[Book 1] SHINGEKI NO KYOJIN |...

By thesunsign

174K 21.7K 1.9K

#SnKSeries Pembasmian Titan terus dilakukan oleh Survey Corps. Berbagai informasi penting untuk langkah merek... More

Bagian 1 : Pelatihan Kadet Baru
Bagian 2 : Seperti Biasanya
Bagian 3 : Muncul Kembali
Bagian 4 : Pertahanan Distrik Trost
Bagian 5 : Rencana
Bagian 6 : Hasil
Bagian 7 : Sebelum Serangan Balik
Bagian 8 : Hari Ekspedisi
Bagian 9 : Female Titan
Bagian 10 : Fight
-NOT UPDATE-
Bagian 11 : Jatuhnya Rosè
Bagian 12 : Pergerakan
Bagian 13 : Perebutan
Bagian 14 : Perebutan [2]
POTONGAN SPESIAL : Attack on Ghost
Bagian 15 : Keputusan
Bagian 16 : Dimulainya
POTONGAN SPESIAL : Attack on Girls
Bagian 17 : Kebenaran
Bagian 18 : Awal Mula
Bagian 19 : Berkunjung
POTONGAN SPESIAL : Season 1 - Behind The Scene
Bagian 20 : Kopi dan Teh
Bagian 21 : Diantara Senja
Bagian 22 : Berselimut Langit Malam
POTONGAN SPESIAL : Sakit
Bagian 23 : Sinyal Asap
Bagian 24 : Rasa Sakit
Bagian 25 : Sebelum Pembalasan
POTONGAN SPESIAL : Lorraine
Bagian 26 : Tempat Semua Dimulai
Bagian 27 : Distrik Orvud
Bagian 28 : Kejelasan
GREETING
POTONGAN SPESIAL : Hari Bersih-Bersih
Bagian 29 : Hari-hari Sibuk
Bagian 30 : Reuni
Bagian 31 : Kekhawatiran
POTONGAN SPESIAL : Misi Berat
Bagian 32 : Kekhawatiran [2]
Bagian 34 : Keraguan
POTONGAN SPESIAL : Misi Berat [2]
POTONGAN SPESIAL : Misi Berat [END]

Bagian 33 : The Truth Untold

2.6K 333 191
By thesunsign

❕ALERT! CHAPTER LUMAYAN PANJANG. PASTIKAN POSISI MEMBACA NYAMAN DAN BENAR❕

Third person Point of View

Gadis itu tengah bersiap di kamarnya. Setelah mengganti pakaiannya, ia beralih menata rambutnya. Kali ini, gadis berambut panjang itu mengikat rambutnya gaya half-ponytail. Tak lupa memasang manuver 3D-nya dan sebuah ransel yang tak begitu besar.

Begitu keluar kamar, ia mendapati pria pendek tengah bersandar pada tembok dekat pintu kamarnya. Tentu saja dengan gaya khasnya, kedua lengan yang terlipat di depan dada.

"Untuk apa itu?" Tanya si pria dengan wajah datarnya.

"Tentu saja dibawa pulang." Jawab si gadis tak kalah datar. Gadis itu tengah memasukkan sebuket bunga yang isinya adalah beberapa tangkai bunga dalam ranselnya–beberapa ada yang terlihat menyembul keluar sehingga menarik perhatian Levi. Bunga itu sudah direncanakan akan dibawanya pulang ke rumah.

"Baiklah, sebelum Erwin menyadarinya kita harus sudah kembali." Ujar gadis itu bagai seorang tahanan yang kabur.

"Ck, merepotkan saja" eluh pria dihadapannya.

"Mulutmu itu bisa diam tidak. Berhentilah menggerutu setidaknya malam ini saja" tukas Lorraine dingin dan menusuk. Gadis itu lantas mendahului sang kapten untuk keluar markas.

Levi hanya sanggup mengumpat dalam hati. Memang tidak seperti Hanji atau prajurit lain di markas ini, Lorraine mungkin adalah satu-satunya yang berani berbicara demikian pada penyandang Humanity Strongest Soldier itu. Bahkan memaki, meledek, mengumpat, sampai menyumpahi tepat dihadapan Levi tanpa rasa takut. Jangan lupakan fakta jika Lorraine bisa dengan mudahnya melayangkan pukulan atau serangan pada kapten pendeknya itu.

Keduanya kini sudah keluar dari markas tempat bersemayamnya para prajurit yang asyik dalam alam mimpinya. Ketika merasa sudah cukup jauh dari markas dan cukup dekat dengan gerbang, Lorraine mulai menaiki kudanya disusul oleh Levi.

"Kurasa kudamu itu cukup tangguh dalam hal ini. Ikuti aku." Lorraine memimpin dengan kudanya karena gadis itu telah hafal betul medan yang akan dilewatinya. Sang kapten awalnya sedikit terkejut karena Lorraine menunggang dengan kecepatan yang bisa dibilang tidak wajar itu.

Setelah melewati beberapa desa dan hutan, Lorraine kemudian mengisyaratkan pada Levi untuk merapat ke sisi dinding. Disana, keduanya mengikat kuda mereka agar tidak lari. Mulai dari sini, prajurit Survey Corps itu akan melewati atas dinding.

Gadis berjubah hitam itu tampak piawai saat bergerak diantara dinding tinggi itu. Sementara Levi mengikuti Lorraine yang sudah sampai diatas dinding dan mulai berlari.

"Kau lambat, heicho." Ujar gadis bermanik hitam tajam itu.

"Kubilang panggil begitu saat ada yang lain saja. Terdengar aneh mendengarnya dari mulutmu." Protes si kapten yang telah berhasil menyamakan langkahnya dengan salah satu anggota terkuat skuadnya itu.

'Bukankah dulu dia bilang tidak masalah?'

Malam itu cuaca benar-benar bagus. Rembulan yang bersinar terang diantara barisan bintang yang menyebar acak di langit membuat perjalanan kedua insan itu sedikit terbantu sebab tidak terlalu gelap. Meski frekuensi angin cukup kuat, namun agaknya hal itu bukanlah masalah berarti bagi dua anggota Pasukan Pengintai yang kuat itu, bukan?

"Oi, mata satu!" Manusia terkuat itu melirik gadis disampingnya dengan sudut matanya.

"Hm" deheman dari mulut Lorraine yang sama sekali tidak menoleh pada orang disampingnya.

"Sebenarnya apa tujuanmu?" Tanya Levi ditengah kegiatan lari-larian diatas dinding itu.

"Kau akan tahu nanti." Jawab Lorraine yang tengah berlari juga.

"Tch! Aku tidak akan sudi jika harus membantumu membersihkan rumah" ujar Levi dengan kening berkerut.

'Sialan'

Lorraine sedikit kesal karena dituduh demikian, "Rumahku tidak sekotor pikiran Hanji." Meski kesal, tapi Lorraine sebisa mungkin tidak mengumpat–untuk saat ini– pada orang yang berstatus kapten itu.

Beberapa kilometer sisa perjalanan hanya diisi dengan Lorraine yang sibuk dengan pikiran akan rumahnya dan Levi yang sebenarnya masih tidak ikhlas diajak—atau dipaksa untuk 'berkunjung' ke rumah salah satu anggota skuad terkuatnya itu.

Bangunan dinding yang menjorok keluar itu mulai terlihat. Begitu pula deretan rumah-rumah penduduk yang berjejer rapi disana. Tanpa membuang waktu lagi, keduanya turun dari atas dinding dan memijakkan kaki di tanah Karanese.
Levi sebenarnya sedikit tidak percaya jika mereka akan sampai Karanese secepat itu—walau medan yang dilewati benar-benar tidak biasa.

Gadis itu berjalan di depannya, mengeluarkan buket bunga yang dibawanya dari markas sembari menunjukkan arah menuju kediaman yang lumayan lama tidak disinggahi gadis berambut hitam itu. Namun, baru beberapa langkah mengikutinya gadis itu tiba-tiba berhenti.

"Tunggu dulu" ujarnya tiba-tiba. Lorraine mengoper bunga ditangannya pada Levi lantas berlari ke sebuah gang sempit dan gelap. Diam-diam, sang kapten mengikuti kemana arah perginya gadis yang bersamanya tadi hingga ia menemukan sosok itu yang ternyata sedang berurusan dengan beberapa laki-laki.

"Aku sudah peringatkan. Tidak tanggung jawab dengan apa yang akan kalian dapatkan nanti." Sayup-sayup terdengar suara dingin Lorraine yang tengah berbicara dengan lima orang laki-laki bertubuh tinggi dan kekar di gang itu.

"He?! Galak sekali sih, gadis cantik? Daripada mengancam begitu, serahkan saja anak-anak itu pada kami!" Salah seorang diantara kelima pria itu bersuara.

"Atau kita bawa saja dia sekalian, Bos?" Tanya seseorang disampingnya.

'Membuang-buang waktu saja.'

Lorraine langsung menyerang dua diantaranya. Menendang tepat di ulu hati orang yang mengancam tadi. Mengetahui temannya di serang, keempat pria disana menyerang bersamaan pada Lorraine dengan melayangkan senjata tajam. Lorraine yang menyadari keadaan jadi berbahaya segera memerintahkan kedua anak disana untuk pergi.

Dengan gerakannya yang cepat, Lorraine dengan mudahnya menghindar dari serangan orang-orang amatir itu. Serangan balik dari Lorraine, pukulan tepat di kepala, gerakan memutar yang cepat, tendangan yang begitu kuat, serta kuncian yang ditujukan pada orang terakhir. Tepat setelah serangan terakhirnya, cahaya bulan yang nampak kembali setelah tertutup awan menyebabkan wajah Lorraine terlihat lebih jelas dari sebelumnya. Kelima orang disana terhenyak.

"I-itu si mata satu! Dia.. dia ada disini?" Pekik salah satu diantaranya. "Katamu dia sudah tidak tinggal disini?!" Sahut yang lain menyalahkan temannya.

"Pergi dari sini" suara dingin menusuk Lorraine menghentikan perdebatan kecil para berandalan amatir itu. Seperti tersihir, kelimanya langsung bangkit dengan tertatih-tatih dan segera lari terbirit-birit meninggalkan tempat Lorraine berdiri. Gadis itu tidak langsung pergi, ia memungut senjata-senjata para berandalan itu dan menyimpannya di ransel. Baru setelah itu, ia kembali ke tempat Levi yang ia ketahui pasti melihat kejadian barusan.

Saat sampai ke tempat Levi, ternyata dua anak tadi ada disana. Berdiri di belakang Levi yang terlihat benar-benar terganggu dengan itu. "Cepat buat mereka pergi dariku." Tukas Levi dengan nada sinis. Lorraine mendekat pada dua anak itu, "Mereka tidak akan kembali. Sekarang pulanglah," Lorraine melepas jubahnya, memakaikannya pada anak perempuan diantaranya.

"..dan jangan keluar malam-malam begini." Lanjut Lorraine. Setelah mengucapkan terima kasih, kedua anak itu segera undur diri.

"Sepertinya kau cukup terkenal disini." Ujar Levi setelah menyodorkan kembali buket bunga milik Lorraine. "Aku sendiri tidak tahu mereka mengenalku." Lorraine dan Levi kembali berjalan. Suasana sangat sepi dan lumayan gelap. "Apa yang mereka lakukan?" "Menjual anak-anak itu." Jawab Lorraine singkat.

"Tapi aku cukup heran," Levi sontak menoleh pada gadis yang lebih tinggi darinya itu, menunggu Lorraine menyelesaikan kalimatnya.

"Anak-anak itu tidak takut bahkan berlindung padamu. Aneh." Ucapan Lorraine hanya dibalas decakan dari lawan bicaranya. Namun dari ekspresinya, tersirat sedikit rasa kesal karena ucapan Lorraine barusan.

'Karena kau lebih menyeramkan' batin Levi.

**_*_**

Sebuah rumah kayu mulai terlihat. Rumah itu sedikit jauh dari rumah-rumah yang lain. Meski terlihat sama saja, tapi rumah itu punya halaman belakang yang sedikit lebih luas dari rumah-rumah lain. Lorraine langsung menuju pintu depan dan membukanya. Ia menatap Levi seolah memerintahkannya masuk. Manusia terkuat itu awalnya ragu, tapi akhirnya mau tidak mau ia masuk juga.

Tidak banyak perabot disana. Seperti rumah pada umumnya, ada meja dan kursi dan beberapa ruangan yang salah satu diantaranya adalah kamar si pemilik rumah. "Tidak buruk.." gumam Levi saat mengamat-ngamati rumah itu. Lorraine hanya meliriknya dengan tatapan meremehkan seolah mengatakan 'sekarang kau percaya?'

Rumah itu cukup bersih atau bisa dibilang memang bersih walau sudah berminggu-minggu Lorraine tidak pulang.

'Frans dan Phillips melakukan tugasnya dengan baik.' Batin gadis itu.

Ia bergerak menuju meja dekat jendela, meletakkan ransel dan bunganya disana. Sementara Levi masih setia mengamati setiap sudut rumah Lorraine yang baru sekali didatanginya.

"Ini semua milikmu?" Levi berdiri di depan senjata-senjata Lorraine yang tertata rapi di sisi tembok. "Ya" jawabnya singkat. "Ini rusak." Ujar Levi memungut sebuah senapan yang disandarkan begitu saja di dinding.

"Ulah Hanji. Wanita gila itu tidak bisa diam barang lima menit saja. Kusuruh tidak menyentuh apapun tapi percuma saja." Jelas Lorraine mengeluarkan isi ranselnya seraya pikirannya melayang pada kejadian dua bulan lalu kala ia harus ditemani Hanji untuk mengambil beberapa mesiu simpanannya. "Aku belum sempat membetulkannya." Tambah gadis mata-mata itu.

"Langsung saja, mata satu. Untuk apa kau membawaku kesini?" Ujar manusia terkuat itu tiba-tiba. Lorraine yang tengah membersihkan senjata 'pungutan' dari para berandal yang ditemuinya tadi pun menghentikan aktivitasnya sejenak. "Setelah aku selesai dengan ini semua."

"Ck, terlalu lama. Beritahu sekarang" paksa Levi yang sudah melayangkan tatapan mautnya pada Lorraine. Gadis itu terdiam sejenak, "Ikut aku" katanya setelah membuang napas pelan. Sebelum pergi, ia meraih dua belati yang lumayan besar.

Levi mengikuti pergerakan gadis didepannya dalam tanda tanya besar. Misterius betul gadis bersurai panjang ini. Mereka sampai di halaman belakang rumah Lorraine. Cukup luas, namun keberadaan rumput liar yang mulai tinggi cukup mengganggu pandangan. Si pemilik rumah menyodorkan sebuah belati pada Kapten bermuka datar itu. Raut tidak mengertipun tergambar jelas di wajah Levi.

"Jangan main-main denganku," ujar Levi saat Lorraine memberikan belati padanya. Lorraine hanya menatapnya tenang kemudian mengangguk.

"Kau menyuruhku memotong rumput-rumput ini?!" Seru Levi dengan suara barritone-nya. Lorraine mengangguk lagi dengan wajah datarnya. "Aku juga akan melakukannya." Lorraine mengeluarkan belatinya yang lain. Levi benar-benar tidak habis pikir. Dipaksa ke Karanese malam-malam hanya untuk dijadikan kacung dan membersihkan halaman yang bahkan Levi sendiri baru pertama kali kesana. Siapa yang tidak kesal jika begitu?

Sementara Levi masih diam dengan segala umpatan dalam hatinya, Lorraine sudah memulai acara 'potong rumput malam hari' itu. Jika saja Levi tidak ingat jika gadis dihadapannya itu adalah kepercayaan Erwin, mungkin belati ditangannya sudah berakhir di kepala sang gadis.

"Kau tak akan dapat apapun jika tidak melakukannya, Heicho." Ujar Lorraine ditengah kesibukannya.

"Tch!" Decih sang kapten cukup keras. Meski begitu, perlahan ia mulai memangkas rumput-rumput liar disana—dengan wajah yang ya, siapapun tahu bagaimana wajah kesal manusia terkuat itu.

Butuh beberapa menit bagi kedua insan itu menyelesaikan tugasnya. Levi sudah berhenti sejak beberapa saat lalu, Lorraine masih sibuk di sisi yang lain. "Levi, kemarilah.." ujar gadis itu tiba-tiba.

Pria undercut itu hanya melirik dari tempatnya, enggan mendekat. "Selesaikan sendiri, bodoh." Tukasnya ketus. "Bukan itu, ck! Kemari saja." Esal Lorraine yang posisinya kini memunggungi Levi. Dengan berat hati, kapten dari skuad khusus itu mendekat ke lawan bicaranya. "Apa sekarang?" Tukasnya dengan nada kesal dan wajah jengkelnya.

Rembulan kembali menampakkan sinarnya."Tidak masalah kau kesal padaku.. tapi, setidaknya buang wajah kesalmu itu saat didepan mereka." Levi terhenyak usai mendengar penuturan Lorraine.

Manik keabuan miliknya mengikuti arah pandang manik hitam gadis disampingnya. Saat ini, dihadapan keduanya berjejer batu-batu yang tersusun rapi. Lebih tepatnya berderet berdampingan satu sama lain. Bukan, Levi bukan terkejut karena batu itu tersusun begitu rapinya. Namun, karena batu-batu itu sebenarnya adalah barisan batu nisan dari orang-orang dekat Levi. Ada tujuh nisan disana. Beberapa diantaranya terlihat sudah kusam dan hampir berlumut.

Saat sang kapten masih terdiam karena hal yang baru saja dilihatnya, Lorraine kembali ke dalam rumah untuk mengambil buket bunga yang diletakkannya di meja. Lantas kembali ke tempat Levi yang masih berdiri mematung. Tangannya menyodorkan buket bunga itu pada sang kapten, "Secara simbolis memang sudah ada nisan mereka di pemakaman khusus prajurit. Tapi yang disini.. benar-benar mereka. Maaf aku tidak mengatakannya dulu padamu" ungkap Lorraine. 

"kau..?" Ucap pria itu menggantung. "Jangan dipikirkan. Ini" kini buket bunga itu sudah berada di tangan kekar sang kapten. Levi masih diam, maniknya bertemu dengan iris milik Lorraine. Setelah anggukan kecil dari gadis burung hantu itu, Levi mulai mendekat pada nisan itu satu-persatu.

Dimulai dari yang paling ujung, dua buah nisan yang lebih kusam dari yang lain. Masing-masing dari nisan itu bertuliskan nama 'Farlan Church' dan 'Isabel Magnolia'. Levi mengambil beberapa batang bunga dalam buket itu, lalu meletakkannya di atas pusara keduanya.

"Maafkan aku, Levi. Tapi, dari semuanya hanya mereka berdua yang tidak utuh.." gumam gadis yang sedari tadi memperhatikan punggung lebar pria yang lebih tua darinya itu. Tidak ada jawaban. Levi terlalu hanyut dengan suasana. Menghargai privasi Levi, gadis itu memilih diam. Memberi waktu pada sang kapten untuk melampiaskan kerinduannya.

"Bagaimana kau bisa membawa mereka?" Pertanyaan tiba-tiba dari Levi membuat Lorraine yang tengah melamun tersadar.

"Cukup rumit. Tapi sepertinya keadaan berpihak padaku saat itu." Jawab si lawan bicara. "Seharusnya aku tidak menyusul ekspedisi hari itu. Tapi.. aku merasakan sesuatu, jadi aku memutuskan untuk tetap menyusul rombongan meski tanpa kuda. Beruntung aku bertemu kuda lepas milik salah satu prajurit. Saat itu, aku tidak sengaja melihatmu dan mengikutimu. Kau mungkin tidak menyadarinya karena badai hari itu mengurangi jarak pandang. Hal yang terjadi selanjutnya kau tahu sendiri..

"..setelah rombongan lumayan jauh, aku segera mengangkut mereka berdua dan membawanya kesini." Levi tidak bersuara. Ia mengusap kedua nisan dihadapannya.

Kemudian, pria Ackerman itu beralih pada nisan yang lain. Empat nisan selanjutnya yang ia berikan beberapa tangkai bunga adalah milik anggota skuad khususnya yang lama, Eld, Gunther, Oluo, dan Petra.

"Bahkan bocah-bocah ini juga?" Gumamnya lirih meski masih tertangkap indra pendengaran Lorraine. "Mereka pantas dimakamkan secara layak." Ujar Lorraine. "Kapan kau membawa mereka?" Levi meneruskan pertanyaannya. "Hari itu juga. Tepat setelah matahari terbenam."

'Walaupun bahuku rasanya mau putus saat itu dan masih harus berdebat dengan penjaga gerbang untuk tetap membuka gerbangnya hingga aku kembali membawa mereka.'

"Mustahil, gerbangnya-"

"Sudahlah, Levi.. kau tidak perlu menanyakannya lagi." Potong gadis itu enggan ditanya lebih jauh. Dari tempatnya berdiri, Lorraine memperhatikan Levi yang berjongkok di salah satu nisan, tepekur disana cukup lama. Bahkan, lebih lama dari yang sebelum-sebelumnya.

'Ternyata dia memang masih jadi yang terspesial untukmu.' Batin Lorraine saat tangan pria undercut itu bergerak mengelus nisan milik anggota perempuan satu-satunya dalam skuad lamanya, Petra Ral. Lorraine memang tidak bisa melihat ekspresi Levi yang sedang memunggunginya, namun gadis misterius itu mencoba membaca keadaan dari apa yang dilihatnya.

Tanpa Levi sadari, gadis yang sedari tadi memperhatikannya kini menunduk dalam. Berusaha menyembunyikan ekspresi kelamnya seusai melihat adegan barusan.

Lorraine terdiam cukup lama. Hanyut dalam perasaannya hingga tidak menyadari Levi yang memanggilnya dari tadi. "Oi, mata satu! Kau dengar tidak?" Suara khas Levi Ackerman menarik Lorraine kembali pada kenyataan.

"Sudah selesai? Kenny?" Lorraine melirik nisan yang berada paling ujung, nisan milik Kenny Ackerman. "Sudah. Kau melamun dari tadi." Ujar Levi. Ia pun mendekat kearah Lorraine. "Souka.." namun gadis itu langsung berbalik, hendak kembali ke dalam.

"Untuk apa kau melakukan semua ini?" suara barritone khas Levi menghentikan langkah kaki gadis hutan itu. Si lawan bicara tidak langsung menjawab, bahkan menengok pun tidak.

Beberapa menit berlalu hingga, "Secara tidak langsung, kematian mereka adalah karena kesalahanku. Ini semua mungkin tidaklah cukup. Tapi.. hanya itu yang bisa kulakukan." Tutur gadis berwajah datar itu yang langsung meneruskan langkahnya. Levi menatap punggung Lorraine yang menjauh.

'Apa saja yang kau sembunyikan selama ini?'

*_*_*

Gadis itu meneruskan aktivitasnya yang tadi sempat terhenti. Empat belati dengan ukuran dan model yang berbeda-beda telah selesai dibersihkannya. Satu lagi masih dibawa Levi. Pria berstatus kapten sekaligus kepercayaan Erwin itu kini duduk manis di kursi, dengan pose andalannya.

"Mau kubuatkan teh?" Tanya Lorraine menyadari jika sedari tadi keduanya sama sekali belum meneguk air setetes pun. "Tidak. Cepat selesaikan itu dan ayo kembali." Lorraine meraih belati di meja dekat Levi, belati terakhir milik berandalan amatir tadi.

Suara derap kaki terdengar dari luar. Tak lama, muncul sesosok lelaki remaja yang terlihat terengah-engah karena berlari. "Oh! Lorraine-san, syukurlah jika itu kau. Kupikir ada pencuri masuk." Laki-laki itu masih berusaha menetralkan napasnya.

"Tidak akan ada yang berani mencuri disini. Kau sendiri?" Tanya Lorraine pada laki-laki itu.

"Frans sakit sejak kemarin, jadi aku menemani di rumahnya. Mm.. Lorraine-san, bolehkah Frans menginap disini? Agar aku lebih mudah menjaganya saat sakit."

"Terserah. Jika itu membuatnya cepat sembuh dan bisa kembali bekerja." Putus gadis itu. "Arigato, Lorraine-san!"

Lorraine lantas mengambil dua belati yang sudah dibersihkannya. Menggulirkannya di lantai kearah laki-laki itu. "Eh? Lorraine-san, ini.."

"Untukmu. Berikan yang satu lagi pada Frans." Gadis itu beralih ke rak penyimpanan senjatanya, meletakkan sisa belati di tempat yang masih kosong. "Phillips, tolong kau bersihkan halaman belakang setelah ini." Titah Lorraine.

"Eh? Bukankah selama ini kau hanya menyuruhku membersihkan dalam rumah? Kau bahkan melarangku meski cuma mengintip sedikit ke halaman belakang." Laki-laki bernama Phillips itu memasukkan belati hadiahnya dalam ransel miliknya.

"Sekarang sudah tidak apa. Dan satu lagi.. tolong pindahkan senjata-senjata yang disana kedalam ruang simpan. Aku tidak ingin ada yang rusak lagi setelah ini."

"Mm.. Lorraine-san, kau lupa ya? ruang simpan sudah penuh. Bukannya itu alasanmu menyimpan senjata diluar?" Sanggah Phillips.

"Pindahkan semua belati keluar. Ruang simpan khusus untuk menyimpan pistol dan senapan." Ujar gadis yang kini sudah menggendong ranselnya itu. "Baiklah, Lorraine-san." Patuh laki-laki itu.

"Hm, mesiu aman?" Tanya Lorraine lebih lanjut. "Kau tidak perlu khawatir. Kenapa tidak kau cek sendiri?" Belum selesai kalimat dari mulut Phillips, Lorraine sudah menghilang. Ia pergi ke gudang penyimpanan mesiunya, entah apa yang dilakukannya.

Levi sedari tadi hanya diam menyimak percakapan dua orang itu. Ia masih duduk di kursinya. Merasa tidak hanya dirinya di ruangan itu, Phillips menengok pada manusia terkuat itu. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan dengan Lorraine-san?" Tanyanya to the point.

Yang ditanya tidak menjawab, hanya melayangkan tatapan khasnya yang menusuk itu. "Hei, jawab aku!" Cecar Phillips.

"Jangan begitu padanya, Phillips. Meski lebih pendek darimu, dia bisa dengan mudah mematahkan lehermu." Lorraine tiba-tiba muncul setelah kepergian sesaatnya. "Cih!" Decihan dari mulut Levi.

"Pindahkan senjatanya saat Frans sudah sembuh. Ingat pesanku tadi, Phillips. Dan terima kasih telah merawat rumah ini selama aku tidak ada." Lorraine beranjak menuju lemari, mengambil beberapa persediaan teh dan kopinya—di markas sudah mulai menipis—dan memasukkannya dalam ransel usai membungkusnya.

"Bukan masalah, Lorraine-san." Tanggap laki-laki muda itu. "Levi, tunggulah di depan. Aku akan segera menyusul." Ujar Lorraine yang langsung dilakukan oleh pria Ackerman itu.

Lorraine berada di kamarnya. Membuka lemari dan mengambil sebuah kemeja dan celana panjang hitamnya. Saat ia pindah tinggal di markas, gadis itu hanya membawa beberapa lembar baju saja.

Saat hendak menutup lemari, tangan gadis itu tergerak meraih sebuah benda berwarna coklat diantara tumpukan baju hitamnya. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memasukkan benda itu dalam ransel miliknya dan segera keluar karena tidak ingin membuat Levi menunggu lama.

"Aku pergi. Simpan uang yang ada di meja depan." Usai mengatakan itu, gadis buta sebelah itu langsung pergi dengan sang kapten.

*_*_*

"Anak buahmu yang lain?" Pertanyaan yang sebenarnya Levi sendiri sudah tahu jawabannya.

Lorraine hanya bungkam, malas menjawab pertanyaan Levi. "Dari yang kulihat, sepertinya sudah cukup lama dia bersamamu." Ujar Levi lagi.

"Mereka berdua adalah yang pertama sebelum aku bertemu yang lainnya." Lorraine membenarkan posisi tas punggungnya.

"Bocah itu terlihat dekat denganmu." Levi menatap lurus kedepan, langkahnya sedikit dibelakang Lorraine.

"Phillips itu dulunya anak jalanan yang tahunya hanya makan untuk bertahan hidup. Dia masih lumayan kecil saat aku bertemu dengannya. Rumah tidak punya, tidur dijalanan, badan kotor, lemah. Aku menemukannya dan Frans yang saat itu jadi seorang preman. Mungkin itu yang membuatnya sedikit bergantung padaku." Terang Lorraine.

"Jadi kau mengajarinya bertarung juga?"

"Frans yang melakukannya. Aku hanya mengajarinya sedikit karena aku jarang sekali berada di rumah. Dia memutuskan untuk menetap dirumahku, menjaga bahkan membersihkannya juga. Phillips melakukannya dengan senang hati jadi aku tidak bisa melarangnya." Angin malam itu cukup kencang. Ini sudah dini hari, tapi kedua orang itu belum ada setengah perjalanan.

"Lebih bagus jika kau punya kenalan orang dalam pemerintahan," ucap Levi membuat Lorraine sedikit menoleh.

'Mengapa dia jadi banyak bicara?'  Batin Lorraine sebenarnya sedikit tidak suka ditanya-tanya tentang hal ini.

"Tidak ada yang seperti itu. Sejauh ini hanya beberapa berandal, anak jalanan–termasuk Britt yang kita temui waktu itu (read: POTONGAN SPESIAL : Misi Berat), pembunuh bayaran, pembuat senjata, sampai kusir kereta. Tidak ada orang penting."

"Kau tahu sendiri seberapa licik pemerintahan. Yang ada, mereka justru akan memanfaatkanku untuk kepentingan mereka sendiri." Lorraine berharap penuturannya barusan membuat Levi berhenti menanyakan hal ini.

Sekali lagi angin berembus cukup kencang. Mengisi kekosongan yang terjadi diantara kedua orang yang saat ini berlarian diatas dinding. "Pakai. Merepotkan jika kau pingsan di tengah jalan karena kedinginan." Saran Levi.

"Tidak perlu. Tidak butuh." Tolak Lorraine seketika. Ia melanjutkan,  "Kau pikir saat aku di hutan ada selimut? Angin seperti ini bukan masalah." tukasnya dengan sedikit nada sombong.

"Tch. Terserah." Keduanya masih berlari diatas dinding hingga tiba ditempat dimana mereka 'memarkir' kedua kuda di dekat dinding. Segera turun, dan beralih menaiki kuda dengan kecepatan sedang. Lorraine mengarahkan ke jalur yang berbeda dari saat berangkat tadi. Jalur ini jauh lebih cepat katanya.

"Haruskah aku menambahkan nisan ibumu disana?" Pertanyaan Lorraine sedikit teredam suara derap kaki kuda milik kedua orang itu.

"Tidak perlu. Mengapa kau terobsesi mengoleksi kuburan?" Rambut undercut Levi bergoyang-goyang karena guncangan saat menunggangi kudanya.

"Jangan katakan apapun pada Erwin terutama mengenai Farlan dan Isabel." Pinta Lorraine.

"Ha?"

"Hari itu dia benar-benar melarangku untuk ikut ekspedisi. Jika dia tahu aku tetap nekat-"

"Tenang saja." Sahut Levi seolah mengerti maksud Lorraine. "Aku yang akan bicara padanya jika terjadi sesuatu." Lanjut pria itu.

Kesunyian terjadi di sisa perjalanan menuju markas. Baik Lorraine atau Levi sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tidak terasa mereka telah sampai di depan gerbang Trost. Ini sudah lewat dini hari, mungkin sebentar lagi subuh. Mereka menghentikan kuda tepat sebelum masuk gerbang. Bisa gawat jika ada yang mendengar suara derap kaki kuda di jam-jam seperti ini. Setelah mengembalikan kuda ke kandang, mereka segera masuk ke markas dengan sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara.

"Maaf jika sedari tadi aku memerintahmu, Levi. Aku hanya tidak tahu kapan lagi bisa memberitahu semuanya padamu."

"Hm."

Kedua prajurit terkuat itu sudah ada di depan kamar masing-masing. Usai percakapan singkat itu, keduanya memisahkan diri dengan masuk kamar.

Lorraine melepas manuver miliknya dan menurunkan ransel dari punggungnya. Saat hendak mengeluarkan pakaiannya, ia teringat benda coklat yang tadi dibawanya. Gadis itu buru-buru menyambarnya dan keluar kamar.

Tok!

Suara ketukan khas di pintu kayu milik prajurit berjulukan Humanity Strongest itu membuat si empu berujar dari dalam, "Masuk."

Diijinkan masuk, Lorraine membuka pintu kayu itu pelan. Tampaklah sang kapten yng sedang duduk di bangku kerjanya. "Ada apa?" Levi bertanya dari tempatnya duduknya.

"Ada sesuatu yang lupa kukembalikan padamu." Alis Levi terangkat. Gadis itu mendekat ke meja dihadapan Levi. Meletakkan benda coklat itu disana lantas mundur beberapa langkah dari meja kerja Levi.

"Itu bersih. Aku sudah mencucinya." Ujarnya selepas meletakkan benda coklat yang ternyata sebuah jaket yang benar-benar sangat familiar bagi keduanya. Jaket coklat khusus yang biasanya digunakan prajurit sebagai seragam saat bertugas.

Levi mengarahkan pandangannya pada jaket yang masih terlipat rapi itu. Meraihnya dan mengamatinya dari dekat. Jaket coklat itu sekilas memang terlihat biasa saja. Tidak ada bedanya dengan jaket prajurit lain.

Hanya saja, bedge lambang Survey Corps yang tanggal di bagian sakunya membuat Levi terdiam mematung. "Ini.." Levi tidak melanjutkan kalimatnya.

"Ya, itu milik Petra." Tutur Lorraine menatap Levi sedikit berbeda. "Aku menyimpannya di rumahku. Sekarang aku tidak berhak lagi menyimpannya. Kau yang lebih pantas untuk itu." ujar gadis tinggi itu.

Lorraine masih memperhatikan gelagat Levi usai menerima jaket itu. Gadis yang terkenal dengan tatapan tajam itu sepertinya sedikit lupa dengan julukannya untuk beberapa saat. Saat ini matanya menyorotkan tatapan kelam, meredup seperti bukan dirinya.

"Sudah selesai.. Aku pergi." Lorraine memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

"Tunggu, Lorraine.." intrupsi suara Levi menghentikan langkah gadis itu yang sudah hampir mencapai pintu.

"Arigato.."

"..ternyata aku memang tak tahu apapun tentang dirimu."

Lorraine bergeming, posisinya masih memunggungi Levi. Perlahan ia berbalik, obsidiannya bertemu dengan manik keabuan milik orang yang menjabat jadi kaptennya itu.

Ia mendengus pelan, "Wajar saja. Karena aku pun tidak tahu apapun tentang diriku sendiri." netra keduanya masih terkunci satu sama lain. Hingga si gadis memutus tiba-tiba kontak mata diantara keduanya.

"Selamat malam." Suaranya yang terlampau dingin beresonansi dengan sunyinya keadaan malam itu. Gadis itu undur diri. Ia meraih engsel pintu kamar Levi dan menutupnya kembali sama seperti saat ia masuk tadi.

'Kau benar, Erwin. Gadis ini sulit sekali ditebak. Hari ini saja aku sudah dibuatnya serangan jantung beberapa kali.Batin Levi menatap pintunya yang sudah tertutup rapat.

Usai menutup pintu, tidak langsung masuk kamar, gadis itu, masih berdiri di depan kamar orang yang beberapa jam lalu menemaninya ke Karanese. Ia menyandarkan punggungnya di pintu kayu itu. Kepalanya tertunduk lengkap dengan ekspresi dingin dan tatapan mata kosong.

'Sampai kapanpun tidak ada yang bisa menggantikan orang itu baginya.' Batin Lorraine yang masih bergeming disana.

'Ck, jangan melankolis, Lorraine! Hal ini sudah kau ketahui sejak lama. Lakukan seperti biasanya.' Gadis itu sedang berusaha mengontrol perang batin dengan dirinya sendiri.

Tanpa disadari, sedari tadi ada sepasang mata dan telinga yang menguping dari balik tembok. Orang itu tidak sengaja mendengarkan percakapan dua orang yang kamarnya berdekatan dengannya.

Ia kini tengah memperhatikan Lorraine yang masih tetap pada posisinya. Beberapa detik kemudian, gadis kepercayaan Komandan itu bergerak menuju kamar dan hilang ditelan pintu.

'Hoo.. aku tidak pernah melihatnya seperti itu. Lorraine, selama ini dia..' batin gadis pelaku pengintipan itu dari tempatnya.

______
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Continues in next Chapter
___________
.
.
.

"Karena aku pun tidak tahu apapun tentang diriku sendiri." — Lorraine H.

Harusnya update semalem tapi kelupaan, duh. Maaf ya lama banget ngga update. Ini chapter lumayan panjang. Sebenernya bingung mau dijadiin 2 chapter atau 1 chapter aja. Tapi akhirnya aku ambil pilihan kedua karena itung-itung ganti aku yang update-nya kelamaan. Happy reading semua! Tetep jaga kesehatan ya, stay safe!

Signed,

–Sun

Continue Reading

You'll Also Like

172K 10.7K 31
Malam itu aku kehilangan segala nya. Suami ku tega meninggalkan ku demi wanita lain. sekaligus aku kehilangan anak yang berada di dalam kandungan ku...
44.6K 9.1K 10
━ ❝ 𝘺𝘰𝘶 𝘢𝘳𝘦 𝙠𝙖𝙯𝙪𝙩𝙤𝙧𝙖'𝙨 𝙬𝙞𝙛𝙚 !! ❞
416K 40.5K 30
Jika karakter Haikyuu!! adalah pacarmu. . . . © Haikyuu!! by Haruichi Furudate. © Fanarts by their artists © Written by itsnavara, 2020
1.7M 67.8K 43
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...