CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 13 (a)

2.7K 608 111
By AryNilandari

Sebelum aku turun di depan lobi SMA, Bang El merasa perlu mengulang serangkaian pesan yang intinya sama. Belajar yang baik, sudah mau ujian akhir. Sering-sering pulang ke rumah Tante Fang, bukan ke tempat kos. Makan teratur. Hati-hati dengan bad boy, bisa menyeretmu ke banyak masalah. Hati-hati juga dengan cowok baik-baik. Kelihatannya saja begitu, di belakangnya, banyak masalah juga. Lebih hati-hati lagi dengan cowok yang mendekatimu. Jangan tergoda rayuan untuk saling memberi. Kamu beri dia kesempatan, dia memberimu masalah. Intinya, cowok identik masalah.

"Bang El juga dong," kataku, mencebik.

Beng El terkekeh. "Ya. Makanya sekarang aku kelimpungan memperbaiki semua masalah yang pernah kutimbulkan."

"Semangat, Bang! Jangan pulang sebelum dapat restu orangtua Teh Nind."

Bang El mengangguk penuh tekad.

Aku mengadu kepalan tangan dengannya, lalu turun. Mobilnya pun segera menjauh. Setidaknya, tiga atau empat hari, Bang El bakal sibuk dengan calon mertua di Tasikmalaya. Hubungan yang tersambung lagi menguat dengan cepat. Aku lega, bukan hanya karena Bang El mendadak bertemu jodoh, tapi juga karena kepergiannya memberiku keleluasaan. Aku bisa berfokus pada Aidan, tanpa harus berbohong.

Itu dimungkinkan juga dengan kesibukan Tante Fang. Kemarin, hanya sebentar di rumah, ia dan Stella pergi lagi mengikuti petunjuk baru.

Sky Lee masih hidup! Kudengar Stella bersorak gembira. Setelah sekian lama menghilang, Sky Lee tiba-tiba menghubungi lagi keluarganya di Singapura dari suatu titik koordinat, masih di Bandung.

Tapi dini hari tadi, Tante Fang baru pulang. Lelah dan kecewa. Sky Lee ternyata cerdas dan tidak ingin ditemukan. Sebelum terkapar di kamarnya, Tante masih sempat membebaskan aku dari status tahanan rumah. Bang El menjamin aku tidak akan macam-macam. Hari ini, aku boleh beraktivitas seperti biasa, kecuali ke kantor polisi.

Dan di sinilah aku, memandangi aliran siswa memasuki lobi SMA. Atasan kemeja krem, dasi, rompi marun, dan jas abu-abu, dengan rok atau celana abu-abu. Aku mengenakan seragam yang sama, tapi rasanya, umurku jauh lebih tua dari mereka. Obrolan yang tertangkap tentang pacar, liburan, makanan kafe, idol, lagu, drama, terdengar semakin asing. Aku memang berjarak dengan remaja kebanyakan dan kehidupannya. Tapi sejak terlibat dengan Aidan, Kei, dan River, jarak itu mendadak berlipat-lipat.

Ini minggu terakhir sekolah sebelum libur Natal dan tahun baru. Tidak ada pelajaran lagi. Kegiatan ekskul dan lomba antarkelas meramaikan sekolah. Kesempatan bagiku untuk bebas keluyuran, napak tilas ke tempat-tempat aku bertemu dan berbicara dengan Aidan.

Mulai dari lobi. Aku berdiri di dekat patung perunggu sang pendiri sekolah. Mengulang kebiasaan lama. Kebiasaan yang mulai terbentuk sejak geer dengan perhatian Aidan. Kebiasaan yang terhenti setelah Aidan lulus. Di sini, aku menunggu Aidan datang. Merasa berani karena diyakinkan oleh wajah teduh Pak Darmawangsa Senior. Bahwa semua siswa berkedudukan sama. Prasasti berbentuk buku terbuka di bawah patung menjadi samaran yang bagus pula. Orang menyangka, aku sedang membaca moto sekolah.

Open hearts. Open minds. Open doors.

Lalu Aidan melangkah masuk. Memberiku senyum lebar seperti biasanya. Menyegarkan udara di sekitarku dengan wangi sampo dari rambutnya yang diacak angin. Kuhirup dalam-dalam, aroma air pegunungan pun menyeruak lembut dari tubuhnya.

Ia berdiri di sampingku. Memandangi tiga kalimat moto itu, yang ajaibnya, tidak habis dibaca dalam semenit, dua menit, bahkan lima menit. Saat lobi menjadi ramai, Aidan pun akan pergi.

Tidak ada kenangan lain di sini. Aku tahu, prasasti tidak bisa membantu, karena Aidan tidak pernah menyentuhnya. Dua tangan selalu masuk saku jas, atau memeluk ransel.

"Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan waktu itu," gumamku.

"Mungkin sama dengan yang kamu pikirkan." Aidan menjawab.

"Kamu kepikiran tentang apa yang aku pikirkan tentang kamu?" Aku terbelalak. Ah, mulai lagi deh bahasaku berputar-putar.

"Wah! Jadi, kamu kepikiran tentang aku?" Aidan tertawa, menggoda. "Misalnya?"

"Misalnya, apakah kamu tidur nyenyak semalam, sudah sarapan belum, adakah buku yang ketinggalan, kenapa kamu enggak menyapaku dengan nama."

Aidan berbalik untuk menghadapku. "Kamu baik sekali, memperhatikan aku. Tapi berarti pikiran kita beda. Aku memikirkan moto sekolah. Pengin tahu sejarahnya. Apakah pernah dipakai pencetusnya untuk nembak gebetan? Memang bagus kok untuk nembak. Tapi berat buat yang ditembak."

Aku terperangah sendiri dengan jawaban Aidan. Ah, pasti karena banyak isu tentang moto yang dijadikan modus. Dan Aidan cowok populer, pasti sering menerima permohonan cewek untuk membuka hati, pikiran, dan pintu ... rumah atau mobilnya. Berat bagi Aidan mengabulkan. Tapi menembak Aidan juga bukan perkara sederhana. Menurut desas-desus, cewek yang berani maju berarti mempertaruhkan kehidupan sosialnya di sekolah. Sudah ditolak Aidan, dicibir dan dijauhi pula oleh kaum perempuan. Entah apa konsekuensi sosial bagi cewek yang diterima, karena belum pernah terjadi saat Aidan di SMA.

Mendadak aku penasaran tentang River. Semua orang tahu kedekatannya dengan Aidan. Seperti aku, banyak yang mengira mereka jadian. Bagaimana perlakuan teman-teman cewek padanya? Adakah yang berani macam-macam karena iri? Walau setelah mengenal River, kupikir, gadis itu tidak akan peduli. Ia terjamin aman di tengah Aidan dan Kei.

"River bukan cewek lemah. Aku enggak perlu jagain dia." Aidan menyela pikiranku.

"Aku enggak lemah dan bisa jaga diri. Aku enggak pernah nembak kamu jadi harusnya aman dari cewek-cewek itu. Tapi kamu melindungiku. Kenapa?" Aku memandangnya dengan wajah panas. Nekat menantang kenangan Aidan, memaksa otakku untuk spontan membangkitkan ingatan terkubur.

Tapi Aidan balas memandangku dengan ekspresi geli. Mengangguk, dan pergi menaiki tangga, melewati dua undakan sekali langkah. Rambutku! Aku menggeram kesal. "Kamu menertawakan rambutku."

Kudengar tawa Aidan. "Sudah kubilang, rambutmu unik. One of the kind. Jangan dipotong ya. Ikat saja kalau gerah."

Aku berdecak. Itu sih bukan ingatan terpendam. Aidan benar-benar bilang begitu dalam insiden bulu angsa. Insiden yang terjadi di luar sekolah. Belakangan saja kukunjungi lagi tempatnya. Sekarang, lanjutkan napak tilas di lingkungan sekolah. Kata-kata Kei bahwa Aidan mungkin menyimpan perasaan untukku harus dibuktikan. Aku ingat di mana saja pernah berpapasan dan berbicara dengan Aidan. Apa yang dulu tidak teramati, mungkin memberi makna lain kalau dipandang dengan cara baru.

Bahwa Aidan menyukaiku. Aidan menyukaiku.

Kemarin, aku mempertanyakan, untuk apa tahu itu setelah Aidan tiada? Mengungkit ini hanya akan menyakiti hatiku sendiri.

Tapi aku nyaris tidak tidur memikirkannya. Lebih sakit rasanya selalu bertanya-tanya tanpa ada jawaban. Menduga-duga dan resah. Tidak adil juga bagi Aidan. Dengan caranya, mungkin ia berusaha menjangkau aku. Tapi pesannya tidak sampai karena aku terlalu bebal, terlalu takut. Kalau ingin Aidan tenang di sana, aku harus memastikan pesannya sampai padaku. Demi Aidan. Tidak peduli apa pun efeknya untuk aku sendiri.

Dengan mata batin kubuka lebar sekarang, kenangan sekecil apa pun mungkin dapat membuktikan perasaan Aidan.

Di tangga dari lobi ke lantai dua. Aku berlari naik, dan Aidan berlari turun. Bertemu di bordes, sama-sama terkejut. Aidan seperti hendak mengatakan sesuatu. Aku menunggu. Tapi segerombolan anak perempuan muncul. Aidan tersenyum tipis dan meninggalkan aku.

Di rooftop lantai dua. Aku keluar untuk membuang kesesakan. Ternyata ada Aidan bersama teman-temannya. Obrolan mereka terhenti. Semua memandangku. Aku berbalik dan kesulitan membuka pintu. Mereka tertawa. Tidak Aidan. Ia mendekat dan membukakan pintu. "Memang sering macet kok," katanya keras-keras, agar teman-temannya mendengar. Lalu berbisik, "Kamu baik-baik saja?" Aku lari tanpa menjawab, karena air mata sudah mau tumpah lagi.

Di ruang olahraga indoor, kafetaria, perpustakaan, aula, ruang ekskul .... Aku bisa mengingat berbagai interaksi singkat dengannya. Semakin yakin ia memperhatikanku tanpa kentara. Tapi tidak terbaca perasaan lebih dalam dari itu. Aku belum menyerah. Periksa lapangan dan taman di luar. Aku masuk ke ruang kontrol listrik dan AC untuk melihat keadaan di lapangan basket. Hanya ada beberapa anak lelaki sedang bermain. Tempat duduk pemain sepi. Aku berlari turun.

Pada bangku kayu tempat duduk pemain, banyak coretan dan guratan curhat. Inisial, simbol hati, simbol tengkorak, gambar bola, score, tidak ada satu pun yang dibuat Aidan. Tapi Aidan sering duduk di ujung bangku. Tempat paling startegis untuk memandang langsung ke jendela kelima di lantai dua. Aidan memperhatikan aku. Memori bangku begitu kuat. Pemain lain pernah duduk juga di situ, memandang ke jendela. Tapi alih-alih melihat aku, ia melihat Aidan. Menjenguk keluar dari jendela.

Aidan pernah masuk ruang kontrol? Kapankah itu? Mau apa?

Aku meraba-raba lagi lebih cermat. Tapi banyak penampakan tentang anak-anak basket yang tumpang tindih. Membingungkan. Tidak ada gunanya. Aku berlari kembali ke ruang kontrol. Kali ini omongan mereka tentang aku yang seakan hidup sendirian di muka bumi benar. Seisi sekolah lenyap dari pandanganku. Walau aku sempat minta maaf pada apa pun yang kudorong minggir atau kutabrak. Terengah-engah aku tiba di ruang kecil itu. Kusapukan tangan membaca kosen jendela dan dinding sekitarnya. Jejakku sendiri sangat kuat. Tapi tidak ada Aidan. Ia tidak menyentuh apa-apa. Dan udara tidak bisa kupegang untuk kubaca. Aku terduduk di lantai.

"Aidan, what game were you playing?"

Aidan tidak menjawab. Tidak ada data di otakku. Aku menyemburkan napas. Ponsel menunjukkan pukul 9.35. Hampir tiga jam aku napak tilas. Kenangan lama dan baru saling menguatkan. Aidan memperhatikan aku. Tapi ada pembenaran untuk kebebalanku juga. Perhatian itu terlalu samar dan bisa berarti apa saja.

Masih ada waktu sebelum berkumpul dengan Kei dan River di apartemen Aidan pada jam makan siang. Kuputuskan untuk ke sana duluan. Aku bisa mencari perangkat pengunci laptop Aidan. Kata Kei, bentuknya mungkin mirip memory card. Ada dua slot memory card di laptop itu. Satu memang untuk memory card biasa. Satu lagi bukan, memory card tidak bisa masuk sempurna.

"Bilang saja, kamu kangen aku." Aidan tersenyum tipis.

Aku mendorong mukanya. Sebal. Bergegas aku keluar dari gedung SMA, dari kompleks Darmawangsa. Tidak ada yang mencegahku, atau mungkin ada, tapi aku tidak mendengar seruan mereka. Apartemen Aidan tidak jauh dari sekolah. Hanya lima belas menit berjalan kaki. Kurang dari itu kalau lari.

Lalu tengkukku meremang. Perasaan ada yang menguntitku mendadak muncul dan semakin kuat di setiap langkah. Aku tahu, kalau aku tiba-tiba berbalik, tidak akan kutemukan siapa-siapa di belakangku. Karena mungkin ini hanya perasaan atau si penguntit pastilah terampil menghindar. Pakai cara lain. Sesekali aku berhenti untuk melihat-lihat etalase pertokoan. Dari kacanya, aku bisa memperhatikan pejalan kaki yang melewati aku. Tidak ada yang mencurigakan. Aku berjalan lagi. Perasaan itu hilang sendiri begitu aku sampai di halaman parkir gedung apartemen.

Salak anjing terdengar dari arah kiri. Seekor terrier putih dituntun lelaki tua pemiliknya. Mereka hendak memasuki mobil, tapi anjing itu sepertinya menolak, sibuk melompat-lompat sambil menyalak ... ke arahku. Tuannya kewalahan memegangi rantai.

Aku menelengkan kepala. Kenapa pula aku digonggongi? Dia tahu aku bukan penghuni? Anjing lucu. Jenisnya sama dengan yang pernah kulihat dalam pikiran Aidan dua tahun lalu. Tapi yang ini lebih besar, bulu di kepala lebih gondrong. Astaga! Apakah itu anjing yang sama? Dua tahun kan dia bertumbuh. Lagipula apartemen Aidan bersih dari anjing. Aidan tidak memelihara anjing!

Secepat pemikiran itu terlintas, aku berlari mendapati mereka. Semakin keras anjing itu memberontak dan menyalak. Tuannya lebih ribut lagi menyuruhnya tenang.

Terrier itu memang jadi tenang, menggoyangkan ekor, tapi setelah aku berdiri di depannya.

"Koda mengenalmu. Dia begitu hanya sama orang yang disukainya. Tapi aku tidak ingat pernah bertemu denganmu. Kamu tinggal di sini?"

Aku menggeleng dan memperkenalkan diri sebagai teman Aidan.

Ekspresi lelaki itu menjadi sendu. "Ah, berita-berita sampah itu. Tidak bisa kupercaya. Aidan anak baik. Semoga beristirahat dalam damai. Aku dan Koda sangat kehilangan. Aidan sering mampir menemani aku atau membawa Koda jalan-jalan." Pak Wisnu, namanya, tinggal di lantai 5.

Mataku pasti sudah membulat. Petunjuk begitu saja dihadirkan di depanku. Aku harus menjabat tangannya. Tapi Koda dulu, yang sudah berjingkrak-jingkrak minta perhatian. Pak Wisnu mengangguk, saat aku minta izin untuk menyentuhnya.

Aku berjongkok. "Kamu kenal aku? Enggak salah orang? Bagaimana bisa? Aku baru lihat kamu sekarang. Boleh aku sentuh kamu? Kemarilah."

Koda menurut, mendekat dan duduk di depanku dengan tenang. Dengan dua tangan aku memegang kepalanya. Memori seekor anjing. Lebih sederhana. Berkisar pada apa yang dicintainya.

Pak Wisnu. Boneka berbentuk tulang yang sudah lusuh. Kucing tetangga. Jalan-jalan. Aidan. Jalan-jalan lagi. Memandang ke atas pada Aidan yang menuntunnya. Menemani Aidan main basket. Berlari mengikuti Aidan jogging keliling taman. Kembang api pucat di pagi hari. Emosi Koda berubah. Ia mendengking pelan. Boneka berbentuk tulang yang sudah lusuh. Pak Wisnu. Kucing tetangga.

"Koda, please. Show me ...." Aku mengelus kepalanya. Koda menatapku di balik surainya. "Aidan, Koda. Aidan. Di taman. Lanjutkan."

Kembang api pucat di pagi hari. Bunyi petasan. Aidan menenangkannya. Petasan lebih keras. Koda menggeletar ketakutan. Aidan berbicara pada anak-anak yang main petasan. Lalu, Koda berbalik dan lari cepat. Suara Aidan memanggil-manggilnya. Koda terlalu takut untuk berhenti. Ia lari terus ke tempat yang ia tahu aman. Dulu pernah ke sana dengan Pak Wisnu. Rumah panggung di seberang taman. Koda bersembunyi di bawahnya. Aidan tidak terlihat lagi. Tidak terdengar lagi.

Aku perlu oksigen. Hampir lupa bernapas. "Apa yang terjadi denganmu? Kamu takut petasan?"

"Betul. Koda paling benci tahun baru." Pak Wisnu tertawa. "Selalu minggat ke tempat-"

"Rumah panggung di seberang taman? Di mana itu, Pak?"

Pak Wisnu mengangguk. "Oh, kamu tahu juga kebiasaan Koda. Taman Perwira. Sekitar 500 meter dari sini."

Aku berkonsentrasi lagi pada Koda. Tunjukkan ... kapan kamu pernah melihat aku?

Koda menyalak pelan. Senja. Lapar. Suara Aidan. Gembira. Keluar dari bawah rumah panggung. Aidan datang bersama orang lain. Aidan memeluk Koda, menggendongnya sambil menandak-nandak. Dan teman Aidan itu ...  ikut tertawa. Anak perempuan berambut ikal yang mekar ke segala arah. Koda merasa surainya lebih cantik ketimbang rambut anak itu. Tapi ia sangat berterima kasih padanya. Wajah anak perempuan itu ....

Aku terperenyak. Koda melihat aku. Aku bersama Aidan. Tahun baru. Di rumah panggung seberang Taman Perwira.

"A-aku t-tidak ingat ...." Emosi mendesak dari dada ke tenggorokan. Tersekat. Tapi panasnya menjalar ke mataku.


lanjut ke part b ya ....

Continue Reading

You'll Also Like

11.8K 739 24
Menikah tanpa rasa itu menyakitkan. Setiap kali aku mencintai, semuanya menghilang begitu saja.
408K 36K 37
Buku Ketiga dari empat buku dalam seri T.A.C.T. (Fantasy - Romance) Apa yang akan kamu lakukan saat mengetahui kalau dirimu dijodohkan dengan lebih d...
1.7K 592 44
Jehanara bukan hanya perjuangan Arunika Gauhari yang berjuang masuk pelatnas agar bisa memiliki medali emas impiannya. Tapi juga kisah persahabatanny...
5.5K 584 16
Pengarang: Yue Banding Jenis: perjalanan waktu dan kelahiran kembali Status: Selesai Pembaruan terakhir: 02-11-2023 Bab terbaru: Teks utama Bab 73 Fi...