CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 13 (b)

2.8K 671 178
By AryNilandari

"Nak, kamu kenapa?" Pak Wisnu memegang bahuku.

Aku mengambil tangannya dan berdiri. Kugenggam erat. Pak Wisnu memandangku dengan lembut. Ia tidak menolak, mungkin karena aku tampak memelas.

"Pak, Aidan pernah membawa Koda jalan-jalan di tahun baru, kan? Ceritakan padaku, apa yang terjadi. Tahun kapan itu?"

"Oh, itu 1 Januari tiga tahun lalu."

"Tiga tahun lalu?" Aku masih SMP. Aidan baru masuk SMA. "Mungkin Bapak salah ingat?"

Pak Wisnu terkekeh. "Usiaku 63 tahun, tapi ingatanku sama cemerlangnya dengan kamu."

Candanya mengusir awan dari mataku. Betapa ironis, ingatanku jauh dari cemerlang. Abaikan dulu soal tahunnya. Kenangannya mungkin lebih pasti. Sambil mendengarkan Pak Wisnu bercerita, aku membaca memorinya.

Aidan berbicara dengannya. "Maafkan aku, Pak. Aku bodoh sekali membawanya ke taman. Ada anak-anak main petasan di sana. Aku mengabaikan peringatan Bapak. Koda lari. Aku cari-cari, dua jam, Pak, kayak orang gila. Aku sempat ke kantor damkar. Tapi mereka sibuk. Mencari anjing hilang bukan tugas mereka. Aku ke kantor polisi. Lebih sibuk lagi. Aku nyaris putus asa. Aku tahu Koda seperti anakmu. Enggak mungkin aku pulang tanpa dia. Untungnya ada yang bisa membantuku, Pak. Keponakan salah satu polisi. Dia yang menemukan Koda ...."

" .... Lalu Aidan langsung pergi lagi. Katanya, ia mau ke kantor polisi lagi karena belum berterima kasih dengan layak kepada penolongnya." Pak Wisnu geleng-geleng. "Aku tidak sempat bertanya. Tapi melihat Koda menyukaimu, kupikir, kamulah orangnya yang membantu Aidan. Terima kasih, Nak. Kamu sudah menyelamatkan Aidan dari kemarahanku andai Koda hilang. Dan kalau waktu itu aku marah, dijamin tidak lama karena keburu jantungku meletus."

Tawa Pak Wisnu berderai. Aku mengangguk, melepaskan tangannya. Mengusap air mata.

"Aku harus bawa Koda ke dokter sekarang. Check up rutin. Mampirlah ke apartemenku kalau kamu mau dengar lagi tentang Aidan. Aku juga ingin dengar ceritamu."

Aku mengangguk lagi. Berterima kasih. Lalu tertegun-tegun sepeninggal Pak Wisnu dan Koda. Tiga tahun lalu, 1 Januari. Kata-kata Kei menyeruak.

"Aku ingat, Aidan mulai bersikap aneh sejak 1 Januari, waktu kami kelas 10."

"Aidan, you crazy tangled octopus!" umpat Kei kepada Aidan. "Aku sudah curiga kamu jatuh cinta pada seseorang sejak 1 Januari itu. Urusan cinta ada di prioritas terbawah, katamu? What a sneaky liar! Kupikir, cewek itu ada di antara kita. Siapa sangka ...."

"Rhe, bisa kupastikan sekarang, ada sesuatu di antara kalian berdua. Tulisan Aidan, 'You've come along to change my life,' itu buat kamu."

Aku menggertakkan gigi. Tahan, menangis nanti saja kalau sudah di apartemen Aidan. Sekalian kugebuki kenangannya di sana. Membiarkan aku berpikir anjing terrier putih dalam memorinya adalah salah satu sosok istimewa yang datang pada 1 Januari untuk mengubah hidupnya! You crazy tangled octopus!

Tapi ... sebentar. Aku kelas 9 waktu itu. Kenapa aku sama sekali tidak ingat bertemu Aidan di kantor polisi, bahkan membantunya mencari Koda? Bagaimana mungkin kejadian sepenting itu aku tidak ingat? Apa lagi yang tidak kuingat?

Aaaah! Aku bahkan tidak ingat apa yang tidak kuingat!

Kuketuk-ketuk kepalaku dengan gemas. Satu lagi bongkahan memori lesap tidak tentu rimba dan penyebabnya. Aku harus melacak jadwalku di kantor polisi sekitar waktu itu. Pasti banyak saksi di sana. Kuembuskan napas keras-keras, merasa sedikit lega.

Tepat saat pintu lift terbuka, ponselku memberikan notifikasi pesan. Aku masuk dulu, memencet lantai 7, kemudian membaca pesan yang masuk. Dari Kei.

Pramuniaga Bandrek memberitahu, kuratornya akan datang ke toko hari ini pukul 11.00. Kuliah selesai pukul 11.30. Aku jemput kamu di sekolah, kita ke sana bareng.

Berarti saat makan siang, kami baru sampai di sana. Aku khawatir. Si kurator bisa saja sudah pergi lagi. Kubalas pesan Kei. Kalau pergi sekarang, aku bisa tepat waktu sampai di Bandrek.

Jangan gegabah, Rhe! Tunggu aku!!!!!

Kei membalas cepat dengan banyak tanda seru. Aku akan hati-hati, pikirku. Siang-siang begini, mestinya tidak apa-apa. Jadi, kupencet lift untuk turun lagi.

Pernah dengar pepatah, segala sesuatu melambat di saat kamu sedang sangat terburu-buru? Itu yang kualami sekarang. Lift tiba-tiba mogok bergerak. Pintunya tidak mau menutup. Aku pencet-pencet panel kontrolnya. Kutendang-tendang pintunya. Bergeming. Apa aku harus menelepon nomor darurat sekuriti yang tertera di dinding? Uuuh. Tenang, Rhe! Benda mati semakin ngadat kalau diperlakukan kasar. Aku mencoba lagi memencet panel. Kali ini dengan halus, nyaris membelainya. "Lantai dasar, please."

Yang kudapatkan malah kenangan si panel disentuh jemari bersarung tangan kulit hitam. Orang itu. Aku menegang. River benar, lelaki itu mengikutinya sampai ke apartemen. Tanganku segera mencari informasi lebih banyak lagi di setiap jengkal kabin lift. Terutama dinding cermin.

Pantulan pengguna lift keluar masuk. Itu dia, lelaki berhoodie dan bersarung tangan kulit. Serba rapat. Serba hitam. Masuk dengan kepala tertunduk. Sedapat mungkin menghindari cermin. Cermin tidak menangkap bayangan wajahnya. Perawakannya langsing, tinggi.

Hanya itu.

Aaaargh! Aku menendang dinding. Mengentak-entak lantai. Lalu keluar dari lift dan melihat kamera CCTV di atap. Sebagai penanggung jawab apartemen Aidan, Kei bisa meminta rekaman CCTV pada sekuriti. That's it. You're dead, Mister!

And I am dead too, karena harus turun tujuh lantai lewat tangga. Kenapa apartemen ini cuma punya satu lift? Aku mengacak-acak rambut kesal. Masa bodoh kalau Koda semakin merasa surainya lebih cantik.

Langkahku ke arah tangga terhenti. Kudengar dengung halus pintu lift menutup, hendak bergerak turun. "Hei, hei!" Aku berlari untuk mencegatnya. Syukurlah, lift mau membuka lagi. Aku masuk. Bergerak ke lantai dasar. Bersandar lemas. Bertempur dengan benda mati itu sangat emosional, karena kamu tidak pernah menang.

Kuseret kakiku keluar. Saat taksi online datang menjemput, aku naik dan meminta sopirnya mematikan musik. Aku memilih tidur untuk menambah cadangan tenaga dan memulihkan kewarasan.

Setengah jam kemudian, aku dibangunkan sopir. Lumayan lebih segar. Aku turun di depan Kafe Bandrek yang baru buka. Berjalan memutar untuk ke halaman belakang. Melewati plang Toko Benda Antik dan Relik Kuno. Namanya aneh, pikirku. Relik sendiri artinya makhluk atau populasi dari zaman lampau yang masih bertahan. Apakah maksudnya, mereka menjual benda-benda peninggalan masyarakat yang nyaris punah? Peti mati itu misalnya ....

Berjalan sambil berpikir membuatku abai sekeliling. Tapi pada detik terakhir, sebelum aku memasuki toko, sudut mataku sempat menangkap sedan hijau kusam yang terpakir di samping kanan bangunan. Tante Fang? Berarti Stella juga. Mereka ada di dalam. Mau apa?

Mereka tidak boleh melihatku. Bergegas aku lari ke samping kiri. Sebuah jalan sempit menuju bagian belakang bangunan. Semakin sempit oleh tumpukan peti kayu dan barang-barang rongsok di kanan-kirinya. Ada beberapa jendela terbuka. Kalau aku naik pada tumpukan peti itu, mungkin aku bisa mengintip ke dalam dan melihat apa yang dilakukan Tante Fang dan Stella.

Tidak. Terlalu berisiko. Aku tidak punya alasan bagus kalau tepergok Tante. Kebebasanku bisa hilang total kalau ketahuan menyelidiki Aidan lagi. Jadi, aku tunggu saja sampai mereka pergi. Sambil berpikir.

Stella ke sini untuk melacak Sky Lee. Jelas, Sky Lee berkaitan dengan Bandrek. Aidan juga berkaitan dengan Bandrek. Tapi antara Aidan dan Sky Lee, adakah hubungannya? Selain bahwa Stella lebih lama mencermati berkas Aidan di Sat Resnarkoba, usia dan tinggi badan mereka yang sama, tidak ada petunjuk apa pun. Stella bilang, wajah Aidan benar-benar berbeda. Aidan bukan Sky Lee. Tapi Stella sudah berbohong, menyembunyikan identitas asli Sky Lee pada Tante. Stella tidak bisa dipercaya.

Mungkinkah kilasan wajah Aidan pada brosur itu bukan karena obsesiku, tapi karena Sky Lee mirip Aidan?

Satu-satunya jawaban ada di foto Sky Lee yang disembunyikan Stella. Disimpan di mana? Dalam tasnya? Di hotel? Bagaimana aku bisa mendapatkan foto itu? Setidaknya, melihat sekali saja. Mungkin dengan menyentuh Stella lagi?

Sekadar untuk memastikan dua pemuda itu tidak saling terkait. Kebetulan saja Bandrek jadi titik persinggungan. Kasus Aidan sudah cukup rumit dengan kemunculan si hoodie hitam. Entah siapa pula dia, dan apa maunya.

Tapi tidak ada kebetulan di dunia ini. Bagaimana kalau dua kasus benar-benar berhubungan? Bunda Dhias ke Singapura belum lama ini, bukan?

Stop! Jangan berspekulasi. Terlalu dini untuk menyimpulkan. Terlalu sedikit petunjuk untuk mengaitkan keduanya. Fokus pada Aidan saja, Rhe! Lihat jendela itu. Lihat sekelilingmu. Ini tempat Aidan berkelahi dengan Armand.

Benar. Dan aku sendiri berada di dalam ruangan itu, berusaha lari dan melompat keluar dari jendelanya. Aku bisa patah kaki kalau nekat melakukan itu. Tingginya tiga meter lebih, karena tanah di belakang bangunan jauh lebih rendah. Ada undakan bata asal tumpuk untuk turun. Hati-hati aku menapakinya. Tanah kosong berumput, tidak terawat, sepertinya jarang dikunjungi orang. Mungkin masih bisa kucari kenangan di sini.

Kuingat lagi mimpi itu.

Alea mendorong punggungku. Menyuruhku masuk ke dalam gedung. Katanya, Aidan dan Armand berkelahi, dan hanya aku yang bisa melerai. Tapi ia menyesatkan aku. Perkelahian bukan di dalam, melainkan di sini.

Aku melangkah maju. Menyapukan tangan ke sekeliling. Mencari getaran ....

Pada tembok, kudapatkan penampakan punggung Armand terdesak. Sedetik kemudian hilang. Berarti kejadian terlalu cepat berubah. Kusentuh saja semuanya. Setiap jengkal dinding. Setiap jengkal rumput. Penampakan timbul dan hilang. Tanpa urutan yang jelas.

Aidan jatuh di rumput. Armand menindihnya. Aidan bergulat membalik keadaan. Seruan-seruan dua cowok itu mulai bisa kudengar.

"Di mana dia?" Aidan membentak.

Armand terkekeh. "Cari sendiri! Kayaknya sih dia tertarik sama peti mati dari abad ke-16 itu ...." Lalu cowok itu menjerit. "Beraninya kamu pukul aku? Aku enggak peduli, kamu Aidan the Great ataupun reinkarnasi malaikat, akan aku hancurkan kamu!"

"Di mana Rhea?" Ekspresi Aidan keras.

Armand meraih kayu. Diayunkan kuat-kuat ....

.... Darah menetes pada baju Armand dari luka di kepala Aidan. Armand melompat berdiri, meninggalkan Aidan terguling di tanah.

Isak dan erangan yang kudengar kemudian berasal dari mulutku sendiri. Penampakan buyar. Aku bangkit dari posisi memeluk tanah. Memandang sekeliling. Tidak ada kayu yang digunakan Armand di mana-mana. Ya, Tuhan. Dengan luka seperti itu, Aidan harus mendapat jahitan. Tapi aku tidak pernah melihat bekas-bekasnya. Ah, ingatanku tidak bisa diandalkan sekarang. Kalau aku sampai lupa kejadian ini, bisa jadi aku juga lupa Aidan muncul di sekolah dengan wajah babak belur. Belum lagi kemungkinan peristiwanya terjadi pada liburan panjang. Kei tahu Aidan dan Armand pernah berkelahi. Aku harus tanyakan lebih mendetail.

Setengah jam aku duduk menunggu di samping toko. Haus, tapi aku tidak berani pergi ke kafe. Tanganku terlalu gemetar pula untuk mengirim pesan kepada Kei. Lagian, untuk apa bikin Kei cemas, aku baik-baik saja. Kuembuskan napas beberapa kali. Tangan kiri menggenggam tangan kanan. Tenang ....

Suara mereka akhirnya kudengar. Tante Fang dan Stella keluar dari toko diiringi wanita paruh baya yang kuduga kurator Bandrek. Tidak ada percakapan lebih jauh. Mereka hanya berbasa-basi, lalu Tante Fang dan Stella pun pergi. Wanita itu kemudian berjalan ke arah mobil lain. Membuka pintu dan menyalakan mesin. Oh, tidak. Jangan pergi dulu, Nyonya!

Entah tenaga dari mana, aku lari dan berhasil menahannya dengan memukul-mukul kap mobil. Wanita itu membuka jendela, awalnya heran tapi pandangannya jatuh pada seragamku, dan ekspresinya berubah marah. Ia bahkan turun dari mobil. Perawakannya kecil, tidak lebih tinggi dari aku.

"Kamu dari DIHS? Berani-beraninya ke sini setelah apa yang kalian lakukan pada anakku?!"

Aku tercengang.

"Kelas berapa kamu? Apa kepala sekolahmu tidak memberitahu, DIHS terlarang di area ini. Jangan pernah lagi mengajukan proposal kegiatan ke sini. Aku sudah cukup memberikan dana."

"Eh ... aku enggak cari dana, Bu. Aku cuma mau tanya soal peti mati dari abad ke-16 yang pernah ada di sini, sekitar dua tahun lalu. Aku ingin tahu segala sesuatu tentang peti mati itu untuk ... eh, tugas sekolah. Aku suka membaca artikel tentang artefak dan relik. Cita-citaku ingin jadi arkeolog." Aku menyiapkan ponsel untuk mencatat.

Wanita itu menatapku, seperti mempertimbangkan.

Aku mengangguk dengan sopan. "Maaf mengganggu Ibu. Kalau Ibu tidak ada waktu, beri satu petunjuk saja agar aku bisa riset di Internet."

Ia mendengkus. Tapi ekspresi pada wajah tirusnya lebih lunak. "Anak bodoh! Kalau mau jadi arkeolog, jangan selalu mengandalkan gadget dan Internet. Tapi kamu ada di sini, itu bagus. Aku akan lupakan sejenak soal DIHS, dan memberimu sedikit info. Bagaimana kalau aku bilang peti mati itu dari sebuah kastel kecil di pinggiran Glasgow, Skotlandia? Dianggap tidak berharga karena tidak ada kaitannya dengan sejarah nasional. Kastelnya pun sudah terjual dan dijadikan hotel. Peti mati itu unik bukan karena desain atau usianya, tapi pada kisah Baron Mallory yang jadi desas-desus sedesa. Nah, cukup segitu. Selebihnya kamu gali sendiri dari Internet."

Aku mengangguk, berhenti mencatat. "Sekarang peti mati itu di mana, Bu? Mbaknya bilang enggak pernah lihat selama kerja di sini."

"Oh, aku pindahkan ke rumah karena toko sudah terlalu sempit. Selama dua tahun ini ada di sana ...."

Aku sudah nyaris bersorak, tapi wanita itu langsung mengibaskan tangan. "Tidak, tidak. Kamu tidak bisa lihat peti itu sekarang, seminggu lalu dibeli orang yang sangat sentimental. Katanya untuk terapi trauma putrinya yang pernah terjebak dalam peti mati." Wanita itu mendengkus lagi. "Aku tidak percaya alasannya. Tapi ia berani membeli dengan harga yang kutetapkan. Walau akhirnya, aku diskon juga 50%. Aku masih untung dan benda itu tidak lagi memenuhi gudangku."

"Siapa yang membeli, Bu?"

Pertanyaan yang keliru. Wanita itu menatapku curiga sekarang. "Kamu menyelidiki orang itu? Seperti dua polisi tadi? Transaksi yang kami lakukan sah, sudah kubilang pada mereka. Ada buktinya. Tapi aku melindungi klienku. Tanpa surat geledah resmi, polisi tidak bisa memaksa aku jawab pertanyaan. Apa lagi kamu."

Aku menggeleng cepat-cepat. "Enggak Bu, bukan menyelidik. Cuma tertarik saja. Kok bisa peti mati untuk terapi trauma putrinya yang pernah terjebak dalam peti mati. Aneh banget."

Wanita itu tertawa. "Iya, kan? Aku pikir juga begitu. Tapi lelaki itu meyakinkan. Aku sampai ingat ceritanya yang berulang-ulang dan konsisten. Kalau dengar dari suaranya sih, kukira sudah cukup tua."

"Jadi, Ibu enggak pernah ketemu dia?"

"Semua dilakukan lewat telepon. Katanya dia pernah lihat sendiri waktu peti itu ada di sini dua tahun lalu."

Aku garuk-garuk kepala. Jadi, apa yang membuat Stella tertarik? Apa hubungannya dengan Sky Lee?  "Bu, apakah si pembeli itu orang Singapura?"

"Hah? Ide dari mana itu? Bahasa Indonesianya lancar walau agak bergetar, mungkin karena sudah tua." Wanita itu melirik arlojinya. Hendak masuk lagi ke mobil.

"Maaf, satu pertanyaan lagi. Apakah ada insiden dengan peti mati itu selama ada di sini?"

Wanita itu menggeleng tegas. Pintu mobil dibuka.

"Bu, apakah Ibu kenal orang ini?" Aku menunjukkan foto Aidan di ponsel.

Wajahnya berubah sengit. "Dia menyebabkan anakku harus pindah sekolah. Dewan Etika Darmawangsa bahkan memihak dia. Sudah. Aku tidak suka mengungkit-ungkit itu. Pergilah."

Cara terakhir: aku tersenyum sambil mengulurkan tangan.

Wanita itu terperangah. Tidak sopan menolak jabatan tangan meski dari siswa DIHS, bukan? Apa lagi yang menunggu dengan senyum polos.

Jabatan bersambut, hanya dua detik. Aku mengangguk, berterima kasih, dan menyingkir. Dugaanku benar, kurator itu ibunya Armand. Semua yang dikatakannya tadi juga bukan kebohongan. Ia hanya merahasiakan data utama klien, seperti nama dan alamat pengiriman peti mati. Tapi aku bisa melihat, ia menandatangani faktur dan menginspeksi pengemasan barang. Ditujukan kepada Sdr. Shai Kiowa. Apartemen Taman Perwira, Lantai 1 No.4, Bandung.

Taman Perwira .... Dekat dengan apartemen Aidan. Dan namanya familier. Di mana aku pernah mendengarnya?

Dear all,

jangan lupa vomment di kedua part ya.

Dukung aku untuk semangat terus menulis, oke?

See you next Friday.

Oh ya, komen di sini apa yang paling ingin kamu tahu Jumat depan?

Salam sayang.

Dari Kei juga.

Continue Reading

You'll Also Like

35.9K 2.7K 30
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
91.9K 10K 61
Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan penyebab tewasnya Jun karena overdosis, bah...
After I Die By Dareve Stevn

Mystery / Thriller

106K 16.7K 32
[MYSTERY; THRILLER • END] Suatu pagi di akhir musim dingin, Avaline Ives tewas dalam sebuah kecelakaan. Itu terjadi tepat setelah dirinya mengundurka...
221K 13K 38
Gema dan Jana terikat oleh pernikahan. Rencana masa depan harus terpupus, menikah itu seperti pergi ke tempat baru. Berkenalan dengan lingkungan Gem...