Buku Ramalan Sinta

By EtiParatif

719 37 0

Judul: Buku Ramalan Sinta Genre: Fantasy - Adventure Penulis: Eti Paratif Sinopsis Nicholas Stecker hanya ing... More

Buku Usang
Lingkaran Odaise
Serangan Burung Gagak
Wanita Misterius
Scivolo Icebergie
Rumah Kapas

Rumah Mnemsine

57 5 0
By EtiParatif

Langkah mereka padu menyisiri jalanan hutan yang lembab, banyak pondok-pondok tua mirip rumah jamur yang tak berpenghuni memenuhi kanan kiri jalan. Thalia masih mengenggam tangan Ben erat, sedangkan Nadia di samping Nick berusaha memandang sejauh mungkin melalui manik mata coklatnya.

“Nick” Nadia bersuara, “Menurutmu, tempat apa yang di maksud?”

Nick terdengar menghela napasnya, “Aku juga tidak tahu” katanya kemudian.

Jalanan lembab dilapisi dedaunan coklat yang basah membuat jejak mereka tertinggal cukup jelas. Nick menghitung langkahnya, tak tahu akan sampai hitungan berapa kalau mereka tak tahu tempat macam apa yang harus mereka datangi. Cacing-cacing di perutnya sudah meronta meminta makanan, namun sebisa mungkin ia menahannya. Tidak ada makanan yang bisa mereka makan di hutan lembab nan suram ini, yang ada hanya beri-beri beracun yang menggelantung indah sepanjang jalan.

Langkah mereka sampai pada tempat mirip sebuah desa di jaman pra-tulis dulu, dengan gazebo-gazebo yang tersebar dengan satu tempat yang lumayan besar. Nick pernah melihat lukisan ilustrasi seorang pelukis kenamaan Itali tentang keadaan manusia di jaman pra-tulis dulu, menurutnya tidak jauh berbeda.

“Ada manusia juga ternyata disini” celetuk Percy.

Sekumpulan para manusia dengan balutan jubah hitam begerombol di sebuah titik tak jauh dari mereka, terlihat sedang membicarakan sesuatu di tempat mirip gazebo tadi. Nick dan yang lain sibuk memperhatikan mereka sampai akhirnya salah satu dari mereka menyadari keberadaan Nick dan kawan-kawan.

Nick tersentak, semua orang itu kini menatap ke arah mereka. Nick menatap balik mereka yang menatapnya menyelidik, tak ada sedikit pun rasa takut dalam dirinya.

“Hai” salah satu dari orang itu menyapa mereka lembut. Melambaikan tangan seolah menyuruh Nick dan yang lain mendekat.

Dengan sedikit ragu akhirnya Nick memutuskan untuk mendekat, Nadia masih setia di sampingnya dan yang lain mengikuti di belakang. Langkah mereka tersaruk menuju tempat yang kira-kira berjarak lima anak panah dari tempat mereka semula.

Sesampainya mereka di hadapan para manusia berjubah, secara tiba-tiba manusia-manusia itu menunduk hormat ke arah Nick. Nick tersentak, secara mendadak ia mundur dan bisa melihat jumlah mereka ada sepuluh banyaknya. Ke empat orang di belakang Nick juga sama-sama tak mengerti dan ikut terperangah.

Nadia menyenggol lengan Nick, tatapan matanya yang bingung menatap Nick seolah bertanya. “Apa yang mereka lakukan?” Nick tidak mengerti, ia hanya membalas dengan mengendikkan bahunya.

“Selamat datang di tempat ini, Nicholas Stecker” kata yang lain setelah kembali ke posisi semula. Senyum indah terukir di bibir laki-laki berjubah itu, pancaran matanya yang cerah memancarkan keramah-tamahan persis seperti pemandu wisata.

Sekali lagi Nick menyernyit tak mengerti, bagaimana orang itu tahu nama lengkapnya?

Thalia bergerak resah di tempatnya, memutar kepalanya ke kanan kiri namun tetap tak mendapati sesuatu yang di carinya. Ben yang berdiri di sisinya menyadari perubahan itu.

“Ada apa?” tanya Ben penasaran. Thalia hanya membalas dengan memandang resah bola mata coklat sepupunya itu. Sementara Nick tampak mengucapkan sepatah dua patah kata kepada orang itu, Ben masih seksama memerhatikan Thalia yang sepertinya sedang ada sedikit masalah.

“Katakanlah ada apa?” Ben mendesak, nalurinya kuat mengatakan ada suatu yang tidak beres.

“Ehm” Thalia memandang Ben ragu, suaranya terasa kelu sesaat. “Bukunya....bukunya hilang” lanjutnya dengan suara berbisik di akhir kalimat.

“Hah?”

“Iya hilang, bagaimana ini?” ia berucap seolah menangkap ketidakmengertian Ben tadi.

“Jadi, bisakah kalian memberi tahu suatu lokasi di tempat ini?” suara Nick di depan mengalihkan Ben dan Thalia dari pembicaraannya tadi.

Laki-laki di hadapannya tersenyum, “Apa maksudmu sebuah titik?” tanyanya.

Mata Nick berbinar antusias.

“Kalau itu yang kau maksud, kau sudah berada di dekatnya, sebentar lagi kau akan menemukan bangunan yang di maksud. Tapi kau harus hati-hati, maksudku” laki-laki itu membuat jeda, memandang sekeliling lalu kembali pada Nick. “Penyihir hitam mengincar kalian” lanjutnya agak berbisik, membuat Percy dan Nadia di samping Nick bergidik ngeri. Mereka tidak mengenal para laki-laki berjubah itu, lalu mereka memberi titik terang dan kemudian menakut-nakuti dengan mengatakan ‘Penyihir hitam mengincar kalian’. Nadia bersumpah, ini seperti serial film thiller yang sering di tonton Nick.

Nick memikirkan ucapan laki-laki di hadapannya sejenak kemudian mengucapkan sebuah kata. “Kuharap informasimu benar.”

“Aku tidak bisa membohongi orang sepertimu” kata laki-laki itu tenang dan meyakinkan, sekali lagi memberi senyum pada Nick juga yang lain.

Nick berkata lagi, “Terimakasih untuk informasinya.”

“Tidak usah sungkan, kau bagian dari kami juga” setelah itu, mereka para lelaki berjubah kembali menurunkan badan seratus delapan puluh derajat menjadi menunduk di hadapan Nick. Nick tidak mengerti, namun ia tak ambil pusing atas apa yang mereka lakukan atau ketakan di luar informasi tentang titik yang di maksud dalam buku.

Setelah beberapa detik, orang-orang itu bangkit lagi. Nick memutuskan untuk melanjutkan pencarian sekarang juga, maka langkah mereka kembali terdengar dengan iringan ucapan selamat tinggal dari para lelaki berjubah tadi. Nick agak risih sebenarnya.

“Kau kenal siapa mereka?” tanya Nadia penasaran. Ia mendongak dan mendapati kakaknya tengah memandangnya.

Nick terlihat berpikir sebentar, lalu akhirnya mengendikkan bahunya sebagai tanda tidak tahu.

“Kupikir kau tahu” terdengar nada kecewa saat Nadia mengatakannya, “Lalu, kau tahu siapa wanita misterius yang tiba-tiba muncul tadi?”

“Namanya Livia” jawab Nick, namun rupanya ia salah menangkap maksud pertanyaan adiknya saat Nadia kembali membuka mulut.

“Ck, bukan itu maksudku”

Nadia tak melanjutkan ucapannya ketika terdengar keributan kecil dari arah belakang. Sontak ia dan Nick berbalik, ternyata suara ribut itu berasal dari Ben, Thalia, dan juga Percy yang entah sejak kapan Nadia tidak menyadari laki-laki itu tidak berada di sampingnya lagi.

Nadia menoleh sebentar ke arah kakaknya lalu kemudian melangkah mendekati mereka bertiga.

“Kenapa ribut-ribut?” tanya Nadia setelah bergabung dengan mereka, Nick masih terdiam di tempatnya.

“Bukunya hilang” jawab Thalia terburu, ada nada jengkel dan takut yang tercampur dalam ucapannya. Nick di depan mendengar jelas apa yang baru saja di ucapkan gadis itu. Ia lantas tertaut tak percaya.

Nick langsung menghampiri mereka.

Nadia menyipit tak percaya. “Hilang? Bagaimana bisa?”

Gerak-gerik Thalia menunjukkan ketidaknyamannya ketika mendapati tatapan tajam Nick yang seolah ingin membunuhnya. Ia menyumpah, kalau tatapan bisa membunuh mungkin ia sudah terkapar tak bernyawa di atas rumput yang basah ini.

“Bukunya hilang?” Nick mengulang perkataan Nadia.

Sambil menggaruk leher belakangnya, Thalia mengangguk pelan-pelan. Lalu ucapannya menyusul, “Aku tidak tahu.”

“Bodoh” Nick mengumpat pelan memandangi ujung sandalnya yang lusuh, ia lalu mendongak dan memandang Thalia. “Kalau bukunya hilang, bagaimana kita bisa pulang?”

“Kan sudah kubilang, aku tidak tahu” suara Thalia meninggi berusaha membela dirinya, walau pancaran matanya tetap tak bisa menghilangkan rasa takutnya.

Terdengar helaan napas pendek, “Kau menghilangkannya dimana?” kali ini suara Ben yang terdengar.

“Aku tidak tahu, tapi” Thalia menggigit bibir bawahnya. “Mungkin bukunya terjatuh saat akan menyebrangi sungai tadi, saat aku hampir jatuh tadi” jelas Thalia memberitahu.

Ben kemudian bisa mengingat saat Thalia hampir jatuh ke sungai kalau saja ia tak cekatan menarik tangannya. Ia ingat Thalia langsung menggenggam tangannya erat menggunakan kedua tangannya.

Nick terdengar mengerang frustasi, ia melarikan jari-jari tangannya ke arah rambut hitamnya dan mengacaknya kemudian, ingin sekali ia menggunakan tangannya untuk memukul samsak tinju miliknya.

Setelah Nick agak tenang, ia lalu berkata dengan nada marah yang di tahan. “Biar aku saja yang mencari” Thalia terlihat ingin berbicara tapi buru-buru Nick menyambung kalimatnya. “Kalian tetap mencari tempatnya, tak ada waktu lebih lama lagi.”

“Aku ikut denganmu” Thalia menjawab cepat dan lantang, menunjukkan seolah ia adalah pejuang wanita yang siap mati demi kehormatan.

Nick terdengar mendesah, “Kau akan merepotkan” katanya.

“Tapi kan karena aku juga bukunya hilang.”

“Karena kau juga kita terdampar disini” jawab Nick sarkastik. Kalau sudah begini Thalia tak bisa berkutik seolah terdakwa yang terbukti bersalah.

“Benar katanya, kau lebih baik ikut bersama kami, biar dia saja yang mencarinya sendiri” Ben menyela, “Lagipula, aku tidak yakin kau aman jika bersamanya.”

Tatapan tajam Nick tak terima namun tetap membenarkan perkataan Ben tentang, ‘biar dia saja yang mencari’. Nick lebih merasa kuat jika sendiri.

“Iya, kau bersama kami saja” Nadia ikut menimpali.

Thalia tak mengerti maksud Ben berkata benar. Benar karena ia sebaiknya ikut Ben dan yang lain, atau benar karena dia orang yang menyebabkan mereka semua terdampar di tempat aneh ini? Namun akhirnya ia hanya mendesah dan mengangguk membiarkan Nick mencarinya sendiri, padahal ia ingin membuktikan pada Nick bahwa ia juga bisa di andalkan.

“Nad,” suara Nick kembali terdengar, “Kau ikut bersama mereka, aku tidak akan lama.”

“Baiklah, hati-hati” jawab Nadia.

“Kuharap kau bisa membawa bukunya tanpa cacat” Ben menyambung.

Nick merasa agak tidak terima, tanpa di suruh pun ia pasti akan menemukan buku itu dan membawanya kembali. Siapa yang mau terjebak di tempat ini selamanya? Kalau jawabannya tidak, maka buku tersebut jawabannya. Nick termasuk dalam golongan yang menjawab tidak.

Nick berbalik dan melangkah kembali menuju jalur yang mereka lewati sebelumnya. Thalia memandangi lekat-lekat punggung laki-laki itu dengan tatapan yang sulit di artikan, hingga akhirnya sebuah tangan hangat menarik tangannya. Tangan milik Ben, sepupunya.

“Kita mau kemana?” suara Percy menyela setelah sekian lama ia berkutat dengan ipad-nya.

Nadia yang berjalan paling depan menoleh, memandang Percy sebentar lalu berkata “Kau kan bawa ipad,” katanya dengan mengucapkan nada panjang di akhir. “Kenapa tidak menelpon orangtua saja.”

Perkataan Nadia di sambut antusias oleh Ben, kenapa tidak dari kemarin-kemarin mereka berpikiran seperti itu. Namun dengusan keras dari Percy mengugurkan harapan mereka.

“Memangnya kau kira dari tadi aku mengutak-atik ipad untuk apa kalau bukan mencoba menghubungi seseorang?” jawab Percy retoris.

Thalia melipat dahinya tak mengerti, “Bukannya ipad itu bisa menerjemahkan? Kenapa untuk menelpon tidak bisa?”

“Tak tahu juga” Percy mengendikkan bahunya, “Aku juga bingung, ipad ini hanya bisa di gunakan untuk menerjemahkan. Aku bahkan tak bisa melihat jam” katanya.

Ben di belakang menghela napas, ia melipat kedua tangannya dan memandang ke bawah. “Mungkin kita memang tidak boleh meminta bantuan siapa-siapa.” Komentarnya.

Setelah percakapan singkat itu, mereka terus berjalan mengikuti jalan setapak. Belum ada tanda-tanda titik yang di maksud, sepanjang mata memandang yang terlihat adalah pohon-pohon besar yang digelantungi buah beri.

Nick pun belum juga kembali, Thalia mulai resah. Sebenarnya kemana anak itu pergi? bukankah bukunya jatuh di dekat sungai yang belum jauh dari mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi ruang kepala Thalia.

Langkah mereka terhenti begitu samapi di ujung jalan.

Bangunan besar berdiri tak jauh dari pijakan mereka. Gerbang berkarat itu terkuak perlahan, menimbulkan decit engsel yang kaku. Di baliknya, terhampar tanaman dengan pepohonan sarat daun hijau khas hutan tropis, dengan jalan setapak yang meliuk jauh.

Nadia yakin, tempat ini yang di maksud.

Mereka menapaki taman perlahan, taman yang tak pantas di sebut taman karena tanamannya tumbuh liar tak terurus. Akar-akar tanaman yang mencuat membentuk pola mengerikan di mata Thalia hingga membuatnya terpejam sesaat. Suara mendesis Ben menyentaknya, membuat Thalia membuka mata meski dengan susah payah.

Kini di depan mereka, rumah besar bercat putih kusam menjulang bagaikan menara di tengah badai. Bangunan putih itu terdiri dari lima lantai yang berdiri kokoh. Di atas pintu yang besar, terdapat huruf-huruf dari emas. Sederetan kata tersebut dibaca Nadia.

RUMAH MNEMSINE, demikian bunyi tulisan tersebut, dan di bawahnya: MILIK KELUARGA ATHUR.

“Athur?” kata Nadia bingung. Seingatnya dulu Nick pernah memberitahu bahwa Athur merupakan nama belakang penyihir putih. Mereka sedang berada di titik tersebut.

“Mungkin ini titiknya” Ben langsung melangkah menapaki bebatuan yang membawanya sampai di depan pintu jati yang di ukir apik. Permukaannya yang halus menandakan jati ini sering di permis, atau setidaknya di rawat dengan sungguh-sungguh.

Ketiga orang lainnya mengikuti Ben di belakang.

“Benar ini titiknya?” tanya Thalia ragu, jemari tangannya memainkan bibirnya.

Ben hanya mengendikkan bahunya dan tetap melangkah, belum sampai ia mengetuk, pintu ganda coklat itu terbuka. Ben reflek mundur.

Di balik pintu itu, sebuah ruangan bercat krem terlihat jelas, seorang wanita tiba-tiba muncul.

“Livia?” Nadia berucap ragu. Di hadapannya berdiri wanita yang jauh lebih tinggi dengan kostum aneh yang pernah Nadia lihat. Aksennya juga aneh persis seperti wanita yang ditemuinya di dekat sungai kala itu.

“Hallo sayang” Livia menyapa lembut. Ia menunduk untuk bisa menjangkau Nadia dan berusaha mengelus puncak kepalanya, namun gadis itu menghindar.

Livia kembali tegak, “Kalian pasti mengikuti petunjuk buku itu ya?” matanya lalu beralih pada Thalia, namun kemudian menyernyit ketika tak mendapati buku itu di genggamannya.

“Bukunya?”

“Bukunya jatuh” Nadia yang menjawab, “Tapi Nick sedang mencarinya.” Katanya lagi.

Ada raut yang tak terbaca dari ekspresi Livia, yang ia lakukan hanyalah “Oh” lalu menggeser tubuhnya sedikit, membuat ruangan krem di belakangnya tampak jelas.

Livia lalu berkata di sertai senyuman “Masuklah, aku akan menjamu kalian.”

Nadia yang berada paling depan agak ragu, namun tidak dengan Percy dan Ben, dua laki-laki itu tampak sangat bersemangat. Jika mengingat perutnya Nadia juga sangat lapar dan sangat ingin makan. Jamuan seperti apa yang di maksud Livia?

Lantai-lantai berlapis marmer yang mengkilat menyilaukan menyambut langkah mereka ketika masuk. Livia masih terus berjalan menuju ruangan yang bernuansa lebih ringan, warnanya kuning, terdapat sebuah meja dan beberapa kursi yang terbuat dari batu megasium perak. Nadia mengaguminya.

“Kuharap Nick cepat kembali” suara Livia pecah. Seketika itu Thalia menjadi merasa bersalah membiarkan Nick pergi seorang diri, seharusnya tadi dia membantu Nick untuk mendapatkan kembali buku tersebut.

Livia menarik salah satu dari ke enam kursi, menghadap meja. Ia memberi kode pada Nadia dan yang lain untuk menempati kursi juga. Nadia menjadi orang kedua yang menduduki kursi, di susul Percy dan yang paling terakhir adalah Thalia di samping Nadia.

Setelah semua menempati kursi masing-masing, Livia lalu menepuk tangannya pelan. Lalu secara berangsur-angsur ruangan bernuansa kuning ini berubah warna menjadi hijau dan di tumbuhi sulur-sulur tanaman liar. Nadia memandang terperangah, benar kata Nick kalau wanita ini seorang penyihir.

Belum selesai sihir itu bekerja, dari arah yang tidak di ketahui seperangkat alat makan beserta makanan muncul di atas meja, membentuk susunan rapi yang melingkar. Nadia lagi-lagi terperangah, begitu juga yang lain.

Livia tersenyum, “Kalian pasti lapar, makanlah.” Pandangannya menyapu dari arah kiri ke kanan, “Ini makan khas disini loh”

“Apa ini aman?” tanya Thalia ragu-ragu.

Livia mengambil tempat makan kemudian menyendok soup kentang dan memasukkannya ke mulut. “Aku tidak keracunan kan?” katanya kemudian. “Ini aman, aku tidak mungkin meracuni teman-teman Nick.”

Sembari mengambil tempat makan, Nadia memperhatikan Livia dari sudut matanya, ia ingin bertanya apa saja yang dia ketahui tentang kakaknya.

“Apa?” Livia rupanya menangkap pandangan Nadia.

Nadia tampak gusar, sambil menggaruk tengkuknya ia berkata. “Sebenarnya siapa kau? Kenapa kau sepertinya sangat mengenal kakakku?”

Livia ingin tertawa mendapati pertanyaan semacam ini. Ia memasukkan sesendok macaroni sebelum menjawab pertanyaan Nadia, “Kau tidak akan paham jika kuceritakan, yang jelas aku sangat mengenal Nick.”

“Lalu apakah Nick mengenalmu?” sambung Nadia cepat.

“Bisa jadi, tapi aku tidak yakin” jawab Livia lagi di sela-sela kunyahannya.

Hal yang paling tidak di sukai Nadia adalah rahasia, ia tidak suka Nick menyimpan rahasia darinya. Sebenarnya apa hubungan Nick dengan Livia, juga foto itu, buku aneh yang ada di rumahnya, tempat-tempat aneh dan pertemuan dengan segerombolan manusia berjubah tadi yang tiba-tiba memberi penghormatan pada Nick.

Percy terlihat semangat menghabiskan semangkuk macaroninya, berbeda dengan Thalia yang terlihat tak bernafsu dengan makanan di hadapannya. Gadis itu tampak tengah memikirkan sesuatu. Soup di mangkuknya hanya sesekali ia masukkan mulut, selebihnya hanya di aduk-aduk.

Livia menyilangkan sendoknya di piring yang menandakan ia sudah selesai makan, lalu mengelap bibirnya menggunakan kain di dekatnya. Di pandanginya Nadia dan yang lain secara bergantian, mereka masih sibuk makan.

Sembari menunggu mereka selesai makan, Livia memutuskan untuk bercerita. “Apa kalian mau mendengar ceritaku?”

Nadia sejenak menghentikan sendokannya, memperhatikan Livia dan akhirnya ia hanya mengangguk, lalu melanjutkan kembali makannya yang hampir selesai.

Livia menarik napas panjang, “Rumah ini adalah rumah keluarga Athur” katanya mengawali. “Aku masih kerabat dekat dengannya, aku bahkan menjadi salah satu orang kepercayaannya.”

Nadia sudah merampungkan makan, di susul yang lain dan Thalia masih mengaduk-aduk soup di mangkoknya.

“Namun karena penyihir hitam yang ingin menguasai dunia waktu itu., jadilah semua para penyihir putih di bantai olehnya, termasuk tempat ini” cerita Livia berlanjut. “Aku pun bisa selamat karena kabur. Seharusnya keturunan Athur ada yang mewarisi kerajaan ini, namun karena tidak memungkinkan jadi kerajaan ini di biarkan kosong tanpa pemimpin. Tempat yang selama ini kalian jelajahi dari buku itu adalah daerah kekuasaan Athur.”

“Lalu?”

“Buku itu membawa informasi tentang keturunan Athur yang terakhir” cerita Livia di akhiri karena Livia mulai bangkit memberesi bekas makan. Nadia masih belum bisa menangkap apa inti cerita Livia yang bilang kalau buku itu merupakan sumber informasi.

Sebelum meninggalkan meja, Livia berbalik dan mengatakan. “Kalian boleh menginap di sini sambil meunggu Nick kembali.” Setelah itu, Livia menghilang di balik tembok pembatas.

Ben menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi, tangannya ia lipat di belakang kepala. Sementara Percy mengitari ruangan ini dengan pandangannya. Ada banyak hal yang bisa ia lihat, cermin besar yang menggantung di sisi kanannya, Altar untuk menaruh berbagai barang antik, dan juga gambar diri Livia dalam lukisan.

“Kau maksud dengan cerita Livia?” Nadia bertanya pada Thalia di samping. Gadis itu nampak sedikit terperanjat, kemudian mengatur posisinya sedemikian mungkin hingga terasa santai.

“Tidak, aku tidak terlalu fokus tadi” jawab Thalia jujur, sedari tadi pikirannya hanya tertuju pada Nick yang tak kunjung kembali.

“Aku juga tidak mengerti” Nadia menghembuskan napasnya bersamaan dengan bersandar di sandaran kursi. “Tapi setidaknya kita kenyang dan bisa tidur nyenyak malam ini”

Ben yang mendengar membenarkan perkataan Nadia barusan.

Thalia kembali gusar di tempatnya, ia tak bisa tenang sebelum Nick kembali. Pandangannya bergerak ke sana kemari menyapu setiap sudut ruangan. Ben yang melihat gelagat aneh sepupunya memutuskan untuk bertanya.

“Kau kenapa?” tanyanya.

Thalia hanya menggeleng meski ragu, ia tak tahu meski mengatakannya atau tidak. Namun rasa bersalah semakin mendesaknya. “Ehm, Ben” kata Thalia ragu, ia menggigit bibir bawahnya. “Aku mau membersihkan sandalku sebentar” akhirnya Thalia berbohong, ia tidak terlalu berani mengambil resiko jika berkata jujur.

“Oh” jawab Ben dengan mata terpejam, “Kupikir apa.”

“Biar kutemani, aku juga ingin membersihkan sandalku” Nadia ikut nimbrung.

Thalia kembali menggigit bibirnya, “Tidak usah, lagipula ini tidak lama” ia menyumpahi kebohongannya sendiri.

“Iya, anak kecil tidak usah ikut-ikut” Percy ikut menimpali.

Nadia berdecak sebal, “Kalau kalian kumpulan orang dewasa, kalian harus bisa membawaku pulang.”

Thalia hanya tersenyum menanggapi perkataan Nadia. Ia kemudian bangkit, kursi yang menjadi tempat duduknya berderak tatkala ia menggesernya. “Aku takkan lama” bisik Thalia tepat di telinga Ben, lalu mengecup keningnya singkat.

Livia belum kembali ketika Thalia memutuskan untuk keluar. Gadis itu pelan-pelan melangkah menuju pintu utama, persis seperti maling yang sedang terkena patroli. Begitu Thalia sudah membuka pintunya, gelap menyambut pandangannya, ini sudah malam hari.

Ia keluar dari rumah yang hangat dan nyaman itu. Thalia merasa beruntung karena bulan bersinar cukup terang malam ini. Ia berjalan dengan tangan yang dilipat di depan dada. Thalia tahu jalan mana yang harus di ambil.

Suara-suara hewan malam terdengar mengiringi langkah Thalia yang terkesan buru-buru, ia tak mau lebih lama lagi untuk menemukan Nick. Tiga puluh menit telah berlalu dan kini ia berada di dekat sungai. Tepatnya di seberang sana, ia menjatuhkan bukunya.

Hembusan angin malam terasa meremukkan tulang. Thalia memantapkan hati untuk menginjak batu yang membelah sungai, meski ia tak yakin Nick ada di ujung sana.

Batu demi batu sudah Thalia lewati, tinggal satu batu lagi dan ia akan sampai.

Happ!

Lompatan terakhir dan ia berhasil. Di ujung sana, di sebelah batang pohon yang besar, siluet Nick terlihat tengah duduk meringkuk. Thalia segera menghampirinya.

“Nick” panggilnya agak berteriak.

Seseorang di sana menoleh, di bawah sinar rembulan yang temaram, terlihat dengan jelas rambut hitam Nick yang berkilauan. Nick menengadah, Thalia berdiri tak jauh darinya. Sosoknya yang ramping tertimpa cahaya kuning rembulan.

“Kau kenapa?” tanyanya, “Ini sudah hampir dua jam kau pergi dan aku hampir gila karena cemas.”

Nick meringgis.

Wajah Thalia diwarnai kecemasan. “Nick,” katanya. “Ada apa?”

Nick ingin membentak gadis itu. Ia ingin Thalia menutup mulut dan tak usah sok perhatian dengannya. Ia ingin mengatakan bahwa ia tak butuh bantuan siapapun. Lidahnya kelu, Nick membuka mulut dan hanya ringgisan yang keluar.

Thalia semakin bergerak mendekat, ia bisa melihat kalau Nick memegangi kakinya di bagian tulang kering.

“Nick,” panggilnya sekali lagi, dienyahkannya tangan Nick dari kakinya. Sekarang Thalia bisa tahu kenapa Nick meringgis, laki-laki itu mungkin terjatuh hingga kakinya memar membiru.

“Aww” Nick menjerit ketika tangan dingin Thalia menyentuh memarnya, rasanya berdenyut-denyut.

“Eng, maaf” kata Thalia salah tingkah. “Aku hanya ingin membantumu.”

Suara Thalia yang lembut mengingatkan Nick pada mama yang selalu membantunya mengerjakan pekerjaan rumah.

Thalia menyentuh pundak Nick yang sedikit basah, lalu tangannya berpindah pada leher Nick yang terasa hangat. Nick mungkin akan terserang demam.

“Kau panas” kata Thalia. Matanya beradu pandang dengan manik hitam Nick, pandangan Nick terlihat kedinginan setara dengan bibirnya yang membiru.

Saat itu, Nick sadar ia menggigil.

“Biar kucari bantuan” Thalia hendak bangkit namun Nick menahannya.

Mudah saja meraih pinggangnya dan merapatkannya pada tubuhnya. Badan Thalia mungil dan tidak bertenaga besar. Di dekapnya Thalia dengan dua tangan. Hanya buku di pangkuannya yang memberi jarak.

Napas Thalia terdengar naik turun, tapi ia tak berusaha melawan. Gadis itu tetap diam dan memandang wajah Nick hati-hati. Nick dapat menerka pikiran Thalia yang tengah melayang-layang.

Nick menciumnya. Ia menekan tubuh Thalia pada tubuhnya, dalam posisi duduk. Menopang punggung Thalia dengan lembut dan hati-hati sekaligus erat. Wajahnya tetap miring, lengannya dengan kokoh melingkari pinggang gadis itu.

Thalia tidak dapat menghindar, yang bisa ia lakukan adalah menikmati kehangatan yang disalurkan Nick melalui bibirnya. Sesaat kemudian, lengannya merengkuh leher Nick dan balas mengecupnya.

Nick sadar betapa naifnya ia saat ini. Ia tidak membutuhkan Thalia namun bibirnya memberontak ingin mencari kehangatan pada gadis sepantarannya itu. Ia mencekal kaus tidur Thalia hingga tersibak setengahnya, menampilkan punggung mulus Thalia yang hangat di tangannya. Thalia mengerucutkan bibirnya ketika tangan dingin Nick beraksi menjalari punggungnya yang terbuka.

Bayangan Thalia bermain pada sosok Ben, bagaimana jika laki-laki itu tahu apa yang dilakukannya bersama Nick? Ketika bayangan itu semakin kuat berputar di otaknya, Thalia melepaskan diri dan Nick mendekatkan bibirnya lagi, namun tak keberatan ketika Thalia memalingkan wajahnya.

“Maaf” kata gadis itu sembari membenahi kausnya yang sedikit berantakan karena ulah Nick.

Nick hanya bergeming, tak percaya dengan hal yang baru saja ia lakukan. Kemana harga dirinya?

Continue Reading