Twins (Who Are You?)✔

Von envelopeee_

3.9K 508 962

[SELESAI!] Identik atau tidak, setiap perubahan kecil yang dilakukan bisa berdampak besar. Hal itu berlaku, k... Mehr

[2]-Penyesalan
[3]-Arah yang berlawanan
[4]-Itukah kamu?
[5]-Terlambat
[6]-Kompetensi
[7]-Kompetensi bag 2
[8]-14 min 1
[9]-Rantai yang terpasang kembali
[10]-Kejanggalan yang tidak beralasan
[11]-Semakin tidak baik untuk ditunda
[12]-Sedia atau Tidak sedia
[13]-Undo or Redo?
[14]-The Prophet Nabi Ibrahim AS
[15]-Minyak dan Air
TESTIMONI

[1]-Putih dan Hitam

935 100 218
Von envelopeee_

ASSALAMUALAIKUM!

Ah, hawa bulan ramadhan sudah mendekati ya sahabat! ^^

Aku kembali degan serial Romantic-Spiritual yang keempat.

Kali ini yang menjadi Pemeran/Tokohnya adalah ... *Jeng Jeng Jeng*

Muhammad Fathan

Aqeela Almayra Syakir – Aqeela Almayra Dzakir


****

Label modern, di papan pengenal yang terpasang di tempat ini tidak akan mengubah isi di dalamnya.

Seorang laki-laki harus merutuk kesal saat mobil yang membawanya kabur dari rumah berhenti di tempat yang—Bundanya pesan.

Bukan kabur sebenarnya, ini permintaan Bunda dan Ayahnya langsung.

"Sudah sampai Tuan—eh, maksud saya Fathan." Supir yang mengemudi menutup mulutnya yang salah bicara. Ini karena ia belum terbiasa memanggil nama majikannya tanpa menyebut Tuan terlebih dahulu.

"Lo ngga niat bukain pintu mobil buat gue, Jo?" Joheng—nama Supir keluarga itu—tersenyum cengegesan di balik kaca spion, ia menggeleng menjawab pertanyaan Tuan mudanya. Sekarang sudah bukan Tuannya lagi. Joheng harus mengingatnya.

"Nyonya menyuruh Anda untuk mandiri. Jadi saya mah nurut aja sama perintah majikkan, Tuan—eh salah lagi, maksudnya, Fathan." ralat Joheng untuk yang kedua kalinya.

Fathan mencibir, "Lo udah berani bilang Anda-Anda ya ke gue!" melihat Joheng kembali cengengesan Fathan bertambah kesal.

"Gue, kan juga majikkan lo!" tambah Fathan sambil menyilang tangannya di depan dada.

"Wah, beda lagi atuh. Itu mah kalau di rumah, sekarang teh, kan bukan sedang di rumah." balas Joheng, bahasa daerahnya tidak pernah tertinggal.

Meski sering diejek oleh Fathan, "Bund, kok cari Supir keluarga kayak gini sih? Kampungan banget!" yang ucapan pedasnya selalu terngiang di kepala Joheng namun Joheng mencoba hilang ingatan supaya ngga sakit hati. Joheng mencoba sabar. Joheng memang dari Kampung, namun cara kerjanya seperti orang Kota yang terlatih. Sempurna dan Professional. Itulah keunggulan yang Joheng punya. Yang tidak pernah dilirik oleh Fathan.

"Bawain barang-barang gue!" ucap Fathan lalu memegang pintu kemudi untuk keluar.

"Silakan ...." Joheng memang ikut turun , tapi Supir itu hanya membuka bagasi mobil tanpa mengambil seluruh isi di dalamnya.

"Membawakan barang-barang termasuk perilaku tidak mandiri." jelas Joheng tersenyum ramah.

"Ck! Lo—beneran nurut sama Bunda gue ya?!" Fathan setengah marah. Asap emosi mulai mengepul di atas kepalanya.

"Bekerja sama dengan beribadah. Beribadah tidak boleh setengah-setengah harus sepenuh hati. Karena saya dilarang membawakan semua ini oleh majikkan saya, maka Anda harus membawanya sendiri." kata Joheng lagi kali ini Joheng mundur dua langkah memberi ruang untuk Fathan agar segera mengambil barang-barangnya sendiri.

"Shhh, kalau gue udah balik ke rumah lo bakal gue hukum, Jo!"

****

Perempuan berkerudung hijau muda, terlihat gelisah saat ini. Dimana ia harus menjawab permintaan saudara kembarnya. Tuhan memang berkuasa menciptakan makhluknya hingga mereka berdua kembar identik. Tidak ada tanda lain yang membedakan keduanya. Hanya satu yang tak kasat mata, akhlak.

Ya. Akhlak yang membedakan antara Aqeel dan Qeela. Nama lengkap mereka, Aqeela Almayra Dzakir dan Aqeela Almayra Syakir.

Orang-orang tidak akan bisa membedakan mereka kecuali Aqeel dan Qeela mengatakan siapa mereka sebenarnya. Bahkan kedua orang tua mereka sendiri, sering kali tertukar memanggil nama puterinya.

Satu kemudahan bagi kedua orang tua mereka berlangsung selama satu tahun ketika Aqeel memilih untuk menggunakan Khimar. Dengan begitu, kedua orangtuanya tidak akan salah memperlakukan kedua puterinya.

Namun saat ini, detik ini, permintaan Qeela—Adik perempuan Aqeel sepertinya tidak bisa ditolelir. Aqeel adalah Kakak yang baik setiap kali Qeela memintanya untuk bertukar tempat. Aqeel selalu mengiyakan permintaan Qeela. Misalnya, saat Qeela tidak mau les privat maka dengan hati malaikat Aqeel akan menggantikan posisinya. Sangat baik, bukan?

"Please ... Kak, lo mau, kan? kan kan?" Qeela menggoyang lengan Aqeel karena Aqeel belum memberinya jawaban ya atau tidak.

Aqeel tersenyum serba salah, "Mm, tapi ... gimana kalau Bunda dan Ayah tahu?" tanya Aqeel ragu.

Qeela menjetikkan jarinya, "So easy Kak! Gue tinggal pakai kain kayak gini doang, kan?" Qeela meremas khimar yang dipakai oleh Aqeel sambil tersenyum lebar.

"Namanya Khimar, Qeela." komentar Aqeel melepas tangan Adiknya dari khimar yang ia kenakan.

"Iya iya. Lo galak banget sih," Qeela memberengut.

Aqeel menggelengkan kepalanya, "Lagipula, kenapa kamu ngga mau kuliah di Eropa? Bukannya kamu selalu bilang pengen berkeliling Dunia?"

"Iya memang. Tapi, kan yang gue maksud itu keliling Dunia buat main kak, refreshing gitu. Bukan buat belajar. Sama aja bohong dong!" cicit Qeela mulutnya yang sedang mengunyah cemilan menggembung seperti ikan.

Aqeel menghela napas, "Kamu yakin kamu ngga akan nyesel?"

"Engga akan!" Qeela mengacungkan kedua jempolnya.

"Yaudah, jadi Kakak harus ngapain?" tanya Aqeel.

Qeela berseru senang, dengan penuh semangat dia membuka konsep rencana yang sudah disusun dalam catatan kecilnya.

"Dua hari lagi jadwal penerbangan gue ke sana, lo harus ikut gue ke bandara. Kita tuker kostum di sana. Gue udah sediain semua kartu pengenal supaya lo ngga kesusahan. Untuk sementara kita tuker kartu pengenal dulu ya kak. KTP lo gue pegang sampai lo beres kuliah." Qeela menangkap sinyal buruk saat Aqeel mengangkat sebelah alisnya.

"Harus sampai sedetail itu?" Aqeel menopang dagunya pada sofa.

"Iya! Terus ... kalau bisa, di hari itu lo ngga usah pakai khimar." suara Qeela berubah pelan.

"APA?!"

"Shuuutt Kak, please mingkem. Kalau lo teriak Bunda sama Ayah bisa datang ke sini!" Qeela langsung membungkan mulut Kakaknya.

Setelah Aqeel mengangguk tanda paham Qeela pun melepas tangannya dari mulut Aqeel.

"Cuma satu hari lepas khimar gapapa kali Kak. Lo obsesi banget deh!" komentar Qeela.

Aqeel menggelengkan kepalanya. "Bukan obsesi. Pakai khimar itu untuk menutup aurat, perintah dalam agama. Makannya Kakak—"

"STOP! haduh ceramahnya nanti aja ya, Kak. Terserah deh, gimana caranya supaya di hari-H Kakak harus nyamar jadi gue." tutup Qeela tidak mau panjang lebar.

"Nah, kita masih punya 1 hari buat tukar tempat. Lo harus list, semua kebiasaan lo di rumah dan kumpulin baju-baju yang biasanya lo pakai." Qeela memberi tanda ceklist pada catatannya. Konsepnya sudah ia sampaikan pada Aqeel.

Aqeel menghela napas panjang. Lagi. Dia akan menggantikan Qeela lagi. Mungkin, dalam waktu yang lama. Sampai dia mendapat gelar S-1nya di Eropa.

****

Fathan menyimpan semua barang-barangnya ke kamar yang ditunjukan Penjaga Pesantren Modern ini.

"Di sini cuma ditempati dua orang, insyaAllah cukup kalau ditambah satu orang lagi." celoteh sih Penjaga sambil menyilakan Fathan melihat seluruh isi kamar ini.

Dindingnya di dominasi warna putih, setiap bagian dinding terpasang poster bahasa Arab dan mading sederhana. Mulai dari asmaul husna, jadwal shalat, hingga mading tokoh islam.

Fathan berkeliling untuk membacanya meski hanya judulnya saja yang Fathan baca.

"Terus Pak, kalau kamar mandinya?" tanya Fathan sambil memutar badan menghadap sih Penjaga.

"Oh itu, ada di sana!" tunjuk sih Penjaga, tepat di belakang tubuh Fathan.

Fathan melihat sebuah pintu. Sekarang Fathan dapat bernapas lega. Dia pikir, dia harus pergi ke kamar mandi umum untuk tinggal di Pesantren ini.

"Oke. Kalau gitu makasih ya, Pak!" ucap Fathan, memberi kode agar sih Penjaga segera meninggalkannya. Fathan memasang senyum lebar, senyum yang kalau dilihat terkesan terpaksa.

"Sama-sama. Oh ya, kamu harus ke ruang Kepala Pesantren karena Pak Ustad sudah menunggu," kata sih Penjaga sebelum pergi meninggalkan Fathan.

"Assalamualaikum!"

"Ya, waalaikumsalam." Fathan menggigit bibir bawahnya.

Pak Ustad? Maksudnya, Kakeknya?

Fathan menyugar rambut bagian depannya dengan prustasi, "Matilah gue!"

"Iya. Lusa baru akan saya antar Pak Ustad. insyaAllah. Pak Ustad tidak akan menyesal. Saya juga menyekolahkan yang satunya di luarnegeri. Biarlah, yang satu di sini yang lain di sana. Saya ingin puteri saya belajar mandiri. Jauh dari orang tuanya dan bagaimana rasanya berjuang untuk menjalani hidup."

Suara bariton milik seorang laki-laki terdengar jelas begitu langkah Fathan terayun semakin dalam mendekati pintu Kepala Pesantren. Dengan ragu namun pasti, Fathan mengetuk pintu di depannya.

Orang-orang yang sedang berbincang menoleh pada pintu. Melihat ke arahnya dengan wajah terkejut namun tak berlangsung lama karena Ustad Fahrurrozie langsung berdiri menyambut kedatangan Fathan.

"Fathan! Sini masuk!" ucap Ustad, menggiring Fathan untuk duduk di sampingnya. Fathan hanya terdiam mengikuti tarikan Kakeknya.

"Ini dia cucu laki-laki yang saya ceritakan." terang Pak Ustad pada lawan bicaranya yang Fathan yakini merupakan orang yang berbicara sebelum ia masuk ke sini.

Laki-laki itu tersenyum hangat pada Fathan, "Perkenalkan, nama saya Qori." ucapnya ramah.

"Fathan , Om." balas Fathan.

Ustad Fahrurrozie merasa lega karena Fathan dapat berlaku ramah.

"Jadi tanggal khitbahnya kapan, Pak Ustad?" tanya Qori, menyambung pembicaraan mereka yang sempat terputus karena kedatangan Fathan.

"Kita bisa bicarakan lagi nanti. Yang penting mereka dipertemukan dulu." Ustad Fahrurrozie melempar tatapan misteriusnya pada Fathan.

"Ini siapa yang mau mengkhitbah dan di khitbah ya, Kek?" Fathan bertanya dengan kening berkerut.

"Panggil Pak Ustad. Kalau di lingkungan Pesantren kamu sama seperti murid yang lain." sela Ustad seraya mengusap lembut punggung Fathan.

Fathan tersenyum kikuk, "Maaf Pak Ustad. Tapi kalau boleh tau siapa yang—"

"Kamu. Dan puterinya Pak Qori."

"Y ... ya? Apa?" mulut Fathan setengah menganga.

"Hahaha ... dia masih belum mengerti. Nanti akan saya jelaskan pada Fathan. Baiklah, diminum jamuannya Pak." Ustad Fahrurrozie tertawa pada Qori. Ia mengabaikan kebingungan yang melanda Fathan saat ini.

Fathan bisa gila. Dia seolah membenturkan kepalanya sendiri pada dinding. Mengkhitbah? Tiba-tiba? Siapa?

"Terimakasih Pak Ustad. Tapi saya harus kembali ke kantor sekarang. Kalau begitu, saya pamit dulu." Qori bangkit berdiri, Ustad dan Fathan pun ikut berdiri.

Qori menjabat tangan Ustad dan Fathan sebelum pergi.

"Kenapa buru-buru sekali?" tanya Ustad.

"Saya inginnya mengobrol lama Pak Ustad. Apalagi mempelai laki-lakinya sudah datang. Tapi situasinya tidak mendukung," kekeh Qori seraya melihat jarum jam di pergelangan tangannya.

"Haish, yasudah. Besok, kan masih ada waktu. Hati-hati di jalan Ri." ucap Ustad Fahrurr.

"Tentu. Mari Pak Ustad. Mari nak Fathan. Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumsalam."

****

Aqeel duduk di tempat tidurnya sambil tak lepas memandangi Qeela yang belum lelah bergonta-ganti pakaian.

"Kak kenapa sih baju lo panjang-panjang gini?" Qeela menatap dirinya di balik cermin lebar. Terhitung ini merupakan baju ketujuh yang Qeela gunakan.

"Namanya gamis." Aqeel menggeleng di kejauhan.

"Iya. Kenapa banyaknya gamis? Susah jalan kalau pakai baju ginian!" gerutu Qeela.

"Yaudah, pakainya satu minggu sekali aja. Kamu, kan bisa kurangi porsinya." balas Aqeel.

Aqeel menghela napas. Qeela banyak maunya namun tidak ada usaha untuk memecahkan masalahnya sendiri.

"Tapi lo cuma punya dua celana udah gitu lebar-lebar lagi celananya!" protes Qeela.

"Kalau ketat namanya ngga menutup aurat." timpal Aqeel mulai kesal. Aqeel kembali fokus pada tugasnya. Merapikan kopernya sendiri untuk kepergiannya besok. Ia tidak mungkin memakai baju Qeela yang terbuka. Jadi ia harus menyiapkannya sendiri.

"Kak ...." panggil Qeela.

"Apa?" sahut Aqeel tidak menoleh hanya menyahut saja.

"Ternyata gue cantik ya kalau pakai khimar." puji Qeela pada dirinya sendiri di hadapan cermin. Qeela berputar-putar riang, hingga gamis yang bagian bawahnya bergelombang itu terpompa udara seperti dress milik Cinderella.

"Memang, lebih cantik kalau kamu konsisten menutup aurat setiap hari!" Aqeel tersenyum. Berharap pujiannya bisa sedikit-demi sedikit mengetuk pintu hati Adiknya.

"Tapi gerah," Qeela berhenti berputar dan melepas khimarnya kembali. "Walau pun lebih cantik gue ngga suka." tambah Qeela. Qeela mulai melepas resleting gamis Aqeel di bagian belakang punggungnya.

"Oh berarti kamu ngga menyukai apa yang Allah sukai?" tanya Aqeel.

Mendengar pertanyaan retorik itu keluar dari mulut Kakaknya, Qeela tersenyum masam. "Kak, jangan sangkut pautin Allah dong." Qeela mengerucutkan bibirnya kini menjatuhkan dirinya di samping Aqeel.

"Engga disangkut pautin pun, Allah selalu menyangkut hidup seluruh ciptaanNya." Aqeel mengacak poni depan Qeela dengan gemas.

"Gue bersyukur banget punya Kakak sebaik elo!" tiba-tiba Qeela memeluk pinggang ramping Aqeel dari samping membuat Aqeel hampir jatuh ke pinggir tempat tidur.

"Selama Kakak bisa bantu kamu." Aqeel tersenyum.

"Yaudah turun ke bawah yuk, Kak! Bunda sama Ayah pasti udah nunggu!" ajak Qeela

Aqeel mengangguk, "Ayo!"

"Besok Aqeel ikut sama Ayah. Calon suaminya udah sampai di Surabaya."

"Baik ngga , Yah?"

"Belum tahu Bund, rencananya besok Ayah mau ngomong langsung sama dia. supaya jagain Aqeel di sana."

"Siapa yang mau jagain Aqeel, yah?"

Aqeel dan Qeela datang dari arah kamar mereka. Kedatangan mereka membuat tumpuan dagu Bunda pada pundak Ayah terjatuh. Bunda menjauhkan dirinya dari Ayah. Duduk dengan tegap untuk mengambilkan nasi di setiap piring.

"Itu, teman Ayah. Besok siang kamu ngga kemana-mana, kan Qeel?" tanya Ayah mencoba rileks dari rasa terkejutnya.

"Habis antar Qeela ke bandara aku ngga kemana-mana kok, Yah." jawab Aqeel.

"Duduk sini Kak!" Qeela mendorong kursi dan menepuknya dengan telaten menyiapkan tempat duduk khusus untuk Aqeel.

Aqeel tersenyum. "Makasih."

"Gitu dong, yang akrab sayang." ucap Bunda mereka.

"Iya dong Bund. Nantikan Kak Aqeel pasti rindu berat sama Qeela!" Qeela mengedipkan sebelah matanya.

"Iya iya ...." Aqeel tersenyum kikuk.

"Dah, makan dulu!" kata Bunda sambil memberikan sepiring nasi yang sudah diambilnya pada Aqeel.

Keluarga kecil itu makan malam dengan khidmat, tanpa tahu, kejadian apa yang akan terjadi besok.

.

.

.

Bersambung . . .

Bagaimana bag pertamanya?

Ada kesan?

Kita pelan-pelan aja ya, kenalan dengan Aqeel dan Qeelanya!

Salam manis, @suen_siti (on instagram).

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

2.8M 120K 32
Stay in your limits. Don't think that I don't know anything. I cannot forget what you and your mother did to me and with my sister. Be there where yo...
1.7M 159K 83
Highest ranking #1 WATTPAD FEATURED STORY. He walked past her without sparing her a single glance. The one glance she had been yearning for years now...
25.8K 3.8K 20
She was not only born with a silver spoon, she was rocked in a diamond cradle and raised in a gold castle. She had the world at her feet and on her f...
159K 14.7K 34
Story of a surgeon Dr. Zulaid Afandi and a medical student Dr. Inara Ibrahim. Age gap Enemies to lovers Grumpy×sunshine Arranged marriage "What did...