Assassin

By Irie77

116K 15.2K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 16

2.8K 397 117
By Irie77

Tiga hari telah berlalu, latihan demi latihan kami jalani untuk mempersiapkan misi berikutnya. Kini tambah lagi satu orang di kelompok kami. Kulihat Liz sama sekali tidak berbahaya meskipun terkadang kami begitu waspada padanya. Tapi setelah dipikir-pikir Lavina juga tidak seburuk yang kupikirkan. Sikapnya memang sedikit urakan, tapi itu tak menganggu kami sedikitpun.

Aleea membuka selembar perkamen besar yang berisi sebuah peta yang entah dari mana ia mendapatkannya. Itu bukan peta istana melainkan peta sebuah kediaman yang bisa dipastikan bangunanannya megah dan memiliki halam luas. Misi kali ini menculik kepala Menteri yang di duga terlibat pada peristiwa sihir itu, Nyonya Jevera.

Sesekali aku melirik gadis yang sedang terduduk dengan gaya angkuhnya di tengah latihan. Ia hanya menonton dan mengamati kami latihan sambil memakan buah yang ia dapat dari hasil mencuri dari kebun seseorang. Ya, saat ini dia bukan Liz, melainkan Lavina.

Keningku berkerut ketika menatapnya. Wajah Liz yang lemah lembut berubah tegas dan lugas seketika. Awalnya sangat mengganggu sekali, tapi semakin bertambah hari, aku mulai terbiasa dengan pergantian sikapnya yang tergolong ekstrim.

"Setelah latihan, aku ingin meminjam senjata kalian," ujarnya sambil menyangga dagu. "Kupikir akan lebih menarik jika senjata kalian di gabungkan dengan sihirkku.

"Kau tidak bermaksud merubah belatiku menjadi sapu terbang kan?" Aku tahu Zealda sedang bercanda, tapi kekurangannya adalah ia memasang wajah serius ketika mengatakannya.

"Kau pikir aku penyihir amatiran?" balas Lavina. "Untuk apa aku repot-repot memakai sapu terbang sedangkan aku bisa berteleport sesuka hati."

"Nah itu dia!" tukas Aleea. "Teleport. Kita memerlukannya."

Semua mata kini tertuju pada Aleea.

"Yah, tapi teleport membutuhkan energi yang besar. Kalian harus melewati beberapa proses untuk melakukannya." Lavina menyahut sambil melompat dari tempat duduknya. "Untuk pemula seperti kalian, mungkin sebaiknya jangan sering melakukan teleport kalau tidak mau mati konyol."

"Setidaknya kami akan mencobanya jika kau berkenan memberitahu kami caranya." Kini Velian yang bersuara.

Ini menarik, untuk menghadapi sihir, kemampuan bertarung kami sebagai Assassin mungkin belum cukup jika tidak dilengkapi sihir. Tapi—jika menggunakan sihir terlalu beresiko, mungkin kami bisa menggunakannya disaat darurat saja.

"Baiklah, pertama-tama serahkan semua senjata kalian yang akan digunakan. Kalian bisa sembari istirahat atau siapakan makanan untukku lebih baik." Lavina melipat tangan dengan gaya sok berkuasa.

Yap, ini adalah bagian yang tidak kami suka. Dia seperti tukang suruh rumahan yang amatiran. Tapi—apa boleh buat, kami harus menerimanya karena kami tahu disana ada Liz.

"Baiklah. Aku percayakan senjataku padamu," sahutku. "Kau akan mendapat makan siang setelah kau menyelesaikannya."

Ia mendengus dengan seringai mengejek. "Sebelum kalian selesai menyiapkan makan siang, aku akan selesai terlebih dahulu. Dan kau—kusarankan untuk belajar masak." Ia berjalan melewatiku begitu saja. "Gadis-gadis di distrikmu, semuanya wanita feminim yang pandai memasak. Kalau kau sok jantan begitu, mana ada pria yang akan menyukaimu," lanjutnya dengan nada menyebalkan.

"Oh." Aku menyeringai sejenak. "Apa kau pikir ada pria yang akan menyukaimu?"

"Setidaknya Liz memiliki banyak pria yang menyukainya." Ia tersenyum menang dan itu sangat menyebalkan. "Kau kalah telak."

Ia tertawa dan hatiku merasa sebal seketika. Aku tahu dia sedang bercanda dengan cara menyindirku. Meskipun menyebalkan tapi aku merasa justru dengan cara inilah kami bisa akrab.

Aku tersenyum kalah. "Baiklah, aku mengaku kalah."

Sesuai permintaannya, kami bertiga mengumpulkan semua senjata kami dan membiarkan Lavina mengamatinya satu persatu. Aku bersiap mengambil tombak andalanku untuk berburu sementara Aleea meminjam busur panah milik Liz yang tergeletak untuk menemaniku berburu. Zealda dan Velian bersiap mencari kayu bakar dan juga mencari rempah-rempah.

Hari berjalan begitu cepat dan tak disangka, Velian ingin mempercepat rencana berikutnya. Entah apa yang telah merasukinya, ia tampak begitu risau dengan raut dinginnya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah pikiran hingga mempercepat misi berikutnya pada malam ini. Ada banyak pertanyaan dalam benakku ketika ia memasang wajah serius, tapi aku masih menahannya sambil menunggu saat yang tepat.

Sumpah serapah juga keluar dari bibir Lavina. Ia tampak begitu kesal awalnya, namun setelah Velian menjelaskan alasan kami harus bergerak malam ini akhirnya ia mau mengerti. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang tak di jelaskan Velian, aku bisa melihat dari raut wajahnya.

Seusai makan, kami berlima bersiap-siap menyiapkan senjata masing-masing. Aku menggendong pedangku di punggung dan juga Twin Sword di pinggangku. Tak lupa juga untuk memasang senjata andalanku, Wolverine.

Aku menatap Velian sejenak dan mendekatinya diam-diam ketika semuanya sedang sibuk dengan persiapan masing-masing.

"Ada apa sebenarnya?" bisikku sambil membantunya.

"Ini tentang putra mahkota," sahutnya ditengah kesibukannya. "Dia merencanakan sesuatu untuk melakukan pencarian."

Mataku menyipit. "Pencarian tentang apa?"

"Dia memiliki keyakinan bahwa keturunan raja terdahulu masih hidup. Dan ia melakukan pencarian untuk menghabisi mereka semua, termasuk aku," balasnya semakin berbisik dengan mendekatkan bibirnya di telingaku. "Ia bermaksud untuk menjaga kadaulatan ayahnya, dengan begitu posisinya sebagai calon pengganti raja juga takan terancam. Kita harus mendapatkan informasi sejelas mungkin sebelum putra mahkota bertindak lebih cepat."

"Tapi bukankah kau bilang selama saudara-saudaramu memiliki Shirea, mereka semua tidak akan bisa di bunuh? Kecuali jika Shiireanya mati."

"Masalahnya adalah kita tidak tahu apa Shirea pelindung mereka masih hidup atau tidak. Aku bahkan tidak tahu apakah mereka sebenarnya masih hidup atau tidak. Yang baru kutahu hanya kau sebagai Shirea-ku."

Aku menghela dengan resah dan turut cemas. "Apa misi kali ini takan beresiko?"

"Aleea sudah memaparkan semuanya. Nyonya Jevera tidak memiliki penjaga lebih dari lima puluh. Kurasa, tidak sulit untuk membawanya dan membuatnya membuka suara."

Aku menarik nafas dalam. "Yah, seharusnya itu tidaklah sulit."

"Untuk menghadapi penjaga sebanyak lima puluh, kau bisa menahannya."

Aku mengangguk setuju dengan berat hati. "Yah."

Aku mengerutkan kening ketika melihat Lavina memgangi kepalanya sambil meracau tidak jelas, tak lama kemudian ia terlihat linglung dan bingung. Aku langsung menyadari bahwa gadis di hadapanku sudah berganti kepribadian, dan saat ini ia adalah Liz.

"Apa yang terjadi?" tanyanya bingung. "Apa yang akan kalian lakukan? Kenapa kalian membawa senjata? Apa—malam ini harus beraksi?"

Tiga pemuda di sekitarku langsung menghela nafas dengan sabar sementara aku hanya menggelengkan kepala dengan gemas. Kenapa Lavina di gantikan Liz disaat-saat seperti ini?

"Aku akan menjelaskannnya padamu di perjalanan," sahut Velian. "Yang jelas malam ini harus bertindak."

Tak butuh waktu lama Liz menggendong perlengkapan panahnya dan kami segera meninggalkan tempat persembunyian kami.

"Tapi sepertinya—tanpa Lavina, sihir pada senjata kita takan berfungsi," bisik Velian pada kesempatan sempit.

Malam begitu lembab dengan kilau embun di dedaunan menyiratkan betapa cerahnya cahaya purnama malam ini. Aku menatap meraka satu persatu dengan wajah tegang masing-masing. Kali ini tidak serileks saat pertama kali aku menjalankan misi dengan mereka, ketika kami menyusup pada acara pesta. Sepertinya misi kali ini lebih serius dan membuatku turut tegang untuk melaksanakannya. Aku bisa melihat Velian yang berambisi, dan aku paham betul apa yang mengganggu pikirannya saat ini.

Perjalanan kali ini adalah ke pusat kota, tepatnya ke kediaman perdana menteri Jevera untuk menculiknya. Tapi aku tahu, di tempat itu memiliki penjagaan yang ketat meski tidak seketat penjagaan di istana.

Sesuai rencana semula, kami terpisah dengan tugas masing-masing. Aleea bertugas untuk mengacaukan pertahanan Mansion Jevera sambil memantau keadaan, Liz untuk serangan jarak jauh jika dibutuhkan, aku sendiri harus bertarung untuk menahan serangan dari luar mansion sementara Zealda dan Velian masuk kedalam sambil mengatasi keamanan di dalam mansion.

Misi dimulai. Liz menembakan panahnya pada kerumunan penjaga yang ramai, kemudian Aleea melompat turun dan melemparkan belatinya dan mengenai bahu salah satu dari mereka. Berhasil! Penjagaan luar mansion menjadi kacau dan tentu saja, penjagaan di dalam mansion di beri tahu masalah kekacauan di luar.

Semua sesuai rencana, orang-orang berhamburan keluar dari dalam untuk mengejar Aleea, yang berarti penjagaan di dalam mansion berkurang setengahnya. Setelah Aleea berhasil membuat kekacauan dan semua mengejarnya, giliran aku yang menjalankan tugasku sementara Velian dan Zealda mengambil kesempat ini untuk menyusup masuk.

Aku melompat dan terjun langsung ke tengah-tengah mereka. Liz sudah bersembunyi dengan sempurna untuk membantuku dengan serangan jarak jauh sementara Aleea menyusul Velian dan Zealda untuk memantau keadaan di dalam mansion.

Aku bersiap mencabik mereka dengan Wolverin-ku. Mereka berlari dengan pedang-pedang ditangan mereka. Aku berputar sambil menghindari serangan mereka sambil menatap jeli pergerakan mereka. Aku menangkis sambil menyerang layaknya Warrior. Dari awal mereka sudah mempercayai kemampuan bertarungku, karena itu aku yang mendapat tugas ini.

Liz menembaki mereka yang luput dari pertahananku terutama orang-orang yang berusaha menyerangku dari belakang. Ini cukup membantu sekali. Aku menggunakan tiga pedang sekaligus secara bergantian dengan mengandalkan kelincahanku untuk melumpuhkan mereka. Tapi ini tak membutuhkan waktu singkat, jumlah mereka semakin bertambah seiring dengan tumbangnya yang lain seakan-akan mereka tidak ada habisnya.

Sesaat aku menyadari sesuatu ketika aku mulai kelelahan. Kuperhatikan wajah mereka satu persatu dan menatap wajah-wajah yang sebagian tewas kubunuh. Wajah mereka sama, namun dalam jumlah yang banyak. Jika di amati sebenarnya yang kuhadapi hanya tiga puluh orang dengan wajah yang berbeda, tapi aku merasa ada kekuatan yang membuat mereka menjadi banyak. Satu wajah di miliki enam orang sekaligus dengan formasi acak. Ada kekuatan yang membuat mereka di kloning menjadi enam setiap individunya, itu berarti sama saja aku menghadapi seratus delapan puluh orang sekali bertarung, tapi setiap orang yang terbunuh akan muncul satu orang baru yang berwajah sama.

Tanah yang kupijaki menjadi lumpur darah dengan dengan onggokan mayat sebanyak itu, bukan seratus delapan puluh orang lagi yang kuhadapi, mungkin tiga kali lipatnya.

"Sial! Kalau begini panah Liz akan habis dan aku akan mati kehabisan tenaga," racauku dalam hati. "Bagaimana ini? Kuharap mereka bertiga segera menyelesaikan misinya."

Aku bertarung sejauh yang kubisa untuk mengulur waktu didalam sana. Untung saja, mansion Jevera memiliki halaman yang luas, meskipun masih daerah kota tapi ia memilih untuk menjauh dari komunitas penduduk.

Aku mengerjap ketika tengku leherku terasa sakit, sial! Itu berarti terjadi sesuatu pada Velian. Aku tetap mengayunkan pedangku yang sudah memerah karena darah yang tak ada habisnya. Aku benar-benar mulai kelelahan dan ini sudah meleset jauh dari rencana. Tubuhku mulai dipenuhi luka sayatan-sayatan kecil yang pedih. Tengkuk leherku semakin sakit dan menambah penderitaanku.

"Velian, apa yang terjadi?" gumamku sambil menahan pedih di tengkukku.

Perhatianku teralihkan oleh suara keributan yang lain. Liz—tertangkap. Aku ingin sekali menolongnya tapi aku harus menghadapi penjaga abnormal ini. Tubuhku mulai limbung dan terhuyung, aku bertekuk lutut dan hanya bertopang pada pedangku. Tubuhku terasa lengket akibat keringat dan darah. Pedih dan Perih menjadi satu dalam rasa lelah yang luar biasa.

Aku meraba tengkuk leherku yang sakit dan rasanya semakin pedih ketika aku menyentuhnya. Aku yang lengah membuat mereka mendapat kesempatan untuk memberiku serangan telak. Seseorang sudah menghantam punggungku kemudian menendang perutku hingga aku terjungkal. Pedangku terlepas dari tanganku.

Aku terbatuk-batuk sambil meringis kesakitan. Mataku menangkap seseorang berlari kearahku dengan membawa pedangnya. Aku kembali bersiap untuk bertahan sambil menatapnya tajam. Ia melompat sementara aku menghidari serangannya kemudian menghujamkan Wolverin ku ke jantungnya. Namun sedetik sebuah pedang menembus ulu hatiku.

Aku lengah. Aku tak menyadari ada seseorang yang sudah bersiap menyerangku dengan sigap. Aku menatap pedang yang masih menancap ditubuhku. Itu—adalah pedangku sendiri, seseorang menggunakannya ketika terlepas dari tanganku.

Aku tergeletak di tanah dengan segala lelah yang ada dan juga—sakit. Tengkuk leherku masih terasa pedih namun mulai berkurang. Aku berusaha untuk bergerak dan mencabut pedangku kemudian berdiri dengan susah payah.

Aku terdiam ketika mereka semua terlempar ketika hendak menyerangku lagi. Penyelamatku datang?

Kejadiannya begitu cepat, butuh waktu untuk menyadari bahwa aku sudah dalam rengkuhan seseorang bertopeng dengan jubbah serba hitamnya. Aku memekik pelan untuk menahan sakit yang rasanya semankin parah. Kupikir ia adalah Velian yang sudah memahami situasi, ternyata bukan.

"Terimakasih sudah menyelamatkanku," ujarku tulus dengan nada lemah.

Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Setelah ini, aku akan meminta imbalan darimu."

Meskipun aku tak melihat wajahnya, tapi sorot matanya menyiratkan bahwa ia sedang menyeringai. Aku mengerutkan kening seketika sambil mengamati penampilannya dan tak lama aku melihat sesuatu yang membuat mataku lebar.

Aku melihat sebuah lencana emas di bahunya yang tidak sengaja menyembul dari persembunyiannya ketika angin mengibarkan kain yang menutupinya. Itu adalah lencana emas dari kerajaan dan simbol itu adalah—Putra Mahkota.

Lidahku kelu seketika. Pikiranku menjadi kacau dengan teriakan untuk membebaskan diri, tapi tubuhku justru sebaliknya, tetap mematung.

"Ya-yang mulia?"

"Waktu itu aku percaya padamu kalau kau bukan seorang Assassin. Tapi sekarang—" Ia menatap tajam kearahku. "Aku tidak akan melepaskanmu."

_______To be Continued_______

Siang semua.. Udah berapa lama author gak up yah ? (*lama banget thor.. TT)

Maaf karena akhir-akhir ini kesibukan author di luar perkiraan.. T_T Tapi cerita ini akan terus berlanjut kok dan yang pasti bakal sampe tamat.. Maaf buat keterlambatannya yah.. :(

Jangan lupa tinggalkan jejak dan makasih banget buat votmennya.. ^^ maaf juga kalau ada yang typo..

Salam Fantasy, by Indah Ghasy

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 282 30
Berawal dari aku yang menemukan tempat misterius di dalam rumah baru karena mendengar suara-suara indah, membawaku menuju dunia peri yang mengerikan...
70K 13.7K 32
[Fantasy - Adventure] Orang tua Viona sudah meninggal sejak lama, sejak ia kecil. Namun, di umurnya yang ke-19 ini, sebuah rahasia besar baru terungk...
310K 73.8K 36
"Bahkan walau jiwa gue dirobek berkeping-keping, gue bakalan mastiin lo bisa pulang." Pasca melihat ibu kandungnya sengaja bunuh diri di depannya unt...
3.7M 360K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...