CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

182K 34.1K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)

2.5K 555 90
By AryNilandari

Kelas 10, semester II

Aku memandangi undangan ultah itu dengan takjub. Membaca berulang-ulang namaku di kartu dan amplopnya. Benar, undangan itu untukku. Seumur hidup, baru kali ini aku diundang ke pesta ulang tahun. Oh, dulu pernah dua kali, waktu aku SD. Tapi mereka merayakannya di rumah yatim piatu, jadi otomatis aku hadir di sana. Kukira, itu tidak bisa dihitung.

Selebihnya, pada ultah teman-teman sekolah, aku biasa dilewatkan. Alasannya beragam. Dari yang kasihan karena aku tidak punya baju pesta dan tidak punya uang untuk membeli kado, sampai yang khawatir karena aku terlalu aneh. Intinya, Rhea anak yatim piatu bersarung tangan, lebih baik tidak muncul di foto-foto bahagia mereka.

Jadi, malaikat apa yang membuat si kembar JJ ini mengingatku? Jaylen dan Jordan Flores sama sekali tidak punya alasan bagus mengundangku. Dua cowok Filipina ini seangkatan tapi tidak sekelas denganku. Mereka tidak terlalu populer di kalangan cewek, tapi sering mengadakan pesta dan setiap kalinya lebih suka mengundang anak-anak populer. Sejak masuk SMA, kami sering berpapasan, tidak sekali pun mereka melirikku.

"Kamu diundang?" Aidan sudah berdiri di sampingku, melongok kartu yang kupegang. Dua alisnya bertaut.

Nada heran Aidan lebih menggelitik perasaanku ketimbang kehadirannya. Ya, memang aku terkejut, Aidan tiba-tiba muncul saat semua ekskul Sabtu sudah bubar. Tapi dengan pertanyaan itu, Aidan menganggap aku tidak layak diundang, bukan?

"Kapan kamu terima? JJ sendiri yang ngasih atau siapa? Kamu mau datang?" Aidan memberondongku dengan pertanyaan yang membuatku semakin tidak nyaman.

"Aku enggak harus jawab," sahutku ketus. Berbalik cepat untuk pulang saja. Niat awal belajar di perpustakaan sudah terganggu sejak menemukan undangan ini di mejaku di kelas.

"Hei!" Aidan sudah mengadang. Merentangkan dua tangan, seperti gerakan memblokir lawan dalam permainan basket.

Aku bisa saja menerobos ke bawah lengannya, tapi sebagai kapten yang berpengalaman, Aidan pasti sudah memperhitungkan itu. Lagi pula aku tidak mau tersentuh kulitnya. Tidak ada jalan di belakangku. Jadi, aku menentang matanya. "Maksudmu, aku enggak pantas datang?"

"Wah, bukan begitu!"

"Jadi, apa maumu?"

"Janji, enggak akan lari?" Aidan tersenyum dikulum.

Ya, ampun. Dalam keadaan tersinggung pun, aku tidak bisa mengelak pesonanya. Kusembunyikan undangan ke belakang punggung, tanpa mengangguk atau menggeleng.

Diamku ditafsirkan suka-suka oleh Aidan. Ia menurunkan tangan. "Kamu sensi sekali hari ini. Lagi PMS?"

Aku membelalak. Rasanya kami tidak cukup akrab untuk sampai ke topik pribadi seperti itu. Fakta bahwa aku memang sedang datang bulan semakin membuatku kesal. Tidak ada kaitan antara gejolak hormon dengan rasa senang karena ada juga yang mengundangku ke pesta ultah. Siapa pun itu.

"Sebaiknya kamu enggak usah datang," kata Aidan, meledakkan balonku.

"Kenapa? Kamu sendiri pasti diundang dan bakal datang, kan?" Suaraku tidak menyembunyikan rasa kecewa dengan sikapnya. Tidak bisakah ia gembira untukku?

"Ya, diundang, tapi aku enggak akan datang. Undangan JJ beredar seminggu lalu. Kamu baru dapat hari ini, cuma beberapa jam sebelum waktunya. Kupikir itu aneh."

Di belakang kepala, aku mengakui Aidan benar. Tapi, aku membantahnya juga. Hanya karena aku ingin menentangnya saat ini. "Mungkin mereka baru ingat. Mungkin ada kelebihan undangan. Aku enggak peduli."

"Aku peduli." Aidan memasukkan dua tangan di saku jaket. Ekspresinya semakin serius saat memandangku.

Aku tercengang. Sementara dadaku mulai menggemakan detak jantung. Pengakuankah itu? Bahwa ia peduli dengan keselamatanku?

Aidan seperti tersadar, melengos dengan muka memerah. "Kalau aku yang dapat undangan enggak jelas begitu, tentu saja aku peduli. Setidaknya pikir seribu kali untuk datang. Kalau sudah seribu kali, pikir ulang lagi."

Kilahnya sungguh menggelikan. Aku mendengkus untuk menyembunyikan tawa yang hampir terlepas. Di belakang punggung, aku melepaskan sarung tangan untuk membaca asal-usul undangan. Tindakan yang harusnya kulakukan sejak awal alih-alih baper gaje menatapi undangan. "Ada yang menaruhnya di mejaku. Aku enggak kenal. Anak itu disuruh Henrietta. Henrietta disuruh Marga. Marga dapat dua undangan, satunya untuk Alea, tapi Alea enggak bisa datang."

"Nah!" Aidan menjentikkan jemari, seakan mendapatkan bukti. "Kenapa enggak diberikan langsung oleh Alea yang sekelas sama kamu? Kenapa harus keliling begitu?"

Reaksi Aidan tidak terduga. Kupikir ia akan heran dari mana aku mendapatkan informasi segamblang itu. Tapi tidak ada gunanya mempertanyakan Aidan. Dari awal, cowok itu selalu bersikap sesukanya. Aku menyemburkan napas, dan menyodorkan undangan ke depan mukanya. "Nih, tanyalah sendiri sama undangannya langsung."

Aidan memundurkan kepala. Cemberut. "Akan kulakukan kalau aku yang punya kemampuan itu. Sekalian lihat ada bahaya apa di baliknya."

Kemampuan? Bahaya? Aku menelengkan kepala. Aidan bicara apa?

Aidan menepuk dada, lalu pelipisnya. "Tapi pakai feeling dan otak pun bisa! Aku bilangin ya, undangan itu mencurigakan. Kamu enggak usah datang. Karena aku enggak bisa datang." Setelah berkata begitu, Aidan membalikkan badan. Aku yakin ia kesal dari caranya melangkah. Mengentak-entak kayak anak kecil cari perhatian.

"Jangan khawatir!" seruku. "Aku bisa jaga diri."

Aidan tidak menoleh. Malah bergegas turun tangga, seolah kami tidak pernah bicara.

He did it again! Rasanya aku pengin meneriakinya. Kamu enggak berhak melarangku, Mister! Tapi kaki panjang cowok itu membawanya pergi dan hilang dalam sekejap. Aku masih berdiri di depan kelas. Semakin dipikir, semakin aneh sikap Aidan, semakin aku ingin membuktikan, ia tidak punya alasan untuk mengatur aku. Dengan geram aku turun, tapi melalui tangga di sayap kiri gedung. Lebih sempit, jarang dilalui siswa. Hanya untuk menghindari bertemu lagi dengannya.

Acara JJ dimulai pukul 20.00 malam ini. Aku masih punya empat jam untuk bersiap-siap. Lebih dari cukup, karena aku hanya perlu lima belas menit untuk berganti pakaian dan setengah jam ke tempat tujuan yang tidak terlalu jauh. Kugunakan sisa waktu untuk mempersiapkan mental. Menurut cerita-cerita yang kudengar sambil lalu, JJ suka sekali berpesta. Apa pun layak dipestakan. Dapat nilai rapor bagus, renovasi kamar, ulang tahun binatang peliharaan, selamat dari kesialan, dan sekarang ultah.

Aku sering mendengar juga, pesta JJ kayak pesta anak kecil, lebih banyak makanan dan minuman ringan, balon dan confetti, permainan, bahkan badut sesekali. Bukan konsumsi anak-anak populer DIHS sebetulnya, tapi justru aman buatku. Aku tidak suka gambaran pesta ala sinetron yang identik dengan sumber masalah.

Jadi, pada waktunya, aku sampai di tempat JJ, yang terletak di dalam kompleks perumahan mewah. Taman luas mengelilingi bangunan bertingkat. Jalan di depannya sunyi. Pak satpam mengantarku hingga ke pintu samping.

Aku memakai setelan abu-abu hitam yang nyaman dan biasa kupakai. Bersiap menyapa Jaylen atau Jordan, yang panggilannya sama, JJ. Jangankan aku yang tidak pernah berinteraksi, teman-teman dan guru mereka pun sulit membedakan keduanya. Kembar identik hingga ke tahi lalat di pipi.

"Hei, kamu telat. Langsung masuk saja. Pestanya di belakang." Seseorang berteriak dari balkon.

Telat? Apakah mereka memajukan acara? Mungkin lewat japri dan aku terlupakan. Aku pun bergegas. Pintu samping itu ternyata menuju halaman berumput di belakang rumah. Kuedarkan pandangan. Ada musik di panggung, dan orang-orang mengerumuni meja-meja hidangan yang sudah tidak utuh lagi. Pesta sepertinya sudah berlangsung cukup lama. Pendatang baru seperti aku, tidak usah berharap banyak.

Aku mencari JJ. Sekadar ingin mengucapkan selamat dan berterima kasih telah mengundangku. Tapi si kembar tidak tampak di mana pun. Aku mengambil minuman, lalu berdiri di depan panggung, mencoba menikmati musik. Dua lagu, aku mulai bosan, terlalu berisik. Mulai merindukan kamarku yang tenang. Tapi sudah jelas Aidan keliru, tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sini.

Tak lama kemudian, JJ muncul. Meminta semua orang berkumpul. Tamunya tidak sebanyak perkiraanku. Sekitar 50 orang, dengan beberapa wajah familier selebritas DIHS. Jangan tanya soal penampilan. Sudah pasti modis, up to date, dan branded. Tapi entah kenapa, berdiri di antara mereka, memberiku perasaan diterima. Jin, t-shirt, hoodie, dan sarung tangan, adalah normalitasku, yang sering dianggap menyimpang dari normalitas umum. Namun kali ini, ketidaknormalanku di antara yang normal membuatku merasa normal.

JJ mengumumkan, winning game sudah bisa dimulai. Siapa saja boleh ikutan, siapa saja bisa memenangi hadiah. Sorak, tepuk tangan, dan suitan pecah di sekelilingku. Sepertinya semua orang sudah tahu apa yang dibicarakan. Untungnya JJ sadar ada teman-teman yang baru kali menghadiri pesta mereka. Jadi, Jaylen dan Jordan bergantian menjelaskan, sambil berjalan ke arena di seberang panggung. Kami mengikuti mereka.

Winning Game adalah permainan yang mereka ciptakan untuk berbagi kesenangan. Di sudut arena, bertumpuk kado beragam ukuran yang diberi nomor urut. Alih-alih menerima hadiah dari teman-teman, mereka akan membagikan kado-kado itu kepada yang beruntung dalam permainan. Caranya mudah. Tamu dibagi menjadi lima kelompok. Perwakilan tiap kelompok secara bergantian memilih satu dari lima kotak kecil yang berjajar di meja. Kotak-kotak itu berisi kertas dengan nomor hadiah, atau kosong, atau hukuman untuk meramaikan suasana.

Pecah lagi tawa dan tepuk tangan di sekitarku, ditingkahi ocehan tentang hadiah dan hukuman yang pernah diterima pada pesta sebelumnya. Buku bacaan, iPod, flash disk, scarf, disuruh push up 10 kali, minum sirop campur minyak ikan ....

Aku terbawa semangat dan kegembiraan mereka. Ikut bertepuk tangan dan bersorak. Coba kalau Aidan hadir. Biar ia jelaskan bahayanya mendapatkan hadiah dan hukuman kekanakan itu.

JJ menyuruh kami segera membentuk kelompok. Dan seorang gadis menarikku masuk ke dalam grupnya. Tidak ada yang kukenal, tapi dengan ramah, ia menyebutkan nama-nama dan asal kelas masing-masing. Nama-nama itu hanya lewat, sebagian besar kelas 12.

"Rhea, kamu belum pernah ikutan, kan? Nanti, maju duluan ya? Pilih kotak yang mana saja. Jangan khawatir, aturannya fair, kok. Hadiah dibagi-bagi, hukuman ditanggung bersama. Kelompok yang terbanyak mendapatkan hadiah, bakal dapat jackpot. Siap?"

Aku berjingkrak, tidak bisa menyembunyikan gairah. Siapa yang tidak suka hadiah? Apa lagi ini mudah sekali buatku. Kalau tidak keduluan kelompok lain, aku pastikan akan selalu mendapatkan hadiah, minimal kotak kosong, dan zero hukuman. Kulepaskan dan kujejalkan sarung tangan ke dalam saku hoodie. Lalu mengikuti mereka berbaris. Pemimpin kelompok mendorongku ke depan.

Dan dimulailah keseruan itu. Menyentuh berarti memilih. Tapi tidak dilarang menyapukan tangan di atasnya. Setiap kotak memberikan getaran kuat. Aku bisa membaca canda JJ setiap kali memasukkan tulisan berisi hukuman. Juga senyum puas untuk setiap hadiah yang mereka berikan. Sungguh murah hati.

Kuserahkan kotak pilihanku pada Jaylen atau Jordan. Cowok itu mengeluarkan lipatan kertas dari dalam kotak dan membacakan isinya. Hadiah!

Kelompokku bersorak. "Rhea! Rhea! Rhea!"

Rasanya, aku ingin berteriak pada Aidan, Hei, apa bahayanya mendengar namaku diserukan? Apa bahayanya menyaksikan kelompok lain dihukum berdiri dengan satu kaki atau makan puding pedas?

Babak berikutnya, kelompok lain diwakili orang yang berbeda. Tapi aku diminta memilihkan lagi. Mereka menganggapku membawa keberuntungan. Baru tahu, mereka. Let's see.

Yup! Hadiah lagi! Teman-teman menari-nari liar. Aku tertawa lepas.

Babak ketiga, hadiah sudah diambil kelompok lain, tapi dengan mudah kuhindari hukuman.

"Lanjutkan, Rhea!" Mereka bersepakat lagi.

Aku mulai menarik perhatian saat mendapatkan hadiah ketiga dan keempat. Kata sihir, cenayang, curang, dan entah apa lagi mulai terdengar. JJ sampai naik ke panggung untuk menegaskan, tidak mungkin ada kecurangan. Karena mereka sendiri yang menulis di kertas dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak itu.

Kelompokku pun tidak peduli. Hingga babak terakhir, aku tetap menjadi wakil mereka. Kotak terakhir, aku sengaja memilih yang kosong. Cukuplah 4 hadiah dan 1 jackpot untuk dibagi bersepuluh. Aku serahkan kotak pilihanku kepada si kembar. Tiba-tiba saja beberapa orang mendesak maju, mengerumuni JJ, ingin melihat sendiri isinya. Salah satunya terdorong dan menyenggol JJ. Kotak di tangannya pun terjatuh.

Si kembar berteriak-teriak menyuruh mereka mundur. Aku dan teman-teman sekelompok mengamati saja sambil tertawa-tawa. Perlu beberapa saat untuk mengembalikan ketertiban.

"Oke, kita lanjutkan. Coba kita lihat ...." JJ mendramatitasi pembukaan kotak. "Hukuman! Keberuntunganmu berakhir, Rhea!"

Sorakan kelompok lain menyadarkanku. Senyumku lenyap. Tidak mungkin. Aku mengambil kertas itu, dan membaca yang tersirat. Kotak terjatuh di rumput saat JJ tersenggol. Dipungut tangan perempuan bergelang jade hijau. Tangan itu membuka kotak dan mengganti kertas di dalamnya, lalu menyerahkan kotak kembali kepada JJ.

Ada perincian di bawah tulisan hukuman: Khusus untuk si pemilih: kejutan dari sahabat JJ menanti di luar!

Penulisnya si tangan bergelang jade. Wajah yang kukenal baik. Marga.

Aku tertegun. Peringatan Aidan terngiang. Aneh. Mencurigakan. Bahaya.

--------------> lanjut ke part (b)

Continue Reading

You'll Also Like

107K 17.7K 51
cover by the talented @BYBcool *** Sembilan orang itu disebut Venom, sekelompok teroris yang perlahan-lahan terungkap sosok aslinya melalui halaman d...
2.7M 340K 48
[ wattys 2020 award winner in historical fiction ] [ 𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞𝐝; telah terbit bersama Marchen ] Memegang label sebagai intelijen Amerika Ser...
3.4M 28.2K 2
Bukan Cinderella, tapi Tsunderella.
223K 17.7K 40
[CHICKLIT-FANTASY-MYSTERY] 17+ Seperti kebanyakan remaja akhir pada umumnya, Anna Rosen hanya ingin bersenang-senang dan menikmati hidup, walaupun ia...