Twins (Who Are You?)✔

Von envelopeee_

3.9K 508 962

[SELESAI!] Identik atau tidak, setiap perubahan kecil yang dilakukan bisa berdampak besar. Hal itu berlaku, k... Mehr

[1]-Putih dan Hitam
[2]-Penyesalan
[3]-Arah yang berlawanan
[4]-Itukah kamu?
[6]-Kompetensi
[7]-Kompetensi bag 2
[8]-14 min 1
[9]-Rantai yang terpasang kembali
[10]-Kejanggalan yang tidak beralasan
[11]-Semakin tidak baik untuk ditunda
[12]-Sedia atau Tidak sedia
[13]-Undo or Redo?
[14]-The Prophet Nabi Ibrahim AS
[15]-Minyak dan Air
TESTIMONI

[5]-Terlambat

214 49 44
Von envelopeee_

Berbagai macam tatapan diterima oleh Bia. Ini baru lima langkah Bia memasuki pelataran Pesantren Modern tempat dimana Kakak Qeela kuliah.

Padahal penampilannya saat ini terbilang normal. Kaus lengan panjang bergambar minion dan celana jeans hitam sudah melekat di tubuhnya padahal biasanya—memakai baju terbuka, serta celana robek-robek—Bia tipikal perempuan yang tidak mempedulikan penampilan. Ia tomboy. Dan tidak suka segala hal yang berbau feminim.

Beda dengan sahabat dekatnya, Qeela.

Qeela sangat feminim. Tapi entah keajaiban dari mana keduanya bisa 'klop' dan menjadi sahabat se—perti sandal yang satu paket.

Oh, bagaimana kabar Qeela sekarang? Bia sangat rindu.

Bia melirik koper hitam besar bawaannya sebentar. Lalu menggoyangkan kresek putih, berlabel 'hypemart' yang isinya tidak lain adalah mangga. Buah mangga muda. Buah favorit Qeela.

Gara-gara rindu sahabatnya itu. Bia menjadi setengah gila. Ia membeli segala hal yang Qeela sukai.

Bahkan dirinya menganggap, kalau tidak ada Qeela di dekatnya. Masih ada Aqeel. Mereka berdua kembar. Memiliki wajah yang sama. Dan mungkin saat bertemu Aqeel, Bia akan mendapat sedikit pencerahan. Banyak hal yang tadinya ingin ia ceritakan pada Qeela tapi karena sahabatnya tidak ada, tidak masalah bukan jika Bia pindah lapak pada Aqeel?

Bia melihat ke depan. Kepada tiga perempuan spies alim yang sedang berjalan sambil mengobrol sesekali salah satu diantara mereka tertawa sambil menutup mulutnya.

Ketika mereka melintas di dekat Bia, Bia maju dua langkah. "Suci!" teriak Bia.

Ketiga orang itu berhenti. Mereka melirik ke sekeliling lalu pindah menatap Bia.

Bia memilih perempuan yang berdiri di tengah karena sepertinya perempuan ini yang terlihat easy going daripada dua perempuan yang lain.

"Saya?" tanya perempuan itu kebingungan.

Bia langsung mengangguk. "Iya. Lo!" Bia berdeham sebentar selagi dua perempuan lain membisiki perempuan tadi. "Kamu kenal dia?"

"Dia siapa?"

"Alien dari planet mana ini?"

Mata Bia terbelalak. "Eh, Siti! Gue dari planet bumi. Dan gue bukan Alien. Okay?" Bia mengibas tangannya di depan wajah seolah berada di dekat ketiga perempuan ini ia jadi merasa gersang.

"Suci, lo tahu enggak dimana kamar Aqeel?" tanya Bia to the point pada inti.

"Ih, sembrono. Orang namaku bukan Siti!" decak perempuan yang Bia sembur tadi.

"Aqeel yang dari Jakarta?"

Bia tersenyum, "Bingo!"

"Saya tahu. Kamar kami sebelahan."

Mendengar hal itu bola mata Bia berbinar. "Yaudah cus! antar gue ke sana!" katanya bersemangat.

"Tapi maaf aja ya, Mbak. Nama saya bukan Suci. Nama saya Kamel." protes perempuan itu.

Bia terkikik malu. "Okay, Kamel. Gue minta maaf. Yuk sekarang antar gue ke kamar Kak Aqeel!"

Dengan percaya diri, Bia menggaet lengan Kamel secara terburu. Melepaskan pegangan dua perempuan tadi yang kini bertambah panas suhu hidungnya karena Bia berlalu sambil memberi bonus—gelengan roda koper hitamnya—di kaki kedua perempuan ini.

"Astagfirullah ...."

****

Bunda Fathan belum mau melepas pelukkan eratnya pada Qeela, sambil memeluk Qeela dielusnya kepala Qeela dengan lembut. "Kamu perempuan yang baik. Tante jadi kasian sama kamu." ucap Bunda Fathan.

Fathan yang berdiri di samping Qeela merasa jengah dengan sikap berlebihan Bundanya. Ia berdecak walau ia tahu, decakkannya akan terdengar dan Bundanya, menatapnya nyalang seperti sekarang.

"Kenapa Tante kasian sama aku?" tanya Qeela hati-hati.

"Karena kamu harus jadi istrinya anak Tante yang minta dipoles pakai parudan kelapa." Bunda Fathan memeletkan lidahnya pada anak laki-lakinya yang meringis ngeri.

"Kalau kamu dijahati Fathan lapor ke Tante, okay sayang?" Bunda Fathan melepas pelukannya.

"Iya Tante." Qeela mengukir senyum terbaiknya. Bunda Fathan baik sekali tapi kenapa Fathan menyebalkan sekali? Apa Fathan tidak menuruni gen Bundanya? Ayahnya kah yang satu fotocopy dengan Fathan? Mungkin. Qeela tidak ingin berpikir jauh.

"Bucan, sudah siap pulang?" Joheng datang untuk bertanya. Dipanggil Bucan (Ibu cantik) Bunda Fathan langsung menoleh seolah panggilan itu seperti algoritma jaringan 4G tanpa gangguan.

"Sudah!" Bunda Fathan menyerahkan tasnya pada Joheng. "Bunda pulang dulu."

"Iya Bund." "Iya Tan." jawab Fathan dan Qeela serentak namun tak sama. Keduanya bertukar pandang.

"Haduh, so sweet kalian ini ya!" Bunda Fathan berdecak kagum. Diselingi siulan Joheng yang ikut menyusul setelahnya.

"Bund ...."

"Iya-iya. Bunda pulang nih. Beneran nih. Assalamualaikum mantu, assalamualaikum malin anakku!" Bunda Fathan langsung meleos pergi saat masih tertawa karena ia sempat menyaksikan wajah kesal Fathan ketika dipanggil 'malin' olehnya.

Fathan menggelengkan kepala sambil tak lepas menatap arah perginya Bunda dan Pak Joheng. Lalu ekor matanya berbelok ke samping, pada Qeela yang mengulum senyum. Berusaha agar tawanya tak meledak.

"Enggak usah ketawain gue terus!" Fathan mendelik.

Qeela berdeham sedikit. "Siapa juga!"

"Lo jangan lupa sama perjanjian kita, buat gagalin perjodohan ini." Fathan mencoba mengetuk ingatan Qeela. Barangkali karena keakraban Qeela dan Bundanya, perempuan itu lupa dengan janji awal yang mereka buat.

Namun dugaan Fathan tidak sepenuhnya benar. Qeela menganggukkan kepalanya. Wajahnya mulai serius saat berujar, "Jadi apa rencananya?" tanyanya.

Fathan mengetuk dagu. "Mm ... Ayah pengen gue punya istri yang jago masak kayak Bunda. Gue bakal bilang ke Ayah kalau lo enggak bisa masak."

Qeela mengangguk lagi. Tidak masalah. Memang benar. Qeela tidak pintar memasak. Selain memasak air dan membuat nasi goreng ala kadarnya. Lantas Qeela juga ingin mengajukan usulnya. "Dan gue bakal bilang ke Ayah kalau lo enggak bisa melantunkan Al-qur'an. Ayah pengen banget punya mantu yang suaranya bagus waktu mengaji. Kalau lo enggak bisa, mungkin Ayah bakal berpikir dua kali buat meneruskan perjodohan konyol ini."

Sama-sama tidak masalah. Apa yang Qeela katakan sesuai dengan Fakta. Fathan mengangguk. "Deal?"

"Deal!"

****

"Ada yang cari kamu Qeel. Dari Jakarta. Katanya sahabat dekat Adik kamu. Dia sama Adik kamu udah kayak—mm, apa Liv?" Lisa bertanya pada Oliv karena ingatannya pendek dan ia mudah melupakan sesuatu yang baru saja terjadi.

"Kayak idung sama ingus!" sambar Oliv dengan semangat 45 mengadukan apa yang dikatakan oleh perempuan asing tadi pada Qeela.

Qeela menggeleng, "Ada-ada aja. Siapa namanya?" tanya Qeela.

Lisa dan Oliv saling memandang. "Gak tahu. Dia enggak sebut namanya. Katanya capek. Jadi sekarang ...." Oliv melirik Lisa.

Seolah paham Lisa pun melanjutkan. "Orangnya lagi tidur di kasur kamu."

"Ya ampun ...." Qeela menutup mulutnya. "Sejak?"

"2 setengah jam yang lalu. Dia nunggu kamu tapi kamu belum juga datang." sambung Lisa.

"Okay makasih ya Lis, Liv!" Qeela segera menghambur masuk ke dalam kamar untuk memastikan siapa yang mencarinya sampai rela datang ke tempat ini.

"... nghhh ... jam berapa ini?" dalam tidur nyenyaknya, Bia menggeliat kecil sembari memeluk guling.

Perjalanan ke sini membuatnya lelah, ia masih ingin memejamkan mata. Menikmati tubuh ringseknya bertumpu pada kasur yang empuk ditambah semilir angin dari kipas yang dibiarkan menyala. Katakanlah bukan sekelas AC tapi efek anginnya menambah nyaman Bia untuk semakin tenggelam merajut mimpi.

Sampai kemudian, surga kecil di siang bolong itu tiba-tiba kandas ketika seseorang mematikan kipas anginnya. Lalu dengan sigap, orang itu menarik guling yang Bia peluk. "Bangun!"

Posisinya, Bia memunggungi orang itu. Ah, Bia malas memutar tubuh. Paling-paling ini ulah dua perempuan tadi yang menyambutnya ke sini.

"Kamu cari saya? Kamu sebenernya siapa?"

Suara itu! Mata merem Bia langsung melek. Suara yang amat persis dengan pemilik yang ia rindukan. Qeela.

Dengan penuh semangat Bia segera menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya kemudian melompat dari atas kasur dan memeluk Qeela hingga keduanya terjengkang pada kasur yang lain. Kasur milik Lisa.

Lisa dan Oliv menggelengkan kepalanya bersamaan melihat tingkah Bia yang sangat abnormal itu.

"Perasaan Aqeel enggak begitu-begitu banget." celetuk Lisa.

"Dia kayak datang dari hutan rimba." tambah Oliv. Lisa mangut-mangut menyetujui.

"KAK AQEEL!!! GUE KANGEN!!!"

Qeela memejamkan matanya mencoba untuk berdiri dengan sisa tenaga yang ia miliki.

Bia. Kenapa bisa di sini? Apa Bia tahu ... tahu kalau Qeela bertukar tempat dengan Aqeel maka ia memutuskan untuk ke sini? Gawat. Qeela mulai merasakan aura tidak enak di sekelilingnya.

"Kak Aqeel! Adik lo yang bawel itu jahat sama gue!"

Qeela menelan ludahnya. Ternyata bukan itu. Bia tidak menyadari dengan siapa ia berbicara sekarang.

"Dia enggak kasih kabar ke gue kalau dia mau kuliah di luar negeri. Jahat dasar!" umpat Bia kini bibirnya mengerucut.

Orang yang ia cari justru mengutuk diri dalam hati. Bodoh. Kenapa Qeela sampai melupakan Bia?

"Tapi Kak, gue seterong kok! Kan kalau enggak ada Qeela gue masih punya elo!" Bia menghentakkan kakinya karena senang.

Qeela meringis.

Bia memang sangat dekat dengannya. Tapi Bia memiliki kekurangan, ia tidak mudah bergaul dengan orang lain. Karena dua, sifat menyebalkan dan tempramennya. Jadi sebab itulah selama ini Bia selalu bersama-sama dengan Qeela. Seolah Qeela hanya satu teman yang ia miliki diantara bermilyar penduduk bumi.

"Kamu ngapain ke sini? Kamu enggak ada kerjaan, ya?" tanya Qeela suaranya dibuat agak sumbang agar tidak terdekeksi oleh Bia.

"Gue kangen sama Qeela Kak! Sialnya, walau pun dia enggak peduli sama gue, gue tetep keinget dia terus. Hari-hari gue pasti bakalan sepi kalau enggak ada dia." Bia mulai meracau lagi.

Qeela terhenyak. Hatinya seolah diketuk dengan dentuman keras. Qeela tersenyum tipis. "Kayaknya Qeela enggak lupain kamu deh. Mungkin dia lupa pamit."

Bia mengerucutkan bibirnya. "Oh iya!"

"Kenapa?" Qeela heran.

"Eh, lo berdua sini!"

Melihat Bia melambaikan tangan pada Lisa dan Oliv, Qeela semakin mengerutkan keningnya.

Kedua teman Qeela melangkah mendekat, kemudian duduk di tepi kasur yang bersebrangan dengan posisi Bia dan Qeela.

"Gue bawa buah, kayaknya seger deh kalau dimakan di siang hari yang puanas ini!" diraihnya kresek berwarna putih itu. Kemudian Bia membuka resleting kopernya, mengambil sebuah kater tajam dari dalam sana.

"Ini buah apa?" Lisa menunjuk-nunjuk dari luar kresek.

Sementara Oliv sudah ngiler duluan. Bagai ditawari jackpot gratis di siang hari. Dan Qeela hanya termanggu memperhatikan Bia. Ada sedikit kemajuan. Bia sedang belajar interaksi? Ia sudah berani mengajak Lisa dan Oliv, orang yang baru dikenalnya untuk menikmati buah bersama-sama.

"TADAAA!"

"Mangga?!" Qeela tercengang. Mulutnya nyaris lupa untuk mengkatup.

"Wah ... seger nih! Apalagi yang asem-asem!" Oliv berteriak histeris.

Bia tersenyum karena temannya merasa senang. Tidak sia-sia ia membawa manga. "Eh tapi ... maaf ya Kak Aqeel. Gue lupa kalau Kak Aqeel enggak suka mangga." Bia menggaruk kepalanya.

Qeela segera sadar dan menggeleng. "Nggh ... ya, gapapa."

"Lo, kan bukan Qeela yang senengnya makan mangga muda." tambah Bia kini sudah mulai mengupas kulit mangga yang tampak sangat menggiurkan itu.

Santai Qeela. Jangan dulu ngiler. Lo kuat. Qeela mencoba meyakinkan dirinya dalam hati.

Bagaimana setiap gerakan memotong dan memasukkan setiap potongan mangga ke mulut itu bagai roll film yang terputar dalam mode slow. Bia, Lisa dan Oliv tampak menikmati buah mereka. Kadang mereka tertawa dengan ekspresi masing-masing saat menggigit bagian mangga yang sangat asam.

Qeela tidak suka ini. Qeela menjilat bibir bawahnya. Ia sudah tidak tahan. Ingin rasanya merebut paksa buah mangga yang menggiurkan itu dari tangan Bia. Namun jika hal itu terjadi, tamatlah riwayatnya.

Qeela menggeleng. Menepuk-nepuk pipinya yang tidak chubby itu.

****

Fathan mendesah lelah. Tatapannya semakin kesal saat melihat langkah Qeela sangat gontai. Qeela menunduk. Namun Fathan memelototinya.

Mereka berdua bertemu di belakang masjid yang mulai lenggang karena setelah materi rohani malam, semua Mahasiswa dipersilakan untuk kembali ke kamarnya masing-masing.

"Apa yang lo bilang sama Ayah lo?" pertanyaan itu menghujam Qeela sejak pertamakali. Tidak ada percakapan selain embusan dan hiliran angin malam di sekitar mereka.

"Rencana—"

"Lo nambah masalah di hidup gue!"

Belum selesai Qeela menjelaskan Fathan langsung membentak marah.

Qeela mulai mengangkat wajahnya. "Maksud lo?"

"Bunda nuntut gue buat belajar ngaji!" Fathan melepas pecinya.

"Bagus dong." Qeela menyeringai sambil bersedekap dada.

"Bagus?! Lo, ck! Lo tau maksudnya apa?" Fathan menghela napas. Jengkel dengan segala kelemotan perempuan di depannya.

"A ... apa?"

"Artinya rencana kita gagal. Perjodohan kita bakal tetep—"

"Perjodohan?"

Baik Fathan maupun Qeela sama-sama dikejutkan dengan suara yang muncul di belakang mereka.

Qeela membulatkan matanya. Sejak kapan?

"Maaf gue enggak sengaja denger. Gue cari Kak Aqeel. Ah, bukan. Qeela." Bia meralat ucapannya.

"Bia ... kamu bercanda?" Qeela tertawa sumbang mencoba releks dari keterkejutannya.

Bia berdecak, "Lo enggak usah pura-pura lagi, Qeel!"

Fathan mengerutkan keningnya. Tidak mengerti dengan situasi yang terjadi di depannya.

"Aku Aqeel bukan Qeela." Qeela mencoba meyakinkan Bia namun Bia menggelengkan kepalanya.

"Kak Aqeel enggak pernah ngomong dengan kosakata lo-gue. Dia bukan perempuan yang sembarang nemuin laki-laki. Dan ini!" Bia menunjuk gantungan kecil berwarna kuning yang ia temukan di meja kecil dekat tempat tidur Qeela.

"Cuma lo Qeel, yang suka minion. Kak Aqeel enggak suka kartun." Bia maju empat langkah. Lalu mengambil telapak tangan Qeela dan menyerahkan gantungan minion itu pada Qeela.

"Lo korbanin Kak Aqeel lagi?" Bia tahu pertanyaannya tidak butuh jawaban karena ia sudah tau sendiri apa jawabannya, "Dia kehilangan dunianya Qeel! Dia terlalu baik karena selalu ngikutin kemauan lo buat tuker tempat. Gue kecewa. Kali ini lo udah keterlaluan!" setelah mengatakan hal yang membuat Qeela tidak bisa berkutik itu, Bia langsung beranjak pergi.

"Biii!" Qeela meneriaki nama Bia namun sedikit pun punggung perempuan itu tidak menoleh.

Langkah Bia semakin menjauh.

Qeela menggenggam erat gantungan minion sialan yang lupa dia buang.

"Lo bukan ... Aqeel?"

Qeela melirik orang yang masih berdiri di hadapannya. Matanya terpejam kuat. "Ya," Qeela membuka matanya kembali, melempar pandangan memohon pada Fathan, "Karena itu gue mohon. Dengan sangat, kita harus batalin perjodohan ini."

Fathan tersenyum miring detik berikutnya berdeham keras. "Memangnya siapa yang semakin-mempercepat-perjodohan ini?"

"Mempercepat?" Qeela mengulang kalimat yang paling menonjol dari perkataan Fathan.

"Enggak hanya menuntut gue belajar ngaji, orang tua kita udah menetapkan tanggal khitbah." Fathan mengembuskan napas beratnya. Memijat keningnya yang terasa berdenyut. Sebelah tangannya lagi berkacak pinggang. Percuma menatap Qeela yang hanya mematung tanpa bersuara. Fathan memandang ke arah lain.

"Kapan?"

"14 hari, dari hari ini."

BRUK ...

Fathan panik ketika tubuh Qeela meringsut di bawah tanah.

"Aqeel ... ssh, sorry, siapa nama lo?" Fathan menyenyajarkan tinggi tubuhnya dengan Qeela dengan cara berjongkok di depan perempuan itu.

"Qeela. Nama gue Qeela. Gue, hikkksss ... hikss ...." Qeela menangis sekencang-kencangnya. Matanya merah. Pipinya dipenuhi genangan air mata. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Lo ... Qeela. Lo kenapa nang—is?" Fathan memutar lehernya ke belakang.

Suara gerombolan langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya. Gawat. Pasti karena suara tangis Qeela. Fathan tambah panic. "Qeela ... Qeela please, lo jangan nangis sekarang. Berhenti nangis ok?" Fathan mengacak rambutnya. Bukannya berhenti tangis Qeela malah semakin kencang.

"Gue ada salah? please jangan nangis!" Fathan sudah melakukan segala cara untuk membujuk Qeela agar tidak berhenti menangis namun ... terlambat.

Fathan menelan ludahnya. Kedua tangannya ditahan oleh dua Mahasiswa yang berdatangan dengan gerombolan Mahasiswa yang lain.

"Ikut kita ke ruang Kepsek!"

Fathan mendengar segala bisikan dan cibiran dari Mahasiswi tertuju untuknya. Kepala Fathan menunduk. Qeela. Apa hobby perempuan itu adalah membuat Fathan menderita?

.

.

.

Bersambung . . .

****

Marahaban Ya Ramadhan sayang-sayangku! ^^

Tekan bintang dan ketik sesuatu untuk menyemangatiku ya ... hehehe.

Salam sayang,

@suen_siti(On Ig)

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

13.7M 550K 80
"I know that we will never be a real couple, but we can at least be nice to each other Aneel" I told him. I've had enough. Tears were starting to pri...
956K 51.6K 38
Completed on May 29, 2020. ~ "Ap...." (You....) Muntaha couldn't utter anything else as Faris 'shh'ed her. He grabbed her by her shoulders and turned...
1.7M 159K 83
Highest ranking #1 WATTPAD FEATURED STORY. He walked past her without sparing her a single glance. The one glance she had been yearning for years now...
8.1M 343K 52
"I hope you realize you made the worst f**king decision of your life." She could feel his cold icy blue eyes piercing through her soul. "I didn't as...