkan selamat malam pada Desi, Nick, dan Robert, Katyana langsung masuk ke dalam kamarnya. Ruangan bergaya minimalis yang didominasi warna hitam dan putih itu cukup luas untuk dihuni satu orang. Queen size bed di sisi sebelah kiri dan kamar mandi di sebelah kanan. Sebuah meja rias diletakkan di sebelah lemari pakaian.

Sambil merenggangkan otot-ototnya, Katyana lantas duduk di tepi ranjang. Matanya spontan melirik ke kanan kiri, menyadari ada empat kamera terpasang di ruangan ini. Entah hal itu disebabkan oleh insting atau pengalamannya bertahun-tahun berada di lokasi syuting, ia pasti tahu jika ada kamera di sekitarnya, tak peduli sekecil apa pun ukurannya.

Setelah puas melihat-lihat kamar barunya, Katyana berjalan santai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ok, begitu menutup pintu kamar mandi dari dalam, mata awasnya langsung memeriksa sekitar. Meski tim Finest sudah mengatakan bahwa kamar mandi adalah satu-satunya tempat yang aman dari alat perekam, Katyana tak langsung percaya. Ia baru berani menghela napas lega setelah meyakini bahwa tempat itu benar-benar steril.

Pelan-pelan Katyana menumpukan tangan di meja wastafel, menatap bayangannya sendiri melalui cermin. Hanya dalam kurun waktu satu detik, semua ketenangan dan senyum manis yang seharian ini menghiasi wajahnya tiba-tiba menguap.

Bego! Bego! Bego! seolah baru dibangunkan dari tidur panjang, Katyana dengan panik mulai mengacak-acak rambutnya. Hilang sudah persona tuan putri yang dikagumi oleh Felli dan penggemarnya selama ini. Ia bolak-balik menarik napas demi meredam kecemasan yang ditahannya sejak beberapa jam lalu.

"Anggun? He must be blind." mengingat kembali kata-kata sindiran dan wajah arogan itu, kedua tangan Katyana langsung mengepal keras. Apa Elgar Birendra punya indera keenam? Kenapa pria itu seakan-akan mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya? No, no, no, it's impossible.

Selain keluarga, sahabat, dan manajer pribadinya, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang pernah meragukan karakter Katyana. Elegan adalah julukan yang sudah mendarah daging padanya. Tak peduli sepintar apa pun Elgar membaca sifat seseorang, tapi Katyana juga bukan aktris amatiran. Pria itu tak mungkin bisa mengetahui perangai aslinya kecuali... kecuali Katyana sendiri yang melakukan kesalahan.

Sial! Kesadaran itu tiba-tiba memukulnya kuat. Terngiang kembali perkenalan resmi mereka pagi tadi di aula, suara geraman langsung meluncur dari bibirnya. Sekarang Katyana yakin, meski cuma sesaat, Elgar pasti telah melihat secuil ekspresi 'aslinya'.

Duh, seandainya gue tahu tuh orang matanya jeli banget kayak tukang copet, gue pasti bakal lebih hati-hati, keluh Katyana, benar-benar menyesali kecerobohannya.

Yah, ia harus mengakui kalau ini seratus persen kesalahannya yang sempat lengah. Dan penyebab utama kelengahan itu, tak lain dan tak bukan adalah wajah Elgar Birendra.

Di dunia ini, hal yang paling Katyana sukai adalah sesuatu yang indah dan cantik. Entah itu barang atau manusia—tak peduli apa pun gendernya, ia sangat mengagumi keelokan yang dapat menyegarkan mata dan meringankan stresnya.

Kebetulan sekali Elgar merupakan manusia indah terbaru yang ia temukan hari ini. Cengiran yang tak sengaja ia tunjukkan, murni disebabkan oleh rasa puas dengan wajah Elgar yang memanjakan penglihatan—

Oh, my God! mendadak Katyana membeliak, susah payah menahan jeritan ngeri dari mulutnya, jangan-jangan dia ngira gue pervert?

Katyana semakin lemas tatkala mengingat bagaimana dirinya mengeluarkan dengusan kecewa saat melihat lengan kekar Elgar. Pria itu secara otomatis langsung ia tendang keluar dari daftar beauty things favoritnya. Tubuh atletis dan kokoh jelas merusak keindahan hakiki versi Katyana.

Pilihannya cuma dua. Kalau bukan pervert dia pasti ngira gue sinting.

Katyana memejamkan mata sejenak, ia harus berpikir dengan kepala dingin. Mendapatkan peran Grisha adalah tujuan utamanya. Ia tidak boleh lagi kelihatan mencurigakan di depan Elgar yang merupakan salah satu pengambil keputusan penting dalam audisinya.

Do what you usually do, Katyana mengangguk mantap, berusaha membangun kembali pikiran positifnya. Ia akan mengerahkan seluruh kemampuan akting yang sudah dipelajarinya selama 24 tahun. No more mistakes. Kali ini ia tidak boleh gagal.

***

Pukul sembilan pagi, Elgar, Willy, dan Gisel telah berkumpul di practice room 1. Mereka sengaja datang lebih awal dibanding para finalis untuk mendiskusikan beberapa hal.

"Gue kira kemarin lo pilih Arin," Willy melirik score sheets di tangan Elgar, "Ternyata Katyana, ya?" ia lalu mengangguk ke arah wanita di sebelahnya, "Gisel juga milih Katyana."

"Masih sementara." Elgar mengedikkan bahu, "Bisa aja nanti berubah."

"Gue, Endaru, dan Meisi prefer Arin." tutur Willy sambil menulis beberapa poin di kertasnya, "Sedangkan Nehan lebih suka auranya Felli."

Gisel mengangguk-angguk, "Persaingannya ketat, sih. Tugas terberat mereka adalah mendapatkan suara bulat dari kita berenam."

"Selamat pagi." selang beberapa menit kemudian, satu per satu finalis mulai masuk ke dalam ruangan.

"Selamat pagi."

Setelah ke-15 kontestan berkumpul dan saling bertukar sapa, Willy segera menjelaskan tentang kegiatan yang akan mereka lakukan hari ini. Di mulai dari kandidat pemeran utama, "Untuk melihat sampai di mana Arin, Felli, dan Kat bisa menggenggam karakter Grisha, kami ingin kalian bertiga beradu akting dengan Elgar." raut muka Willy berubah serius, meluruhkan nuansa santai di tempat itu, "Yakinkan kami dengan akting kalian dalam kurun waktu lima menit."

Ketegangan bukan hanya dirasakan ketiga kandidat Grisha, melainkan oleh seluruh finalis. Dalam waktu sesingkat itu, Willy ingin mereka menyampaikan emosi Grisha dengan sebaik-baiknya? Astaga, Finest benar-benar kompetisi yang intens.

"Ini materi latihan kita hari ini. Scene ketika kedua pemeran utama berada di ruang tunggu dokter Rosa." Willy membagikan selembar kertas pada Arin, Felli, dan Katyana, "Gue kasih kalian waktu 15 menit buat menghapal dialognya."

Semua orang mendengarkan arahan Willy dengan saksama. Pertemuan pertama Vino dan Grisha memang terjadi cukup cepat dan singkat, tapi perjumpaan itu sangat membekas di hati keduanya. Tugas Elgar dan ketiga finalis adalah menyampaikan perasaan itu secara nyata kepada penonton.

"Obrolan pertama mereka berdua memang didominasi perselisihan. But just like old people say, hate is the beginning of love." 15 menit kemudian, Willy menepuk tangannya sekali, menunjuk dua kursi yang sudah disiapkan di tengah ruangan, "Ok, kita mulai dari Felli. Silakan."

Felli sempat menelan ludah, pelan-pelan duduk di sebelah Elgar yang sudah lebih dulu bersiap di posisinya.

"Sudah hapal dialognya 'kan?" tanya Willy retoris, "I appreciate improvisation, tapi tetap nggak boleh keluar dari inti cerita, ok?"

Felli buru-buru mengangguk sambil mengenakan kacamata hitam yang disediakan oleh kru. Dalam waktu terbatas seperti ini, improvisasi jelas bukan hal yang ia perlukan. Baginya itu terlalu berisiko, apalagi ini kali pertama ia beradu akting dengan Elgar.

"3, 2, 1... action!"

***

Duduk bersila bersama rekan-rekannya, Katyana tampak serius menyaksikan adegan yang dimainkan Elgar dan Felli di hadapannya.

"Halo." Grisha menoleh pada pria di sebelahnya, dengan ramah membuka obrolan, "Pasien dokter Rosa juga?"

Ketimbang menjawab, Vino justru mengernyitkan kening, balik tanya, "Lo ngapaian pakai sunglasses di dalam ruangan?"

Lenyap sudah senyum di bibir Grisha. Dengan ekspresi bersungut-sungut, ia melipat kedua tangan di depan dada, tak berniat melanjutkan obrolan, "Bukan urusan lo!"

Vino sempat terkejut oleh kemarahan itu, tapi buru-buru ia menguasai dirinya, "Gue cuma tanya," gerutunya dalam suara rendah, "ngegas amat."

Hmm? mata Katyana tiba-tiba membelalak, menyadari reaksi Elgar yang menurutnya cukup ganjil. Refleks ia menunduk, sekali lagi membaca dialog Vino di dalam kertas yang dipegangnya. Aneh, seharusnya tidak begini. Meski kata-katanya sudah sesuai skenario, tapi dalam bayangan Katyana, Vino semestinya mengucapkan dialognya dengan nada kesal, bukan malah menunjukkan sebersit rasa bersalah seperti itu.

Dengan sifat Vino yang terkenal bertemperamen tinggi, keketusan Grisha normalnya akan menyulut emosinya. Apalagi dalam adegan ini Vino masih belum tahu kalau Grisha buta, jadi kenapa ia justru terkesan tak enak hati? kening Katyana terlipat, berusaha memahami apa sebenarnya yang sedang Elgar lakukan dengan karakter Vino.

Pertikaian kecil di antara kedua pemeran utama terus bergulir sampai seorang perawat—yang diperankan oleh salah satu kru Finest—memanggil nama Grisha dan menuntunnya masuk ke ruangan dokter Rosa.

"Grisha, bagaimana kabar kamu hari ini?"

"Seperti biasa." Grisha menjawab pertanyaan si perawat dengan tawa kering, "Kegelapan masih menjadi sahabat terbaik saya."

Vino yang mencuri dengar pembicaraan kedua wanita itu sontak mengerjapkan mata. Penyesalan seketika mengisi wajahnya.

Seolah dapat merasakan tatapan Vino yang tertuju padanya, Grisha tiba-tiba menoleh. Masih dengan mengenakan kacamata hitamnya, ia memperlihatkan ekspresi penuh kebencian pada Vino sebelum pergi meninggalkannya tanpa kata-kata.

"Ok, cut!" Willy terlihat cukup puas menyaksikan penampilan Felli, "Lo menutup adegan dengan impact yang cukup mengesankan—membuat Vino merasa bersalah karena baru menyadari kondisi Grisha."

Tepuk tangan dari penonton ikut berkumandang, memuji Elgar dan Felli yang tampak serasi. Akting mereka terkesan natural dan tak berlebihan.

Apa-apaan orang ini? meski Katyana ikut bertepuk tangan seperti finalis lain, sebenarnya ia sedang mati-matian mengutuk Elgar dalam hati.

Berbanding terbalik dari reaksi positif Willy, Katyana justru merasakan aura negatif yang dipancarkan Elgar. Setitik ekspresi kesalnya seolah menunjukkan rasa kecewa dan tidak puas terhadap hasil kerja Felli. Orang lain mungkin tak menyadarinya, tapi Katyana adalah seorang pengamat sejati. Secercah keanehan Elgar bukan sesuatu yang akan luput dari radar pengawasannya.

"Arin." Willy memanggil finalis kedua, "Silakan maju ke depan."

Katyana menggigit bibir bawahnya, semakin tak habis pikir melihat akting Elgar yang sama persis seperti sebelumnya. Dibanding Felli, Grisha versi Arin jauh lebih kuat dan sinis. Ekspresi dinginnya benar-benar berhasil membuat bulu kuduk berdiri. Dalam adegan ini, Vino memiliki kesempatan untuk menyerang Grisha dengan ejekan yang tak kalah pedas.

Namun di mata Katyana, pria itu malah berniat meminimalisir pertengkaran dan menjaga intonasi suaranya tetap tenang. Samar-samar ia bahkan dapat menangkap rasa simpati Vino terhadap Grisha yang berusaha keras ditutupi. Well, kalau saja Vino sudah tahu Grisha buta, Katyana tak akan sebingung ini. Tapi karena bukan itu alasannya, lalu apa yang menyebabkan si pemarah itu jadi merasa perlu menahan diri di depan Grisha?

"Seperti biasa. Kegelapan masih menjadi sahabat terbaik saya." begitu Arin mengakhiri dialognya dengan tawa hambar, tubuh Katyana kontan membeku. Ia mencengkeram kedua tangan di atas pangkuannya saat memerhatikan mimik muka Elgar—menyadari pria itu tak terkesan oleh akting Arin.

Kurang ajar, susah payah Katyana menutup mulut agar tak kelepasan mengumpati sang bintang utama. Ia baru saja menyadari bahwa Elgar benar-benar sedang mempermainkan mereka semua. Apa pria itu berniat menguji kepekaan lawan mainnya dengan melakukan kamuflase semacam ini?

Katyana diam-diam mendengus saat mempelajari skenarionya lagi. Ia baru menyadari nama Gisel dan Elgar ditulis di ujung sebelah kiri sebagai pembuat materi. Jadi itu artinya, dialog ini ditulis berdasarkan sudut pandangnya? Katyana menundukkan kepala agar tak ada kamera yang menangkap ekspresi kesalnya saat ini, Baiklah, Mr. Arrogant, I'll accept your challenge!

"Katyana." Willy mengangguk ke arahnya, "It's your turn."

Katyana mengembuskan napas dalam-dalam. Dengan ekspresi serius ia segera duduk di sebelah Elgar. Sesaat tatapan mereka bertemu, sebelum Katyana memakai kacamata hitam yang hampir menutupi separuh wajahnya. Ia tidak boleh membiarkan perasaan pribadinya memengaruhi aktingnya. Orang di sebelahnya kini bukan Elgar, melainkan orang asing yang tak ia kenal.

"Action!" mendengar aba-aba dari Willy, Katyana langsung memejamkan mata. Kegelapan adalah satu-satunya hal yang bisa dilihat oleh Grisha.

Suara napas teratur itu menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Grisha bahwa ada orang yang duduk cukup dekat di sampingnya. Dengan senyum sopan ia pun menoleh, "Halo, pasien dokter Rosa juga?"

Sayangnya, keramahan Grisha tak bertahan lama. Ia langsung menyesali keputusannya untuk bersosaliasi. Bagaimana bisa ada orang yang dengan lancang bertanya tentang kacamata hitam yang dipakainya? Dasar tidak sensitif!

Kemarahan dan rasa tersinggungnya semakin menumpuk tatkala ia mendengar nada kasihan dari suara itu. Apa pria tak dikenal ini akhirnya menyadari kalau dirinya buta? Atau lebih parah lagi, pria ini mengiranya buruk rupa dan sengaja menggunakan kacamata untuk menyembunyikan kejelekannya?

"Nggak usah nyolot, yang ngajakin gue ngomong duluan itu lo."

Kening Grisha berkerut, ia tak akan membiarkan pria ini terus cari gara-gara dengannya, "Dan lo pikir gue nggak nyesel nyapa—"

"Grisha," Pertengkaran mereka terhenti begitu seorang perawat muncul di hadapan mereka berdua, "Bagaimana kabar kamu hari ini?"

Ketimbang menjawab pertanyaan itu, Grisha justru menoleh pada Vino, berkata ketus, "Tadi lo tanya kenapa gue pakai sunglasses 'kan?"

Bukan hanya Vino yang tersentak, para penonton pun dibuat kaget dengan improvisasi dialog dari Katyana. Kalimat yang baru saja diucapkannya sama sekali tak ada dalam skenario.

Tak berhenti di situ, lagi-lagi Katyana melakukan improvisasi yang cukup mengejutkan. Entah Grisha hanya bertindak impulsif atau memang disengaja, tiba-tiba saja ia membuka kacamatanya, "Itu karena kegelapan adalah sahabat terbaik gue."

Berbeda dari dua pemeran Grisha yang mengakhiri adegan dengan meninggalkan Vino, adegan kali ini diakhiri saat kedua pemeran utama saling bertatapan dalam diam. Kemarahan, keputusasaan, sekaligus ketegaran yang dipaksakan itu terpampang jelas hingga bisa dirasakan oleh orang-orang yang melihatnya. Mereka seakan menyaksikan pertemuan sepasang manusia dengan luka yang sama.

Kali ini tak ada komentar dari para penonton. Semua orang termenung, menatap Elgar dan Katyana, nyaris tak berkedip. Keheningan panjang itu baru pecah saat Willy menepuk tangannya sekali, "Okay, cut!"

"Baiklah, Katyana." Willy menaikkan sebelah alis, penuh rasa ingin tahu, "jujur gue surprise dengan improvisasi yang lo lakuin. Ending-nya memang ngena ke penonton, tapi yang bikin gue penasaran, kenapa lo harus buka kacamata dan secara eksplisit menunjukkan ke Vino kalau lo buta? Dengan menjawab pertanyaan perawat seperti yang dilakuin Felli dan Arin, sebenarnya itu udah cukup untuk menyadarkan Vino 'kan?"

Katyana mengangguk singkat, "Gue pun awalnya berpikir begitu. Tapi ada satu momen yang membuat gue merasa Vino sebenarnya clueless tentang kondisi Grisha. Bahkan sampai adegan terakhir, gue pikir Vino nggak sadar kalau Grisha kehilangan penglihatannya." ia lalu mengalihkan pandangan pada Elgar yang berdiri di sebelah Willy, "Karena itu gue buka kacamata supaya dia tahu."

"Hah? Memang si Vino sebodoh itu?" para penonton langsung ramai mengeluarkan reaksi, antara bingung sekaligus tak percaya, "Kok bisa sampai nggak sadar, sih?"

"Gue punya interpretasi yang berbeda waktu melihat akting Elgar," Katyana berkata jujur, "Dia digambarkan sebagai cowok emosional, tapi anehnya, dalam adegan ini gue justru merasa dia lebih banyak mengalah pada Grisha. Dengan fakta bahwa mereka sama-sama pasien dokter Rosa, Vino mungkin mengira Grisha memiliki heliophobia—just like him."

Para finalis sontak tercengang. Pendapat Katyana sama sekali tak terpikirkan oleh mereka sebelumnya.

Gisel pun mengulum senyum, ingin mendengar penjelasan Katyana lebih detail, "Tapi Grisha mengenakan sunglasses di dalam ruangan. Di akhir adegan pun dia mengatakan bahwa kegelapan adalah sahabatnya. Bukankah dari clue-clue kecil itu Vino seharusnya sadar dengan kondisi mata Grisha?"

"Atau bisa juga sebaliknya. Clue-clue itu justru mengarahkan Vino pada kesimpulan lain." jawab Katyana tenang, "Vino mengira Grisha menggunakan sunglasses untuk melindungi diri dari cahaya. Dan kata-kata terakhir Grisha yang bertujuan menyindir malah ditanggapi Vino dengan serius. Dia menganggap Grisha memang menyukai kegelapan seperti dirinya. Dalam kasus ini, gue merasa kata buta bahkan nggak terbersit sedikitpun dalam pikiran Vino."

Pemaparan itu berhasil membuat suasana di ruang latihan kembali riuh. Berbagai macam reaksi menjalar. Sedikit-sedikit mereka mulai memahami apa maksud Katyana. Saat bersanding dengan Arin dan Felli, Elgar konstan menunjukkan ekspresi sendu, seolah ia memahami rasa sakit Arin dan Felli seperti ia merasakan sakitnya sendiri.

Tapi ketika beradu akting dengan Katyana, terutama di bagian saat Grisha mengungkapkan kondisinya secara gamblang, kesenduan Vino berubah menjadi emosi yang intens. Rasa takjub dan kalut muncul dalam satu waktu, seolah ia tak tahu bagaimana harus menghadapi gadis seperti Grisha yang begitu berlawanan sekaligus menyembunyikan kesedihan yang serupa dengannya.

"Kalau statement lo tentang kesalahpahaman Vino bener, maka improvisasi yang lo lakuin sangat masuk akal, Kat." ujar Gisel sambil mengerling pada Elgar, "Tapi masalahnya sekarang... apa Elgar memiliki pandangan yang sama dengan lo?"

Katyana menahan diri untuk tak memutar kedua bola matanya. Akting yang ditunjukkan Elgar saat menjadi lawan mainnya sudah cukup menjadi bukti bahwa pendapatnya tidak salah.

Mendapati Elgar hanya diam memandangnya, kedua alis Katyana bertaut. Lihat saja, kalau sampai Elgar membantah dan mempermalukannya, ia akan meludahi makanan pria itu diam-diam dan—

"Katyana melakukannya dengan sempurna." Elgar menatap Katyana hangat, sebelum beralih pada Gisel dan Willy, "Dia memahami apa yang ingin gue sampaikan. She did great."

Huh? Katyana mengerjap, bingung. Ia tak menyangka Elgar akan memberikan pujian setulus itu padanya di depan orang banyak. Padahal ia sudah bersiap jika pria itu ingin mengibarkan bendera perang terhadapnya. Yah, meski nantinya ia cuma berani melawan dari belakang dan secara sembunyi-sembunyi.

Terserah, deh, Katyana bersorak dalam hati, tak mau ambil pusing. Pokoknya ia sudah menjalani tes kali ini dengan baik.

"You did great too." mendengar Elgar memuji akting Arin dan Felli, Katyana langsung mendengus dalam diam. Ia menyaksikan sendiri air muka Elgar yang berubah tidak enak setelah melihat penampilan Felli dan Arin—seolah-olah pria itu memandang rendah mereka yang tak berhasil memenuhi ekspektasinya. Tapi lihat sekarang, Elgar malah berhaha-hihi dengan mereka tanpa dosa?

Kasihan, Katyana hanya bisa geleng-geleng kepala, tak habis pikir. Kedua wanita malang itu dengan polosnya terjatuh ke dalam pesona Elgar. 

Ya, Tuhan, pria ini benar-benar seorang chameleon. Berbahaya sekali.

"Mas Elgar baik banget," Felli tersipu malu setelah Elgar memberikan semangat padanya, "Padahal akting aku nggak seberapa bagus, tapi mas Elgar dengan sabar mau membimbing aku di scene terakhir tadi."

Tak tahan melihat imajinasi semu Felli yang memprihatinkan, Katyana buru-buru membalikkan badan, berniat kembali duduk di tempatnya semula. Namun genggaman di lengan kirinya langsung mengurungkan niatnya yang baru bergerak dua langkah.

"Katyana." seperti hantu, Elgar tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, memamerkan senyum seribu wattnya, "Your acting surprised me."

Bukannya merasa tersanjung oleh pujian itu, Katyana malah menyipitkan mata. Elgar terkejut melihat aktingnya? Apakah itu berarti cowok sialan ini sempat meremehkan kemampuannya?

Setelah berpikir selama beberapa detik, Katyana tiba-tiba memajukan tubuh hingga bahunya bersentuhan dengan dada Elgar.

"Katyana?" kontan pria itu dibuat kebingungan, "What are you—"

"Mas Elgar baik banget?" dengan bisikan kalem Katyana mengulang kembali apa yang baru saja diucapkan Felli, "She must be blind."

Seulas senyum manis terpatri di bibir Katyana begitu pandangan Elgar bertumbukan dengannya. Ia benar-benar menikmati kekagetan yang terpancar di bola mata pekat itu. Ha! Eat that, you jerk!

Continue Reading

You'll Also Like

117K 18.8K 13
Uriel Adi Nismara sudah tahu dia akan dijodohkan. Ibunya telah mengingatkannya sejak dia masuk SD. Pertunangan dari kecil adalah tradisi keluarga Cak...
225K 41.2K 29
CERPEN Emang serem punya pacar super protektif. Tapi lebih serem lagi kalau lo tiba-tiba suka sama orang ketiga, dan pacar protektif lo itu tahu. [...
174K 14K 10
SEBAGIAN BESAR SUDAH DIHAPUS. HANYA TERSISA 4 CHAPTER. [TERSEDIA DI TOKO BUKU GRAMEDIA SELURUH INDONESIA & GRAMEDIA.COM ATAU VERSI E-BOOK DI GRAMEDIA...
190K 39.6K 25
Komandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.