His Eyes (TAMAT)

By AyaEmily2

1.7M 202K 9.4K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Dennis Anthony, mantan narapidana percobaan pembunuhan terhadap kekasih wan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18a
18b
19
20
21
23
24
25
26
27
28
29a
29b
30a
30b
31
32a
32b
33
34a
34b
35a
35b
36
37
38a
38b
39
40
41
42
43
44
Epilog

22

29.2K 4K 276
By AyaEmily2

Kamis (21.17), 02 Mei 2019

-------------------------

Ellen menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Hari ini dia bertekad ke penjara dan tidak akan pulang sebelum dirinya bisa bertemu Dennis.

Ini sudah hari ketiga sejak ayah Ellen ditemukan meninggal. Berarti juga sudah tiga hari Dennis mendekam di penjara. Dan selama itu Ellen masih tidak bisa menemui Dennis.

Entah mengapa para polisi itu terus mencegahnya menemui Dennis. Ellen sudah tiga kali mencoba datang ke kantor polisi dan hasilnya sama. Dia terpaksa pulang dengan hati kecewa karena tidak sempat sekalipun berjumpa Dennis. Alasannya Dennis tidak boleh menerima tamu sampai tim forensik memberikan hasil penyelidikan.

Setelahnya Ellen disibukkan dengan pemakaman sang ayah. Duka Ellen begitu dalam. Dia masih tidak menyangka ayahnya pergi secepat ini. Bahkan sebelum beliau sempat melihat Ellen menikah. Padahal dulu ayahnya sering berkata ingin melihat Ellen menikah. Dia akan merasa bangga jika mendapat kesempatan menjadi orang yang menyerahkan Ellen kepada suaminya kelak.

Tapi... kini kesempatan itu tidak akan pernah datang. Hati Ellen begitu pedih membayangkan dirinya menikah tanpa sang ayah disampingnya. Tanpa sang ayah yang menggenggam tangannya dan menyalurkan kekuatan untuk menutupi perasaan gugup Ellen.

Tidak ada lagi ayah yang akan mendengarkan impian-impiannya. Tidak ada lagi ayah yang menjadi tempat Ellen berbagi cerita. Tidak ada lagi ayah yang akan memeluknya saat sedih. Tidak ada lagi ayah yang akan menghapus air matanya.

Semua ini begitu menyiksa. Rasa sakitnya begitu dalam menusuk hati tapi tak ada yang bisa Ellen lakukan untuk mengobatinya.

Rasanya Ellen ingin terus mengurung diri dalam kamar bersama kesedihannya hingga rasa sakit ini sirna. Tapi Ellen tidak bisa melakukan itu. Karena jika dia diam saja, pembunuh ayahnya tidak akan pernah tertangkap. Orang itu akan begitu bahagia di atas penderitaan sang ayah dan Dennis yang berhasil dia jadikan tersangka.

Tidak!

Ellen tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia akan berusaha membebaskan Dennis dan memastikan si pembunuh mendapat balasan setimpal, seperti yang dikatakan Henry.

Tiba di lantai pertama, Ellen berpapasan dengan Ellias yang kini tampak mengenakan setelan jas. Ellias tampak begitu gagah dan tampan. Seperti bos muda, meski sebenarnya ini pertama kalinya dia harus—terpaksa—turun tangan urusan perusahaan sang ayah.

"Ellias," panggil Ellen pelan.

Ellias yang tampak hendak menaiki tangga berhenti di depan sang kakak. "Hai. Kau mau pergi?"

Ellen mengangguk. Hatinya pedih melihat bagaimana Ellias berusaha tampak tegar. Dengan lembut Ellen meletakkan telapak tangannya di pipi Ellias. Tubuh jangkung sang adik membuat Ellen harus mengulurkan tangannya tinggi.

"Kau pasti bisa. Aku yakin kau bisa."

Ellias tersenyum sedih seraya mengangkat bahu dengan lunglai. "Entahlah. Aku tidak yakin sanggup menggantikan pekerjaan ayah. Aku sering berpikir akan mengacaukan semuanya."

"Itu tidak akan terjadi." Ellen melingkarkan lengannya di pinggang sang adik lalu memeluknya erat.

Ellias balas memeluk Ellen. "Aku akan melakukan semampuku." Lalu dia melepas pelukan dan menatap intens mata sang kakak. "Dan kau juga. Jangan mengubur impianmu karena semua ini. Ayah juga tidak menginginkannya."

Air mata Ellen menetes. "Aku hanya ingin mencari tahu siapa pembunuh ayah, El. Lalu memastikan dia dihukum berat."

"Sama sepertimu, aku juga menginginkannya. Karena itu aku merasa tak berguna. Kau harus berjuang sendirian sementara aku harus berkutat dengan setumpuk dokumen."

"Itu bukan tidak berguna. Kau harus mengorbankan banyak hal untuk melakukannya, terutama waktumu. Sungguh, aku bangga padamu." Ellen kembali memeluk Ellias erat yang langsung dibalas sama erat oleh sang adik.

Tanpa mereka sadari, seseorang mengintip dan menguping pembicaraan mereka. Jemari orang itu mengepal kuat. Matanya berkilat penuh amarah.

"Ellen harus dihentikan. Jika tidak, semuanya akan terungkap," geram orang itu dalam hati.

***

Saat diinterogasi, jangan katakan bahwa kau membawa pulang Ellen. Kau hanya membantu mengobati lukanya, mengantarnya ke penginapan, lalu kalian tidak bertemu lagi. Dan cari alasan mengapa pipimu terluka.

Dennis duduk bersandar di lantai penjara yang dingin dengan pikiran melayang ke pesan singkat yang diberikan Henry. Sepertinya Henry juga tidak percaya pada Ryno untuk menceritakan kejadian sebenarnya. Pasti Henry juga berpikir bahwa Ryno berambisi membuat Dennis tampak sebagai tersangka.

Dennis merenung, mencoba mengingat apakah dirinya punya salah tertentu pada Ryno yang bisa menimbulkan dendam lelaki itu. Tapi sepertinya tidak. Sejak tinggal di sini, Dennis nyaris tidak pernah berhubungan dengan polisi. Itu membuat Dennis semakin curiga bahwa Ryno terlibat dengan kematian ayah Ellen.

Kalau benar begitu, berarti sangat sulit bagi Dennis untuk bebas. Ryno seorang polisi. Dengan mudah dia bisa merekayasa bukti agar memberatkan Dennis. Kalau sudah seperti ini, Dennis khawatir Henry seorang diri tidak akan mampu melawan Ryno.

Brengsek!

Suara ribut dar luar menarik perhatian Dennis. Kantor polisi ini tidak besar. Sel tahanan di dalamnya juga hanya bisa menampung maksimal sepuluh orang. Itupun kesepuluhnya harus berdesakan. Tapi saat ini hanya Dennis seorang diri yang menghuninya.

Sudah tiga hari berlalu sejak Dennis masuk ke tempat ini. Selama itu dia tidak bisa menemui siapapun, bahkan Henry. Dennis curiga ini bukan karena Henry tidak mau menjenguknya. Pasti Henry dilarang masuk dengan alasan yang sama seperti yang para polisi itu katakan saat Dennis menuntut kebebasannya. Mereka masih menunggu hasil penyelidikan dari tim forensik. Jika jaringan kulit itu bukan milik Dennis, maka Dennis akan bebas. Tapi jika ternyata benar, maka masalah ini akan langsung dibawa ke pengadilan.

Keributan di luar semakin jelas terdengar. Lalu tampak seorang wanita dengan rambut panjang tergerai yang memaksa masuk ke dalam kantor polisi menuju sel tahanan tempat Dennis berada. Berbagai ancaman dan umpatan dia lontarkan kepada para polisi yang menghalanginya.

"Dennis!" seru Ellen begitu bisa melihat sosok yang dicarinya.

Dennis tersentak dan refleks berdiri, tak menyangka Ellen senekat ini meski telah dihalangi.

"Kalau kalian tidak menyingkir, aku akan membawa masalah ini ke tingkat kepolisian yang lebih tinggi. Perbuatan kalian sungguh tidak masuk akal. Kenapa aku tidak boleh menemuinya padahal jelas-jelas Dennis belum dinyatakan bersalah?" seru Ellen marah.

"Kami hanya menjalankan perintah, Ellen. Lagipula ini demi keluargamu. Ayahmu yang jadi korban."

Mata Ellen berkilat marah melihat polisi yang baru saja bicara. "Karena ayahku yang jadi korban, aku ingin dia mendapat keadilan. Bukannya asal tuduh seperti ini," geram Ellen. "Polisi macam apa kalian yang membiarkan orang tak bersalah dipenjara sementara pembunuh sebenarnya tertawa senang di luar sana?"

"Ellen, kami punya bukti," polisi berkumis tipis itu tak kalah geramnya, merasa seperti menasihati anak kecil. "Jangan terlalu libatkan hubungan asmaramu dengan tersangka di sini. Kau terus-menerus berkata bahwa Dennis bukan pelakunya. Bagaimana kalau ternyata kau salah, bahwa memang dia pelakunya?"

"Kalau begitu aku akan menanyakan hal yang sama padamu. Bagaimana kalau ternyata memang bukan Dennis pelakunya? Jika ada pembunuhan lagi, kuanggap pihak kepolisian yang telah membunuh orang itu. Karena kalian lah yang jelas-jelas membiarkan seorang pembunuh berkeliaran." Ellen hendak pergi menuju Dennis tapi berhenti sejenak, menatap kembali polisi itu. "Kuharap bukan keluargamu yang akan jadi korban berikutnya. Karena kalau iya, dengan senang hati aku akan mengencingi mayatnya agar kau mengerti seperti apa perasaanku saat ini."

Seketika polisi berkumis tipis itu terdiam. Bukan hanya dia, tapi juga tiga polisi lain yang sedari tadi juga berusaha menghalangi Ellen masuk ke dalam. Mereka merasa ditampar. Dan mulai gelisah jika yang dikatakan Ellen benar. Bagaimanapun faktanya, mereka memang belum memiliki bukti kuat untuk menuding Dennis sebagai tersangka selain dugaan belaka.

Tenggorokan Ellen serasa tercekat melihat Dennis di balik jeruji besi. Matanya mulai berkaca-kaca, merasa ini salah dirinya.

"Hai," kata Ellen dengan suara serak. Tangannya menyentuh tangan Dennis yang tengah menggenggam jeruji besi.

Dennis tak berusaha menyingkirkan tangan Ellen. Perhatiannya tertuju pada wajah wanita itu. Dia tampak pucat. Ada lingkaran hitam di bawah matanya yang menandakan Ellen kurang tidur. Dan mata sembapnya mempertegas bahwa dia cukup sering menangis.

"Kenapa kau ke sini? Kupikir kau percaya bahwa memang aku pelakunya," kata Dennis pelan.

Ellen menggeleng. Setitik air mata mengalir di pipinya. "Waktu itu aku masih terlalu terpukul dengan—" Ellen terisak. "dengan ayahku. Tapi setelah dipikir lagi, tidak mungkin kau yang melakukannya. Semuanya terlalu janggal. Dan aku tidak percaya kau tega. Ditambah lagi tidak ada bukti. Jelas tidak mungkin kau pelakunya. Kau hanya terjebak situasi."

"Dan seseorang yang berniat menjadikanku sebagai tersangka," bisik Dennis.

Ellen tampak kaget. "Apa menurutmu ada yang sengaja melakukannya?"

"Aku tidak tahu," suara Dennis semakin pelan. "Tapi aku curiga pada Ryno. Dia yang paling berambisi memasukkanku ke dalam sini meski tak memiliki bukti apapun. Apa menurutmu dia pernah bersitegang dengan ayahmu?"

"Kau tidak mungkin berpikir—"

Ucapan Ellen terhenti karena Dennis menyentuh bibir Ellen dengan ibu jarinya. Dari atas, pindah ke bawah. Menyentuh lembut. Sesuatu yang sudah lama ingin dilakukannya sejak melihat wanita itu di supermarket pertama kali.

"Hanya katakan itu pada Henry. Jangan sampai orang lain mendengar," bisik Dennis memperingatkan.

Ellen mengangguk dengan jantung berdegup kencang. Ini pertama kalinya Dennis bersikap intim. Perlakuannya berhasil membuat lidah Ellen kelu hingga yang dilakukan Ellen hanya berdiri membeku.

Jemari Dennis pindah menangkup pipi Ellen. Ibu jarinya bergerak mengusap tetes air mata yang masih mengalir. "Kau membuatku tidak bisa berhenti memikirkanmu beberapa hari terakhir ini." Dennis menempelkan wajahnya di sela jeruji besi. "Kau sudah tahu masalah apa yang pernah kualami. Jadi sebaiknya segera pergi menjauh sebelum terlambat. Atau aku tidak akan pernah melepaskanmu."

Bukan kata-kata yang menjadi jawaban Ellen atas pernyataan Dennis. Melainkan wajahnya yang mendekat lalu sebuah kecupan lembut mendarat di bibir Dennis. Bahkan bibir mereka nyaris tak bersentuhan karena terhalang jeruji besi. Tapi efek kecupan singkat itu menggetarkan hati keduanya. Membuat sesuatu yang tak biasa mulai berkembang di antara mereka.

Dennis menatap Ellen dengan mata birunya yang menyorot tajam. Lalu perlahan bibirnya melengkung membentuk senyuman. Senyum tulus yang sudah lama tak menghiasi bibir Dennis.

"Kuanggap ini pilihanmu. Jangan pernah menyesal saat nanti kau tidak bisa melepaskan diri dariku."

"Aku tidak berniat melepaskan diri," balas Ellen berbisik, dengan senyum yang juga menghiasi bibirnya.

----------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

Continue Reading

You'll Also Like

432K 20K 61
°FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!° Alea Azahra Aditama mahasiswi cantik yg menyukai dosennya yg tampan, tapi seakan keberuntungan tak berpihak kepadanya...
796K 64.5K 51
[C O M P L E T E D] [TERBIT;INDIE] Aluna tidak pernah berharap bahwa dirinya akan memiliki seorang penggemar rahasia. Kedatangannya yang tidak terdug...
1.4M 111K 28
[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Kenapa kau selalu membuat kisah yang berakhir bahagia? Kau buta, munafik, atau seorang wanita yang tinggal dalam is...
8.6K 1.1K 55
Gio Camaro, seorang yatim piatu yang direkrut menjadi pasukan pengaman pengiriman uang tunai, tak pernah menyangka jika hidupnya dekat dengan kematia...