Assassin

Irie77

116K 15.2K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... Еще

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 19

2.9K 410 148
Irie77

Aku membuka mata dengan berat disertai rasa nyeri di dada kananku. Kulihat ramuan herbal dengan balutan perban yang melilit di sepanjang bahu kananku, dan butuh waktu untuk menyadari bahwa tubuhku hanya berbalut selimut.

Kuedarkan pandangan dan kudapati tempat tidur yang berbeda dari biasanya. Kali ini begitu mewah dari kamarku sebelumnya.

"Tuan putri sudah sadar."

Kulihat wanita tua terlihat semringah dengan mata sedikit berkaca-kaca saat melihatku. Ia langsung beranjak keluar dengan sedikit keributan.

"Yang mulia, tuan putri sudah sadar!" gaduhnya di luar sana.

Tak lama seorang pria dengan penampilan khas pangeran agung masuk ke kamar dan menatap wajah pucatku.

"Bibi Athea, siapkan makanan dan pakaian."

"Baik yang mulia."

Tak lama bibi Athea pergi dan kini tinggal kami berdua. Pikiranku masih menolak kenyataan bahwa aku—telah menikah dengannya. Hari itu—rasanya seperti mimpi buruk. Aku langsung merapatkan selimut untuk menutupi tubuhku ketika dia mendekat.

"Aku sama sekali belum menyentuhmu. Jadi jangan pernah berpikir aku telah melakukannya disaat kau tak sadarkan diri," ujarnya setelah melihat reaksiku. "Tapi—aku tak menyangka itu akan memakan waktu selama dua minggu. Mungkin karena efek racunnya yang menyebar dengan cepat di tambah efek penawarnya membutuhkan waktu lama untuk memurnikan tubuhmu dari racun."

Aku merasa lega dengan penuturannya sekaligus tak menyangka dengan sikapnya yang berbanding terbalik dengan ancamannya sebelum ini. Tapi apakah—sikapnya berubah karena sekarang aku istrinya? Aku segera menepis tangannya ketika ia hendak menyentuh rambutku.

"Kau bahkan masih belum mau disentuh suamimu sendiri?"

"Pernikahan ini—aku tak pernah menginginkannya," sahutku.

"Aku tahu, aku juga tak menginginkannya, tapi—aku sangat berterimakasih padamu. Berkat dirimu, aku tidak menikah dengan putri Chelia. Terimakasih sudah membantuku menolak perjodohanku dengannya."

"Seharusnya aku tidak terlibat dalam masalahmu!" geramku.

"Jika kau tidak ingin menikah denganku, kenapa kau memenangkan pertandingan itu?" tanyanya sambil terduduk di tepi ranjang. "Seperti katamu, kau tidak mudah mati. Kau seharusnya mengalah dan sekarat untuk pura-pura mati. Tapi kenapa kau justru memenangkannya? Apa kau mulai tertarik dengan tawaranku untuk menjadi putri mahkota?"

Aku menatapnya lekat, berharap menemukan sesuatu yang dapat meruntuhkannya. Tapi yang kudapatkan hanya keteguhan dan juga—bayangan diriku di matanya.

"Dibanding tawaranmu, aku lebih memikirkan ancamanmu," jawabku menutupi kebenaran bahwa aku memang tidak ingin mati. "Menikah denganmu atau tidak, kau sudah mengatakannya kalau kau tidak akan melepaskanku."

"Nah, kau tahu itu. Dan kau juga pasti tahu alasan kenapa aku melakukannya." Ia mendekatkan wajahnya dan berbisik. "Kau sudah membohongiku kalau kau ternyata seorang Assassin. Sekelompok pembunuh yang paling kubenci."

Mataku menyipit tajam. "Dan aku tidak menyangka kau mau menikah dengan Assassin sepertiku," sahutku membalas bisikannya.

"Kau adalah pengecualian. Aku lebih memandang statusmu sebagai tuan putri terhormat dari pada seorang pembunuh." Ia menyeringai.

Aku terdiam sejenak. "Kau tidak takut aku akan melakukan kudeta?"

Ia tersenyum miring. "Untuk apa kau melakukan kudeta? Kedudukan yang kau inginkan sudah di tanganmu. Sekarang statusmu adalah putri mahkota, dan kau adalah calon ratu berikutnya jika aku menjadi raja. Apa kudeta masih diperlukan untuk merebut tahta yang kini sudah kau raih?"

Aku terdiam mendengar penuturannya. Ah sial! Benar juga. "Kau—tidak takut aku bisa membunuhmu kapan saja?"

"Tentu saja aku takut sekali, apa lagi jika yang melakukannya adalah istriku sendiri," sahutnya resah namun dengan nada tenang. "Kenapa kau ingin sekali membunuhku? Apa—kau menganggapku telah merebut kebebasanmu karena menikah denganku? Kau tidak perlu khawatir, kau bebas melakukan apapun yang kau mau di sini, bahkan jika kau ingin tetap menjadi Assassin untuk membunuh para orang kaya yang tidak tahu diri itu. Tapi—" Ia menatapku lekat dan sedikit tajam. "Jangan pernah berpikir untuk keluar dari tempat ini. Jika kau ingin pergi, kau harus dalam pengawasanku."

"Bukankah itu sama saja kau sudah merampas kebebasanku?"

"Aku akan memberimu kebebasan, tapi kau juga harus sadar bahwa kau adalah putri mahkota yang harus menaati peraturan."

"Aku tidak pernah meminta sebuah kedudukan."

"Tapi kau berhak mendapatkannya meskipun kau tak menginginkannya. Anggap saja itu sebagai balas budiku padamu karena sudah membantuku menggagalkan perjodohanku."

"Kau tahu? Aku bisa membunuhmu kapan saja. Bukan hanya demi kebebasanku, tapi juga demi putra mahkota yang sah dan juga demi tahta raja yang sudah ayahmu rebut."

Ia tersenyum masam. "Lakukan sesukamu. Tapi aku tahu, kematianku nanti bukan ditanganmu dan tidak ada kaitannya denganmu."

Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

"Aku mungkin akan segera mati seperti keinginanmu, tapi—yang membunuhku bukan kau. Aku sudah melihat masa depanku."

Tak lama pintu diketuk sebelum aku menanggapi pernyataannya. Aku melirik kearah pintu setelah Erick mempersilahkannya masuk.

"Yang mulia, makanan sudah siap. Saya harus segera membantu tuan putri untuk mandi dan menyiapkan pakaiannya," ujar bibi Athea dari pintu.

"Bantulah dia," sahutnya. "Aku akan pergi ke perpustakaan."

"Baik yang mulia."

Aku masih terdiam setelah kepergian Erick sementara bibi Athea membuka sebuah lemari dan mengeluarkan gaun santai dari sebuah lemari besar. Meskipun gaun itu terlihat sederhana tapi aku masih teringat penderitaanku atas korset yang kukenakan setiap aku memakai gaun yang hampir serupa.

"Adakah pakaian wanita tanpa korset?" keluhku dalam hati.

"Mari saya bantu yang mulia." Bibi Athea sudah bersiap untuk membantuku berdiri.

"Tolong jangan panggil aku seperti itu," tolakku karena risih "Rasanya sangat tidak pantas untukku."

"Mana bisa begitu. Anda sekarang adalah putri mahkota, sudah sepantasnya saya memanggiil anda dengan pangggilan yang seharusnya."

Aku berdecak kesal. "Bisakah tidak berbicara terlalu formal seperti itu? Rasanya sangat aneh untuk didengar. Dan—satu lagi, aku tidak suka dipanggil 'yang mulia' atau 'tuan putri'. Panggilan nona lebih baik dan lebih enak ditelingaku."

"Tapi yang mu—"

"Bibi—" potongku lembut. "Panggil aku nona kalau perlu panggil aku Valen saja, itu perintahku!"

"Putra mahkota akan memarahiku"

Aku menarik nafas dalam sekaligus menarik sejumput kesabaran. "Anggap saja itu panggilan khusus ketika putra mahkota tidak ada. Itu perintah!"

"Baiklah nona," sahutnya menurut. "Mari kubantu."

Tak butuh waktu lama, aku sudah terduduk di dalam bak mandi dengan air yang tercium harum dengan taburan bunga. Untuk pertama kalinya aku merasakan hidup layaknya tuan putri sungguhan. Pantas saja banyak wanita yang tergila-gila dengan kedudukan ini, rasanya begitu nyaman tapi—jujur ini bukanlah gayaku. Berenang di sungai rasanya lebih baik dari pada hanya duduk berendam sambil di mandikan.

Seusai mandi aku hanya terdiam menatap gaun yang sudah di sodorkan bibi Athea. Begitu elegan, tapi sangat menyiksa.

"Apakah tidak ada pakaian yang lain?" tanyaku enggan.

Bibi Athea segera membuka lemari besar. "Silahkan pilih pakaianmu nona."

Aku mengamati barisan kain yang tertata rapi dan penuh warna di dalam sana. Untuk kesekian kalinya aku mendesah enggan. "Tidak adakah pakaian model lain selain gaun berkorset?"

"Gaun yang cantik takan sempurna jika tidak dilengkapi korset nona, dengan begitu kau akan terlihat anggun."

"Tidak bisakah aku meminta untuk sebuah kemeja atau satu set pakaian kasual?"

"Apa yang kau bicarakan nona? Pakaian kasual dan kemeja itu pakaian pria. Itu akan merusak penampilanmu." Bibi Athea terlihat gundah dengan permintaanku yang baginya kurang masuk akal. "Aku mohon pakailah pakaianmu, nona."

Aku menghela nafas pasrah dan menurutinya untuk memakai gaun cantik dan sederhana itu. Sial! "Baiklah."

Tak lama, bibi Athea membantuku untuk mengikat tali korset di punggungku. Nafasku terasa sesak sedikit demi sedikit. Aku tidak mengerti, kenapa banyak sekali wanita yang betah berlama-lama memakai pakaian seperti ini.

"Bibi, bisakah longgarkan sedikit talinya?" ocehku masih sebal. "Nafasku sesak sekali."

"Jika tidak diikat dengan kencang, aku khawatir korsetnya akan kendur dan gaunmu bisa lepas nona."

Aku menghela nafas lagi dan kali ini benar-benar terasa sesak. Aku benar-benar mengutuk kedudukanku saat ini. Menjadi tuan putri ternyata sangat menyiksa. Tapi—untung saja sepatu yang akan kukenakan bukan sepatu dengan hak tinggi, jadi penderitaanku takan bertambah. Meskipun datar, tapi masih menyisakan sisi elegan di kakiku.

Aku menuruni tangga dan berjalan menuju ke tempat makan. Aku menatap meja panjang yang sunyi. Di atasnya sudah terhidang makanan yang terlihat lezat dan terlalu banyak untuk kumakan seorang diri. Apakah—kehidupan di istana memang sesuram ini?

Aku makan dengan rasa sepi yang melanda. Tidak ada yang mau makan bersamaku di meja yang sesepi ini, lebih buruk dari yang kubayangkan. Aku tak menyangka jika kehidupan di istana ternyata sedingin ini.

Aku segera mengelap bibirku setelah makan dan kulihat makanan masih terlihat banyak. Aku tidak tahu makanan ini mau kuapakan, dan aku memilih agar bibi Athea yang menanganinya.

Baru saja aku hendak melangkah keluar dari tempat makan, Erick sudah berdiri di hadapanku. Aku hanya terdiam ketika ia menghampiriku.

"Ibuku meminta kita datang ke aula pertemuan, untuk membahas acara perburuan pasca pernikahan."

Aku memiringkan kepala sambil bertanya, "Perburuan?"

"Ya. Untuk lebih jelasnya, biar yang mulia ratu yang menjelaskannya."

Aku mengikuti langkah Erick yang tegap dengan wibawanya dan tak lama, kami sampai di sebuah ruangan besar. Di sana sudah terdapat sosok wanita sedang berdiri di atas undakan yang tinggi dengan anggun. Di sekitarnya juga terdapat wanita-wanita yang mendampinginya.

"Salam hormatku pada ibunda ratu," ujar Erick sambil membungkuk hormat begitupun denganku.

"Silahkan duduk, anakku," balasnya kemudian menatapku lembut. "Selamat datang putri Valen. Silahkan duduk."

"Terimakasih yang mulia." Aku mengikuti Erick yang duduk di tempat yang sudah di siapkan.

Seseorang datang kemudian meletakan sebuah perkamen yang berisi sebuah peta wilayah Axylon.

"Aku akan menjelaskan aturan dari perburuan ini," ujar sang ratu. "Perburuan ini sangat berbahaya sekali, tapi itu sudah menjadi peraturan khusus karena kalian adalah pewaris yang berdaulat. Dalam perburuan ini putra mahkota akan berburu rusa di wilayah hutan Stigrear. Hutan yang terkenal belum tersentuh oleh siapapun karena dianggap berbahaya." Ratu menunjuk sekumpulan wilayah hutan yang terlihat di peta. "Sementara tuan putri akan diuji dengan tinggal seorang diri di hutan Stigrum." Ratu kemballi menunjuk wilayah hutan lainnya di peta itu.

Yah, aku pernah mendengar sedikit tentang bahaya di hutan Stigrear. Katanya di sana banyak sekali binatang buas dan liar dan juga—sesuatu yang tersembunyi di sana tanpa diketahui banyak orang, selain itu hutan Stigrear adalah wilayah hutan yang paling luas di Axylon.

Aku menatap wilayah-wilayah hutan yang ditunjuk. Aku ingat hutan yang kini di tinggali ketiga temanku adalah hutan Redich, jika diamati secara keseluruhan, hutan Stigrum seharusnya tidak terlalu jauh dari wilayah Redich karena sama-sama berdekatan dengan distrik Rivira, tempat tinggal paman Thomas.

Jika memang aku akan diuji dengan tinggal di hutan itu sendirian, bukankah ini kesempatan yang bagus? Aku tinggal menyebrang ke hutan sebelah untuk berkumpul dengan mereka lagi melalui jalur terdekat tanpa melewati dsitrik Rivira.

"Dalam perburuan ini, yang akan melakukan perjalanan hanya kalian berdua, tanpa pengawal maupun pelayan. Pertama-tama kalian harus ke hutan Stigrum kemudian berpisah di sana. Putra mahkota akan melanjutkan perjalanan ke hutan Stigrear sementara tuan putri akan tetap tinggal di wilayah Stigrum dan bertahan hidup di sana sampai putra mahkota kembali dari perburuannya. Dan peraturan berikutnya, putra mahkota harus menyelesaikan perburuannya dalam waktu tiga hari dan kembali ke hutan Stigrum untuk menjemput tuan putri," ujar sang ratu menjelaskan. "Ini—adalah perburuan yang berat tapi harus dilakukan. Tujuannnya adalah, untuk membuktikan bahwa kalian adalah pasangan yang berani dan pantas untuk memegang kekuasaan, dengan begitu, rakyat akan percaya bahwa penerus raja mereka adalah orang yang kuat untuk melindungi kehidupan mereka dari berbagai ancaman diluar sana."

"Terimakasih untuk bimbingannya ibu. Aku pasti akan menyelesaikannya tepat waktu."

"Terimakasih banyak yang mulia." Kini aku yang bersuara. "Kami akan berusaha."

Senyumnya begitu lembut dan sedikit menentramkan hatiku. Yang mulia ratu mengingatkanku pada ibuku dan membangkitkan sedikit rinduku.

"Kalian—terlihat serasi," ujarnya. "Meskipun yang mulia raja sangat menentang keras hubungan kalian, tapi—kau berhak memilih hatimu Erick. Karena itu, aku memberimu restu."

Aku tersenyum ketika yang mulia ratu memelukku, begitu hangat dan menenangkan meskipun dalam hati aku tersenyum masam atas hubunganku dengan Erick.

* * *

Setelah upacara pelepasan kami, semua orang sibuk untuk mempersiapkan peralatan kami dari mulai senjata, obat-obatan dan juga kuda. Aku memakai setelan gaun ringan di lengkapi mantel tebal yang lembut. Tak lama, kami berdua memulai perjalanan menuju hutan Stigrum dengan segala perlengkapan yang sudah disiapkan.

Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik kearahnya yang tampak serius, namun tatapannya terlihat hampa. Aku tidak bisa mengartikannya jika aku mengingat seringainya setiap kali mengancamku, tapi jika yang dikatakan bibi Athea benar, kemungkinan besar kekejamannya adalah sebuah pelarian dari rasa kesal terhadap dirinya atau kekuasaannya.

"Yang mulia," panggilku hati-hati.

"Hmm?"

"Apa—kita perlu melakukan perburuan ini? Hmm—maksudku pernikahan kita—"

"Aku menikahimu dengan sungguh-sungguh meskipun sebenarnya aku tak menginginkannya. Jadi aku juga harus melakukan perburuan ini dengan sungguh-sungguh."

Aku menarik nafas dalam. "Kau tidak perlu memaksakan diri."

Ia melirik kearahku. "Apa kau sedang mengkhawatirkanku?"

"Anggap saja begitu," jawabku jujur. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku tiba-tiba tak tega dan kasihan padanya.

"Sayangnya, kau terlalu cantik untuk mengkhawatirkanku tuan putri." Ia tersenyum masam.

Aku kembali terdiam dan memahami ucapannya. Dia—sama sekali tidak ingin di khawatirkan untuk menjaga wibawanya—tentunya.

Setelah beberapa jam perjalanan akhirnya kami sampai di hutan Stigrum. Hamparan salju membuat rerumputan terlihat putih membeku. Kami berhenti di salah satu pohon besar sambil mengamati keadaan sekitar.

"Aku harus meninggalkanmu disini."

"Aku tahu," sahutku seadanya sambil mengedarkan pandangan dengan suasana hutan yang begitu sunyi.

Ia menatapku lekat dan begitu lama hingga aku menjadi salah tingkah tingkah. Melihat sikapku ia tersenyum miring.

"Kau tuan putri yang tangguh, kurasa aku tidak perlu mengucapkan 'Jaga dirimu'. Aku percaya kau akan baik-baik saja selama kau bersama pedangmu."

"Yah, kau juga sama. Aku juga tak perlu mengatakannya."

"Dalam tiga hari, aku akan kembali. Jika kau kabur, aku bersumpah akan mencarimu."

"Tidak akan," sahutku—setengah berdusta.

"Bagus!"

Erick memacu kudanya lagi dan pergi sementara akku masih terdiam menatap punggungnya yang semakin mengecil hingga tak terlihat lagi. Ini kesempatan! Aku memacu kudaku ke arah lain yaitu ke hutan Redich.

Kudaku semakin cepat berlari menembus serpihan salju yang semakin lebat. Wajahku terasa semakin dingin dan nafasku mengeluarkan uap.

"Maafkan aku yang mulia," gumamku dalam hati. "Aku tidak bisa menyempurnakan acara perburuanmu. Aku bukan tuan putri dan kau menikahi orang yang salah."

Sebentar lagi aku sampai di perbatasan hutan dan memasuki wilayah Redich. Aku—tidak sabar untuk bertemu mereka. Meskipun hanya tiga hari, setidaknya aku bisa menikmati kehidupannku yang sebelumnya dalam waktu singkat.

Aku semakin merapatkan jubahku yang hangat ketika sampai hutan Redich. Kudaku melaju semakin cepat seiring semangatku yang semakin menggebu. Tapi—tunggu, ada seseorang yang mengawasiku.

Aku mengedarkan pandangan dengan waspada, takut jika ternyata yang mengawasiku adalah mata-mata dari istana, atau para bandit yang mengincarku dari awal.

Aku merunduk ketika sebuah belati melayang dan hampir mengenaiku. Kulihat arah datang belati itu, dan sekelebat bayangan hitam bergerak mengitariku. Aku memacu kuda semakin kencang sambil mengeluarkan pedang Rapier-ku.

"Keluar kau bedebah!" teriakku lantang.

Aku semakin menyipitkan mata mengamati pergerakan itu, dan dari arah depan seseorang sudah melesat kearahku dengan cepat. Aku sudah bersiap dengan pedangku, dan—aku tidak menyangkan dia mengetahui pergerakanku.

Ia langsung menggenggam tanganku dan merebut pedangku kemudian melemparnya ke sembarang arah. Aku mencengkeram lehernya dan kami terjatuh berguling-guling menuruni jurang yang tak terlalu curam. Aku terus mempertahankan cengkeramanku agar ia tak bisa meloloskan diri.

Setelah sampai dibawah, aku terdiam sejenak sambil mengamati wajah si penyerang dan mataku melebar seketika saat tudung kepalanya yang lebar tersingkap.

"Ve-lian?"

Ia juga terlihat sama terkejutnya denganku. "Valen?"

_______To be Continued_______

Hai hai maaf telat up, harusnya kemarin up tapi sinyalnya buruk rupa karena hujan.. T_T

Jangan lupa tinggalkan jejak dan makasih banyak buat suportnya.. ^^

Salam Fantasy, by Indah Ghasy.. :*

Продолжить чтение

Вам также понравится

125K 18.8K 62
Ainsley Felton, gadis manis yang tidak pernah percaya pada keajaiban. Hidupnya berubah terbalik ketika mengunjungi kakeknya di Kota Shea. Kota mister...
25.9K 4.5K 30
A HARRY POTTER FANFICTION [Fantasy-Adventure-Minor Romance] Brianna harus menelan kenyataan pahit ketika mengetahui kalau dunia penyihir seperti di n...
58.6K 9.5K 35
[Fantasy & (Minor)Romance] Ruby tidak pernah tahu bahwa kolong tempat tidurnya mempunyai ruangan rahasia. Keinginan konyolnya waktu belia, rupanya di...
310K 73.8K 36
"Bahkan walau jiwa gue dirobek berkeping-keping, gue bakalan mastiin lo bisa pulang." Pasca melihat ibu kandungnya sengaja bunuh diri di depannya unt...