Stairways to Happiness

Por beliawritingmarathon

994K 110K 12.9K

Surat cinta tugas MOS membawa dunia Ara yang tenang menjadi tak beraturan sebab kakak kelas yang namanya baru... Mais

Surat Cinta
Manusia Hologram
Geng Hamlet
Infiltrasi
Keluarga
Mama Kak Wira
Siapa Wirasta Atmaja?
Cinta Pertama
Ketidakterdugaan
Rindu
Pretty Boy
Salah Fokus
Obrolan Jam Kosong
Misi Wira
Terpesona
Pengakuan Pertama
Masa Lalu
Hamletku?
Botol Minuman Soda
Luka
Mengakhiri Perang Dingin
Benci
Rahasia
Perubahan
Baik-baik Saja
Proses Penyembuhan Luka
Kesempatan Kedua
Rasa Kehilangan
Simulasi
Tempatku
Pergi dan Kembali
Kejutan
Buku Catatan Merah Jambu
Yang Terpendam
Mengambil Langkah
Hari-Hari Bersamanya
Mengadu Luka dengan Rindu
Surat Cinta Penutup

Terjebak Ingatan Lama

18.4K 2.3K 358
Por beliawritingmarathon

Aku membiarkan jemariku bersentuhan dengan hujan. Lalu satu persatu rasa pun menyapanya. Menyentuh seluruh bagian dengan kesannya lalu meneteslah menghilang, begitulah terus berulang. Hingga dingin itu tiba. Jari-jariku pun terdiam dalam beku sang waktu. Tak tahu harus bagaimana. Hanya bisa tetap menengadahkan tangan, berharap hujan akan lebih berteman dan mendatangkan lagi rasa-rasa yang tak bernadir hambar. Tak perlu hangat yang ngengat, cukup rasa sederhana saat jariku merasainya ada. 

-Ara-

***

Rasa haus membuatku berani melawan kantuk dan menyusuri ruangan-ruangan gelap yang membatasi kamarku dengan dapur. Aku tidak sempat melihat jam dinding, tapi aku yakin ini masih malam. Terlihat dari langit yang nampak masih gelap di balik jendela kamar tamu. Aku yang telah berada di dapur langsung mengambil gelas dan menuntaskan keinginanku untuk minum.

Setelah merasa cukup, aku beranjak menuju kamarku lagi. Saat aku sampai di ruang tamu, sebuah suara menggema begitu keras disusul suara lain yang tidak mau kalah. Mereka beradu argumen. Hingga suara makin ramai sepertinya kekesalan membuat kedua pemilik suara tega menumbalkan barang-barang yang tidak berdosa di sekitar mereka. Keramaian makin menjadi-jadi dengan meledaknya tangisan.

"Ibu...," kataku setelah mengenali suara tangis itu. Aku membelokkan langkahku menuju kamar ibu, tapi suara selanjutnya membuat lututku kehilangan kemampuannya untuk menompangku berjalan.

Suara teriakan laki-laki itu. Laki-laki yang kubenci dan sekaligus aku takuti. Kenapa dia bisa ada di sini? Dan beraninya dia melakukan lagi hal itu kepada ibu. Tapi aku yang kehilangan kemampuan berjalan hanya bisa meringkuk sambil memeluk kedua lututku. Air mata mengalir begitu saja dan tubuhku menggigil tanpa bisa aku kontrol.

Suara-suara itu makin keras, aku yang mati langkah hanya mampu menutup kedua telingaku. Sayangnya, aku lebih dari bisa membayangkan apa yang terjadi di kamar ibu. Meski aku tak melihatnya langsung, tapi pikiranku dengan sengaja menggambarkannya secara nyata seakan aku ada di sana. Dadaku sesak, aku benci diriku yang kerdil ini. Ketakutan membuatku kecil, membuatku berdalih pantas untuk bersembunyi menyelamatkan diri. Dan membiarkan ibu makin terjerembab dalam lukanya sendiri.

Tidak, aku bukan Ara yang dulu. Aku lebih besar sekarang. Aku bukan anak kecil lagi. Kukuatkan kakiku untuk berdiri. Sesekali aku jatuh, tapi dengan bantuan dinding akhirnya aku bisa menyusuri ruang demi ruang untuk bisa sampai ke kamar ibu. Kuusap semua keringat dingin yang membasahi wajahku, aku buka pintu kamar itu. Ibu terlentang dan kedua tangannya melindungi wajahnya. Sedangkan orang jahat itu sedang asyik melampiaskan kekesalannya dengan memanfaatkan kelemahan fisik ibu. Kuseret kakiku yang bergetar hebat. Kudekati laki-laki berbadan tambun itu. Kupiting lehernya dan kutarik sampai mendekati tembok terdekat. Kupelototi matanya yang nyalang dan kuremas kuat kerah bajunya.

"Aku nggak akan pernah ngebiarin Bapak nyakitin Ibu lagi," ucapku dengan nada mengancam. Tapi ada yang aneh wajah laki-laki itu tiba-tiba menjadi lebih muda. Badannya pun berubah lebih kurus. Kupandangi lagi wajah itu dengan lebih menyeluruh seketika kaca-kaca di mataku pecah. Tanganku melemas dan tak mampu meremas kerah bajunya. Gigilan tubuhku makin menggila hingga kupanggil nama pemilik wajah yang ada di depanku ini dengan terbata-bata, "Kak Wira...."

***

Aku terbangun dari tidurku secara paksa dan ibu sudah duduk di tepi tempat tidurku. Sepertinya aku mengigau cukup keras hingga ibu datang ke kamarku untuk membangunkanku.

"Kamu nggak apa-apa, Ra?" tanya Ibu cemas kepadaku sambil mengelap semua keringat yang membasahi wajah dan leherku padahal hawa malam ini cukup dingin.

"Ara cuma mimpi buruk Bu,"jawabku masih dengan napas yang tersengal-sengal.

"Besok kita ke Dokter Adrian ya?" sahut Ibu sedikit merengek.

"Nggak usah Bu, Ara cuma mimpi buruk biasa kok. Mungkin kecapean," kataku berbohong. Aku hanya tidak ingin membuat ibu khawatir. Ibu sudah cukup menderita dengan perceraiannya tiga tahun lalu dan juga kewajibannya untuk membesarkanku. Aku tidak mau menambah bebannya. Terlebih aku tak mau ibu harus berurusan lagi dengan masa lalu yang menghancurkan ibu itu.

"Tapi...," ucapnya masih tidak percaya. Aku pun meraih tubuh itu dan memeluknya erat.

"Kayaknya Ara cuma kangen tidur sama Ibu."

"Kamu nih udah gedhe bahkan udah punya pacar masih juga pengen dikelonin Ibu." Suara tawa ibu membuatku lega dan makin menguatkan pelukanku sebagai tanda permohonan yang tak bisa ditolak.

Setelah berdebat beberapa kali, ibu pasrah juga dengan keinginanku. Ibu memposisikan diri tidur terlentang di sebelahku. Aku pun langsung merebahkan kepalaku di lengannya dan ku peluk tubuh dengan aroma yang menenangkan itu. Sontak rasa hangat menjalari tubuhku terlebih belaian ibu di kepala benar-benar membuatku menyusuri lagi hawa kantukku. Beberapa kali aku melihat ibu tersenyum memandangi wajahku. Sungguh aku ingin mempertahankan senyum itu selamanya walaupun aku harus menjadi penipu sekali pun.

***

"Kamu nggak apa-apa kan?" Entah sudah berapa kali aku mendengar pertanyaan itu. Dari ibu dan sekarang Arsya. Tepat saat aku masuk kelas, dia yang awalnya duduk langsung menghampiriku untuk memelukku lalu munculah pertanyaan itu. Wajah khawatir yang membuatku terharu, tapi juga tidak enak karena aku merasa merepotkannya.

"Aku nggak apa-apa,"jawabku setenang mungkin.

"Jangan bohong, Ra!" Randu yang awalnya berdiri di belakang Arsya langsung memeriksa kedua telapak tanganku. Karena tak menemukan satu pun titik-titik keringat dingin, dia dengan terpaksa menyetujui perkataanku.

"Semalem kamu tidur nyenyak kan?" tanya mereka hampir bersamaan.

"Iya...." Mereka menampakkan ekspresi ketidakpercayaan. Aku jadi terpaksa menimpali lagi,"kalau nggak percaya tanya aja ke Ibu, aku tidur sama Ibu semalem." Perkataanku yang tidak terlalu bohong, tapi juga tidak terlalu benar.

Awalnya mereka ingin menyerang ucapanku lagi, tapi kedatangan seseorang telah mengalihkan perhatian kami. Jaket hijau mencolok yang sangat aku kenal itu, entah kenapa membawaku mengingat mimpi semalam. Sontak tubuhku menggigil pelan. Melihat keadaanku, Randu langsung mendekati orang itu, dia Kak Wira.

Hari ini aku memang tidak berangkat bersamanya dan memilih berangkat lebih pagi bersama Ibu. Tindakan yang cukup dicurigai ibu, untung gombalanku yang ingin bersamanya membuatnya percaya. Meskipun berjuta pertanyaan menyerangku sepanjang jalan. Tapi itu lebih baik dibanding aku harus berhadapan dengan pikiran burukku tentang Kak Wira.

Randu menarik Kak Wira perlahan keluar kelas dengan berdalih ingin mengatakan sesuatu. Beberapa kali Kak Wira mencoba melawan, tapi akhirnya Randu berhasil membawanya pergi dari hadapanku.

Arsya yang mendapati gelagat anehku langsung membantuku berjalan sampai ke bangku. Dan seperti biasa semua anak di kelas ini mulai membicarakan spekulasi mereka tentang apa yang dilihat mereka barusan. Tapi aku tidak peduli, ketakutan ini membuatku sibuk sendiri. Arsya yang pernah mendapati keadaanku yang lebih buruk hanya diam tak menanyakan apa pun. Dia malah sibuk menghapus keringat dingin di kedua tanganku. Kediamannya seolah mengatakan bahwa aku tidak sendirian, ada dia disampingku jadi jangan takut. Dia menggenggam tanganku lembut sambil tersenyum dan secara ajaib getaran yang menjalari tubuhku perlahan berhenti. Hingga akhirnya aku bisa selamat melewati pelajaran sampai ke jam istirahat pertama.

Aku tidak tahu apa yang dikatakan Randu pada Kak Wira, aku juga enggan menanyakannnya. Ada rasa canggung yang tiba-tiba membuatku tak sebebas dulu membicarakan Kak Wira kepada Arsya dan Randu. Satu hal yang pasti ucapan Randu sangat manjur hingga kami bisa mengerjakan tugas ekonomi di perpustakaan dengan tenang tanpa kehadiran Kak Wira. Tapi aku harus berjalan kembali ke kelas sendirian karena Randu jadi sedikit sibuk untuk mempersiapkan perlombaan basket dan Arsya yang kelaparan terpaksa meninggalkanku ke kantin. Aku lebih memilih kembali ke kelas karena aku ingin sendirian walaupun itu tidak mungkin. Pemandanganku yang tak bersama Kak Wira saja sudah jadi sorotan bahkan sindiran. Untung saja perasaan dan pikiranku sudah sibuk jadi aku tak menggubris mereka. Aku berjalan acuh tak acuh menyusuri lorong-lorong menuju kelasku.

Sesampainya di kelas, hanya ada lima anak perempuan bergerombol di belakang kelas. Mereka sedang asyik membicarakan cerita drama korea yang diputarkan salah satu saluran televisi nasional. Mereka hanya melihatku sesaat lalu menyapa terus melanjutkan lagi obrolan mereka. Aku langsung menuju mejaku dan menemukan minuman fruit tea rasa apel dengan sebuah note yang bertuliskan periksa lacimu. Aku refleks melihat laci dan menemukan sebuah kotak makan kecil dengan sebuah surat menempel di bagian atas. Aku ambil surat itu dan membacanya.

Dear Aksara,

Tadi aku ke kantin sendirian karena kamu lagi nggak mau nemenin aku. Saking sedihnya aku jadi diajak ngobrolsama beberapa dagangan. Ada yang ngejekin aku, tapi ada juga yang ngedukung aku kayak gorengan di warung Bu Siti. Mereka punya pesen buat kamu, tapi karena kamu belum bisa bahasa gorengan jadi biar aku terjemahin ya.

Pak tahu susur bilang gini,"Aksara, tahukah kamu kalau Wira sangat menyesal dengan perilakunya kemarin?"

Terus Bu Tahu bakso nimpalin,"Aksara tahukah kamu juga kalau Wira wajahnya murung seharian karena rindu kamu?"

Tante Tahu goreng nggak mau kalah nyahutin, "Aksara tahukah kamu kalau Wira nggak pernah bisa berhenti mencintai kamu?"

Eh tahu-tahu Om tempe mendoan ngikut ngomong, "aku sih nggak tahu karena aku tempe." Ya udah karena emosi aku makan deh semua tempe medoan. Biar kamu jadi tahu bukan tempe.

Your Wira Sableng

Nb: Ngambeknya jangan lama-lama ya soalnya banyak yang demo pengen ketemu kamu lagi. Katanya sih nggak kuat kalau harus nahan kangen. Ada Angki, Rasta, aku, dan aku aku yang nggak kehitung jumlahnya.

Kubuka kotak makan itu dan terlihatlah satu tahu susur, satu tahu bakso dan satu tahu goreng. Senyum pun terbit di wajahku. Sungguh Kak Wira adalah manusia tereceh di muka bumi ini. Rindu seketika datang, tapi tidak sendirian. Bayangan mimpi semalam ikut mampir juga. Mereka bertengkar di pikiranku. Aku hanya bisa merebahkan kepalaku sambil menatap kotak makan itu. Entahlah perasaan mana yang harus aku ladeni karena keduanya menyuguhkan pendapat mereka yang menurutku logis.

Sudahlah diam kalian, biar aku tentukan sendiri apa yang harus aku lakukan.


***

Halo semuanya, selamat di hari pertama bulan April...

Gimana part ini? Nyebelin? Nggemesin? Atau gimana komen ya? Jangan lupa juga buat vote dan share karena dukungan kalian sangat amat berguna untuk kelangsungan cerita ini. Inget jangan pada senyum-senyum sendiri lihat gorengan setelah baca ini. Hhheee...

Jadi sebenarnya Ara kenapa sih? Sakit apa? Terus mampukah Wira sableng ngebantuin Ara sembuh dari sakitnya atau malah bikin makin aparah? Tunggu di next ya....

Udah ah, ketemu lagi di hari Rabu ya. Semangat buat kita semua untuk memperjuangin apa pun. Semoga diberi kelancaran dan kesuksesan. Aamiin...

P.S. I love you

Prilda Titi Saraswati

Find me:

WP: prildasaraswati

IG: @prildasaraswati 

Continuar a ler

Também vai Gostar

270K 11.1K 30
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...
400K 49K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
2.4M 130K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
472K 24K 72
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...