Assassin

By Irie77

116K 15.2K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 18

2.7K 365 192
By Irie77

Aku melepas sepatuku dengan kasar dan segera mengganti pakaianku dengan dress mini yang ada, kemudian membanting diri ke tempat tidur. Luka bekas tusukan dan cambukan masih terasa nyeri hingga aku harus mengernyitkan kening, tapi aku bersyukur istana memiliki obat yang mujarab untuk menyembuhkan luka. Meskipun masih terasa pedih tapi tidak seburuk kemarin.

Kini pikiranku melayang seakan tak mau menghadapi hari esok. Rasa kalut mulai meronta dan berteriak semoga hari ini tidak cepat berlalu.

"Adu pedang sampai mati," gumamku.

Aku tidak masalah dengan adu pedangnya, tapi pernikahannya! Aku tidak tahu apakah aku harus memenangkan pertandingan itu atau tidak. Jika saja tidak ada peraturan adu pedang sampai mati, mungkin aku akan memilih mengalah saja. Sial! Kenapa aku harus terlibat dengan urusan mereka?

Aku merubah posisiku menjadi tengkurap sambil menyangga daguku dengan bantal. Aku tiidak tahu apa yang harus kulakukan besok, pilihanku saat ini hanyalah mengalah atau dikalahkan? Jika aku kalah, aku akan mati. Jika aku mati, ini sangat membahayakan nyawa Velian. Tanda Shirea ini membuatku tak bisa seenaknya dengan nyawaku dan juga—merupakan beban berat karena ada nyawa seseorang yang bergantung pada keberadaanku.

Tapi jika aku menang, maka tidak bisa dipungkiri aku harus menghadapi pernikahan terkutuk itu dengan Erick. Lalu aku harus bagaimana? Apakah aku benar-benar tidak bisa lepas dari putra mahkota sialan itu?

Aku langsung melonjak dan terduduk ketika pintu dibuka dengan keras. Kulihat sosok Erick sudah berdiri ditengah ruangan berjalan menghampiriku. Ia mengangkat tangannya agar seluruh pelayannya keluar. Aku menatap kepergian orang-orang itu hingga pintu kembali tertutup dan kini—hanya kami berdua dalam ruangan ini.

"Jika pada akhirnya kau meminta pelayanmu untuk pergi, akan lebih baik jika kau datang kemari seorang diri," gumamku masih sebal.

"Mereka pelayan yang setia, dan mereka takan meninggalkan tuannya seorang diri," jawabnya.

"Tapi kau bisa meminta mereka untuk tidak menemanimu sesekali bukan? Kau memiliki wewenang untuk itu."

Aku melonjak kaget ketika ia melempar sebilah pedang kecil yang hampir mengenaiku. Aku menatap pedang kecil yang kini sudah menancap di kayu yang tepat di belakangku. Itu—salah satu Sword Twin milikku yang kugunakan bertarung terakhir kali.

"Aku kemari tidak untuk membahas itu." Ia terduduk di kursi tak jauh dari tempat tidurku. "Pedang itu—milikmu bukan?" lanjutnya menyeringai kemudian ia mengeluarkan beberapa senjata yang ku kenal. "Sword Twin." Ia mengeluarkan pedang kecil yang sama kemudian meletakkannya di meja dengan kasar. "Wolverine dan juga—pedang Rapier?" Ia meletakkan senjata-senjata itu di meja kecuali pedang Rapier  kesayanganku yang berikan ayah.

Ia beranjak dari tempat duduknya dan menimang-nimang pedangku. "Awalnya aku tidak menyangka kau memang seorang Assassin. Sebagai tuan putri, kuakui senjatamu di buat dengan sangat indah dan sesuai karaktermu." Pedangku berkilat-kilat dimatanya ketika ia mengamatinya lebih detail. "Indah, tajam dan sangat berbahaya, tapi itu semua dibungkus dengan nuansa yang anggun."

Aku masih terdiam ketika ia mendekatiku. "Darimana kau mendapatkan semua senjata ini?" tanyanya.

"Itu pemberian seseorang," jawabku jujur dan hati-hati.

"Siapa yang mengajarimu bertarung?"

Aku menelan ludah sejenak. "Tentu saja ayahku."

"Ayahmu atau ayah angkatmu?" Ia menyeringai.

Aku tahu maksud dari pembicarannya, seringainya membuat hatiku tersenyum menang karena ia memang mempercayaiku bahwa aku tuan putri yang sesungguhnya.

"Pangeran kejam yang bodoh!" umpatku dalam hati.

"Aku tahu pedang ini senjatamu yang paling berharga bukan? Aku akan memberikannya padamu besok."

"Aku tidak ingin bertarung," ujarku tiba-tiba. "Itu adalah masalahmu dengan pernikahanmu. Jangan libatkan aku lagi."

Tatapannya berubah seketika. Aku bisa melihat rahangnya mengencang sekaligus tatapan kecewa. "Apa kau bilang?"

"Aku tidak ingin bertarung," ucapku sekali lagi. "Aku memutuskan untuk mengalah."

Dengan satu gerakan cepat leherku sudah dicengkeram dan punggungku dibenturkan ke dinding. Aku menendang lututnya dan ia tersungkur. Namun tidak semudah itu mengalahkannya. Ia segera menarik kakiku ketika aku hendak meraih pedang kecilku di meja dan aku jatuh tersungkur dengan dahi terbentur lantai.

Aku berguling untuk menghindari serangan berikutnya namun kakiku ditarik dengan kuat dan begitu cepat mengunci pergerakanku dengan mengunci tanganku di lantai dengan posisi tepat di atas kepalaku, kemudian memukul lututku dengan kuat hingga kakiku terasa lemas.

"Kau harus tetap bertanding!" geramnya.

"Aku tidak mau!" Aku berusaha melepas tanganku sekuat tenaga namun cengkeramannya begitu kuat hingga pergelanganku terasa sakit.

"Jika kau mengalah, itu sama saja kau menyerahkan nyawamu bodoh!"

"Aku tidak perduli! Itu lebih baik dari pada aku memenangkan pertandingan itu dan menikah denganmu!"

"Kau!"

Aku menyeringai didepan kilatan matanya yang penuh amarah. "Kau tahu? Aku tidak akan mati semudah itu. Meskipun aku dinyatakan kalah dan dibunuh, mungkin mereka akan membuang mayatku yang ternyata masih hidup, tapi kau? Kau akan tetap menikah dengan putri Chelia."

Jika saja aku memang benar-benar tidak mudah mati, tentu saja aku akan lebih lega. Tapi untuk saat ini aku hanya bisa menggertaknya, setidaknya untuk membangkitkan kecemasannya.

"Jika kau menikah denganku bukankah kau akan mendapat keuntungan? Kau tetap menjadi tuan putri yang seharusnya, kau bahkan memiliki kedudukan sebagai putri mahkota. Bukan hanya itu, setelah aku menjadi raja kau juga akan menjadi ratuku. Itu sebuah kedudukan langka yang banyak diminati banyak wanita. Tidak semua gadis seberuntung dirimu, sayang."

"Ya, kau benar yang mulia. Itu kedudukan yang sangat diinginkan banyak wanita, tapi tidak denganku," jawabku tegas. "Aku sama sekali tidak tertarik menjadi ratumu!"

"Jadi apa maumu?"

"Aku menginginkan nyawamu," jawabku asal.

"Kurang ajar!"

Ia kembali mencengkeram leherku dan melemparku ke dinding. Aku terkulai sambil terbatuk-batuk.

"Lakukan sesukamu! Aku ingin lihat bagaimana kau sekarat besok." Ia beranjak untuk mengambil semua senjataku. "Buatlah dirimu sesekarat mungkin, tapi sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu. Jika aku besok sampai menikah dengan putri Chelia, aku akan menyiksamu dan membuatmu semenderita mungkin. Dan satu lagi—" Ia sudah membuka pintu kamar. "Duniamu akan kubuat seperti neraka."

Ia membanting pintu dengan keras sementara aku hanya terdiam. Kini aku hanya termenung, kesalahanku adalah memancing emosinya dan kini justru akulah yang ketakutan. Kupikir ia akan memikirkan cara lain untuk membatalkan pernikahannya, tapi ternyata gertakanku justru di tantang balik olehnya. Tentu saja, aku tidak boleh mati di arena sialan itu. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku berdiri ketika pintu kamarku di ketuk. "Siapa?"

"Ini aku Athea nona, pelayan pribadi putra mahkota." sahutnya dari luar. Suaranya terdengar seperti wanita yang hampir menginjak usia senja.

"Masuklah," ujarku.

Tak lama pintu terbuka dan benar saja, sosok wanita tua yang masih bugar muncul. Ia membawa sebuah kotak besar yang terlihat ringan. Senyumnya menyejukkan hatiku sesaat ketika ia meletakan kotak itu di meja dekat jendela.

"Nona, aku tahu aku hanya seorang pelayan dan mungkin ini adalah pertama kalinya aku bertemu denganmu, gadis yang ada di rumor itu."

"Rumor?" Keningku berkerut seketika.

"Iya, nona. Rumormu sebagai kekasih yang sengaja putra mahkota sembunyikan sudah beredar di kalangan bangsawan, dan mungkin sekarang sudah beredar di kalangan masyarakat. Dalam kabar-kabar itu, kudengar kau dan putra mahkota saling mencintai. Tapi—setelah aku melihat putra mahkota yang terlihat marah denganmu dan juga kau yang terlihat membencinya, aku tahu bahwa kalian hanya berpura-pura."

Aku hanya terdiam mendengar penuturannya. Itu memang benar tapi aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada wanita di hadapanku ini.

"Nona." Ia mendekatiku perlahan. "Putra mahkota sudah kuangggap seperti anakku sendiri, aku yang mengasuhnya sejak kecil meskipun dibawah pengawasan yang mulia ratu. Aku—paham betul sifat putra mahkota. Karena itu nona—" Bibi Athea menggenggam tanganku dengan tangan gemetar. "Aku sangat mohon sekali, menikahlah dengan putra mahkota. Aku yakin sikapnya akan berubah setelah bersanding denganmu."

"Bibi—"

"Putra mahkota sebenarnya bukan orang yang kejam," potongnya. "Dia sangat penyayang. Keadaan dan kedudukan putra mahkotalah yang memaksanya menjadi sosok dirinya yang sekarang nona."

"Aku—tidak bisa."

"Aku tahu aku hanya seorang pelayan, nona." Ia mulai menangis dan berlutut. "Aku mungkin tidak pantas memohon seperti ini, tapi—aku sangat berharap sekali kau menjadi tuan putri kami."

"Bibi jangan seperti ini." Hatiku trenyuh seketika dan berusaha membantunya untuk berdiri. "Jangan berlutut di hadapanku. Aku bukan siapa-siapa bi, bangunlah!"

"Tidak!" sergahnya dan semakin merendah. "Kalau bisa aku ingin bersujud di kakimu."

"Tidak bi, jangan!" Aku merengkuh tubuhnya.

"Nona, aku mohon kembalikan putra mahkota seperti dulu lagi. Kembalikan tuan Erick yang ceria dan penyayang seperti dulu." Tangisannya semakin keras. "Aku mohon!"

"Bibi Athea—"

"Putra mahkota sangat menentang keras perjodohannya, jika besok sampai menikah dengan putri Chelia, aku takut ia akan menjadi lebih kejam dari ini. Meskipun kalian tidak saling menyukai, tapi dia memilihmu. Aku sangat berharap padamu karena putra mahkota yang memilihmu."

"Baiklah, baiklah. Bibi jangan menangis lagi," ujarku iba sambil mengusap air matanya. "Aku—akan menikah dengannya."

"Berjanjilah padaku nona," ujarnya antusias dan penuh harap.

Aku termenung sejenak, pada dasarnya aku sudah terjebak dalam situasi ini. Setidaknya—aku memiliki alasan lain memenangkan pertandingan besok selain mempertahankan nyawaku. "Baiklah, aku berjanji."

"Terimkasih." Ia mengusap air matanya yang tersisa dengan bahagia. "Terimakasih banyak nona."

* * *

Nafasku tercekat ketika melihat sosok diriku yang kini berdiri angggun didepan cermin. Balutan gaun putih yang indah, akan sangat sayang sekali jika sampai ternoda bercak merah karena pertarungan. Ini bukan pertama kalinya aku melihat diriku yang memakai gaun yang anggun, namun dibanding gaun lainnya, gaun pengantin adalah gaun terindah yang pernah kupakai selama ini, begitu suci dan sakral.

"Nona." Bibi Athea terlihat bahagia namun terlihat sedikit guratan kegelisahan di dahinya. "Aku akan memasang mawar merah ini di rambutmu."

Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

"Nona, putri Chelia sangat ahli bermain pedang. Kuharap, aku tidak sedang menghias rambut calon mayat. Aku—takut sekali."

Aku menatap wajahnya yang terlihat hampir menangis. "Aku akan baik-baik saja," ujarku berusaha menenangkannya.

"Tapi—"

"Jangan cemas. Aku juga ahli bertarung dan bermain pedang. Aku akan berusaha memenangkannya untukmu bibi." Aku memeluknya berharap bisa memberi ketenangan padanya.

Aku berjalan menyusuri lorong di iringi sepuluh pengawal untuk mendampingiku ke arena pertandingan. Aku begitu terkesima ketika melihat istana sudah dipenuhi dekorasi pengantin yang mewah dan aku lebih tercengang lagi setelah sampai di arena pertandingan.

Kini aku berdiri di tengah halaman istana yang luas. Disana sudah ada yang mulia raja dan juga sang ratu. Tak jauh dari sana juga sudah terdapat undakan di mana putra mahkota sedang berdiri menatapku dengan hampa. Aku menatap para tamu undangan yang terdiri dari beberapa keluarga bangsawan. Mereka menatapku penuh takjub sambil berbisik-bisik.

Mataku melebar ketika aku melihat tiga pemuda yang berdiri di antara para tamu undangan. Meskipun mereka tampak berbeda tapi aku tahu bahwa itu adalah Zealda, Aleea dan juga—Velian. Aku merasa lega melihat kondisi Velian yang sepertinya sudah membaik meskipun bibir pucatnya tak bisa menipuku bahwa ia masih kesakitan. Aku bisa merasakannya dari tanda di tengkuk leherku yang sedikit panas. Aku senang, akhirnya bisa melihat mereka lagi, mereka sekarang menyamar menjadi tamu undangan.

Aku menatap Velian yang tersenyum masam, ia memberi kode dengan jarinya untuk mengatakan bahwa aku terlihat cantik. Aku tersanjung, tapi aku juga terluka. Senyum masamnya menyiratkan bahwa ia merasa bersalah, tatapannya juga mengartikan bahwa ia juga—terluka. Tak lama ia mengangguk untuk memberiku izin lalu memberi kode untuk menyemangatiku.

Rasanya aku ingin menangis, tapi aku harus bisa menahan air mataku. Zealda dan Aleea juga memberi kode untuk menyemangatiku. Mereka ingin aku berjuang. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka bertiga ada disini, berarti—aku memang tidak boleh kalah.

Bunyi genderang berbunyi dan kulihat putri Chelia sudah menyeringai kearahku. Gaunnya sangat cantik dengan hiasan permata yang membuatnya berkilau di terpa cahaya siang. Aku dan putri Chelia memberi hormat pada yang mulia raja dan ratu yang kini duduk di tempat yang paling tinggi, kemudian memberi hormat pada putra mahkota yang terlihat tegang.

Tak lama seseorang datang memberikan sebuah pedang. Aku tersenyum melihat pedang kesayanganku kemudian aku memainkannya dengan senang di tanganku.

Pertandingan—dimulai dan semua tamu undangan bersorak. Aku mengangkat pedangku, tapi dalam pertandingan ini, gaunku yang landai ke bawah membuatku sedikit ragu untuk bergerak bebas. Ia melompat sambil melancarkan serangan pertamanya. Aku salut padanya yang bisa melompat dan bergerak lincah dengan gaun landai seperti itu. Aku terus menahan serangannya hingga suara gesekan pedang kami memekakan telinga.

Aku bergerak memutar dan segera menghindar dari desakannya. Ia kembali melencarkan serangannya dengan cepat tanpa memberiku celah sedikitpun untuk menyerang balik. Sejauh ini aku hanya bisa menghindar dan menangkis serangannya yang agresif sambil mencari celah. Meskipun begitu, tubuhku mulai tergores sayatan-sayatan kecil yang belum terlalu fatal, namun sudah cukup menodai gaunku.

Ia bertarung bak orang kerasukan, sementara aku tidak bisa fokus menyerang karena gaunku yang sering terinjak setiap kali aku bergerak, aku bahkan hampir tersungkur karena gaunku sendiri. Aku mulai kesal dengan pakaianku, tapi aku senang karena mulai memahami cara bertarungnya yang ternyata—cukup urakan.

"Kalau kau tidak bisa bertarung, lebih baik serahkan nyawamu sekarang. Tidak usah mengacaukan riasanku dengan bermain kucing-kucingan denganku seperti ini!"

"Oh, kau tidak perlu cemas tuan putri, karena aku akan segera mengakhiri pertandingan ini."

"Mengakhiri dengan kematianmu?" Ia menyeringai. "Sayang sekali. Riasanmu terlalu cantik untuk melengkapi kematianmu."

"Oh terimakasih telah memuji riasanku. Aku akan berterimakasih pada bibi Athea yang telah membuatku secantik ini dengan mengalahkanmu!"

Dengan sebal, aku merobek gaunku yang menyusahkan. Tentu saja, mungkin sikapku membuat para tamu undangan tercengang karena merasa sayang dengan gaunnya. Aku bisa melihat tiga pemuda disana sedang menahan tawa dengan tindakanku dan juga—tatapan putra mahkota yang tadinya terlihat hampa dan pasrah kini menatapku senang sambil tersenyum tipis.

Gaun yang tadinya landaI sampai ke tanah kini hanya sepanjang lututku. Ini membuat kakiku merasa ringan dan aku siap untuk melompat.

"Baiklah, dengan begini aku bisa bertarung dengan sungguh-sungguh." Aku kembali mengangkat pedangku.

Kini aku menyerangnya balik tanpa memberinya celah sambil menganalisa seberapa kuat pertahanannya. Aku tersenyum miring ketika ia mulai terdesak, pertahanannya sangat lemah, meskipun serangannya begitu cepat. Gaunnya mulai berlumuran darah dengan luka yang lebih parah dariku. Wajahnya tak sesenang tadi, dan kini dipenuhi tatapan sengit terhadapku.

Pedang kami berdenting ketika kami kembali saling serang. Kami bertarung hingga lima jam lamanya karena sama-sama tak mau menyerah dan kami mulai kehabisan tenaga. Gaun indah menawan kini sudah kotor oleh debu yang bercampur darah masing-masing. Bahkan di antara tamu undangan ada yang menjadikan pertandingan ini sebagai ajang judi untuk taruhan mereka. Aku bisa mendengar mereka yang meneriaki namaku dan sebagian meneriaki putri Chelia.

Lututku mulai gemetar akibat kelelahan dan juga haus. Aku berusaha mencari celah untuk mengakhiri pertandingan ini dengan kemenanganku, sementara bibi Athea semakin harap-harap cemas menatapku.

Aku kembali melompat ketika ia melompat sambil mengamati pergerakan pedangnya. Ketika ia bergerak kekiri aku segera melancarkan seranganku dari kanan karena disitulah celahnya. Aku berhasil menyayat lengannya, kemudian aku bergerak memutar dan mengincar lehernya.

Putri Chelia terkapar dengan leher tersayat dan pertandingan selesai—dengan kemenanganku tentunya. Semua tamu undangan bersorak ramai ketika aku berdiri tegak dengan bersimbah darah. Gaun yang sucipun juga dipenuhi oleh noda merah.

Zealda, Velian dan juga Aleea tersenyum sambil tepuk tangan. Senyum mereka membuatku lega dan ingin segera kembali ke tengah mereka. Bibi Athea dan juga putra mahkota turut senang melihat kemenanganku. Semua terlihat senang kecuali orang-orang yang kalah taruhan atas pertandingan ini dan juga—yang mulia raja yang tampak murka atas kematian putri Chelia.

"Bunuh gadis itu!" titahnya.

Tak lama sebuah anak panah menembus dada kananku. Aku senang sasarannya bukan jantungku, tapi setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata anak panah itu mengandung racun. Aku bertekuk lutut tanpa melepas perhatianku pada anak panah yang menancap disana. Namun semakin lama, aku mulai merasakan sakit yang teramat sangat hingga aku tak mampu mempertahanku tubuhku.

Aku terkapar dengan menyedihkan, namun tatapanku kini tertuju pada Velian yang sedang meronta untuk menghampiriku namun di cegah oleh Zealda dan Aleea. Tubuhnya terlihat sangat lemah, dan aku melihat wajahnya yang menahan sakit. Velian meringis kesakitan sambil memegangi tengkuknya sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke tanah.

"Velian," lirihku. Tengkuk leherku mulai terasa pedih layaknya terbakar api.

Zealda dan Aleea bentindak sangat cepat untuk membawa Velian pergi. Mereka mulai meninggalkan kerumunan dan tak terlihat lagi. Hatiku menjadi hampa seketika atas kepergian mereka. Tubuhku semakin terasa sakit hingga nafasku sesak.

"Velian," gumamku lagi tanpa bisa membendung air mataku.

"Apa yang kalian lakukan! Panggil tabib kemari!" Seseorang sudah merengkuh tubuhku ke dalam pangkuannya.

"Yang mulia," gumamku tak percaya atas kecemasannya.

"Valen bertahanlah," ujarnya panik.

"Erick! Menyingkirlah dari gadis itu!" Raja Herrian benar-benar terlihat murka. "Dia sudah membunuh Chelia! Dia pantas mati!"

"Bukankah ini sudah menjadi kesepakatan kita? Putri Chelia sendiri yang membuat aturan untuk adu pedang sampai mati. Apa kau bermaksud untuk mengingkar janjimu?"

"Dia bukan putri bangsawan manapun. Sangat tidak pantas untuk bersanding denganmu!"

"Dia pantas karena dia seorang tuan putri yang statusnya lebih tinggi dari gadis bangsawan manapun!"

"Apa maksudmu?" Raja Herrian terlihat shock.

Putra mahkota tampak tertekan ketika menjawab, "Dia—putri raja Victor."

Raja Herrian bungkam seketika saat mendengar jawaban itu. Ia terlihat semakin shock ketika menatapku. Aku memekik ketika rasa sakitku semakin menjalar kemana-mana. Aku tidak perduli dengan perdebatan antara ayah dan anak yang saat ini sedang berlangsung, pikiranku hanya dipenuhi oleh Velian dan kondisinya jika aku mati. Aku tak bisa menahan tangis atas rasa bersalah karena aku tak bisa lagi melindunginya.

"Yang mulia aku sudah membawa tabib kemari." Bibi Athea tergopoh-gopoh disusul seorang tabib memakai cadar akibat luka bakar.

Aku menatap tabib itu lekat dan disitu aku tahu bahwa dia—Lavina yang sedang menyamar. Aku merasa lega atas kehadirannya, tapi aku memilih untuk pura-pura tidak mengenalnya demi penyamarannya.

"Kalau begitu, akan lebih baik jika yang mulia segera menikahinya," ujar seorang yang terlihat seperti penasihat kerajaan.

"Aku tidak bisa menikahinya dalam keadaan seperti ini," sahut putra mahkota.

Aku cukup lega dengan jawabannya.

"Karena itu sudah kesepakatan, kau harus menikahinya sekarang." Kini yang mulia ratu yang bersuara.

Hatiku menjadi gundah seketika karena yang mengatakan hal itu adalah seorang ratu. Siapa yang akan menolak perintahnya kecuali yang mulia raja sendiri. Tapi—kelihatannya raja Herrian lebih memilih pergi dari pada berdebat dengan ratunya.

Aku mengerang ketika putra mahkota mencabut panahku. Rasa sakitnya lebih parah setelah panahnya dicabut. Lavina bergerak dengan cekatan dan mengeluarkan sebotol cairan bening dan menumpahkannya pada lukaku.

Aku tidak tahu cairan macam apa yang digunakannya, tapi yang jelas cairan itu terasa panas hingga aku harus mencengkeram gaunku untuk menahan sakit.

"Ini adalah penawar racun. Sisanya, tolong di minumkan segera untuk membersihkan racunnya dari dalam." Lavina sambil menyodorkan ramuan itu pada putra mahkota.

Aku meminumnya tanpa menolak sedikitpun. Rasanya manis seperti gula namun meninggalkan rasa pahit di tenggorokan.

Tak lama, seseorang datang setelah Lavina pamit mundur. Dia—terlihat seperti orang suci yang akan menikahkan kami.

"Yang mulia lakukan ritualmu," ujarnya.

"Aku—" Putra mahkota tampak berpikir sejenak.

"Yang mulia, menikahlah dengannya." Kini bibi Athea terlihat mendesaknya. "Akan lebih baik jika kau segera menyelesaikan ritualnya."

"Baiklah."

Aku bisa merasakan obat penawar itu mulai bereaksi dengan cara yang sedikit menenangkan. Nafasku mulai longgar, tapi telingaku berdengung hingga aku tak bisa mendengar apapun, dan juga—lidahku terasa kelu. Aku bisa melihat putra mahkota menggores telapak tanganya kemudian menggores telapak tanganku. Luka kami bertemu ketika telapak tangan kami bersatu.

Aku tak bisa mendengar ikrar yang diucapkan putra mahkota, tapi beberapa orang mulai menaburi kami dengan bunga. Pelupuk mataku semakin berat dan memaksaku untuk terpejam. Tubuhku mulai mati rasa dan kesadaranku berangsur menghilang. Hal yang masih bisa kurasakan untuk terakhir kalinya adalah sebuah ciuman lembut yang hangat.

_______To be Continued_______

Yaaww, akhirnya up juga sesuai jadwal. Yang gak sabar nunggu mungkin sekarang lagi menuangkan serapahnya buat cepet up hahah. Gak masalah, karena diusahakan Sabtu nanti di up lagi. ^^

Jangan lupa tinggalkan jejak dan makasih banyak buat suprtnya.. ^^

Salam fantasy, by Indah Ghasy.. :*

Continue Reading

You'll Also Like

69.9K 13.6K 32
[Fantasy - Adventure] Orang tua Viona sudah meninggal sejak lama, sejak ia kecil. Namun, di umurnya yang ke-19 ini, sebuah rahasia besar baru terungk...
373K 21.5K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
76.7K 7.4K 51
Total kata yang di gunakan sebanyak 40.015 kata Mampu memahami bahasa hewan dan tumbuhan, mampu menemukan benda-benda berharga seperti kandungan emas...
4.5K 926 9
Sekuel cerita dari Mitologi