H A R A

By aiyanasha

130 45 84

/beruntung hujan dan pelangi bertemu. Membuat lensaku tak lagi malu membidik objek pengusir sendu satu tahun... More

|1| tentang rasa
|2| abcd about plan
|4| d-day! but bad day
|5| glass and bloods
|6| kopi panas

|3| ?

8 6 4
By aiyanasha

/Ketika keraguan menyiksaku tanpa ampun, kau muncul sebagai bisu dengan seribu tanda tanya baru/


R A G U

Adira meletakkan sepeda di parkiran asrama putri. Kemudian mempercepat langkahnya menuju asrama nomor 95 di lantai dua.

Tangannya lincah mengetuk pintu kamar. Saat ini jam menunjukkan setengah sebelas. Ia sedikit meredam suara ketukan tangannya. Tapi manusia di dalam kamar asramanya tak kunjung membukakan pintu.

Sebentar Ra. Suara parau milik Linka terdengar sayup-sayup.

Benar, Linka yang membukakan pintu. Adira sedikit melirik ranjang yang berada di atas ranjangnya. Arisha. Manusia itu sudah tertidur atau mungkin pura-pura tidur.

"Kok lo belum tidur?" tanya Adira sembari meletakkan ponsel miliknya di atas nakas dekat ranjangnya. Kemudian membuka jendela yang sudah tertutup. "Bentar ya, ngadem dulu." senyumnya mengembang sempurna.

"Belum ngantuk. Masih mikirin remidi yang tadi." Ia berjalan mendekati Adira yang tergeletak di sofa dekat jendela.

"Alah apaan si. Bilang aja lagi mikirin si Alfa" Adira tersenyum jail. "Kan, kan?"

Bantal yang sejak tadi ada dalam pelukan Linka melesat mulus di kepala Adira. "Dasar sok tahu!"

"Bener kan?"

"Enggak tuh!"

Matanya menatap Linka. Mencoba menerawang apa yang dipikirkan si pemilik mata biru itu.

Linka juga tidak kalah cantik dengan Adira. Linka bahkan berdarah campuran. Nasibnya hampir sama dengan Adira. Hanya saja, lebih menyedihkan kisah Linka. Sampai sekarang Linka tidak tahu wajah ayahnya. Ibunya hanya bercerita jika ayahnya pergi meninggalkannya ketika berada di kandungan. Dan naasnya ibunya meninggal satu tahun yang lalu. Karena ini juga Linka memutuskan tinggal di asrama. Ia tidak mau tinggal bersama pamannya.

"Terus?"

Linka menatap keluar jendela. Rambutnya beterbangan diterpa angin yang menerobong masuk melewati jendela. "Gue mau pindah Ra" ucapnya kemudian menoleh menatap Adira.

"Pindah? Pindah kemana? Ke rumah paman lo di Medan?"

"Ke Kanada."

"What? Are you kidding me?"

"No, seriously." jawab Linka tanpa ragu. Ia berusaha meyakinkan teman satu kelas dan se-asramanya itu.

Adira masih belum bisa mempercayai apa yang didengarnya barusan. "Why?"

"Bunda pernah punya rumah di sana. Dan kata pamanku, rumah itu masih ada dan masih menjadi hak miliknya bunda. Bahkan bunda nitipin sertifikat rumahnya. Mungkin dengan aku tinggal disana, aku bisa ketemu sama ayah"

"Linka, coba dengerin! Dengan kamu pindah ke Kanada, bukan berarti kamu bakal ketemu sama ayah kamu. Dan ya, kalo rumah itu masih utuh. Gimana jadinya kalo kamu kesana rumah itu udah nggak ada" Kali ini Adira berbicara dengan aku kamu. Itu menandakan dirinya sudah berbicara dengan serius.

"Gue udah pikirin ini sejak enam bulan yang lalu Ra. Gue nggak mungkin ngambil keputusan besar dengan mentah, tanpa dasar dan pertimbangan apapun. Bahkan gue udah pergi ke sana. Rumah itu masih ada, dan masih bagus."

"Lin!"

Linka meraih tangan Adira. Menangkupkan dengan kedua tangannya. "Adira, puji Tuhan gue lolos beasiswa di Kanada"

Mata Adira membulat sempurna. Tangannya otomatis merengkuh tubuh Linka, singkat. "Kapan lo daftar beasiswa? Hebat! Kok gue nggak tau!"

"Setelah gue tau kalo Bunda punya rumah di Kanada"

Senyum Adira memudar. Ia menatap jauh ke luar jendela sekilas.

"Berarti lo nggak bakal ke Indonesia lagi?" ia menunduk lesu.

"Ra, ya enggak lah. Gue bakal balik ke Indonesia lagi. Kan gue mau liat lo disumpah jadi dokter"

Tangan Adira kembali merengkuh tubuh Linka. Seakan tidak ada bosannya. Ia mengusap air mata yang tiba-tiba berjatuhan tanpa izin. "Terus lo disana sama siapa? Kalo ada hantu gimana? Kalo listriknya mati? Ya kalo deket sama PLN, seandainya jauh?"

Linka tertawa. "Cocok banget nih kalo jadi penjaga asrama"

"Serius Lin!"

"Iya gue juga serius. Gue juga bakal tinggal di asramanya dalam beberapa semester. Tenang aja."

"Janji disana bakal baik-baik aja?"

"Pasti." Jawab Linka mantab. Terlihat binar-binar kebahagiaan dan kesedihan karena harus meninggalkan asrama Alfadia High School di senyum Linka. "Sebenernya gue mau cerita ke lo sama Arisha tadinya. Eh gue liat Arisha keliatan capek banget, akhirnya cuma cerita sama lo."

"Nggak tau tuh, emang dasar kebo. Cepet banget tidurnya. Besok gue yang cerita aja deh. Santai aja."

"Makasih" senyumnya mengembang kembali. Ketika tersenyum, darah asli Kanadanya sangat kentara. "Oh iya Ra!"

Linka beranjak dari sofa. Ia mengambil tas sekolahnya di meja belajar. Kemudian kembali duduk di sofa dekat jendela bersama Adira.

Ia mengeluarkan sebuah amplop yang terlihat sangat usang. Seperti amplop pada zaman dahulu, berwarna coklat. "Nih buat kamu" Linka menyodorkannya pada Adira.

"Udah dikasih surat aja. Pindahnya masih lama kan?"

"Loh, bukannya ini punya lo yang ketinggalan?" Linka mengeryitkan dahinya.

"Punya gue?"

Linka semakin bingung. "Gue kira ini punya lo. Soalnya tadi pas pulang sekolah, di atas meja lo ada ini. Gue pikir lo buru-buru latihan, jadinya ketinggalan deh."

Sejak kapan gue punya surat jadul kayak gini. Batin Adira sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Lo salah kali Lin,"

"Enggak. Nih amplop ada di atas meja lo. Coba buka deh, barangkali lo lupa."

Tidak ada tulisan apapun di amplop coklat itu. Kolom nama pengirim, alamat, dan penerimanya juga kosong. Di sebaliknya juga sama.

Perlahan jemari lentik Adira menarik amplop yang terekat lem di bagian kanan kirinya. Alangkah terkejutnya ketika mengeluarkan isi dari amplop tak bernama itu.

Amplop tersebut berisi potret dirinya yang tengah terduduk di bawah guyuran hujan beberapa hari yang lalu. Memang di dalam foto itu tidak begitu jelas, karena gambar rintik hujan yang mendominasi di dalamnya. Di sebaliknya sederet tulisan tangan tersusun rapi berderet.


/Beruntung hujan dan pelangi bertemu, membuat lensaku tak lagi malu membidik objek pengusir sendu satu tahun yang lalu/

−ARAH yang tersesat


"Wah, wah, wah... Ada yang baru punya penggemar rahasia nih!" sindiran Linka mengusik hati Adira yang tiba-tiba berderu.

"Apaan si! Ini bukan punya gue kali, lo asal ngambil" ia memasukkan kembali foto itu ke dalam amplop.

"Enggak mungkin, jelas-jelas ada di meja lo. Coba aja kalo lo nggak keburu-buru!"

Adira mengiyakan omongan Linka barusan. Dan benar saja, yang ada di foto itu adalah dirinya. Atau bisa jadi bukan dirinya, melainkan orang lain yang hujan-hujanan sesudah dirinya ditarik oleh sosok misterius.
Mengingat orang misterius yang menarik Adira waktu itu, apakah ada hubungannya dengan si pengirim foto ini. Seandainya orang yang menarik Adira adalah orang yang sama dengan si pengirim foto tetap saja tidak mungkin. Seingat Adira, orang yang menariknya waktu itu tidak membawa benda apapun. Bahkan kamera yang ukurannya cukup besar ketika dipegang.

"By the way, hubungan lo sama Wildan sekarang gimana? Seneng banget ya kalo punya pacar kayak Wildan. Udah ganteng, jago olahraga, anaknya orang kaya, pinter lagi. Maaf ya Ra, gue dulu sempet iri sama lo,"

Adira beku, kaku. Badannya serasa dihantam bongkahan es dari kutub. Ia hanya tersenyum kecut menanggapi ucapan Linka barusan.

"Tidur yuk. Udah jam sebelas" Adira menutup jendela kemudian beranjak dari sofa. Ia merebahkan badannya ke atas ranjang dengan ukuran yang terbilang kecil.

Pikirannya masih terbang kemana-mana ke setiap penjuru arah. Ia menoleh ke ranjang yang berada dua meter di sampingnya. Linka sudah tertidur pulas ternyata. Menyisakan dirinya seorang diri.

***

Berita Adira putus dengan Wildan belum menyebar ke penjuru Alfadia High School. Mungkin itu karena sikap Wildan yang biasa-biasa saja. Seperti tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Adira. Begitu pula dengan Adira yang bersikap bodo amat.

Seperti biasa, Adira harus mengayuh sepedanya. Melewati murid-murid lain yang diantar supir pribadinya. Bahkan supirnya berseragam khusus dan ada yang menggunakan jas formal seperti pegawai kantoran. Padahal hanya seorang supir yang kerjanya mengantar jemput anak majikannya. Sungguh lebay!

"Ara!"

Adira menoleh. Suara serak, nyaring. Siapa lagi kalau bukan Osik. Dan hanya Osik yang sering memanggilnya dengan nama Ara. Nama kecil Adira.

"Hey! Good morning Mr.Japanesse"

Mereka berdua saling menertawakan.

"Kok nggak bareng Arisha?" tanya Osik ketika menyadari Arisha tidak ada di belakang Adira.

"Dia kan piket. Biasalah,"

Celetuk Adira kemudian memarkirkan sepedanya di parkiran yang sudah disediakan.

"Gimana, masih inget kan rencana kita tadi malem?"

Adira mengangkat satu alisnya. "Masih dong. Masa lupa!" jawabnya begitu yakin.

Osik kembali tertawa. "Gue kira udah lupa. Kan udah kepotong jam tidur"

"Apaan si!" tangannya begitu ringan menjitak kepala si Jepang itu.

"Eh santai dong!"

Tepat ketika Adira mulai melangkahkan kaki di anak tangga, sosok Wildan idola AHS itu tengah melangkah turun berlawanan arah dengan Adira.

Wildan bersama teman basket lainnya. Ia tampak sangat cool ketika menggunakan jersey basket dan bola basket yang ada di tangannya. Di tambah ikat kepala yang selalu ia gunakan ketika bermain basket. Tapi tunggu, kali ini Wildan tidak menggunakan ikat kepala. Dan rambutnya ia sisir ke belakang.

Anjir! Kenapa ganteng banget. Umpat Adira tanpa sadar. Wildan sangat tampan hari ini. Tapi tetap saja, tidak ada rasa menyesal sedikit pun di hati Adira. Hanya saja, Wildan terlihat berbeda.

Dan tiba-tiba....

"Doain gue menang ya Ra!"

Wildan menarik Adira dan jatuh dalam pelukannya. Sangat erat, membuat Adira kesulitan bernapas. Dan ini adalah kali pertama Adira dipeluk seorang pria selain ayahnya. Ia bahkan bisa mendengar ritme nafas Wildan.

"Wooo... wuhuuu.. ciee... hm, hmm...."

Wildan mendapat sorakan dari teman-teman basketnya. Mereka juga sangat tidak menyangka dengan cara Wildan meminta doa.

Melihat sahabatnya dipeluk paksa, membuat Osik yang berada di belakang Adira sejak tadi mendidih seketika. Tangannya menarik paksa jersey Wildan. Kemudian menghantamkannya ke tembok.

"Gue kira lo berpendidikan, tapi ternyata enggak. Setidaknya lo bedain dimana posisi lo sekarang! Jangan samain sekolah sama bar yang sering lo datengin buat muasin nafsu lo!"

Wildan tersenyum kecut. Ia masih membiarkan tangan Osik menarik jersey kebanggaannya.

"Bar?" ia melirik Adira yang mematung di anak tangga ketiga kemudian beralih menatap mata hitam milik Osik yang berapi-api. "Gue nggak pernah tuh!" tangannya mengayun ringan meninju wajah Osik dengan kecepatan kilat. Osik yang tidak sempat menangkis pukulan Wildan itu hanya bisa nyengir kesakitan. Di sudut bibirnya mengeluarkan darah.

"Lumayan. Hm, gue seneng Adira nggak bener-bener suka sama lo. Karena emang dia nggak pantes pacaran sama bajingan bernama Wildan!"

Melihat respon Osik yang diluar dugaan, membuat Wildan semakin membabi buta. Kali ini gantian Wildan yang menarik kerah seragam kebanggan Osik dan mendorongnya ke pegangan anak tangga. Andai Wildan nekat, Osik pasti sudah jatuh. "Maksud lo apa? Ha?!"

"Wildan! Danesh Hwan Wildan!!"

Adira sebelumnya belum pernah melihat Osik semarah itu. Begitu pula Wildan, ia menunjukkan sisi yang berbeda dari dirinya yang sebelumnya belum pernah Adira lihat.

"ARE YOU CRAZY?!"

Tangan Adira menarik lengan Wildan yang tengah mencengkram kerah seragam Osik. Merasa lengannya ditarik Adira, cengkraman tangannya semakin merenggang. Beralih menatap Adira dengan seribu tanda tanya.

"Jangan ngerusak semangat gue buat sparing hari ini!"

Wildan berlalu begitu saja. Melewati Adira tanpa bersalah sudah memukul Osik.

"Sini ikut gue!"

Adira sedikit tersentak ketika Osik menarik tangannya tiba-tiba. Ia hanya menurut saja. Tidak sedikit pun berusaha memberontak.

***

"Kemarin gue liat Wildan di bar."

Adira mengernyitkan dahinya. "Ke bar? Tunggu-tunggu, sini duduk dulu!" sekarang giliran Adira yang menarik tangan Osik dan membuatnya terduduk di sampingnya. Adira mengeluarkan beberapa tisu, refanol, dan betadine yang selalu ada dalam tasnya. Ia hanya berjaga-jaga saja ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan pertama.

Ia menuangkan tiga tetes refanol ke tisu kemudian mengusapkannya di bibir Osik yang terluka karena terkena pukulan Wildan.

"Arghh, ishh pelan-pelan dong!" desah Osik menahan rasa sakitnya ketika lukanya terkena cairan refanol.

"Udah diem aja. Tuh muka nggak jepang lagi!" tangannya sibuk membersihkan noda darah.

"Udah untung ditolongin, masih aja bawel!" Osik merapikan dasinya yang acak-acakan karena ditarik Wildan. "Kok lo tadi diem aja sih dipeluk sama Wildan?"

Pertanyaan Osik membekukan Adira dalam sekejab. Adira tidak tahu harus menjawab apa. Nyaman? Adira tidak bisa memastikannya. Darahnya berdesir sedari kejadian tadi, dan kenapa Osik malah menanyakan hal yang tidak bisa dijawab Adira?

"Kok diem? Jangan-jangan suka ya? Eh emang selama kalian pacaran belum pernah pelukan? Atau malah−" lengannya menyenggol tangan Adira, senyum jailnya hadir. Membuat matanya membentuk garis lurus.

Mendengar ocehan Osik membuat Adira menekan tangannya yang sedang mengusapkan betadine di bibir Osik yang terluka. Sontak cowok jepang itu menjerit kesakitan.

"Enak aja kalo ngomong. Gue belum pernah dipeluk sama cowok sebelumnya, dan tadi gue diem aja karena gue kaget!" Ia melempar kain kasa bekas betadine ke muka temannya. Kemudian beranjak pergi meninggalkannya sendiri.

"Berarti tadi pertama kali dong? Jadian sama gue aja mau nggak Ra? Nanti gue peluk setiap hari deh!" tingkah konyolnya kembali kumat. Kakinya melangkah mengikuti Adira.

"Dasar mesum!" wajahnya menyentuh dada bidang milik Osik, tepat ketika Adira berhenti dan balik kanan. Adira harus mengangkat kepalanya, karena Osik 8 cm lebih tinggi darinya.

Lagi-lagi senyum itu!

"AAA DAMN IT!"

Adira menang. Kakinya dengan gesit menginjak punggung kaki Osik. Untung saja Osik menggunakan sepatu, kalau tidak mungkin akan terluka cukup serius.




SALAM LITERASI
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA :")

Quotes part 2 : /Ketika keraguan menyiksaku tanpa ampun, kau muncul sebagai bisu dengan seribu tanda tanya baru/

_HAYO YANG PUNYA SECRET ADMIRER_
:V

(KIRA-KIRA SIAPA YA YANG NGEPAPARAZI ADIRA?) 🤔

Continue Reading

You'll Also Like

880K 6.2K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
220K 26.8K 24
⚠️ BL Gimana sih rasanya pacaran tapi harus sembunyi-sembunyi? Tanya aja sama Ega Effendito yang harus pacaran sama kebanggaan sekolah, yang prestas...
805K 22.8K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
330K 9.4K 40
Alskara Sky Elgailel. Orang-orang tahunya lelaki itu sama sekali tak berminat berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Nyatanya, bahkan...