CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 15 (a)

2.2K 552 199
By AryNilandari


River membukakan pintu, langsung menjerit melihat lengan Kei. Lecet-lecet merah begitu kontras pada kulit putihnya. Gadis itu menarik Kei masuk dan mendorongnya duduk di sofa. Mengocehkan bahayanya luka kalau tidak ditangani dengan benar. Bisa infeksi. River menebak, luka Kei tidak dibersihkan dengan larutan NaCl. Kei membantah, tadi sudah dibersihkan Rhea, sampai perih. Ya, pasti perih kalau dengan alkohol, omel River. Kok tahu desinfektan yang kugunakan mengandung alkohol? Ah ya, River kuliah di kedokteran. Kei pun bungkam, menurut saja, saat River mengulang pertolongan pertama dengan perlengkapan P3K yang diambil dari lemari Aidan. River begitu hafal tempat dan isinya. Aku tahu, River sendiri yang memenuhi persediaan itu.

"Aku enggak minta. Tapi River juga enggak bisa dilarang," kata Aidan, angkat bahu.

Kemunculannya begitu wajar. Aidan terbiasa mengamati saja Kei dan River keluar masuk apartemen. Ia duduk di sandaran sofa, bersedekap, kaki panjangnya diluruskan. River terlalu banyak bergerak, mondar-mandir menembus visualisasi Aidan. Aku tidak menyalahkan gadis itu. Resahnya berlipat ganda saat Kei menceritakan semua yang dialami. River lalu menyambung dengan ceritanya. Beberapa kali, keduanya memandangku, untuk memastikan kebenaran informasi yang saling dipertukarkan. Sekarang, pengetahuan kami sama. Tidak ada yang disembunyikan.

Ralat. Kecuali pesan terakhir dari si hoodie hitam kepadaku. Jangan bilang-bilang mereka, kalau aku ingin menolognya. Pelan-pelan, aku mundur. Memberi isyarat kepada kenangan Aidan untuk mengikutiku. Biarkan Kei menikmati perhatian penuh River. Biarkan River menebus waktunya yang tersia-sia.

"Ada apa?" Aidan menjajariku.

"Aku juga perlu memeriksa dahimu." Kuajak ia masuk walk-in closet. Cermin di tengah ruangan sudah pernah kubaca. Menunjukkan Aidan biasa membuat penampilannya berantakan. Juga saat kemarahannya meledak, tinjunya menggempur dinding di sisi cermin dan melukai kelingking sendiri. Aku tidak berharap melihat kenangan baru. Tapi suasana hati berbeda dan perkembangan pengetahuan sering memunculkan detail kenangan yang pernah terlewatkan.

Aku berkonsentrasi pada wajah Aidan saat ia mengacak-ngacak rambut. "Dahimu bersih. Kamu belum terluka." Lalu jemariku bergeser pada retakan di tepi cermin, ada darah yang pernah menodai. "Kenapa kamu marah, Aidan? Marah sama siapa? Kamu jadi beda banget kalau sudah ngamuk begitu. Kayak bukan Aidan yang biasanya tenang dan enggak gampang terprovokasi."

Gerakan tinjunya mantap bertenaga. Persis seperti waktu ia memukul Armand. Ekspresinya keras. Alis bertaut. Itu dia! Parut sekitar tiga sentimeter melintang dari alis kiri ke pelipis. Bekas hantaman kayu Armand.

"Kalau hadap depan, parut itu memang enggak mudah terlihat. Tapi dari samping, cukup jelas. Berapa jahitan, Aidan? Darah sebanyak itu ... aku yakin lukamu cukup dalam sampai membekas begitu."

Aidan tidak menjawab. Duduk saja di sofabed sambil memandangiku dengan senyum geli. Aku mendecak kesal. Tentu saja, aku sendiri yang membuat tampang Aidan terlihat konyol karena salah reaksi. Tapi andaikan Aidan hadir nyata sekarang, bakal kumarahi juga dia. Mau-maunya dipermainkan Armand, membahayakan diri sendiri. Bagaimana kalau kayu itu mengenai matanya? Gara-gara ingin menyelamatkan aku, lalu bertindak sembrono?

Aku membanting pintu lemari. Menyalurkan emosi campur aduk yang sulit kuuraikan. Satu pemikiran mendesak dan mewujud. Tidak bisa kucegah. Kemungkinan bahwa aku adalah penyebab jiwanya direnggut dengan kejam. Tiba-tiba saja aku seperti dilempar ke dalam kubangan rasa bersalah. Udara sekitarku seakan menghilang. Aku jatuh berlutut, dadaku sakit.

"Hey, hey, take it easy! Atur napasmu. It's okay." Aidan menepuk-nepuk punggungku. "You're a mighty girl. Punya kekuatan untuk menyelesaikan ini."

Setelah beberapa tarikan napas, aku dapat menenangkan diri. Tapi bagaimana kenangan Aidan bisa bilang begitu? Kapan kata-kata itu diucapkannya? Sambil menyentuhku pula? Waktu mencuci rambutku saja, tangannya tidak menapak dengan tegas. Ah, sudahlah. Tidak penting lagi apakah itu ingatan terkubur atau hanya khayalanku. Aidan benar, aku punya kekuatan ... untuk membayar utangku padanya. Jiwa sekalipun. Aku berjanji.

"Aidan, waktu berkelahi dengan Armand, kamu pakai kemeja biru langit polos, dan kaus dalam putih. Kancing dilepas, lengan digulung sesiku." Aku melanjutkan pencarian, beranjak ke barisan kemeja yang tergantung rapi. Warna dasar yang mendominasi adalah biru langit dan putih. Corak dan motif beragam tapi selalu lembut. Kutemukan satu kemeja biru polos, tapi tidak ada getaran kuat sebagaimana biasanya objek dalam kejadian emosional dan kekerasan. Bahkan saat kuambil dan kupeluk, kemeja itu hanya menguarkan wangi air pegunungan. Khas Aidan. Tapi tidak ada penampakan perkelahian dan darah. Buru-buru kumasukkan lagi sebelum rasa rindu dan kehilangan membuatku lumpuh.

"Bukan yang ini. Kamu simpan di mana kemeja itu?" Aku mencari-cari di semua kompartemen. Nihil. Pada tumpukan kaus putih pun, tidak ada yang terlibat dalam kejadian itu. Jangan-jangan dibuang Aidan agar tidak membuat cemas bundanya.

"Buat apa menggeratak isi lemari kalau kamu bisa baca diary-ku?" Aidan berbisik. Terlalu dekat sampai napas cowok itu seolah mengembus ke telingaku dan membuatku berjengit.

Aku mendorongnya menjauh. "Jaga jarak!"

"Jangan bilang kamu takut baca." Aidan tertawa. "Karena RR itu, kah?"

Aku diselamatkan oleh pintu yang terbuka. River melongok ke dalam, celingukan heran, lalu segera sadar aku berbicara sendiri. "Rhe, ditunggu Kei makan. Aku beli nasi kotak 3 porsi. Punyaku sudah kuhabiskan sambil menunggu tadi."

"Terima kasih," sahutku, sungguh-sungguh. Baru ingat betapa laparnya aku, telat makan siang hampir 3 jam. Kuikuti River ke dapur. Kei sudah duduk di meja makan. Kutarik kursi untuk Aidan yang menguntit sambil terus tersenyum menggoda. Aku mendelik padanya. Ya, aku takut membaca diary-mu! Takut tidak menemukan apa pun yang membantu penyelidikan. Takut dugaanku benar, akulah penyebab kematianmu. Takut kamu menulis bahwa sebetulnya aku tidak berarti apa-apa bagimu selain pembawa sial. Takut kalau RR itu Riviera Ricci. Takut dengan segala ketakutanku. Terima kasih.

Kei berdeham lantaran uluran sendoknya tidak segera kuambil. "Makanlah dulu. Baru kita bicarakan semua hal yang bikin keningmu berlipat tujuh itu."

Tapi aku langsung bicara. "Kalian sadar enggak, Aidan punya parut tiga senti dari alis ke pelipis kiri? Armand memukul Aidan dengan kayu sebesar lenganku waktu mereka berkelahi di belakang Toko Bandrek. Sayang sekali, kayu itu sudah enggak ada di sana. Tapi aku yakin ada pakunya, karena luka Aidan cukup dalam dan berdarah banyak."

Kei dan River saling pandang, tampak terkejut dan heran.

"Parut tiga senti?" River menyentuh pelipisnya sendiri, seperti mengukur, lalu menggeleng. "Enggak mungkin! Kalau ada, pasti kelihatan."

"Kapan kejadiannya?" tanya Kei.

"Aku enggak ingat tepatnya. Itu bagian dari memoriku yang terkubur. Kemungkinan waktu kalian kelas 11. Tapi kamu pernah bilang, Armand dikeluarkan dari DIHS, setelah berkelahi dengan Aidan?"

"Ya. Akhir Juni, waktu kami kelas 11, tapi bukan di Bandrek. Kejadiannya di GOR Pajajaran," jawab Kei. "Armand memang keterlaluan. Tahu banget cara menghina cewek untuk memprovokasi Aidan. Baru sekali itu Aidan enggak bisa menahan diri. Kalaupun Aidan enggak bertindak waktu itu, aku duluan yang memukul mulut cablak Armand, biarpun aku enggak kenal cewek yang disebutnya."

"Tepatnya 28 Juni. Darmawangsa Founder Day," kata River. "Kita pulang awal. Aku dijemput Papi. Kei dan Aidan kumpul di klub basket."

Kei mengangguk. "Benar. Tim inti DIHS pergi ke GOR Pajajaran untuk pertandingan persahabatan dengan Klub Rajawali. Coach Reza enggak bisa ikut karena sakit. Aku sebagai strategis ambil alih kendali. Tapi kewalahan karena Armand dan Aidan enggak bisa kompak. Seperti punya dua kapten, tim terpecah. Rasanya ingin nendang Armand keluar lapangan, tapi aku harus adil. Aku hukum mereka gantian 15 menit duduk di bangku cadangan. Gara-gara itu, DIHS kalah telak. Bubar tanding, Armand menyumpahi satu cewek yang katanya pembawa sial. Cewek itu bahkan enggak ada di sana. Tapi kata-kata Armand bikin Aidan meledak. Tahu-tahu saja mereka sudah gelut." Kei terdengar gemas, seakan kejadian itu sedang berlangsung di depan matanya.

"Sore itu juga," lanjutnya. "Satu klub disidang oleh DED secara tertutup. Aku sudah khawatir. Tapi entah bagaimana, semua anggota kompak membela Aidan dan menuntut Armand lengser dari jabatan sebagai ketua klub. DED memutuskan Armand harus mengundurkan diri dan minta maaf. Tapi Armand menolak, menentang DED. Akhirnya, dia malah dipersilakan pindah sekolah."

"DED keren. Aku dan teman-teman cheer leaders lega banget waktu itu," kata River.

Kei tiba-tiba menatapku lekat. "Kamu tahu, Rhe, banyak cewek ditolong Aidan, tapi cuma satu cewek yang ia bela mati-matian. Dan baru sekarang aku paham siapa dia."




⫸⫸⫸⫸⫸⫸ lanjut part b ya ⫸⫸⫸⫸⫸

Continue Reading

You'll Also Like

32.3K 5.6K 55
[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. H...
271K 52.2K 54
(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi...
105K 15.7K 61
[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta k...
91.9K 10K 61
Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan penyebab tewasnya Jun karena overdosis, bah...