RENTAN: Semusim di Praha [OPE...

By swp_writingproject

114K 18.9K 3.5K

Definisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Di... More

❄️ BAB 01: Zona Bahaya
❄️ BAB 02: Apa dan Kenapa
❄️ BAB 03: Tidak Baik-Baik Saja
❄️ BAB 05 - Jangan Terluka Sendirian
❄️ BAB 06 - Separuh Aku
❄️BAB 07: I H S A N (1)
❄️ BAB 08 - I H S A N (2)
❄️ BAB 09 - S E S A K
❄️ BAB 10 - Janji Temu
❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin
❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu
❄️ BAB 13 - Orang Baru
❄️ BAB 14 - Fenomena
❄️ BAB 15 - Sultanisme
❄️ BAB 16 - Segan Beranjak
❄️ BAB 17 - Intermission
❄️ BAB 18 - Sandung
❄️ BAB 19 - P U L A N G
❄️ BAB 20 - Sarung Longgar
❄️ BAB 21 - Jangan Pecah
Surat Sayang
BUKU SEMUSIM DI PRAHA
Pemesanan Novel Rentan a.k.a Semusim Di Praha

❄️ BAB 04: Hush!

5.1K 928 161
By swp_writingproject

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 12 Mei 2019 (BAB 4)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.

***
Bab 04 - Hush!

***

Prague, Czech Republic - Winter

[Sekarang - Sultan El Firdausy]

...

Setelah satu jam bersama profesor Ahmed, aku menyempatkan pergi ke perpustakaan kampus sebelum pulang. Malam nanti akan ada pergantian tahun. Aku dan Wisnu berencana hendak berkunjung ke beberapa titik keramaian untuk menghabiskan malam. Jadi aku harus cepat-cepat menuntaskan urusan di kampus. Salju sedang tenang. Dan sebulan wara-wiri ke kampus ini aku masih belum terbiasa tanpa denah. Tampaknya raja Ceko Charles IV yang masyhur dari dinasti Luxembourg tidak main-main mendirikan perguruan tinggi ini dulu. Kampusnya besar sekali. Gedungnya ada di mana-mana. Aku bahkan nyaris selalu berganti lokasi gedung setiap kali mau menemui profesor. Dan beberapa kali pula aku nyasar. Ditambah udara sedang sangat dingin. Ke mana-mana tidak melepas mantel.

Tugasku sebenarnya di sini tidak terlalu rumit. Dan tak perlulah kubahas soal disertasiku karena itu biar saja jadi urusanku. Kusederhanakan saja. Kurang lebih aku harus meneliti bagaimana konsep tassawuf yang menjiwai muslim-muslim di kota ini. Utamanya apakah masih memungkinkan tassawuf bernapas bersama detak iman di kota ini. Sementara itu aku masih belum mengenal terlalu dekat dengan Praha sehingga, jujur, aku masih lumayan kesulitan. Waktuku hanya sampai akhir Februari untuk mengentaskan. Jadi memang aku harus sangat bergerak cepat.

Tahu tidak? Praha kota yang menurutku sangat tenang. Orang-orangnya tidak banyak bicara keras. Tidak seperti di Istanbul. Memang kota ini seperti sebuah negeri yang bagiku cukup lain dari pada yang lain. Tata kotanya dari yang kuamati sangat klasik tidak berlebihan. Bahkan cenderung romantis ―apa kabar Paris? Kalau soal klasik memang semua orang tahu. Misalnya seperti bangunan-bangunannya yang mengekspos material, bak kastil, genteng oranye yang khas, tidak warna-warni, tidak ada aspal karena jalanan seperti memakai paving kokoh di setiap penjuru. Cuman, kalau sedang musim dingin seperti ini, di mana jalanan menjadi sangat licin, kendaraan yang melintas jadi lebih sepi lagi.

Mereka tidak banyak membangun sesuatu yang baru. Hanya sebuah pembaruan saja untuk beberapa fasilitas pelayanan umum. Misal saja beberapa trem yang kulihat seperti masih baru. Maksudnya baru mendapat pembaruan tampilan. Dan untuk bangunan-bangunan agaknya pemerintah Ceko masih berusaha mempertahankan keaslian sejarah sehingga hanya perlu merawatnya.

Tentu kalau soal pembaruan jangan bandingkan dengan negara tetangganya, Jerman. Itu negara yang hampir tidak pernah berhenti memunculkan inovasi yang baru. Aku punya teman yang berasal dari Solo, namanya Qadir, sekarang jadi ekspatriat dan menetap di Frankfurt. Dia menjadi jurnalis DW Innovation yang karya jurnalismenya sering aku tonton di YouTube. Tentu, meski dalam video-video mereka baik narasi maupun dialognya masih menggunakan bahas Jerman atau Deutsch, tapi tim DW yang segmentasi audiensnya adalah warga Indonesia, sudah menyulih dan menerjemahkan setiap konten informatif dalam video-videonya ke dalam bahasa Indonesia. Astrid suka sekali nonton saluran YouTube itu. Aku dan dia bahkan punya waktu khusus untuk hanya menonton video-video terbaru yang rilis.

Aku sudah mengabari Qadir kalau aku sedang ada di Praha. Sayangnya dia tidak bisa mengunjungiku untuk waktu-waktu ini. Jadi, agaknya memang aku yang harus mampir ke sana. Mungkin kalau aku bisa menuntaskan penelitianku sebelum pertengahan Februari, dan aku masih ada sisa waktu di Praha, aku bisa memanfaatkannya untuk mampir ke Frankfurt. Aku baru satu kali pernah ke Jerman, itu pun sangat buru-buru waktu menghadiri sebuah kontestasi ilmiah di Frankfurt. Aku jatuh cinta dengan nuansanya. Dan ingin rasanya novelku nanti mengambil latar di sana. Atau kota-kota kecil di Jerman.

Selesai merangkum banyak informasi penting dari sebuah buku yang menjelaskan sejarah kota Praha dan juga satu literatur tentang bagaimana Islam masuk ke kota ini, aku lalu memutuskan untuk keluar dari sana. Ponselku sudah bergetar dari tadi yang kemungkinan itu dari Astrid atau Wisnu. Namun rupanya itu nomor baru dengan kode telepon +420. Lima panggilan tak terjawab. Kurasa tak lama lagi nomor itu akan meneleponku kembali. Tebakanku tidak meleset.

"Halo?" kujawab sambil berjalan di sepanjang koridor perpustakaan menuju area luar.

"Ini dengan Sultan?" suara seorang perempuan dengan bahasa Inggris aksen Ceko.

"Ya?" setiap dapat panggilan dari nomor lokal Ceko aku selalu berusaha untuk responsif secepat mungkin. Kalau-kalau itu dari asistennya profesor yang tidak hanya satu.

"Oh, ini aku, Helga," ujarnya.

Aku masih sibuk berjalan. "Helga?"

"Aku dapat nomormu dari Wisnu. Kau pernah melihatku beberapa hari yang lalu."

"Ah, ya. Kakaknya Sergey. Betul?"

Helga terkekeh.

"Ada yang bisa kubantu?"

"Um, pagi tadi aku menagih Wisnu apakah dia sudah memberitahumu soal permintaanku atau belum."

"Oh, iya."

"Kau benar-benar tidak bisa?"

"Um."

"Bagaimana kalau kubayar dua kali lipat?"

"Helga, bukan soal itu."

"Wisnu bilang kau sedang di almamaterku. Makanya aku langsung ke sana saat diberitahu. Sepertinya harus aku yang bernegosasi soal ini."

"Kau ... di mana?"

"Aku yang tanya, kau di mana?"

"Aku ... ini sedang keluar dari perpustakaan universitas."

"Aku di st. Celetna. Aku bisa menyusulmu di sana. Tidak lama."

Aku tidak tahu kenapa dia antusias sekali. Lalu sejurus kemudian dia mengirimiku sebuah lokasi melalui WhatsApp. Aku putuskan untuk menemuinya. Langkahku terdengar gemeresak di atas salju tipis. Sebuah mobil tua berwarna hitam terparkir di tepian jalan. Atapnya masih ada sisa salju yang dibiarkan. Dan di sana seorang perempuan sedang berdiri bersandar pada pintu mobil itu. Aku langsung mengenali wajahnya. Kucoba untuk tersenyum.

"Hai," sapanya ramah. Tangannya yang terbungkus glove terulur minta bersalaman. Kubalas salam itu selagi tanganku juga memakai glove. "Aku Helga. Kita belum resmi berkenalan sejak malam itu."

"Sultan," jawabku singkat. Kucoba untuk ramah.

"Um, ya. Kita akan berbicara di sini?"

Aku masih memikirkan.

"Aku curiga salju akan turun lagi," tambahnya.

Masih kupikirkan.

"Kau pasti belum makan, ya? Aku punya tempat yang bagus untuk berbicara. Kutraktir makaron? Sungguh, aku tidak pernah seserius ini meminta seseorang untuk berbicara. Maksudku ini penting."

Jantungku berdebar. Bukan apa-apa. Maksudku Helga ini perempuan. Dan aku belum berani membiasakan diri lagi jika hanya seorang diri. Tapi Wisnu selalu berpesan, lawan.

"Tapi sepertinya aku tidak bisa lama," jawabku setelah mempertimbangkan.

"Karena Wisnu mengajakmu menghabiskan malam tahun baru bersama. Aku tahu. Dia juga mengajakku. Aku janji, Sultan, ini tidak akan lama."

Dengan ragu aku mengangguk.

"Good. Kau mau mengemudi?" dia menawariku sebuah kunci.

"Tidak, kau saja."

"Jangan bilang kau tidak punya SIM internasional," Helga tertawa.

Aku terbawa tawa kecil, "Ada. Hanya belum terbiasa mengemudi di atas jalanan yang licin. Kau yang sudah ahli. Aku tidak mau mengambil risiko. Dana beasiswaku tidak cukup untuk mengganti kerusakannya kalau mobilmu kenapa-kenapa karena aku."

Helga tersenyum aneh. Padahal aku sedang tidak melawak.

"Baiklah. Asal kau mau ikut saja."

Aku duduk di jok belakang. Helga sempat hendak bertanya kenapa, tapi dia urungkan karena sepertinya dia cukup mengerti.

Tak sampai lima belas menit mobil sampai di sebuah tempat bernama Cafe Milleme. Kukira selama musim dingin mereka tutup. Helga lalu mengajakku untuk masuk. Sementara gadis itu pergi ke meja pemesanan, aku memilih tempat duduk yang cukup dekat dengan kaca.

Helga datang dengan dua kap kopi panas. Napasnya seperti lega sekali, "Huh, aku senang akhirnya kau mau. Wisnu berkeras kalau kau mungkin akan sulit untuk diajak seperti ini. Tapi dia salah. Atau karena aku yang mungkin pandai persuasi?" tolong jangan tersenyum lagi.

Aku berusaha tidak banyak menatapnya.

"Ini kopimu."

"Terimakasih."

"Santai saja."

Karena memang sebelumnya kopi panas sudah melintas dalam daftar rencanaku setelah dari perpustakaan, aku tanpa canggung mengambil kap itu dan menyeruputnya.

"Kopi di sini yang terbaik, kau tahu," katanya.

"Tidak juga. Negaraku punya yang lebih baik dari ini."

"Maksudku terbaik di kota ini!"

Aku terkekeh, "Um, aku ragu."

"Kenapa?"

"Kecuali kalau kau sudah menjelajah semua tempat yang menjual kopi di seluruh Praha."

Dia tersenyum kalah.

"Ya, terserah katamu. Tapi bagiku ini yang terbaik."

Aku diam sejenak.

"Oh iya, aku perlu tahu alasan kenapa kau menolak membacakan buku untuk Mia?"

"Aku punya klien lain."

"Berapa banyak?"

"Hanya satu."

"Dan itu cukup untuk jadi alasan kau menolak tawaranku?"

"Aku harus menyelesaikan penelitianku juga."

Helga menganggukkan kepala.

"Kau tahu, aku sudah nyaris putus asa. Mia tidak mau keluar rumah sama sekali sejak dari rumah sakit. Susah diajak bicara."

"Bukannya di rumahmu ada banyak sekali orang? Aku yakin salah satu di antara kalian ada yang bisa melakukannya."

"Melakukan apa?"

"Membujuk."

Helga mendengus, "Andai saja. Dengar, di rumahku hanya ada tujuh orang. Yang kau lihat malam itu adalah keluarga jauhku yang sengaja datang karena itu permintaan dari kakek-nenekku. Jadi hanya ada orang tuaku, aku sendiri, Mia, Sergey, dan dua manula kami. Siapa yang bisa kami andalkan?"

"Ibumu sudah mencobanya?"

"Itu pertanyaan bodoh."

"Hanya bertanya."

"Tidak ada siapa pun yang bisa, oke? Tidak ada."

"Apalagi aku. Kalian keluarganya saja tidak ada yang berhasil. Atau kau bisa meminta Wisnu untuk melakukannya. Dia berhasil dengan Sergey."

Seorang pelayan datang mengantar sepotong tartlet dan sepiring makaron warna-warni.

"Wisnu bukan orang asing bagi Mia. Mereka sudah beberapa kali bertemu. Jelas Mia tidak akan mau."

"Aku tidak yakin," sedikit terkekeh untuk menghindar.

"Apa kau anak tunggal?"

"Bukan. Kenapa?"

"Harusnya kau tahu bagaimana rasanya saat saudaramu kesakitan, bukan?"

Aku terdiam seketika.

"Adikku masih sangat muda untuk mengalami semua itu, Sultan. Mia baru lulus SMA saat kejadian itu. Aku membawanya berlibur supaya dia bisa melupakan mantan pacarnya yang bedebah dan membelokkan arah fokusnya pada perguruan tinggi yang sudah menerimanya. Dia mendapat satu kursi di Columbia. Aku mengiming-imingi banyak hal padanya. Kubilang kalau dia move on dan kuliah akan menemukan orang yang lebih baik. Kubilang juga padanya, kalau dia akan bisa lebih bersenang-senang. Dan sekarang dia semakin kehilangan dirnya sendiri. Semua ini salahku. Dan aku mau melakukan apa saja agar dia bisa kembali. Untuk melakukan apa saja. Termasuk memaafkanku."

"Adikmu masih remaja?" aku bertanya.

"Ya. Aku mohon," Helga berusaha mengambil celah.

"Aku hanya tidak yakin dia akan mau mendengarku membacakan buku untuknya."

"Bagaimana kalau kau mencobanya dulu?" tawarnya penuh harap, "Satu minggu saja. Kalau berhasil kau bisa melanjutkan."

"Mungkin dia sudah akan mengusirku di hari pertama aku datang."

"Aku harap kau bisa optimis sedikit saja."

Aku diam mempertimbangkan. Pada titik ini, rasanya sulit sekali untuk menolaknya. Sangat sulit untuk menolak permintaan seseorang yang sangat membutuhkan sesuatu dari apa yang bisa aku lakukan untuknya. Di sisi lain Wisnu juga sangat optimis kalau ini bisa memperbaiki diriku juga.

"Genre apa yang dia sukai?"

Wajah Helga langsung berubah cerah, "Aku akan membayarmu dua kali lipat! Dan tiga kali lipat kalau kau berhasil membuat dia keluar dari zona nyamannya. Aku serius," ungkapnya antusias.

"Jawab dulu pertanyaanku."

"Oh, maaf. Um, sayangnya aku tidak tahu dia suka apa."

"Karena aku tidak punya bacaan untuk remaja. Aku tidak membawanya ke Praha."

"Terserah mau kau bacakan buku apa saja. Kukira kau lebih tahu apa yang terbaik untuk urusan ini."

Setelah itu tidak ada percakapan. Aku mencoba kue makaron itu yang seketika yakin kalau Astrid pasti akan suka kalau kukirim foto kue ini. Kufotolah kemudian porsi milikku tanpa sepengetahuan Helga.

Selanjutnya kami hanya mengobrol ringan. Dia banyak menceritakan profesinya sebagai pemilik toko bunga yang sekarang sedang tutup sementara. Lalu aku lebih banyak menjawab pertanyaannya tentang apa yang sedang aku teliti. Sampai ketika kami sudah cukup bosan, aku meminta diri untuk pulang lebih dulu.

"Biar kuantar," katanya.

"Aku bisa naik trem. Kau tidak perlu repot-repot," kutolak dengan ramah.

"Aku serius, ini tidak merepotkan."

"Biasanya di trem aku memikirkan apa yang akan kubacakan untuk klienku. Mungkin aku bisa memikirkan juga untuk Mia."

Helga tersenyum mengerti. "Baiklah. Aku mengerti kalau itu alasannya."

"Iya," aku mengangguk dengan senyum.

Lalu kami keluar dari Cafe Milleme bersama.

"Aku ke arah sana," kataku saat sudah berada di luar. Menunjuk ke arah Barat. Kembali memakai Glove.

"Padahal itu searah."

Aku hanya terkekeh, "Aku duluan."

"Hei," dia memanggilku saat aku sudah melangkah. Aku berhenti dan berbalik kemudian. "Terimakasih," ucapnya.

Belum sempat kujawab, Helga sudah melangkah cepat ke arahku dan sigap sekali meletakkan bibirnya di pipi kananku sampai bersuara kecup.

Sontak kurang dari satu detik setelah Helga melepas diri, tubuhku gemetar. Mematung tak sempat mengelak. Dan belum sempat pula aku protes dia sudah berlari kecil ke arah mobilnya.

Mulutku mendadak getir. Perutku terasa mual. Dan napas terasa berat. Aku merasa takut.

Kenapa?

***

Real pict of Cafe Milleme from the outside before winter.

***

Real pict of Prague Maccarons.

***

Mungkin kalian pembaca harus mulai menerima Mia Kathleen. Karena dia hanya gadis remaja yang perlu pertolongan. Dan sekarang sudah tahu siapa yang ... you know.

Huf, rute hijrah Sultan akan panjang dan sulit.

***
Menurut kalian lebih baik mana yang harus Astrid khawatirkan lebih? Nguber pelaku ke Istanbul, atau susul Sultan ke Praha kalau situasinya sama saja?

(Jawab di Sini)

***

"Jangan harap saya akan menampilkan karakter utama yang sempurna, ya. Kalau nggak suka silakan cari bacaan yang cocok denganmu. Yang namanya 'hijrah' maka harus diperlihatkan buruknya. Kalau nyari bacaan dengan sosok sempurna seperti Fahri atau Azzam atau akhi Perfect lainya, mungkin bukan di tulisan saya. Bagaimana kita akan belajar kalau mata kita tidak bisa menerima atau memahami sebuah kesalahan? Bukan hanya dosa sendiri yang perlu diratapi, tapi belajarlah juga dari bagaimana orang lain mentaubati dosa mereka.

Sultan memang besar dari latar belakang agamis yang kental. Tapi yang namanya ujian iman dan musibah nggak ada yang tahu, Neng. Justru semakin kuat imannya semakin deras ujiannya.

Iman itu letaknya di hati. Dan hati bukan sesuatu yang diam. Dia berubah-ubah. Itu kenapa kita dibekali doa 'Ya muqalibal qulub, tsabit qalbii 'ala diinik'.

Salam. "

(Ini tambahan 👆 karena tadi sempat ada yang salah paham baca bab ini.)

***

#UjianCalonKiaiBeratBanget

Sampai jumpa hari Rabu.

Jadwal berubah:
Rabu dan Minggu
***

Follow my social media:

Instagram: @sahlil_ge

Kamu juga bisa baca cerita saya yang lain di sini 👇

Wattpad: TheReal_SahlilGe

Continue Reading

You'll Also Like

97.5K 4.6K 47
⚠️ FOLLOW SEBELUM BACA ⚠️ Ayasha Humaeera Rayzille, seorang gadis berusia delapan belas tahun. Ayasha adalah seorang gadis yang jarang mendapati kasi...
2.9M 256K 73
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
5.5M 476K 53
- Zona teka-teki 1 - Kalian baca cerita ini siap-siap jadi detektif - Terbit di Hesthetic official "Menikahlah dengan suamiku dan jaga baby Hamzah...
375K 16.5K 70
Azizan dingin dan Alzena cuek. Azizan pintar dan Alzena lemot. Azizan ganteng dan Alzena cantik. Azizan lahir dari keluarga berada dan Alzena dari ke...