Twins (Who Are You?)✔

By envelopeee_

3.9K 508 962

[SELESAI!] Identik atau tidak, setiap perubahan kecil yang dilakukan bisa berdampak besar. Hal itu berlaku, k... More

[1]-Putih dan Hitam
[2]-Penyesalan
[4]-Itukah kamu?
[5]-Terlambat
[6]-Kompetensi
[7]-Kompetensi bag 2
[8]-14 min 1
[9]-Rantai yang terpasang kembali
[10]-Kejanggalan yang tidak beralasan
[11]-Semakin tidak baik untuk ditunda
[12]-Sedia atau Tidak sedia
[13]-Undo or Redo?
[14]-The Prophet Nabi Ibrahim AS
[15]-Minyak dan Air
TESTIMONI

[3]-Arah yang berlawanan

272 60 71
By envelopeee_

Ustad Fahrurrozie tersenyum mendapati dua orang yang ditunggunya muncul dari balik pintu ruangannya.

Terlihat cucu laki-lakinya, Fathan, datang dengan wajah masam. Dan Qeela yang mengekor di belakang Fathan dengan wajah menunduk sepenuhnya.

"Assalamualaikum." suara Qeela menyapa begitu mereka berdua sudah masuk.

"Waalaikumsalam." Ustad Fahrur menggelengkan kepalanya. Hanya Qeela saja yang mengucap salam sementara Fathan hanya cuek dan enggan mengeluarkan suaranya.

"Duduk!" Perintah Ustad Fahrur.

"Kenapa lagi, Kek?" Fathan langsung bertanya sebelum ia menjatuhkan tubuhnya pada kursi.

Fathan bukan orang yang senang berbasa-basi. Jadi ia langsung bertanya inti perihal Kakeknya memanggilnya ke ruangan ini.

"Duduk dulu." Ustad Fahrur dengan baik hati mengarahkan Fathan untuk duduk. Di sini ada Qeela jadi tidak mungkin ia bersikap keras pada Cucunya di depan Qeela.

"Kakek senang kalian berdua datang bersama." Ustad Fahrur melirik Qeela. Fathan mengikuti arah pandang Kakeknya.

"Maksudnya, Kek?" Fathan mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Ini , yang di samping kamu, Aqeel. Calon istrimu." papar Ustad Fahrur.

Detik itu juga Fathan dan Qeela sama-sama membulatkan mata mereka.

Qeela mengangkat wajah, reaksi terkejutnya membuat ia sempat beradu pandang dengan Fathan.

"Dia?!" pekik mereka bersamaan.

Ustad Fahrur terkekeh. "Iya. Aqeel ini Fathan. Dan Fathan ini Aqeel." terang Ustad Fahrur.

"Kalian berdua harus berkenalan lebih dulu sebelum rencana khitbah dilaksanakan."

"Khitbah—mmmpppp,"

"Ssstt ...."

Fathan, Qeela dan Ustad Fahrur menengok ke arah pintu masuk. Sepertinya di luar sana ada orang yang menguping pembicaraan mereka.

"Siapa itu?"

"Miiiiauuww ...."

Qeela mengernyitkan dahinya.

"Jangan mengelak. Jika saya tahu siapa kamu, jangan harap mendapat hukuman yang ringan karena bertindak tidak sopan!" sahut Ustad Fahrur. Benar saja, mereka bertiga mendengar gerak gerumusuh di balik pintu ruangan. Hanya berselang dua menit kerusuhan itu pun menghilang. Orang-orang di balik pintu sudah pergi.

"Kek, demi kepatuhan aku sama Kakek. Tolong, kali ini aja, aku menolak dengan sepenuh hati untuk khitbah ini. Kami ngga saling kenal. Dan aku ngga mau menikahi perempuan yang ngga aku sukai. Ini bukan lagi zaman dulu yang membudayakan perjodohan. Aku bisa memilih pasangan sendiri!" cercah Fathan. Habis-habisan mencoba lepas dari perintah Kakek dan kedua orang tuanya. Namun Ustad Fahrur merespon ucapan Fathan dengan gelengan kepala.

"Tidak bisa. Kakek melepas kamu di Jakarta, bersama kedua orang tua kamu. Dengan Harapan kamu bisa menjaga diri baik-baik di sana. Nyatanya? Kamu banyak membuat onar. Kakek tidak terima kalau kamu menolak. Kesempatan itu sudah Kakek beri di awal waktu, bukan?" sanggah Ustad Fahrur.

"Tapi Kek—"

"Nah, Aqeel, bagaimana dengan kamu? Kamu siap menerima khitbah ini?" Ustad Fahrur mengabaikan keluhan Fathan kini ia menatap Qeela. Menunggu jawaban dari perempuan itu.

Fathan menggelengkan kepalanya saat melihat kepala Qeela secara perlahan mengangguk dengan entengnya. Tanpa merasa bersalah, tanpa merasa terintimidasi dengan tatapan tajam yang diberikan Fathan untuknya.

"Alhamdulillah," Ustad Fahrurrozie tersenyum senang. "Kalian boleh berkenalan lebih dulu sebelum masuk ke tempat masing-masing. Silakan."

Tempat masing-masing, maksudnya adalah area Akhwat dan Ikhwan yang dibatasi oleh tabir berupa tembok besar.

Ustad Fahrur berdiri, mengintruksi agar Fathan dan Qeela segera meninggalkan ruangannya.

Fathan dan Qeela melangkah keluar dari ruangan Kepala sekolah setelah menyalami tangan ustad Fahrur terlebih dahulu.

"Lo sengaja, kan?"

Qeela menghentikan langkahnya. Kini mereka berdua berjalan di koridor yang letaknya cukup jauh dari ruangan Kepala sekolah.

"Lo sengaja nerima perjodohan ini?" suara menyebalkan milik laki-laki yang Qeela kenal sebatas nama itu kembali terdengar di telinganya.

"Karena gue Cucu dari seorang Ustad?"

Qeela memejamkan matanya, masih bertahan membelakangi Fathan.

"Gue ngga akan terima perjodohan ini. Apa pun alasannya. Ngga akan!" bentak Fathan seraya meremas rambut bagian belakangnya prustasi.

"Lo pikir? Gue mau?!" Qeela memutar tubuhnya. Ucapannya sukses membuat Fathan berhenti mengacak rambut.

"Lo—"

"Kalau bukan karena orang tua gue, gue ngga akan terima!" Qeela mengatur deru nafasnya yang mulai memburu. Ya. Memang. Karena orang tuanya. Karena Aqeel bukan anak yang sering membantah. Sangat penurut. Berbeda dengan Qeela yang banyak membantah. Dan jika Qeela menyudahi penyamarannya saat ini. Bisa dipastikan hukuman berat akan menimpanya.

Qeela bertahan agar identitas pertukarannya dengan Aqeel tidak terbongkar.

"Lo—hh," Fathan memandang ke bawah lantai seraya berkacak pinggang.

"Kenapa?" Qeela menyilang tangannya di depan dada.

"Lo ngga seperti perempuan yang Kakek gue ceritakan." ucap Fathan.

Qeela merasa harga dirinya sedikit tergores. Lipatan tangannya perlahan berangsur, "Lo juga! Lo ngga seperti laki-laki yang Ayah ceritakan!" timpal Qeela.

"Begini, El, ah, siapa nama lo?" tanya Fathan.

"Aqeel." jawab Qeela.

"Ya, Aqeel, gue tanya, dan lo harus jawab dengan jujur! Lo sebenarnya mau ngga nerima perjodohan ini?" Fathan mengangkat salah satu alisnya.

Lama Qeela terdiam sampai akhirnya Fathan melihat kepala perempuan itu menggeleng secara perlahan. Saat ini, entah kenapa Fathan tidak menyukai gerak slow motion kepala perempuan itu. Jawabannya bisa berlawanan dengan jawaban yang ia berikan di depan Kakeknya tadi.

"Jujur?" tanya Fathan lagi.

"Iya. Jujur." balas Qeela.

"Kalau gitu lo harus ikut gue susun rencana!" Fathan berdiri dengan tegap.

Alis Qeela terangkat sebelah, "Rencana apa?"

"Batalin perjodohan ini. Ok?"

Qeela mengembuskan napasnya. "Tapi orang tua gue?"

"Lo ragu? Lo tetep mau nerima perjodohan ini?" gertak Fathan. Qeela hanya bisa diam.

"Gue ngga janji kalau gue ngga akan ceraiin lo pasca menikah. Gue ngga minat berlama-lama memelihara benda yang ngga gue sukai." tambah Fathan.

Mata Qeela melotot sempurna, "Benda?" ulangnya penuh penekanan.

Fathan mengangguk dengan enteng.

"Oke! Gue setuju. kita susun rencana untuk batalin perjodohan ini!"

****

"Tanteeeee ...."

Suara rengekkan itu terus terdengar sepanjang hari dari mulut seorang perempuan yang merupakan teman Qeela.

Bunda Qeela harus beberapa kali mendorong pundak perempuan itu agar segera enyah dari rumahnya.

"Kamu mending pulang ya, Bi. Qeela ngga ada. Mau kamu, kejar dia ke Eropa?" Mama Qeela kembali mendorong pundak—Bia yang terus bertahan dengan kedua kaki kecilnya.

"Tan ... kenapa Tante, kenapa telat kasih tau aku kalau Qeela mau pergi? Dan,"

"Dan apa?" tanya Mama Qeela.

"Kenapa Qeela ngga ngasih kabar ke aku?"

Mama Qeela semakin jengah. "Mana Tante tahu! Kamu, kan temannya!"

"Tapi, kan Tante Mamanya!"

Mama Qeela memutar bola matanya, "Kamu nih, ngga pernah berubah. Qeela ngga ada. Sekarang kamu pulang aja ke rumah. Sebelum Tante telp Mama kamu!"

Mama Qeela mengambil ancang-ancang sembari menekan layar ponselnya.

"Ok ok aku pulang!" Bia mengangkat kedua tangannya ke udara, "Tapi ...."

"Apalagi?" Mama Qeela benar-benar sampai di tahap kehabisan kesabaran.

"Kak Aqeel kemana Tan? Kok dari tadi aku ngga lihat Kak Aqeel?" tanya Bia sambil melongokkan kepalanya ke dalam rumah.

"Aqeel juga ngga ada. Dia kuliah sambil Pesantren." jawab Mama Qeela.

Bia berdecak kagum. "Wah ... makin shaliha aja dong, Tan!"

"Iya dong. Kamu juga harusnya kayak Aqeel. Jangan jadi Preman!" Mama Qeela melirik penampilan Bia dari bawah hingga atas.

Bia mengenakan celana jeans dengan gerat yang menghasilkan lubang hingga memperlihatkan kulit putihnya, ditambah baju hitam lengan panjang bergambar tengkorak itu masih saja menjadi baju kesukaannya.

"Aku Preman cantik Tante. Bukan Preman nakal!" sahut Bia.

"Haduh ... terserah kamu deh. Udah ya, Tante mau tidur siang nih."

"seeebentar tanteee!" Bia dengan sigap menahan pintu yang hendak ditutup oleh Mama Qeela.

"Apalagi?!"

"Minta alamat tempat kuliahnya Kak Aqeel Tan." Bia tersenyum misterius sambil menyodorkan ponselnya.

****

Qeela melap keringat yang membasahi dahinya. Ia sudah memindahkan semua barangnya ke kamar baru. Kamar yang tidak berpenghuni, karena dua perempuan lain yang mengisi kamar ini sedang berada di luar.

Qeela melangkah masuk, melihat-lihat setiap isi kamar.

Di kamar ini terdapat meja berukuran panjang yang disekat oleh tumpukkan buku.

Dan di depan meja panjang itu terdapat mading kecil yang memperlihatkan foto si pemilik.

'Lisa Icha', 'Oliv Sena.' Dua nama itu Qeela gumamkan dalam hati. Mungkin ini dua perempuan sih penghuni kamar yang akan menjadi teman baru Qeela.

"Kamu tadi salah nada, harusnya rendah bukan tinggi."

"Kamu kenapa ngga ngasih tau?"

"Aku udah kasih kode."

"Di bagian?"

"Saat salahku melangkah, gelap hati penuh dosa. Beriku jalan berarah—berarah. Waktu di berarah itu kamu salah nada."

"Maulana ya maulanaaa ... capek deh, aku haus Ca, nanti aja."

Qeela menangkap percakapan dua orang yang tidak jauh di belakangnya.

CEKLEK ...

Pintu terbuka dan dua perempuan yang bercakap tadi menatap heran ke arah Qeela.

"Kamu siapa?" tanya Lisa, panggilannya Icha. Icha masuk lebih dulu dan Oliv setelahnya.

"Aku ... dipindah ke sini. Hm, Hai!" sapa Qeela terdengar berantakkan. Qeela merutuki dirinya yang gagap mendadak.

Lisa dan Oliv berdiri di hadapan Qeela. "Baru?" tanya Oliv.

Qeela mengangguk. "Iya."

"Wah ... dapat teman baru rame dong kamar kita!" Oliv tertawa karena ia begitu senang.

"Oh ya, kita belum kenalan. Kenalan dulu, Oliv!" peringat Icha.

Oliv berhenti tertawa. Kini ia menjulurkan tangannya ke hadapan Qeela. Mengajak Qeela untuk berjabat tangan. "Oliv Sena."

"Aqeel."

"Lisa." Qeela gantian berjabat dengan yang lain.

"Kayaknya kita harus bongkar lemari!" Icha memutar lehernya ke belakang.

"Kok?" heran Oliv.

"Sediain ruang buat Aqeel!" sambung Icha.

Oliv mengangguk paham. "Oh ... ayo, Aqeel kamu bantu juga ya!"

"O ... ok!" Qeela mengulum senyum.

****

Kiki menggelengkan kepalanya memperhatikan Renaldi yang belum berhenti berjalan mondar-mandir.

"Khitbah, Ki. Khitbah!"

"Iya gue tau!" Kiki beranjak berdiri. Dia menarik lengan Renaldi dan mendudukkan temannya itu di atas kursi.

"Dari pada lo pikirin khitbah yang dibilang Ustad Fahrur itu mending lo kerjain tugasnya Pak Endi!" Kiki mengambil gelas aqua bening yang terdapat di atas meja, menyusul kapas putih, sebotol air dan juga beberapa butir kacang hijau.

"Nih, memikirkan folosofi ini lebih bermanfaat!"

"Gue heran apa maunya dia?"

"Dia siapa?" Kiki mengerutkan keningnya tidak mengerti. Ia sibuk membuat kacang hijaunya sendiri.

"Gue udah bersabar lama."

"Sabar itukan ngga ada batasnya, Nald." celoteh Kiki.

"Ingkar janji!" pekik Renaldi lagi.

Kiki semakin tidak paham. Jadi ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia menyesal mengikuti Renaldi berjalan mengendap untuk mengikuti Fathan dan Qeela seharusnya mereka langsung pulang ke kamar saja tadi.

Selang 20 menit mereka berdua mulai sibuk dengan eksperimen kacang hijaunya, tidak lama pintu terbuka dan menampilkan Fathan di ujung sana. Renaldi dan Kiki melihat ke arah pintu.

Renaldi langsung fokus lagi pada tugasnya, hanya Kiki yang menyambut baik kedatangan Fathan.

"Lemes banget, Than." ucap Kiki.

"Gue sediain aqua lebih nih. Kapasnya juga ada!" kiki menunjukkan benda yang ia sebut.

Fathan tersenyum masam dan melangkah masuk. "Thanks!"

"Tapi kalau kacang hijaunya udah abis." Kiki membuka plastik bening yang tertutup pecinya.

Ia tidak melihat satu butir pun kacang hijau yang tersisa.

"YAAMPUN!" Fathan menepuk jidatnya.

Renaldi berdecak mendengar suara Fathan yang berlebihan. Menganggu konsentrasinya dalam berpikir.

"Kenapa?" tanya Kiki.

"Gue, ngilangin kacang hijaunya!" Fathan mengusap wajahnya dengan gerak kasar.

"Bentar gue balik lagi ke kamar!" serunya. Fathan langsung berlari keluar dari kamar tanpa mempedulikan Kiki yang hendak bicara, Kiki mengkatupkan kembali mulutnya yang semula menganga.

"Udahlah biarin aja!" sahut Renald.

Padahal maksud Kiki membuka mulut, ia ingin menawari Fathan kacang hijau miliknya. Kiki berniat berbagi namun Fathan lebih dulu mengambil tindakan untuk keluar kamar.

****

"Dapur umum, gue tadi ke sini terus ...." Fathan berjalan sambil menundukkan kepala. Ia meniti lantai koridor dengan sangat teliti takut ada yang terlewat.

"Gue jalan ke ruang Kakek. Ke sini," ayunan kakinya melamban.

"Ngga salah lagi, di sini gue masih pegang kacang hijaunya." Fathan menunjuk-nunjuk tempat ia berdiri.

"Gue jalan di depan dan di belakang gue—Aqeel!" Fathan berdecak kagum dengan pencariannya. Ia yakin Aqeel yang mengambil kacang hijaunya.

"Kenapa sebut nama gue?"

Fathan menoleh ke belakang. Di belakangnya Qeela sedang berjalan sambil melotot.

"Ah, gue ngga perlu susah-susah cari lo. Balikkin kacang hijau gue!" Fathan menegadahkan tangannya.

Hal itu membuat Qeela mengernyit bingung, "Kacang hijau?"

"Iya. Ngga usah ngeles. Lo ambil kacang hijau punya gue, kan?" tangkas Fathan.

Qeela menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Sembarangan aja, ya! Gue dapet kacang hijau dari dapur umum kok. Dikasih teman sekamar gue. Nih!" Qeela membuka cengkraman tangan kananya memperlihatkan benda bulat kecil berwarna hijau yang sedari tadi dicari oleh Fathan.

"Nah! itu punya gue! balikkin ngga!" Fathan melangkah maju.

Qeela langsung menyembunyikan lipatan tangannya di balik punggung, "Enak aja. Ngga mau. Ini punya gue!"

"Balikin!" Fathan nekat meraih tangan Qeela yang dikepal.

Namun Qeela berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyerahkan kacang hijau miliknya. "Fathan!"

"Lo ngga bisa ya ngga bikin gue kesel?" Fathan terus menggapai tangan Qeela yang disembunyikan hingga ia menyudutkan Qeela yang terus melangkah mundur.

Qeela menutup matanya. Qeela berharap ia bisa lepas dari kekangan Fathan namun sayangnya, punggungnya bertabrakkan dengan dinding. Qeela tidak bisa mundur lagi. "Gue bakal nendang lo kalau lo ngga berhenti sekarang juga!" ancam Qeela. Namun ancamannya diabaikan oleh Fathan.

Fathan masih bersikeras merebut kacang hijau itu. "Dapat!" Fathan melepas tangan Qeela ia mengangkat sebutir kacang hijau itu ke udara namun tubuhnya tidak mundur sedikit pun. Masih dengan posisi yang sama. Menghadang tubuh Qeela ke dinding.

"FATHAN!"

Fathan dan Qeela menoleh pada sumber suara.

"Bund ... da?" kacang hijau dalam genggaman Fathan jatuh menimpa lantai.

.

.

.

Bersambung . . .

Ada yang sebel ngga sama Fathan?

Nih silakan apa-apain orangnya. Wkwkwk.


Sabar ya, Qeela!

Jangan lupa tinggalkan jejak^^

Follow ig : @suen_siti

Continue Reading

You'll Also Like

14.7K 1.7K 14
Mehrbano is a kind enthusiastic girl entrapped in a loveless marriage with a cold man Ehan Haider. She had fully invested herself in her marriage but...
16K 620 24
what would be the events of mahabharata war if lord sri krishna made friendship with karna? What would happened if karna listened to krishna's advice...
2.9M 180K 67
Winner of the 'Readers Choice Award' in Historical Fiction. Winner of the 'Readers Choice Award' in Spiritual Category. Winner of Best Muslim Reader...
344K 15.1K 37
𝑇𝒉𝑒 𝑠𝑡𝑜𝑟𝑦 𝑜𝑓 17 𝑦𝑒𝑎𝑟'𝑠 𝑜𝑙𝑑 𝑅𝑢𝑏𝑎𝑎𝑏, 𝑤𝒉𝑜'𝑠 𝑙𝑖𝑓𝑒 𝑤𝑎𝑠 𝑠𝑢𝑑𝑑𝑒𝑛𝑙𝑦 𝑐𝒉𝑎𝑛𝑔𝑒𝑑 𝑎𝑓𝑡𝑒𝑟 𝑡𝒉𝑒 𝑑𝑒𝑎𝑡𝒉 𝑜�...