His Eyes (TAMAT)

By AyaEmily2

1.7M 202K 9.4K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Dennis Anthony, mantan narapidana percobaan pembunuhan terhadap kekasih wan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
18a
18b
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29a
29b
30a
30b
31
32a
32b
33
34a
34b
35a
35b
36
37
38a
38b
39
40
41
42
43
44
Epilog

17

28.6K 3.6K 167
By AyaEmily2

Jumat (21.20), 12 April 2019

----------------------------

Semakin sore, Ellen semakin gelisah. Ayahnya pasti marah besar dan tidak mungkin membiarkan Dennis begitu saja tanpa peringatan tegas. Ditambah lagi luka-luka di tubuh Ellen. James pasti akan lebih marah lagi jika tahu dari mana Ellen mendapat semua luka itu.

Dennis yang baru selesai mandi menghampiri Ellen yang duduk di sofa. Dia sedikit heran mengapa wanita itu tak mengganggunya dan sama sekali tak cerewet sejak ia keluar dari kamar setelah tidur siang.

"Kau kelihatan gelisah," Dennis tak bisa menahan diri untuk berkomentar atas sikap Ellen.

"Oh, tidak apa-apa. Hanya saja, aku sedikit khawatir saat Ayah datang. Dia sangat marah."

"Padaku?"

Ellen mengangguk.

"Karena menghinamu. Itu memang salahku." Dennis mengakui.

"Ayah juga merasa kau yang menyebabkan ibu marah dan mengusirku dari rumah," kata Ellen sedih.

"Apa ayahmu sudah tahu tentang kekerasan fisik yang dilakukan ibumu?"

Ellen tertunduk lalu menggeleng. "Itu yang kutakutkan. Ayah pasti akan sangat marah. Aku tidak mau orang tuaku bertengkar."

"Tapi perbuatan ibumu tidak bisa dibenarkan dan tidak seharusnya ditutupi."

Ellen tidak mengatakan apapun lagi, sadar betul ucapan Dennis benar. Tapi lalu dia mendongak mendengar suara mobil mendekat.

"Itu pasti ayahku."

Ellen berdiri, bergegas menuju pintu diikuti Dennis. Mereka berdiri berdampingan di teras saat James Morris datang mendekat dengan langkah lebar.

"Ayah," sapa Ellen dengan senyum lebar. Tapi senyumnya langsung menghilang saat James menghampiri Dennis lalu melayangkan tinjunya ke wajah Dennis.

BUGH!

Dennis jatuh tersungkur ke lantai. Pukulan James sangat keras hingga sudut bibirnya berdarah. Dan pipi Dennis tergores cincin yang dikenakan James, membuatnya mendapat goresan panjang berdarah di pipinya.

"Ayah!" seru Ellen dan langsung menghampiri James lalu merangkul lengannya erat, menahan sang ayah yang tampaknya masih bernafsu memukuli Dennis.

"Minggir, Ellen!" geram James namun tatapannya tidak beralih dari Dennis yang masih terduduk di lantai. "Aku tidak pernah melarang putriku untuk berteman dengan siapapun. Tapi jika kau atau siapapun berani menyakitinya, aku tidak akan tinggal diam!"

"Ayah, Dennis sudah minta maaf. Dan dia juga tidak berniat melakukannya." Nada suara Ellen terdengar memohon.

James menoleh ke arah Ellen. "Tidak perlu membelanya. Biar dia sendiri—" James membeku. Pandangannya tertuju pada luka di sudut bibir Ellen dan pipinya yang bengkak. "Ada apa dengan wajahmu? Apa bajingan ini berani melukaimu secara fisik?" wajah James memerah marah.

Perlahan Dennis berdiri namun sama sekali tidak berniat membalas. Sementara itu Ellen buru-buru menggeleng.

"Bukan. Bukan Dennis pelakunya."

"Lalu siapa?!" bentak James.

Ellen menggigit bibir, tidak berani melanjutkan.

"Siapa, Ellen?!"

"Ibunya," sela Dennis. "Di kepalanya juga ada luka."

James ternganga. Jemarinya mengepal kuat. Lalu dia menoleh tiba-tiba ke arah Dennis sambil menunjuk dengan murka. "Ini semua gara-gara perkataanmu. Kau membuat Ellen terdengar seperti jalang yang memohon belaianmu."

Air mata Ellen menitik. Dia hanya bisa memohon pelan. "Ayah, kita pergi saja."

"Tentu saja. Ayah tidak akan membiarkanmu lebih lama di sini. Ayo!" James tak memberi Ellen waktu lagi untuk bicara. Dia langsung menarik putrinya melintasi halaman rumah Dennis menuju mobil. Bahkan dia lupa bahwa kaki Ellen belum bisa digunakan untuk berjalan normal.

James mengemudikan mobilnya dengan amarah yang masih menggebu. Tapi dia masih cukup waras untuk berhati-hati di jalan raya. Suasana dalam mobil terasa menegangkan. Sampai Ellen teringat bahwa dia belum mengambil tasnya di rumah Dennis. Hanya ponsel di saku celananya.

"Ayah, tasku masih ada di rumah Dennis. Apa sebaiknya kita kembali?" tanya Ellen hati-hati.

"Biar Ayah yang mengambilnya nanti," James berkata geram, tanpa menoleh ke arah Ellen.

Ingin sekali Ellen menolak. Bagaimana kalau Ayahnya memukuli Dennis lagi? Tapi dia tahu bahwa James tidak akan bisa dicegah. Apalagi dalam suasana hati amat buruk seperti sekarang.

Akhirnya yang dilakukan Ellen hanya diam. Keduanya terus bungkam hingga mobil memasuki halaman rumah keluarga Morris.

Begitu mesin mobil dimatikan, James berjalan tergesa ke dalam rumah tanpa menunggu Ellen. Ellen buru-buru mengikutinya dengan langkah tertatih, tahu bahwa Ayahnya pasti akan melampiaskan amarah pada sang ibu.

"RENNIE!"

James tak menahan amarahnya lagi. Dia berteriak keras begitu berada di ruang tamu kediaman Morris. Tapi yang tergopoh-gopoh datang bukanlah Rennie, melainkan Bibi Missy.

"Tuan," Bibi Missy berkata takut-takut.

"Mana Rennie?!"

Bibi Missy tersentak. "Nyonya—belum pulang sejak siang tadi, Tuan."

"Ke mana dia?!" James melepas dasinya dengan kasar lalu melemparkannya ke lantai.

Bibi Missy menelan ludah. "Nyonya tidak mengatakan apapun."

Wajah James semakin memerah. Andai ini film kartun, mungkin kepalanya sudah berasap sekarang.

"Ayah," Ellen berkata pelan, seraya merangkul lengan James lembut.

James menghela napas, berusaha meredakan amarah yang bergolak di dadanya. Pertama Dennis yang membuatnya marah. Dan sang istri menambah kemarahan di hatinya menjadi berkali-kali lipat.

"Sebaiknya Ayah istirahat saja. Ayah pasti lelah sepulang kerja," saran Ellen.

Perlahan James mulai tenang. Tapi bukan berarti api amarah padam dari hatinya. Hanya tunggu waktu sampai api itu berkobar dan membakar tubuhnya.

"Ayah akan kembali ke rumah Dennis untuk mengambil barang-barangmu," gumam James seraya melepas rangkulan Ellen.

"Besok saja."

"Tidak, Ayah akan mengambilnya sekarang."

"Tapi—"

James mengecup lembut kening Ellen, memeluknya lembut dan menanamkan kecupan lain di puncak kepala putri tersayangnya itu.

"Maafkan Ayah karena tidak bisa melindungimu dengan baik," suara James serak, masih sambil mendekap Ellen erat.

Ellen memejamkan mata, terisak pelan merasakan betapa dalam rasa sayang sang Ayah padanya. James adalah ayah terbaik bagi Ellen. Sosok lelaki yang dipujanya tanpa syarat sejak kecil.

"Ellen sayang Ayah." Kata-kata itu saja tidak bisa menggambarkan betapa dalam rasa sayang dan cinta Ellen pada James.

"Ayah lebih menyayangimu, Sayang." Sekali lagi James mengecup kening Ellen lalu melepaskan pelukan sambil menyeka matanya yang ternyata basah. "Kalau ibumu datang dan marah melihatmu di sini, bilang saja ayah yang mengajakmu pulang."

Ellen mengangguk.

"Dan katakan dia tidak boleh keluar rumah lagi sampai Ayah pulang."

Lagi-lagi Ellen hanya mengangguk seraya mengekori ayahnya keluar. Ada rasa berat di hati Ellen membiarkan James pergi. Mungkin dia masih takut James kembali menghajar Dennis. Tapi seperti yang dia tahu, tidak ada cara untuk menghentikan James saat lelaki itu sudah bertekad melakukan sesuatu.

***

Ellen duduk gelisah di ruang tamu karena James belum juga pulang. Sekarang sudah pukul tujuh malam. Sekitar dua jam sejak James pergi.

Dari rumahnya, Ellen biasanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam dengan kecepatan normal untuk mencapai rumah Dennis. Dan pasti tidak lama untuk mengambil dua tas Ellen lalu memasukkannya ke bagasi. Seharusnya James sudah di sini sejak satu jam lalu.

Ellen berusaha menenangkan diri dan berpikir positif bahwa sang Ayah masih mampir ke suatu tempat. Tapi otaknya terus-menerus mengingat hantaman tinju yang dilayangkan sang Ayah kepada Dennis. Mau tak mau dia mulai bertanya-tanya, jika James kembali memukuli Dennis, akankah Dennis diam saja?

Jemari Ellen saling meremas di pangkuan. Dia benar-benar tidak tenang, membayangkan Dennis dan James berkelahi tanpa ada seorang pun yang bisa mencegah.

"Nona Ellen, sebaiknya Anda makan dulu," bujuk Bibi Missy.

"Aku mau makan bersama Ayah, Bibi." Ellen menolak halus.

Bibi Missy mendesah, tahu tidak mungkin bisa memaksa Ellen. Saat dia berdiri hendak kembali ke dapur, pintu depan terbuka membuat Ellen juga buru-buru berdiri. Senyum leganya merekah. Tapi lalu senyum itu menghilang melihat ibunya yang datang.

Mata Rennie melebar melihat Ellen. "Kenapa kau masih di sini?" tanyanya marah.

"Itu—Ayah—"

Rennie tampak semakin geram. "Di mana dia? Sekarang dia mulai bertingkah semaunya. JAMES!"

Saat Rennie hendak ke dalam rumah, buru-buru Ellen berkata, "Ayah belum pulang."

"Jadi dia melarikan diri ke kantor?"

"Bu—bukan." Ellen mulai kebingungan. Ibunya pasti semakin marah begitu tahu bahwa Ellen sempat menginap di rumah Dennis. "Ayah, masih mengambil barang-barangku."

"Di mana?" desak Rennie tak sabar.

"Di—di penginapan. Tadi malam aku menyewa kamar di penginapan."

Mata Rennie menyipit curiga. "Ibu tahu kau berbohong. Tapi terserahlah. Sekarang Ibu sangat lelah. Dan ayahmu tidak akan bisa selamanya menghindari Ibu. Kau mau di sini, silakan. Ibu tidak peduli lagi." Lalu Rennie berbalik menuju ruang tengah dan langsung menaiki tangga ke lantai dua di mana kamarnya berada.

Sikap Rennie membuat dada Ellen teramat nyeri. Tapi kali ini dia sanggup menahan air matanya agar tidak menitik. Ellen bahkan mengulas senyum pada Bibi Missy yang menatapnya iba.

Ellen terus menunggu hingga malam semakin larut. Dia bahkan mondar-mandir di teras rumah, tak memedulikan angin malam yang menerpa tubuhnya. Bujukan Bibi Missy agar Ellen tidur sama sekali tak digubris. Kekhawatirannya meningkat menjadi ketakutan saat ponsel James masih aktif tapi sama sekali tak menerima panggilan telepon Ellen. Dia sudah berpikir untuk mendatangi rumah Dennis tapi Bibi Missy terus melarangnya.

Malam berganti menjadi pagi dan selama itu tak sedikit pun Ellen memejamkan mata. Dia terus menunggu dengan gelisah di ruang tamu kediaman Morris.

Klek.

Suara pintu yang dibuka membuat Ellen buru-buru bergegas ke pintu, mengabaikan rasa sakit di kakinya. Tapi yang muncul bukan orang yang ditunggu Ellen, melainkan adiknya, Ellias.

"Kau pulang?" tanya Ellias kaget.

"Ah, iya." Ellen tidak berniat menjelaskan lebih jauh. "Kau dari mana?"

"Aku menginap di rumah teman."

"Oh. Apa kau bertemu Ayah?"

Ellias menggeleng. "Memangnya Ayah ke mana pagi-pagi sekali?" Bahkan matahari baru mengintip malu-malu di ufuk timur.

"Dia tidak pulang sejak tadi malam," jelas Ellen dengan ketakutan yang meningkat. "Sebaiknya aku mencarinya. Di mana kunci mobilmu?" tanya Ellen seraya keluar rumah tanpa berniat berganti pakaian. Baju yang dikenakannya sekarang masih baju yang sama seperti di rumah Dennis kemarin sore.

"Di cari ke mana? Ayo kuantar," kata Ellias, khawatir melihat langkah Ellen yang tertatih dan luka di sudut bibir serta lebam di pipi Ellen.

Ellen hanya mengangguk. Saat keduanya mencapai mobil Ellias yang masih terparkir di halaman, seseorang berlari-lari dari gerbang menghampiri mereka.

"Pak Aksa, ada apa?" tanya Ellias yang mengenali lelaki itu.

"Pak James...," lelaki itu terengah saat berkata sambil menunjuk keluar gerbang.

Jantung Ellen berdegup menyakitkan, sadar hal buruk pasti tengah menimpa ayahnya. "Ayah kenapa?" tanya Ellen dengan suara bergetar.

"Pak James...," kali ini Aksa tersendat untuk mengatakan maksudnya bukan karena napasnya yang masih terengah. Tapi karena tenggorokannya tercekat, seolah ada batu besar yang mengganjal.

"Pak, tolong bicara yang jelas." Ellias mulai gemas. Dia kesal karena Pak Aksa tidak langsung mengatakan apa yang hendak dia sampaikan.

Aksa menelan ludah, menatap bergantian dua bersaudara di hadapannya. "Pak James ditemukan tewas di dekat hutan."

Selama dua detik tubuh Ellen membeku. Lalu dia melemas dan nyaris jatuh menghantam tanah jika Ellias tidak segera menangkap tubuhnya.

---------------------------

Huuaaaa... Ellen!

~~>> Aya Emily <<~~

Continue Reading

You'll Also Like

79.9K 3K 27
Alex Ryder seorang Direktur suatu perusahaan keluarga yang senang menghabiskan waktu luangnya dengan bermain bersama banyak wanita. Tapi, dia menemuk...
796K 64.5K 51
[C O M P L E T E D] [TERBIT;INDIE] Aluna tidak pernah berharap bahwa dirinya akan memiliki seorang penggemar rahasia. Kedatangannya yang tidak terdug...
5M 269K 53
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
83.6K 7.5K 34
(COMPLETED- TELAH TERBIT) Chris sang bintang layar lebar dan pewaris kerajaan bisnis keluarganya harus rela tinggal di sebuah desa terpencil dalam me...