CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

182K 34.1K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)

2.4K 567 178
By AryNilandari


JJ mengambil kertas dari tanganku dan membacakan keterangan hukuman. Bahkan mereka sendiri saling berpandangan heran. Mereka tidak terlibat, pikirku. Tapi mengamati ekspresinya, aku bisa menebak pemikiran JJ. Menyatakan tulisan itu bukan dari mereka sama saja dengan mengakui permainan itu sudah dikacaukan orang. Akan ada keraguan terhadap seluruh kotak. JJ tidak ingin itu terjadi. Lagipula, tidak ada masalah dengan hukumannya. Rhea akan mendapatkan kejutan dari sahabat di luar rumah. Biarlah.

"Hukum Rhea! Hukum Rhea!" suara perempuan, lantang dari belakang semua orang. Tangannya teracung. Gelang jade yang sama. Tapi bukan Marga, melainkan Henrietta. Marga sendiri masih di dekat JJ. Membisikkan sesuatu ke telinga salah satunya.

Maka hukuman itu dibacakan seolah mereka sendiri yang merencanakannya. Tidak ada yang berkerberatan. Kelompokku bahkan bertepuk tangan dengan ekspresi lega. Ada wakil yang menanggung hukuman.

Marga mendekatiku. Kilau hijau menghiasi pergelangan tangannya. Apa artinya itu? Mereka membentuk geng gelang jade? Aku bakal heran kalau Alea tidak muncul juga dengan tanda yang sama.

"Well, it's just a game. Rhea, kamu harus menjalani hukuman dulu. Silakan, ikuti Marga," kata JJ, bersikap biasa.

Jadi, tidak ada pilihan lain buatku. Tidak ada Aidan yang akan menentang situasi ini. Kalaupun ada, mungkin ia hanya akan bilang, I told you! Tidak mungkin pula aku menolak karena aturan permainan sudah disepakati. Tapi aku menolak merasa gentar. Dengan kepala tegak, diiringi tepuk tangan meriah, aku mengikuti Marga meninggalkan arena pesta.

Henrietta menyusul. Berdua mereka menggiringku melalui lorong, menuju pintu keluar.

"Kalian sudah rencanakan ini," kataku memancing. "Aku sengaja diberi undangan untuk tujuan ini?"

"Aw, Rhea, kamu selalu curigaan." Henrietta terdengar gugup.

"What have I done to you?" tanyaku, lebih pada diri sendiri. Rasanya, aku tidak pernah memberi mereka masalah.

"Sometimes, just being you annoys me so much." Marga mendesah. "Tapi seperti JJ bilang, ini cuma permainan. Kamu setuju ikut main. Dapat hadiah atau hukuman, sudah biasa. Apa kata orang, kalau kamu ribut cuma karena hukuman ringan, padahal sudah dapat hadiah banyak?"

"You talked too much," sahutku. Ambang pintu sudah tampak. Aku lebih waspada.

"Keluarlah," kata Marga. Ia berhenti.

"Ya. Kalau aku jadi kamu, bakal langsung pulang setelah ini. Aku pamitkan pada JJ." Henrietta terkikik.

Keningku berkerut. Cuma disuruh pulang? Baiklah. Tidak ada ruginya. Aku pun keluar, melewati batu-batu pipih yang dipasang di sepanjang jalan hingga ke pagar tanaman. Aku tadi masuk lewat gerbang utama, tapi pintu pagar samping ada di depan mata. Aku melanjutkan langkah, tidak menoleh lagi.

Pukul 21.45. Tidak merasa kalah ataupun terusir, hanya lapar karena tidak sempat makan, aku keluar dari pagar. Terdengar suara-suara di kanan kiri dan aku terlambat menyadari. Saat seember air—bukan air, tapi cairan putih kental dan lengket—disiramkan ke kepalaku. Aku memekik kaget dan refleks menutup mata saat benda cair itu menggeleser ke muka. Selagi tanganku sibuk menyingkirkan cairan dingin, ada lagi yang ditumpahkan ke rambutku.

Tawa tertahan lelaki dan perempuan terdengar. Aku nekat membuka mata, tapi dua orang itu sudah lari cepat. Keduanya memakai jaket dan topi. Dari belakang, sosok mereka tidak kukenali.

"Hey! Stop!" Seseorang turun dari mobil dan langsung mengejar mereka.

Aidan ....

Aku membiarkannya. Ya, tangkaplah mereka! Sementara aku mencoba membersihkan diri. Kulepas hoodie untuk menghanduki muka. Cairan lem tapioka dan beberapa bulu angsa berpindah ke hoodie. Setelah kukibaskan untuk mengusir kotoran, kuikat hoodie ke pinggang. What a mess. Berantakan, basah, dan lengket begini, apa ada taksi online yang mau mengangkutku? Naik angkot atau ojek mungkin bisa, tapi aku harus jalan ke luar kompleks dulu.

Marga, Henrietta, dan dua orang itu, benar-benar licik. Hukuman sengaja dilakukan di luar, agar aku tidak bisa menuntut siapa pun di dalam sana. Mereka bisa berkilah hanya menyuruhku pulang.

"Hey! Where are you going?" Aidan menjajariku. Sepertinya ia gagal menangkap dua orang itu.

"Pulang," sahutku pelan. Melirik cowok itu heran. Sempat-sempatnya berbahasa Inggris dalam situasi seperti ini.

"Jalan kaki?"

"Terbang. Sudah tumbuh bulu angsa di kepalaku. Kamu bisa lihat!"

Aidan tergelak. Lalu buru-buru menutup mulut, saat aku pelototi.

"Say it!" kataku, mendadak pengin menangis.

"Say what?" Aidan berdiri mengadang, mengulurkan kedua tangan untuk meraih bahuku.

Aku mundur. Sejak kapan ia berani pegang-pegang? Kubiarkan tangannya di udara. Aidan menggaruk kepala sendiri. "Kamu mau bilang sudah mengingatkan aku, kan? Ini akibatnya karena aku membandel, kan?"

Cowok itu menggeleng. Memandangku begitu intens. Aku balas menatapnya. Di bawah sinar lampu jalan, wajahnya bersemu merah. Ia melengos duluan. "I didn't warn you. Kamu enggak bandel. Kamu lakukan apa yang kamu anggap benar. Aku yang salah, karena telat datang."

Pengakuannya melelehkan hatiku. "Kamu sudah bilang enggak bakal datang."

"Ya. Tapi itu bodoh. Mementingkan urusan lain dan membiarkan kamu sendirian ke sini."

Lucu sekali cara Aidan menyalahkan diri sendiri. Berbeda dengan sikap acuh tak acuhnya di sekolah sore tadi. Aku ingin tersenyum, tapi wajahku kaku oleh lem yang mulai mengering.

"Kamu harus mandi," kata Aidan, menyadari masalahku. "Berendam air hangat."

"Ya, aku harus pindah kos ke apartemen mewah dulu," sahutku, setengah bercanda setengah kesal. Memangnya semua orang tajir kayak dia.

"Eh, sungguh kamu mau pindah ke apartemen? Di sebelah tempatku kosong."

Aku terbelalak. Apa Aidan salah makan, ya? Caranya berbicara dan bersikap tidak seperti biasanya. "Maksudku, di tempat kosku tidak ada bath tub dan air hangat."

"Oh." Aidan garuk-garuk lagi. Lalu matanya menangkap sesuatu di halaman rumah JJ. Tanpa peringatan, ia menarik lengan bajuku. Aku terpaksa mengikutinya. Tidak terlihat satpam di mana pun. Mungkin sudah diatur begitu, pikirku, agar mereka aman mengerjaiku.

Di sudut taman, ada kran air dan selang yang biasa dipakai menyemprot tanaman. Airnya mengalir saat kran diputar Aidan. "Jongkok!"

"Apa?"

"Eh, maksudku, posisi begini," kata Aidan, mencontohkan membungkuk. "Bow like a Japanese."

Keningku berkerut. Kenapa Aidan seperti lupa kosakata begitu, ya? Gerakannya pun kaku, tidak seperti pebasket andal. Tapi tidak ada waktu bertanya, kepalaku sudah ditekan Aidan dengan lembut. Tanpa peringatan lebih dulu, ia mencuci rambutku. Gerakan tangannya terasa kikuk dan ragu. Aku malah merasa seperti dirayapi laba-laba besar, yang membuat bulu kudukku berdiri. Beberapa kali, jemarinya terjerat keruwetan ikal-ikal yang saling menempel.

Aku mengaduh. "Sudah deh, biar kucuci sendiri." Kusodorkan tangan meminta selang.

"Diamlah. Let me do it." Aidan bersikeras. "Close your eyes, jangan sampai kemasukan lem."

Aku menurut. Tangan Aidan lebih mantap menggosok sekarang. Aku bersyukur, tidak ada clairtangency di kulit kepala. Walau tetap saja, kegiatan ini membuat seluruh badanku panas dingin. "Sudah?" tanyaku, mencoba menghentikannya. "Aku mau cuci muka. Sendiri."

Aidan memegangi selang sampai aku selesai membersihkan muka. Lalu ia mematikan air. Aku menegakkan tubuh. Tapi penderitaanku belum selesai. Melihat air menetes ke leher dan kausku, Aidan melepaskan jaketnya untuk membungkus rambutku. Dengan tinggi badannya, mudah saja ia melakukan itu. Sementara, aku menciut khawatir dengan kedekatan ini.

"Nah, lebih baik sekarang. Apa aku sudah bilang, rambutmu unik? Jangan dipotong ya. Ikat saja kalau gerah." Ia mengurai-urai rambutku, dan menemukan dua helai bulu angsa yang tertinggal.

"Eh, jangan dibuang!" kataku, cepat-cepat merebut bulu-bulu basah itu dan mengantonginya di saku jin. Tatapan bertanya Aidan kujawab dengan cengiran lebar. "Buat kenang-kenangan."

"Kenangan kena lem?" Alisnya bertaut.

Mukaku langsung panas. Pertanyaannya terdengar polos, tapi aku merasa ia menggodaku. Dengan mengentakkan kaki, aku meninggalkan rumah JJ.

"Apa bagusnya mengingat rambut kena lem dan bulu angsa?" Aidan mengiringi langkahku. Nada bicaranya serius. "Kamu tahu, ada tradisi tarring and feathering di Amerika untuk membalas dendam dengan mempermalukan lawan. Yang kamu alami mirip itu, hanya pakai lem bukan ter hitam. Tapi sama saja, perbuatan mereka enggak bisa dibiarkan. Kami akan selidiki siapa pelakunya."

"Kami?"

"Eh, aku. Aku yang akan menyelidiki. Ceritakan dari awal sambil kuantar kamu pulang." Aidan bersuit memanggil taksi.

Kami duduk di kursi belakang. Aidan mendengarkan ceritaku. Matanya tidak lepas memandangku sehingga beberapa kali, aku yang harus mengalihkan muka. Mengulas kejadian dengan perasaan tenang, memberiku perspektif berbeda. Aku sempat bersenang-senang di pesta itu. Mendapatkan teman-teman sekelompok yang tidak menganggap aku pembawa sial. JJ juga tidak bermaksud buruk. Apa jadinya kalau aku meributkan hukuman yang terjadi di luar arena? Kalau Tante Fang dan Bang El tahu, mereka tidak akan tinggal diam juga. Aku akan ada di pihak yang lebay. Dan orang-orang yang semula mau jadi temanku pasti bakal mundur teratur.

"Lupakan saja. Aku sudah enggak apa-apa."

"Tapi—"

"Just forget it, okay!" tegasku, lebih menyentak dari yang kuniatkan.

Aidan terdiam, kaget.

"Maaf." Aku tersenyum, menetralkan suasana. "Bulu-bulu ini kusimpan bukan untuk mengingat pengalaman dikerjai orang, tapi untuk kenangan-kenangan sama kamu."

Aidan menunjuk dadanya.

"Ya, kamu. Bayangkan, kapten basket DIHS mencuci rambutku. Siapa yang akan percaya!"

Tawaku tidak bersambut. Aidan menyandarkan punggung dengan semburan napas berat. Bergumam. Kedengarannya seperti bilang, "I am not what you think I am."

"Apa? Kamu bilang apa?"

Ia memandangku. Lalu senyumnya terkuak. "Ah, itu cuma judul lagu. Tiba-tiba saja teringat."

Jawaban yang absurd. Aku menggeleng-geleng, geli sendiri karena sempat terpikir Aidan yang di sampingku berbeda dengan Aidan sore tadi gara-gara ada alien yang menukar jiwanya. Tapi anehnya, aku merasa lebih nyaman dengan Aidan yang sekarang. Tidak berjarak. "Hei, boleh aku tanya sesuatu?" Ketika cowok itu mengangguk, kulanjutkan buru-buru, "Kamu akhirnya datang juga ke pesta, tapi sampai di sana malah mengurusi aku dan sekarang menemani aku pulang. Kenapa?"

Aidan mendadak gelisah. Seolah pertanyaanku begitu rumit dan susah dijawab.

"Aku sederhanakan, ya. What am I to you?"

"Tapi itu jauh lebih rumit." Aidan memandang ke luar jendela.

Aku mengangguk. "Kalau begitu, aku cabut pertanyaanku. Enggak usah kamu jawab." Kugeser bokong hingga mepet pintu. Melipat tangan di pangkuan. Menatap keluar jendela. Menggigil oleh emosi.

"Kamu akan mengerti sendiri nanti," kata Aidan, setelah jeda panjang, dan taksi berhenti di depan gang menuju tempat kosku.

Aku tersenyum. "Tentu. Aku cerdas."

"I know. But, please, take care."

"Yeah. You too." Aku berbalik. Memasukkan tangan ke dalam saku jin, merasai dua helai bulu angsa. Aidan sempat memegangnya. Tapi kenangan darinya lebih dalam dari itu.


Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 93.9K 6
SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS PEMENANG WATTYS 2017 kategori STORYSMITH Aldo sudah biasa menghadapi segala tindakan gila istrinya termasuk cara pikir ti...
93.9K 6.3K 8
Dia, ngasih gue Dream Catcher buat ngusir mimpi buruk gue. Tapi nyatanya, tanpa sadar dia lah pengusir mimpi buruk gue. Iya dia, cowok yang sama seka...
176K 37.5K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...
3.4M 28.2K 2
Bukan Cinderella, tapi Tsunderella.