Buku Ramalan Sinta

By EtiParatif

719 37 0

Judul: Buku Ramalan Sinta Genre: Fantasy - Adventure Penulis: Eti Paratif Sinopsis Nicholas Stecker hanya ing... More

Buku Usang
Lingkaran Odaise
Serangan Burung Gagak
Rumah Mnemsine
Scivolo Icebergie
Rumah Kapas

Wanita Misterius

65 5 0
By EtiParatif

Nick menyerahkan bukunya pada Thalia kembali, yang diterima oleh gadis itu dengan sedikit kaget. Pikirannya masih belum bersih tentang sihir yang tiba-tiba menyerang mereka. Gagak-gagak itu bukanlah burung seperti biasanya, pasti ada sihir yang mengendalikan mereka. Itulah dugaan Nick sementara.

Nadia menjadi satu-satunya yang berdiri di dekat Thalia saat sepupu Ben itu sedang mengadu jarinya dengan buku, dengan gerakan membuka. Sedangkan Nick ,Ben, dan Percy masih sibuk berkutat dengan penyihir yang sudah tidak bernyawa itu.

“Percy” panggil Thalia pada Percy yang berada lumayan jauh darinya. Buku di tangannya sudah terbuka.

Percy mendongak, “Apa?”

“Ini” kata Thalia lagi sambil menyodorkan buku tersebut. Percy mengerti, ia segera bangkit membawa ipad-nya, berjalan ke arah dua perempuan itu. Nick memperhatikan dari tempatnya.

Yang pertama Percy lakukan adalah: memperhatikan sebentar halaman itu. Lalu tangannya dengan lihai menari-nari di atas layar mengetikkan kalimat yang terdapat disana, sambil sesekali matanya menoleh ke arah buku. Thalia memperhatikan cara Percy mengetik, ia sekilas bisa melihat gambar klasik di atas tulisan yang lumayan panjang itu. Sebuah tongkat yang bersinar di genggam oleh tangan dalam kegelapan. Thalia menoleh, ia melihat Nadia masih menggenggam tongkatnya.

 “Apa yang ditulis?” Ben bertanya. Ia bangkit dari duduknya dan meninggalkan mayat yang sudah mulai dingin itu, menghampiri teman dan sepupunya.

Percy tak langsung menjawab, tangannya masih sibuk mengetik. Selang beberapa detik kemudian, barulah Percy mendongak. “Jangan kau miliki apa yang bukan menjadi milikmu” itulah kalimat selanjutnya yang dibacakan oleh Percy. Nadia dan Thalia saling pandang.

Nick beralih dari mayat itu dan mulai menghampiri teman-temannya, saat itulah semuanya menengok pada Nick.

Nadia terlihat berpikir sejenak, menopang dagu dengan sebelah tangan yang bebas.

“Ahh” Percy hampir berteriak dengan mata yang berbinar, menjentikkan jarinya di udara seolah memanggil pelayan bar. Arah matanya menuju pada sisi kiri Nadia, lalu beralih pada yang lain. “Aku tahu, maksudnya adalah tongkat itu” katanya antusias sambil tangannya menunjuk pada benda yang dimaksud, nadanya seperti baru saja menang lotre milyaran rupiah.

Nadia mengangkat tangan kirinya, tongkat panjang yang berkilauan langsung terpampang di hadapannya. Sinarnya yang berkilauan memberi cahaya pada ruangan yang berantakan itu. Ia menyernyit sesaat, tongkat ini ternyata cukup berat di tangan kecilnya.

“Jadi kita harus keluar untuk mengembalikannya” Nick menginterupsi, lagi-lagi apa yang ia ucapkan terdengar seperti perintah. Tangannya terulur untuk mengambil alih tongkat dari tangan Nadia.

“Tapi” suara Thalia menyela, ia menggaruk tengkuknya pelan saat Nick mengalihkan pandangan ke arahnya. “Siapa pemiliknya?” katanya kemudian, matanya beralih pada tongkat di tangan Nick.

Ben mengendikkan bahunya mendengar pertanyaan Thalia. Semua terdiam sesaat, termasuk Nick. Angin yang berembus melalui atap membawa hawa dingin serta menyibak rambut panjang Thalia juga rambut Nadia yang di ikat ekor kuda. Percy menimbang-nimbang ipad sembari mengorek-ngorek otaknya. Nick menoleh ke belakang, melihat pada mayat yang sudah kaku dengan darah yang sudah berhenti mengalir dari dadanya. Kalau begitu ia jadi teringat lukanya.

Suara decakan Nick mengalihkan teman-temannya. “Kita keluar saja, disini sudah semakin tidak enak” katanya menjadi sangat waspada. Matanya berputar mengawasi sekitar, hanya redup yang dapat ia tangkap. Suara kelelawar berterbangan mengelilingi bagian atas istana yang bolong, di iringi deruan napas lima orang tersebut.

Setelah agak lama, Nick kembali menoleh pada yang lain.

“Sekarang?” Nadia menyembur, sedikit tidak percaya pada suaranya. “Tapi kan ini sudah malam.”

“Iya, lagipula sepertinya di luar sangat dingin” pancaran mata Thalia memancarkan ketidaksetujuan. “Aku bisa kedinginan.”

“Peduli amat!” Nick bersorak tidak acuh. “Kalau saja aku tidak melindungimu tadi mungkin kau sudah mati. Ini seharusnya menjadi masalahmu saja, karena kau kita semua jadi seperti ini.”

Sesaat kemudian, Nick sadar apa yang ia ucapkan.

Thalia hanya menunduk menyembunyikan raut mukanya yang berubah setelah mendengar ucapan Nick. Nadia hanya memandang bingung dua orang itu, sedangkan Ben terlihat ingin menyentak Nick balik tapi elusan Percy di lengannya membuatnya urung.

“Jadi maumu bagaimana?” setelah suasana agak tenang, Percy kembali berbicara.

Nick menggigit pipi bagian dalamnya berpikir. Lalu sedetik kemudian berucap, “Kita keluar sekarang saja! Semakin lama kita disini, semakin lama kita kembali.”

Benar perkataan Nick, semakin mengulur berarti semakin lama. Percy mengangguk setuju atas perkataan Nick yang satu ini. Ia lalu menghela napas panjang sebelum berucap. “Benar kata Nick, kita sebaiknya pergi sekarang saja.”

Nick merasa perlu meralat kata-kata Percy barusan. Bukan sebaiknya, tapi HARUS!

Ben mendelik kaget mendengar ucapan Percy yang sangat mendukung Nick itu, sementara Thalia mendongakkan kepalanya, juga sedikit kaget.

“Kau tidak salah berucap?” pandangan Ben bertumpu pada Percy dan tidak percaya.

Percy hanya diam saja tapi sinar matanya memberitahu “Tidak.”

“Sekarang atau besok sama saja kan?” kata Nick retoris. Ia lalu mengangkat tongkatnya untuk memberi sedikit penerangan di atas, karena itu tangannya kembali berdenyut. Setelah sinar terpancar sampai depan pintu, ia menoleh pada Nadia.

“Ayo” ajak Nick sambil meraih tangan Nadia, tak peduli pada tampang Ben yang masih menahan geram.

Sinar lampu kepala tongkat yang berpijar benar-benar membantu mereka menyusuri jalanan lembap nan gelap di hutan kecil. Nadia berjalan di samping Nick dengan tangan yang masih digenggam oleh Nick. Sementara tiga orang di belakangnya tidak Nick pedulikan.

Jalan setapak yang mereka lalui penuh dengan liku-liku, tanjakan, dan turunan yang tidak terduga. Ben yang berada pada posisi luar mengawasi sekitarnya dengan penuh kehati-hatian, sekawanan kunang-kunang dan kelelawar tertangkap matanya. Suara jangrik serta kepakan sayap burung hantu ikut meramaikan langkah kaki mereka.

“Nick” Nadia memecah kesunyian, ia menoleh pada Nick yang tetap fokus pada langkahnya. “Kenapa tidak kita cari di google saja? Siapa tahu informasi tongkat itu ada disana.”

Tak ada yang menyangka kalau ide itu akan terlintas di benak Nadia. Semua terlalu kalut sampai tak terpikir hal seperti itu.

“Boleh juga” Thalia menyahut di belakang. Langkah mereka berhenti bersamaan─kecuali Nick, ia sibuk berdecak karena langkahnya dihentikan Nadia secara tiba-tiba.

Di malam yang pekat ini, di bawah pohon pillow yang rindang, ditemani sinar tongkat dan langit yang gelap, mereka duduk melingkar mengistirahatkan raga dan pikiran. Sebenarnya Nick tidak setuju, tapi melihat keadaan Nadia yang kelelahan membuatnya menurut. Lagipula, tangannya sudah terlalu pegal menopang berat tongkat di tangannya, kalau semakin di paksakan bisa-bisa lukanya semakin berdenyut.

Thalia menopang sebelah kakinya di pangkuan Ben, satu tangannya melapisi buku tersebut, sementara punggungnya menyandar pada batang pohon yang lumayan besar. Percy hanya merenung memandangi ipad-nya dengan tatapan nanar. Sementara Nick dan Nadia memilih pohon lain, Nadia sudah memejamkan matanya, ia terlihat nyaman dengan meletakkan kepalanya di pangkuan Nick. Tongkatnya Nick taruh di sampingnya.

Rencana mereka untuk mengorek informasi tentang tongkat gagal total setelah ipad Percy kehabisan daya. Nick tidak terlalu menyesal, bukan dia yang mengusulkan hal itu tadi. Deruan napas terdengar bersahut-sahutan di tengah malam yang semakin sunyi ini, bahkan suara binatang malam sudah jarang terdengar. Dilihatnya temannya satu per satu, ternyata hanya dirinya yang masih terjaga.

Dengan mengabaikan langit di atasnya yang tampak temaram walau kelam, Nick merenungkan dirinya. Ia ingat kapan pertama kali ia merasakan sihir. Waktu itu ia berusia delapan tahun sedangkan Nadia tujuh tahun ketika seorang wanita asing mendatanginya dan menerobos masuk kamarnya melalui jendela. Wanita itu berbicara seolah-olah sudah mengenal Nick akrab, ia membicarakan hal-hal yang tidak Nick ketahui kala itu. Nick dulu menganggapnya sebagai pendongeng yang mendongengkan cerita pengantar tidur, namun kini ia tahu apa yang dibicarakan wanita itu. Buku yang pernah ia baca di perpustakaan papa menjelaskan bahwa penyihir biasanya mendatangi kamar-kamar anak yang di anggapnya spesial. Lalu sedikit membicarakan sihir atau kalau beruntung penyihir tersebut sudi mengajari ilmu sihir pada anak-anak tersebut.

Nick juga pernah merasakan benda-benda di sekitarnya dipengaruhi sihir. Seperti saat dirinya begitu ketakutan ketika anjing doberman tetangga mengejarnya, Nick ingat betul kalau sebuah kekuatan sihir telah mengubah anjing tersebut menjadi kelinci yang jinak. Kadang juga ia menangkap bau yang kuat di sekitarnya, pikirannya menjawab kalau itu adalah aroma penyihir. Nick belum sepenuhnya mengerti tentang hal semacam itu, buku milik papa belum selesai ia baca.

Sinar-sinar terang menghujam penglihatan Nick tatkala matanya yang semula terpejam terbuka sedikit. Seraut pancaran matahari yang menerobos melalui celah dedaunan kecil membuatnya harus mengerang, menyadari bahwa ia tertidur dinihari tadi dan baru terbangun. Ia menguap, merentangkan kedua tangannya lalu mendongak ke arah jajaran pohon yang menjulang tinggi.

Embun di sandalnya terasa kental, Nick mengalihkan pandangan pada Nadia yang meringkuk di pangkuannya. Lalu menoleh ke arah lain dan mendapati tiga orang temannya masih tertidur dengan keadaan saling menyandar. Nick menghela napasnya sebentar sebelum membangunkan Nadia.

“Nad” panggilnya sambil menggoyangkan pelan bahu adiknya.

Alih-alih Nadia yang mengerang, Nick justru mendengar suara dari arah depannya. Thalia terlihat setengah duduk dan tangannya mengucek matanya. “Sudah pagi ya?” kata Thalia dengan suara parau. Nick memutuskan untuk tidak mengacuhkannya dan kembali pada Nadia.

“Nad,” panggilnya lagi, kali ini agak keras agar adiknya terbangun.

“Eghh” akhirnya Nadia bergerak juga. Ia mengeliat kecil, merentangkan tangannya, melenturkan otot-otot yang terasa kaku, barulah setelah itu kedua matanya terbuka perlahan. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah terperanjat kaget, biasanya saat ia terbangun yang dilihat adalah warna pink cat kamarnya, bukan hutan lembab dan di pangkuan Nick seperti ini.

“Eh, sudah pagi ya?” katanya kemudian.

“Hem” jawab Nick seadanya.

Nadia menguap sebentar lalu beralih melihat Thalia. Gadis itu terlihat tengah berusaha membangunkan dua laki-laki di sebelahnya. Ia mendengar Ben dan Percy mengerang kemudian secara bersamaan. Sama seperti dirinya, Percy tersentak begitu menyadari tempat mereka tidur semalam, di bawah salah satu pohon pillow di antara hutan yang lembap ini.

“Ah aku lupa” kata Ben kikuk sembari menggaruk tengguknya. “Kita sedang berada di tempat antah berantah.”

Ya, karena sepupumu itu. Nick ingin sekali berteriak melepaskan kata itu.

“Bagaimana petunjuk selanjutnya?” suara Nadia kembali mencuat. Iris mata coklatnya memandangi tongkat yang berkilauan di samping Nick. Nick jadi ikut menoleh.

“Ipad-ku rusak sih” kata Percy terdengar menyesal. Ia menatapi ipadnya dengan tatapan yang begitu menyedihkan. Sekali-kali jarinya mengetuk layar ipad namun tidak terjadi apa-apa.

“Kita cari saja sendiri” Nick menyela, “Lagipula, belum tentu ada informasi tongkat ini di internet. Ini tempat yang tidak terjamah” kata Nick menjelaskan. Ia kemudian mengangkat bokongnya bangkit, tangannya meraih tongkat.

Percy nampak terkejut “Mau kemana lagi?”

Nick hanya melirik tongkat sebagai jawaban. Postur tinggi Nick yang menjulang tertangkap oleh Thalia yang masih dalam posisi duduk, gadis itu tak pernah melewati darah di lengan Nick. Pikirannya terarah pada kejadian malam tadi.

“Tak ada waktu untuk mengulurnya lagi” kata Nick begitu dingin, seolah ia sedang menghadapi malaikat pencabut nyawa. Matanya mengarah pada teman-temannya.

Nadia memanyunkan bibirnya, “Aku tidak mau lama-lama disini” suaranya terdengar seperti rengekan.

“Makanya cepat” suara Nick sedikit meninggi. Nadia lalu berdecak dan bangkit dengan enggan. Berdiri di samping kakaknya itu sambil menepuk-nepuk celana bagian belakang. Pakaiannya terlihat lusuh dan berantakan, tak jauh beda dengan yang lain.

Thalia dan yang lain sudah bangkit bersamaan. Mereka satu-satunya manusia yang berada di tempat ini, sisanya adalah pepohonan lebat dan hewan-hewan kecil.

Nick masih membawa tongkatnya sambil terus berjalan di ikuti yang lain. Gemericik air yang turun dari atas terdengar syahdu di telinga, aliran mata air mengalir jernih dari anak air terjun. Semakin mendekat, semakin lembab dan semakin terdengar.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba petir menyambar jalanan berumput di hadapan mereka. Asap hitam langsung kentara begitu kilat yang lebih cepat dari kedipan mata itu membakar rumput coklat yang basah. Semua terkejut dan menghentikan langkah, gelagat Nadia bertanya-tanya ada apa.

Asap hitam pekat itu perlahan memudar, menampilkan sosok tinggi berjubah hitam legam, membelakangi mereka. Nick menyipit untuk mewaspadai setiap gerakan yang mungkin akan membahayakan. Apa lagi ini? hatinya bertanya-tanya.

Asap telah sepenuhnya enyah, sosok itu berbalik, caranya sangat anggun dan mahal. Mula-mula, jubahnya yang terulur sampai tanah terdengar bergesek dengan dedaunan, lalu kepalanya memutar, baru sepenuh badannya menghadap mereka semua. Sosok di baliknya ternyata seorang wanita berwajah tirus. Sepertinya ia berusia awal tiga puluhan, dengan rambut hitam panjang di balik tudungnya.

Nick tercekat. Tangannya semakin erat menggenggam tongkat.

“Hallo, anak-anak.”

Sapaan wanita itu terdengar halus dan berhati-hati. Senyum pasinya tak ubahnya seperti orangtua yang mengawasi anaknya. Wanita misterius itu lebih mirip seorang ibu. Mungkin Nick bisa menyewanya untuk mengurusi keponakannya di rumah.

“Lama tak bertemu denganmu. Kau banyak berubah, Nick” kata wanita itu lagi. Pandangan mata hitamnya menuju Nick dengan tatapan lembut penuh perhatian. Ia lalu beranjak sedikit lebih dekat ke arah mereka. Nadia reflek menarik tubuhnya mundur ke belakang tubuh kakaknya.

Mata Nick menyipit, menelusuri lekukan bibir pada wajah wanita asing itu. Mendadak ia menghampirinya─setelah memberikan tongkat itu pada Ben. Nadia yang semula berada di balik punggungnya kini sepenuhnya terlihat.

“Kau mengenalku?” tanya Nick datar penuh dengan nada menyelidik.

Wanita itu hanya mengulas senyum semanis cairan madu, yang terasa meleleh di mulut Nick. “Bagaimana aku bisa lupa dengan wajahmu itu, kau terlihat semakin dewasa.”

“Memang, aku memasuki tahap itu” jawab Nick. “Kau perempuan bergaya nyentrik, modern, dan sedikit─misterius” suara Nick mengecil di akhir kalimat.

“Begitu ya?” wanita itu menjawab. Ia kemudian mengubah posisi, mengitari tubuh Nick sembari meraup pundak laki-laki itu. Kemudian matanya menatap teman-teman Nick, dan tatapannya berhenti pada tongkat berkilauan di tangan Ben.

Ia berhenti memutar dan ke posisi semula, “Kau mencari pemilik tongkat itu kan?”

Nick hanya bergeming. Terlalu sedikit hal yang melekat dalam ingatannya selama ini, bahkan ia lupa teman-temannya saat Elementary School dua tahun silam. Ada beberapa hal yang Nick lupakan, namun wanita di hadapannya ini tak pernah masuk daftar ingatannya. Seingat Nick ia tak pernah bertemu wanita misterius ini sebelumnya.

“Katakan apapun tentang tongkat itu” suara Nick terdengar berbahaya sekaligus gugup.

“Bagaimana rasanya hidup di tengah-tengah manusia normal?” wanita itu memiringkan wajahnya di hadapan Nick, menganggap bahwa pertanyaan Nick barusan adalah pertanyaan murid tk yang tak perlu di jawab.

Paras Nick benar-benar tak berdarah. “Siapa kau sebenarnya?” kata Nick menahan marah.

“Aku, kau lupa ya?” wanita itu memasang wajah bersedih, lalu tanpa di duga-duga ia melepas tangan dari pundak Nick, dan menyodorkannya. “Aku pemilik tongkat itu” suara sehalus beludru kembali keluar dari bibir merah tipisnya.

Semua terperanjat dan Nick tak mampu menaikkan tangannya untuk membalas uluran itu.

“Tak usah memasang tampang tegang seperti itu.”

Saat menarik senyum lebar-lebar, Nadia baru menyadari bahwa wanita itu adalah wanita yang sama dengan yang di lihatnya di istana kemarin.

“Panggil saja aku Livia, dulu juga kau memanggilku seperti itu” wanita itu menaggapi keheningan. “Kalian anak-anak yang nekat, tak seharusnya kalian berada di sini.”

Nick kesulitan mencerna kata-kata wanita yang barusaja memperkenalkan diri dengan nama Livia itu. Dulu, nekat, tak seharusnya di sini?

“Jangan berbasa-basi” Nick menghardik. “Mengapa kau menghalangi jalan kami?”

Thalia mengangguk menanggapi ucapan Nick.

“Aku justru ingin memberitahu kalian sesuatu” kata Livia lembut, “Tempat ini tidak pernah berujung, ujungnya hanya bisa kau temui di buku itu.” bibir Livia menunjuk pada buku di balik tangan Thalia. Semua menoleh ke arahnya.

“Apa maksudmu?” kata Nick kemudian.

“Kau akan tahu sendiri pada akhirnya” Livia tersenyum lagi, “Sekarang berikan tongkat itu padaku.”

Wanita itu sedikit menunduk pada Ben, tangannya terulur siap menerima batangan tongkat. Ben hanya bisa bergeming di pijakannya, matanya menatap Nick seolah berkata, “Bagaimana?”

Sinar mata hitam Livia menusuk ke dalam bola mata coklat Ben, tatapan meneduhkan seolah menghipnotis, tangannya masih belum ia tarik.

Nick memutar otaknya, kemudian berkata. “Apa timbal baliknya jika kami menyerahkan tongkat itu?” suaranya terdengar menantang.

“Sesuatu” Livia menjawab singkat dan terkesan misterius, mengundang semua orang untuk menyibak arti di balik perkataannya. Setelah menoleh sejenak pada Nick, ia kembali beralih pada Ben. “Ayo berikan sayang.”

Nick tak tahan dengan desahan wanita itu. Ia mengangguk dua kali sebagai jawaban: iya.

Ben membenahi pegangannya pada pangkal tongkat, sehingga bagian ujungnya siap diraih orang lain. Livia tersenyum mendapati tongkat sudah kembali berada di genggamannya. Tongkat yang menghilang ketika perang melawan keturunan Cromwell beberapa tahun silam.

Setelah mendapatkan tongkatnya, Livia lalu menjentikkan jarinya sembari tersenyum penuh arti.

Percy tiba-tiba merasakan aliran listrik melewati tangannya, begitu juga Nick, denyut di lengannya tiba-tiba menghilang. Aneh, pikirnya.

Wanita itu memalingkan wajahnya ke arah Nick yang masih di liputi keheranan, “Terimakasih”. Setelah itu tubuh rampingnya di bawa berbelok tajam dengan ke seimbangan yang sempurna. Langkahnya sama sekali tidak tergesa-gesa, kepalanya tetap tegak, seperti meninggalkan rapat dewan yang berjalan sukses. Jubahnya yang panjang bergerak mengenai kaki Nick, lalu secara misterius menghilang di balik pondok rapuh dekat aliran mata air.

Nick dan yang lain tersadar kemudian. Mereka barusaja berurusan dengan sihir.

“Itu tadi” Nadia berkata kaku, “Wanita yang ada di foto kan?”

Mata Thalia menyipit, merasa mengingat sesuatu. Cara wanita itu tersenyum, ruas-ruas jarinya yang panjang, pakaian yang di kenakannya. Semua mengingatkannya pada sosok pada gambar di istana kemarin.

“Ipad-ku menyala” teriakan Percy berdenging di telinga. Raut wajahnya menunjukkan kegembiraan tiada tara. Jari-jarinya sibuk mengetuk layar ipad. “Yuhuu” teriaknya lagi.

Nick terdiam sejenak, memikirkan hal yang baru saja terjadi. Saat kepalanya menoleh, kumpulan rambut hitamnya terlihat berkilauan. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. “Cepat buka halaman selanjutnya.”

“Ya” jawab Thalia cepat.

Jawaban gadis itu membuat paras Nick mengkerut bertanya-tanya. Ia tak mampu menangkap nada apapun dari jawaban singkatnya. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya dan matanya sibuk memandang ke arah Thalia yang membuka lembaran buku.

“Ini” suara Thalia membuat Nick terkesiap. Gadis itu mendongak lalu mengarahkan buku itu pada Percy. Adiknya telah berpindah posisi mendekati Ben.

Seperti biasa, Percy mengetikkan penuh kehati-hatian. Tak satupun ia biarkan ada kesalahan. Setelah itu, ia menarik pandangan dari buku, sepenuhnya memperhatikan ipad.

“Apa?” kata Ben menyela.

Percy menarik napas sebentar, “Titik di sekitarmu” katanya kemudian. Ia memandangi tema-temannya.

“Titik?” Nadia mengulang kata pertama.

Thalia seketika menjentikkan jarinya di udara. Raut wajahnya berbinar dengan senyum manisnya. Bukunya kembali ia tutup dan di apit di antara siku. “Titik itu artinya tempat” ia berasumsi.

“Yang bener?” tanya Ben menyelidik.

Thalia mengangguk antusias, “Aku pernah memecahkan misteri permainan PI, dan titik itu artinya tempat.”

“Ini berbeda dari permainan anak-anakmu itu” Nick menyahut ketus.

Ucapan Nick membuat Nadia menoleh “Kurasa Thalia benar, kenapa sih kau tidak pernah sekata dengannya? Jangan-jangan kau tidak mau pulang ya?”

Aku bukan tidak ingin pulang, aku tidak pernah ingin terjebak tempat aneh ini. Nick ingin sekali meneriakkan kata-kata ini.

“Sudahlah, sekarang kita kemana?” tanya Nadia beralih pada yang lain.

“Tempat ini terlalu luas” Ben berkomentar.

“Bagaimana kalau ke arah sana?” Percy iku menimpali sambil menunjuk asal.

“Tidak” Nick memalingkan muka pada aliran anak sungai yang mengalir dekat mereka, “Kita seberangi saja sungainya, arah sana belum kita tempuh.”

“Tapi aku takut” Thalia menyela cepat. Raut mukanya menunjukkan kengerian. Ben lalu meraup pundaknya.

“Semua akan baik-baik saja” katanya kemudian. Hal ini membuat kerutan di wajah Thalia berangsur-angsur menghilang.

Saat di tepi sungai, batu-batu besar terlihat mencuat di permukaan. Menghambat aliran menjadi terlihat mengerikan, seperti yang pernah dilihat Nadia di arum jeram. Namun Nick meyakinkan kalau tak ada hal buruk yang akan terjadi, walau sebenarnya Nick sendiri takut pada air ber-volume banyak.

“Pegang saja tanganku” ucap Nick pada Nadia.

Nick sudah menaikkan satu kakinya ke atas batu terdekat, di susul kaki berikutnya. Nadia yang berada di sebelahnya sedikit ragu untuk mengikuti Nick.

Percy berada di belakang Nick dan Nadia, ia berjalan perlahan sambil menggenggam ipad-nya. Dan di posisi paling belakang adalah Ben dan Thalia yang tangannya saling bertautan. Ketika kaki Thalia akan berpindah pijakan pada batu pertama, lapisan lumut di atas batu membuatnya hampir terpeleset.

Thalia berteriak, namun belum sampai benar-benar jatuh Ben sudah lebih dulu menarik tangannya. Orang-orang yang berada di depan menoleh.

“kau tak apa?” tanya Ben khawatir. Thalia menggelengkan kepala masih dengan dada yang berdegup kencang, ia hampir saja jatuh kalau Ben tak sigap. Langkah pertamanya tidak sebagus yang lain.

“Kau benar-benar tak apa kan, Thal?” Nadia bertanya dari arah depan.

Thalia menoleh ke arah Nadia, kedua tangannya menggenggam tangan Ben erat-erat. “Aku baik-baik saja kok” katanya kemudian, walau nada getir begitu kentara dari suaranya.

Continue Reading