Bunga Iris dan Takdir

By hanyapisang

77.4K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... More

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Bendera Perang?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Kesan Pertama?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Tawaran Perdamaian?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Sialan?
Berbicara?
Bagaimana?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Power Bank?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Hah!
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Pulanglah?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Hangat?

490 101 44
By hanyapisang

And God knows I'm not dying but I breathe now
And God knows it's the only way to heal now
With all the blood I lost with you
It drowns the love I thought I knew

(My Blood, Ellie Goulding)

--------------------------------------

"Jadi kau akan pindah ke luar negeri?" Jihoon bertanya, tidak berusaha untuk menyembunyikan nada sedih dari suaranya.

"Begitulah," jawabku, sambil kemudian ikut bergabung bersama Jihoon berbaring di atas kasur. "Setelah kakek pulang dari perjalanan bisnisnya dan aku mengatakan 'iya' maka urusan kepindahanku akan segera diurus."

"Dan kapan itu akan terjadi?" tanya Jihoon lagi, dengan suara yang kali ini terdengar begitu ragu. "Maksudku... untuk kepindahanmu."

"Entahlah," aku, yang berbaring telentang tepat di sampingnya, menolehkan kepalaku untuk melihat Jihoon yang juga sedang menoleh padaku. Kusunggingkan seulas senyum simpul padanya untuk membalas tatapan matanya yang begitu muram. "Bisa saja satu atau dua minggu dari sekarang."

Jihoon tidak mengatakan apapun setelah mendengar jawabanku. Dia hanya terdiam dan kembali memalingkan wajahnya untuk melihat langit-langit kamarku, sementara aku sendiri juga tidak mencoba untuk melanjutkan obrolan. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan padanya. Sesuatu yang ingin kuceritakan, yaitu mengenai rencana kepindahanku ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahku, sudah kuungkapkan semuanya.

Beberapa menit telah berlalu dan kebisuan di antara kami membuat susana kamar ini menjadi begitu suram dan menyedihkan. Sama-sama menatap nanar langit-langit kamar, kami berdua seperti begitu larut dalam apapun yang sedang kami pikirkan.

Aku bersyukur atas sikap Jihoon yang tidak berusaha untuk membujuk atau menggoyahkan keinginanku untuk pindah. Mungkin saja ketika melihat kebulatan tekad dari ekspresiku, ia sudah tahu bahwa aku telah memikirkan segala sesuatunya sebelum mengambil langkah sebesar ini. Aku tahu bahwa berat bagi Jihoon untuk melihatku—yang bisa dikatakan adalah teman baiknya—pergi jauh meninggalkannya. Tetapi aku juga tahu bahwa Jihoon sangat paham kalau aku juga merasakan rasa berat itu. Bahkan di posisiku, perasaan berat itu, perasaan sakit itu, dan perasaan susah itu kurasakan berkali-kali lipat rasanya. Karena itu Jihoon memilih untuk mendengarkan rencanaku dengan tenang, meskipun gurat sedih juga tersirat di wajahnya yang biasanya begitu cuek.

Jihoon menghargai keputusanku karena ia juga menyadari bahwa akulah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan diriku sendiri, dan karena hal itu aku semakin menghargai dirinya dan juga keberadaannya. Saat ini yang kubutuhkan adalah teman yang suportif, bukan teman yang berusaha memaksaku untuk melihat dari perspektifnya dan membuatku semakin kebingungan di situasi yang sudah membuat kepalaku seakan mau pecah.

Saat ini, bagiku, lebih banyak alasan yang membuatku untuk pergi dibandingkan dengan yang membuatku untuk tetap bertahan di sini.

Setelah sekitar lima belas menit lamanya kami sama-sama saling menutup mulut rapat-rapat, Jihoon akhirnya berdehem. Suara dehemnya terdengar sedikit tercekat. "Jadi aku tidak akan bisa bertemu denganmu lagi di semester depan?"

Aku menghela napas panjang, berusaha untuk meringankan beban yang seakan menghimpit dadaku, yang membuatku merasakan sesak yang menyakitkan. "Kau bisa selalu menghubungiku kapanpun kau mau. Kita bisa melakukan video call dan lain sebagainya. Mungkin saja suatu saat nanti kau juga bisa mengunjungiku di tempatku yang baru?"

"Dan kita juga bisa bertemu setiap kali kau sedang liburan," Jihoon menambahi, memutuskan untuk ikut bekerja sama denganku dalam membangun suasana yang lebih ringan di antara kami.

"Pasti!" aku menyetujui dengan mantap. Meskipun bersusah payah, aku mampu membuat nada suaraku terdengar lebih ceria. "Kau bisa selalu datang ke sini atau aku yang akan mengunjungimu ke Seoul."

Jihoon memberikanku anggukan yang disertai dengan senyum lemahnya. Lalu...

"Kau..." Jihoon terdiam sejenak, seperti sedang bingung dalam memilih kata-katanya. "Apa kau tidak ingin bertemu teman-teman yang lain sebelum kepergianmu?"

Tentu saja aku dapat menangkap maksud Jihoon dengan kata 'teman-teman' ini, yang artinya ia juga memasukkan Choi Seungcheol di dalamnya. Hanya saja aku memilih untuk pura-pura tidak mengerti—sebisa mungkin menghindari topik pembicaraan tentangnya—dan berkata dengan nada yang diselimuti kekecewaan, "Sejujurnya aku ingin bertemu mereka. Sayangnya kemungkinan itu menurutku hampir tidak ada."

Dengan kata lain aku masih merasa takut jika harus bertemu dengan teman-teman di Iris dalam waktu dekat ini. Apa yang harus kujawab jika mereka bertanya tentang alasan kepindahanku yang tiba-tiba? Ekspresi apa yang harus kutunjukkan jika obrolan-obrolan mereka nantinya adalah seputar Seungcheol dan 'terduga pacarnya' yang sekarang? Apa yang harus kukatakan pada mereka jika mereka mulai menangkap keanehan yang terjadi antara aku dan Seungcheol?

"Oh..." gumam Jihoon lemah. "Baiklah. Aku hanya bertanya."

Aku tidak menyahut, dan membalas Jihoon dengan sebuah kendikan bahu yang mengisyaratkan kelelahanku. Untuk beberapa saat kami hanya saling berpandangan, sama sekali tidak berusaha untuk menyembunyikan ekspresi kesedihan dan penyesalan di wajah kami masing-masing. Kami sedang berusaha saling memahami dalam diam, atau lebih tepatnya Jihoon sedang menunjukkan sikapnya yang berusaha memahamiku, sementara aku menunjukkan penyesalan untuk segala sesuatu yang terjadi padaku yang membuatnya ikut terlibat.

Kali ini giliran Jihoon yang menghela napasnya, panjang dan begitu berat. Dengan gerakan yang hampir bersamaan kami berdua sama-sama memalingkan wajah, kembali membisu sambil memandangi langit-langit kamar.

Lagi-lagi keheningan di antara kami terjadi. Hanya terdengar napas berat Odie dan Cheol yang sedang tidur di karpet bawah yang mengisi kekosongan kamar ini. Lalu setelah sepuluh menit penuh lamanya tiba-tiba terdengar suara pelan dari ponsel Jihoon, membuatku menoleh padanya dengan ekspresi bertanya.

Jihoon meraih ponsel yang ada di sampingnya dan mengangkat ponsel itu tepat di atas wajahnya. Ia mengamati sejenak layar ponsel yang menyala itu, mengetikkan sebuah balasan, sebelum kemudian kembali meletakkannya, kali ini di atas dada. Tanpa menoleh kearahku ia bergumam, "Dari Soonyoung."

Aku terkesiap, baru menyadari kalau selama satu jam lebih ini Soonyoung belum juga kembali dari acaranya ke supermarket. Padahal apabila dihitung jarak dari rumahku ke supermarket terdekat jika ditempuh dengan berjalan kaki hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit saja, paling lama lima belas menit. Segera aku mengangkat badanku ke posisi duduk, dengan panik menatap Jihoon yang masih berbaring. "Kenapa Soonyoung belum juga kembali? Apa dia mengalami kesulitan? Atau tersesat?"

Memutar bola matanya, Jihoon mengabaikan sikap cemasku. "Dia mengirimkan pesan padaku untuk memberi tahu kita kalau sudah dari beberapa menit yang lalu dia ada di kamar sebelah," Jihoon menjawab dengan begitu santainya.

Ekspresi panikku digantikan oleh kerutan bingung. "Kenapa Soonyoung tidak datang menemui kita kalau memang sudah pulang dari supermarket sejak tadi?"

Sambil membalas menatap tepat di mataku Jihoon menjelaskan dengan suaranya yang pelan, "Dia ingin memberikan waktu pada kita untuk berbiara."

Terdiam sejenak, aku membutuhkan waktu hampir satu menit untuk mencerna ucapan Jihoon sebelum bertanya dengan nada ragu, "Maksudmu Soonyoung tahu mengenai masalahku dan Seungcheol?"

Jihoon mengendikkan bahunya lemah, seakan memberikan isyarat 'aku juga tidak menduganya' padaku. "Kemungkinan besar dia bisa menebak itu dari ekspresi sedihmu," lalu dengan ringisan meminta maaf ia melanjutkan, "Dan tentu saja aku juga turut andil karena reaksiku yang berlebihan ketika memintanya untuk pergi... ugh... maafkan aku."

Haaah... kalau memang Soonyoung bisa menebak soal hubunganku dengan Seungcheol dan tahu tentang masalah kami, aku tidak bisa melakukan apapun. Lagian mengenai aku dan Seungcheol, sekarang, kami sudah menjadi masa lalu.

"Tidak apa-apa," kataku pada Jihoon, diiringi dengan sebuah senyum simpul. "Paling tidak aku berterima kasih padanya karena berusaha untuk mengerti kondisiku."

Dengan berusaha memberiku waktu sejenak, menyadari bahwa kehadirannya mungkin menimbulkan ketidaknyamanan padaku, sikapnya yang lebih memilih untuk meninggalkanku berdua bersama Jihoon, bagiku adalah bagian dari bentuk pengertian Soonyoung padaku. Dan aku benar-benar merasa berterima kasih atas hal itu.

Aku lalu membaringkan tubuhku lagi di samping Jihoon. Untuk beberapa saat kami lagi-lagi hanya terdiam dan dengan telentang mengamati langit-lagit kamar tanpa benar-benar mengamatinya sambil mendengarkan tarikan napas Odie dan Cheol yang bagaikan musik relaksasi. Rasanya... entahlah. Begitu tidak karuan.

"Jihoon," kali ini akulah yang pertama memecahkan keheningan. Bayangan foto Seungcheol dengan wanita tadi selalu berkelebat di otakku, walaupun sekuat apapun aku berusaha untuk menghalaunya. Dan kemudan aku menyerah...

"Kau tahu siapa wanita yang ada di foto bersama Seungcheol tadi?"

Ugh...

Akhirnya...

Kutanyakan juga...

***

Sial!

Rasanya mataku susah sekali untuk dibuka.

Jam digital di dashboard mobil menunjukkan pukul empat kurang enam belas menit di pagi hari, dan kami bertiga—aku, Jihoon, dan Soonyoung—sedang berada di tengah perjalanan menuju pantai untuk melihat matahari terbit. Karena saat ini sedang musim panas, matahari akan terbit lebih awal dari waktu-waktu sebelumnya.

Setelah menimbang-nimbang, kami memutuskan untuk mengunjungi pantai Haeundae yang bisa dikatakan tidak terlalu jauh dari rumahku. Soonyoung lah yang sedang menyetir mobil sambil memanfaatkan jasa GPS, sementara aku hanya duduk di belakang, diapit oleh Odie di samping kananku dan Cheol di samping kiriku.

Semalam aku meminta Jihoon dan Soonyoung untuk beristirahat lebih awal karena rencananya kami akan bersiap-siap sekitar pukul tiga dini hari. Tapi nyatanya aku lah yang malah tidur larut karena sibuk mencari-cari informasi tentang wanita yang berada di foto bersama Seungcheol. Mulai dari sosial medianya sampai dengan sosial media teman-temannya. Hanya untuk mencari tahu sejauh apa hubungan dia dengan Seungcheol.

Aku memang benar-benar bodoh!

Jihoon mengatakan bahwa wanita di foto itu ternyata sangat familier untuknya. Mereka sama-sama mengikuti kelas sejarah musik dan beberapa kali pernah menjadi teman sekelompok untuk berdiskusi di kelas. Tidak sampai sepuluh detik setelah Jihoon pergi meninggalkan kamarku, aku langsung mencari-cari informasi tentang wanita itu.

Wanita itu bernama Kang Yoomi. Dia adalah salah satu ketua asrama putri Iris University, sehingga wajar saja kalau Seungcheol sering berinteraksi dengannya. Interaksi mereka terlihat semakin intens—yang dibuktikan dengan semakin banyaknya foto yang ada Seungcheol yang diunggah oleh Kang Yoomi di sosial medianya—adalah ketika masa-masa persiapan pelaksanaan festival kampus. Sama-sama menjadi panitia pelaksana acara membuat kesempatan mereka untuk bertemu semakin banyak.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dari foto-foto itu. Seungcheol tidak menunjukkan pose mesra dengannya, bahkan di foto yang hanya ada mereka berdua yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari di satu tangan. Tetapi karna tidak mau melewatkan apapun, aku juga membaca satu-persatu komentar-komentar di setiap foto yang ada Seungcheolnya.

Dari beberapa komentar teman-teman Kang Yoomi aku dapat menangkap kode-kode yang menunjukkan bahwa ternyata Kang Yoomi sudah sejak lama diam-diam menyukai Seungcheol. Menekan rasa cemburuku dan untuk memenuhi rasa penasaranku, aku kemudian melanjutkan kegiatanku lebih jauh lagi dengan membuka sosial media teman-teman wanita itu.

Sejujurnya aku benar-benar tidak berharap akan menemukan unggahan foto Seungcheol dan Kang Yoomi, yang hanya berdua saja, dari salah satu sosial media teman dekat wanita itu. Karena itu, ketika melihat sebuah foto Seungcheol dan Kang Yoomi yang diambil secara sembunyi-sembunyi membuatku merasakan sesak semakin menghipit dadaku.

Dua orang yang menjadi objek di foto terlihat sedang duduk berdua di kursi panjang yang aku tahu dengan pasti adalah bangku di taman kampus. Mereka berdua saling menatap dan masing-masing membawa es krim. Seungcheol sedang tersenyum lembut dengan salah satu tangannya berada di puncak kepala Kang Yoomi, sementara Kang Yoomi sendiri seperti sedang mengatakan sesuatu. Jika dilihat dari tanggal unggahannya, foto itu diambil siang hari, di waktu yang sama dengan pelakasanaan festival kampus. Caption yang tertera di bawah foto itu berbunyi: 'Yeay! Akhirya aku mendapatkan kabar baik juga!'

Bodoh!

Aku benar-benar masokis yang suka sekali menyiksa diri sendiri. Sudah tahu bahwa apa yang akan aku dapatkan nantinya akan melukaiku, tetap saja dengan bodohnya aku mencari-cari informasi tentang hubungan mereka berdua. Dan sebagai imbalannya, beban berat saat ini seperti sedang memenuhi rongga dadaku. Ditambah lagi rasa kantukku karena kurang tidur.

Semalam setelah selesai dengan acara penyelidikanku, aku menaruh ponselku di atas laci di samping tempat tidurku, kemudian hanya terdiam meringkuk di kasur dengan tangan mencengkeram kuat-kuat bagian dada dari kaus yang kupakai. Sangat-sangat kuat sampai buku-buku jariku memutih. Di dalam kegelapan kamarku, dalam diam, aku kembali merasakan setiap rasa sakit yang kualami.

Aku tidak tahu berapa lama aku bertahan dalam posisi tersebut. Sampai akhirnya aku tertidur dan bangun karena suara alarm dan nada dering panggilan telepon dari Jihoon yang ingin membangunkanku.

Sepanjang perjalanan aku hanya memejamkan mata sibuk berkutat dengan pikiran-pikiranku sendiri, sama sekali tidak berusaha ikut terlibat dalam obrolan-obrolan kecil Soonyoung dan Jihoon. Dan seakan paham akan kondisi serta suasana hatiku, mereka berdua dengan kompak membiarkanku untuk beristirahat sejenak, sama sekali tidak berusaha menyeretku dalam perdebatan-perdebatan mereka yang menurutku tidak penting.

Beberapa saat kemudian, Jihoon menyerukan namaku. Memberi tahuku kalau kami sudah sampai di loksai tujuan.

Meskipun sekarang masih pukul empat lebih lima menit di pagi hari, beberapa mobil sudah menempati parkiran di pantai Haeundae. Orang-orang ini sepertinya juga memiliki niatan untuk melihat matahari terbit, sama seperti kami.

Aku meminta Odie dan Cheol yang sangat bersemangat untuk turun dari mobil, sementara Soonyoung dan Jihoon mengeluarkan barang bawaan kami. Setelah memakaikan harness pada kedua anjing yang terlihat begitu sabar dan patuh, aku kemudian memegangi tali Odie dan menuntunnya berjalan menuju area pantai dan menyerahkan tali Cheol ke Soonyoung yang dengan senang hati menawarkan diri. Sementara Jihoon, dia mendapatkan bagian tugas untuk membawa kotak besar besar berisi perlengkapan seperti bekal makanan dan selimut untuk kami piknik nantinya.

Benar saja, sudah ada beberapa orang yang berada di pantai, baik itu sendiri, berdua, atau berkelompok. Ada beberapa yang sedang bermain kembang api, asik berfoto, anak-anak kecil yang asik kejar-kejaran, dan bahkan aku sempat melihat ada dua orang lagi selain kami yang juga membawa anjingnya. Memutuskan untuk mencari tempat yang agak jauh dari orang-orang tersebut, kami terus berjalan menuju area yang lebih sepi.

Menemukan spot yang cocok, Jihoon dibantu Soonyoung mulai membentangkan selimut yang cukup besar yang sudah kami persiapkan, lalu mendahului kami untuk duduk di atasnya. Aku menyusul apa yang dilakukan Jihoon sebelum kemudian memberi perintah pada Odie untuk ikut duduk dengan tenang di sampingku. Soonyoung mengikuti apa yang aku lakukan, hanya saja kali ini Cheol sedang tidak ingin berkerja sama dengannya dan terlihat begitu semangat ingin berlari-lari di atas pasir, membuat Soonyoung sedikit kewalahan.

"Cheol, duduklah!" Aku memberikan perintah pada Cheol dengan nada yang lebih tegas, membuat Cheol mau tidak mau bersikap patuh dan mendudukkan dirinya dengan wajah yang terlihat sedih.

Aku menghembuskan napas menyerah, merasa luluh ketika bola mata Cheol yang berbeda warna itu menatapku dengan memelas. "Jadilah anjing yang baik, oke?"

Seakan mengerti apa yang kukatakan, Cheol menjawabku dengan gonggongan pelannya.

Melihat hal itu, Soonyoung dengan senyuman lembut yang melintang di wajahnya segera menggaruk-garuk bagian belakang kepala Cheol. Memberikan anjing itu apresiasi atas pengendalian dirinya.

"Apa kalian nanti ingin berkunjung ke Sea Life Aquarium?" tanyaku pada Soonyoung dan Jihoon yang sedang fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. "Akan sayang sekali kalau kita ke tempat ini dan melewatkan bagian akuariumnya."

"Apa masuk ke sana boleh membawa anjing?" Jihoon mengingatkanku pada keberadaan Cheol dan Odie.

"Aku bisa minta Paman He menjemput Cheol dan Odie untuk dibawa pulang terlebih dulu," jawabku, ikut tersenyum ketika melihat Soonyoung mulai mengangguk-anggukan kepalanya dengan antusias. "Sementara itu kita bisa berjalan-jalan ke manapun dan pulang saat jam makan malam."

"Kita bisa melakukan itu—" kata-kata Soonyoung tiba-tiba terheti, digantikan dengan pekikan semangatnya. "Oh! Jihoon, tolong pinjami aku kameramu. Aku harus merekam proses terbitnya matahari di sini!"

Dengan begitu antusiasnya Soonyoung mengambil kamera digital silver yang diulurkan Jihoon. Setelah menyalakan kamera tersebut, ia lalu mengarahkan lensa kamera untuk menangkap gambar laut dan langit yang membentang luas di depan kami. Tanda-tanda terbitnya matahari sudah mulai terlihat. Semburat-semburat warna merah oranye sudah mulai menghiasi langit—yang semula berwarna hitam—yang juga dipantulkan oleh air laut.

Aku melihat mata Soonyoung mulai berbinar-binar, begitu pula dengan Jihoon meskipun laki-laki imut di sampingku ini masih menunjukkan wajah dinginnya. Dalam diam kami menikmati setiap momen munculnya matahari yang perlahan menghapus jejak kelam susana malam, dengan ditemani oleh suara deburan ombak dan hembusan angin. Tidak ada kata-kata yang mampu menggambarkan apa yang kurasakan saat ini, kecuali menakjubkan dan hangat. Menakjubkan karena begitu indahnya pemandangan yang kulihat, dan hangat karena aku menikmatinya bersama mereka berdua, juga bersama anjing kesayanganku.

Beberapa menit setelahnya, setelah matahari yang berwarna oranye kemerahan sudah muncul membentuk lingkaran yang sempurna, Soonyong mengarahkan lensa kamera ke arah Jihoon, bergeser ke arahku, Odie, dan Cheol. Dengan suara yang tidak menyembunyikan kegembiraannya ia mengatakan, "Pertama kali melihat matahari terbit di Busan!" lalu kembali mengarahkannya ke arah laut, sebelum kemudian menghentikan aksi merekamnya.

"Ayo kita berfoto dengan latar belakang laut!" ajak Soonyoung sambil berdiri dari duduknya dengan begitu antusias.

Jihoon dengan wajah yang lebih kalem mengambil kamera dari tangan Soonyoung. "Kau berposelah dengan Jeonghan terlebih dulu dan aku akan memotret kalian."

"Dengan Odie dan Cheol juga," tambah Soonyoun. "Pakailah tripod-mu dan kita bisa berfoto bersama-sama!"

Setelah mendengar jawaban 'oke' pelan dari Jihoon, aura ceria memancar dari wajah Soonyoung ketika menuntun Cheol untuk berjalan lebih mendekat ke laut.

Tanpa memberikan bantahan, aku juga melakukan hal yang sama. Bangkit dari dudukku, sedikit berlari membawa Odie untuk menyusul Soonyoung dan Cheol yang sudah berdiri membelakangi laut, lalu memosisikan diri tepat di samping Soonyoung, dengan Cheol dan Odie yang begitu patuhnya duduk menghimpit kami berdua. Sementara itu Jihoon terlihat sedang sibuk dengan tripod-nya.

"Jeonghan," aku mendengar Soonyoung berbisik di sampingku.

"Ya?" menoleh untuk mencari tahu apa yang dia mau, aku sedikit dikejutkan dengan tatapan menyesal dari Soonyoung.

"Semalam...ummm... aku benar-benar minta maaf," kata Soonyoung masih dengan berbisik. Mungkin karena sedang mencari-kata-kata yang tepat, ia terlihat sedikit kebingungan. "Aku tidak tahu..."

"Tidak apa-apa," potongku sambil berusaha menyunggingkan sebuah senyum yang meyakinkan, dengan cepat bisa menangkap maksud dari perkataan Soonyoung. "Aku dan Seungcheol... ugh... kami... sudah menjadi cerita lama. Bahkan sebelum kau menunjukkan foto itu."

Dengan tiba-tiba Soonyoung merangkul pundakku bersahabat, memberiku dukungan melalui bahasa tubuhnya. "Jeonghan, aku tahu bahwa kau masih merasa sakit di hatimu dan mungkin itulah sebabnya kau tidak datang ke festival kampus. Tapi apapun yang terjadi, percayalah aku akan selalu ada untuk mendukungmu. Kau selalu bisa datang padaku."

Tentu saja hatiku masih begitu sakit, sangat sakit karena ironisnya kisah asmaraku. Tapi aku juga merasakan sesuatu yang hangat di dadaku. Aku yang dulunya tidak terbiasa membagi masalah atau beban emosiku dengan orang lain, merasa beruntung karena ada Jihoon, dan tentu saja Soonyoung, di saat seperti ini. Rasanya sedikit melegakan menyadari bahwa ada seseorang di sampingku, menerima ceritaku, menemaniku dalam membisu, mendengarkan keluhanku, dan mendukung langkahku. Meskipun tidak semua dapat kuungkapkan pada mereka, meskipun aku tahu tidak banyak yang bisa mereka lakukan untukku, dan meskipun aku tahu bahwa mungkin saja mereka tidak mengerti sepenuhnya dengan apa yang sebenarnya kurasakan, setidaknya kehadiran mereka memberikanku perasaan aman, membuatku berpikir bahwa aku akan baik-baik saja.

Aku memang kehilangan, tapi tidak semua hal baik dalam hidupku akan hilang juga. Jadi, berbahagialah Jeonghan, dengan apa yang masih kau miliki. Lepaskan semua hal yang membuatmu sakit...

"Apa kalian sudah siap?" tiba-tiba Jihoon, yang berdiri tepat di belakang kamera yang sudah terpasang, berseru pada kami.

***

Seharian ini kami benar-benar bersenang-senang, setidaknya itulah yang kurasakan. Piknik di pantai, bermain pasir, kejar-kejaran bersama Cheol dan Odie, bermain frisbee bersama mereka, makan seafood, kemudian mengunjungi aquarium. Banyak sekali foto yang Soonyoung dan Jihoon ambil untuk mengabadikan momen-momen tadi.

Karena ketika berangkat Soonyoung sudah menyetir, waktu pulang giliranku lah yang duduk di belakang kemudi. Odie dan Cheol sudah sejak tadi siang dijemput oleh Paman He, jadi Soonyoung menikmati kursi belakang sendirian.

"Tahun depan kita harus merencanakan liburan bersama lagi," suara Soonyoung tiba-tiba menginterupsi lagu All Night yang sedang mengalun indah melalui speaker mobil. Dari kaca depan aku bisa melihat Soonyoung sedang mengamati ponsel dengan senyum yang merekah. "Akan menyenangkan jika kita bisa melihat matahari terbit lagi bersama di kota yang berbeda."

Aku hanya tersenyum tanpa mengeluarkan satu katapun untuk menanggapinya.

"Mungkin musim panas tahun depan kalian bisa berkunjung ke tempatku dan aku akan menjadi sponsor liburan kalian," Soonyoung melanjutkan. "Bagaimana menurutmu Jihoon? Jeonghan?"

Jihoon yang sudah mengerti rencana kepindahanku dalam waktu dekat ini hanya membisu. Dengan sangat terang-terangan ia memberikan tatapan yang begitu intens kepadaku, secara tidak langusng memaksaku untuk menanggapi permintaan Soonyoung.

Sayangnya aku tidak bisa memberikan kepastian pada Soonyoung mengenai rencana untuk menghabiskan waktu liburan musim panas bersama lagi tahun depan. Aku tidak tahu apakah waktu libur musim panas kami akan sama, mengingat mulai semester depan kami akan tinggal di tempat yang sangat berbeda. Karena itu aku hanya bisa memberikan jawaban menggantung, "Kita akan membicarakannya lagi nanti."

Soonyoung mengangguk, seperti tidak menangkap nada ragu dari suaraku. Sementara itu Jihoon yang masih menatapku kini mengerutkan wajahnya. Aku menoleh sekilas padanya dan memberikan kendikan bahu 'tidak ada yang bisa aku lakukan' untuknya.

Perjalanan pulang kami habiskan dengan lebih banyak membisu. Hanya musik yang keluar dari speaker mobil yang memenuhi keheningan di mobil. Jihoon dan Soonyoung terlihat kelelahan, apalagi jalanan memang lebih ramai dibandingkan dengan waktu berangkat tadi, sehingga waktu yang kami habiskan juga lebih lama. Soonyoung bahkan tertidur di kursi belakang.

Sekitar pukul enam sore, aku membawa mobilku memasuki halaman rumah dan memarkirnya. Setelah turun dari mobil, dengan begitu cepat kami berjalan ke arah rumah untuk satu tujuan yang sama: beristirahat. Kami semua sangat membutuhkan istirahat, meskipun itu hanya sebentar, sebelum waktu makan malam tiba.

Membuka pintu depan aku sudah bersiap-siap jika saja kedua anjingku melemparkan diri padaku untuk menyambut kepulanganku seperti biasanya. Tetapi ternyata hal yang sudah kuantisipasi tidak terjadi. Aku tidak melihat sosok Cheol ataupun Odie, yang mau tidak mau membuatku sangat bersyukur dalam hati. Saat ini tidak ada lagi energi yang tersisa untuk aku menyanggah badanku jika seandainya mereka berdua mendorongku.

Berjalan memasuki rumah dan berniat ingin langsung menuju kamarku, aku menghentikan langkah karena menangkap sosok keberadaan Cheol yang duduk dengan manis di ruang tamu. Berdiri dengan posisi tegak, Cheol sedang menghadap sofa yang posisinya membelakangiku. Soonyoung dan Jihoon yang melihatku berhenti juga ikut berhenti tepat di belakangku.

"Cheol?" seruku memanggil namanya. "Kenapa kau tidak menyambut kepulanganku?"

Cheol mengeluarkan gonggongan pelan beberapa kali ketika melihatku. Anehnya dia sama sekali tidak berniat untuk mendatangiku.

"Apa yang sedang..."

Sialan!

Sungguh sialan!

Maksudku BENAR-BENAR SIALAN!

APA-APAAN INI?!

CHOI SEUNGCHEOL?!

Baru dua langkah aku berjalan menghampiri Cheol, langkah kakiku tiba-tiba dihentikan oleh kemunculan sosok yang tiba-tiba berdiri dan membuat tubuhnya menghadapku. Sosok yang awalnya tidak aku perhatikan karena tertutup oleh sandaran sofa yang cukup tinggi.

Dua pasang mata di depanku memandangku dari tempat mereka masing-masing, yang satu dengan mata cokelatnya yang lembut dan yang satu dengan mata biru-cokelatnya yang menggemaskan. Aku merasa tanganku mulai berkeringat...

Ugh, sialan!

Setelah aku memutuskan melanjutkan hidupku dan melupakan seorang Choi Seungcheol, tiba-tiba saja dia datang dan berdiri di hadapanku begitu saja!

Tidak diragukan lagi jika Choi Seungcheol benar-benar ingin mempermainkanku!

***

Semoga kalian menikmatinya dan terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Lagi-lagi chap yang cukup panjang T.T

BTW ada yang sudah beli tiket Avengers: Endgame? Duh, temenku berbaik hati sekali sudah booking tiket buat kami untuk tanggal 24 April ini (mana dapat nomor kursi yang enak banget). Dan akhirnya dua hari ini aku jadi menggalau!!!!! Jujur gak siap nonton tapi pingin banget nonton. Lebih tepatnya aku gak mau pisah sama Capt... ugh... Chris–fu*king hot–Evans. Sudah kurang lebih delapan tahun ini ngikutin dia. Gak tega juga sama nasib Bucky... (noooo biarkan Capt America dan Bucky hidup bahagia bersama)... Masih sakit hati juga karna kematian Loki T.T Rasanya campur aduuuuuk T.T

TIDAK DIEDIT!!! Maafkeun jika banyak menemukan typo, kalimat aneh, ataupun hal-hal yang rancu lainnya. Semoga ff ini tidak menyakiti mata kalian~ _/\_

Silahkan cari tempat yang aman jika kalian mengalami tanda-tanda kebosanan dan kejenuhan saat/setelah membaca cerita ini. Dan tentu saja, terima kasih banyaaaak untuk kalian yang bersedia mengapreasiasi ff ini~^^

Naa^^

Continue Reading

You'll Also Like

59.3K 6K 19
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
147K 15K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
120K 8.6K 54
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
482K 36.6K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.