Buku Ramalan Sinta

By EtiParatif

718 37 0

Judul: Buku Ramalan Sinta Genre: Fantasy - Adventure Penulis: Eti Paratif Sinopsis Nicholas Stecker hanya ing... More

Lingkaran Odaise
Serangan Burung Gagak
Wanita Misterius
Rumah Mnemsine
Scivolo Icebergie
Rumah Kapas

Buku Usang

295 8 0
By EtiParatif

Pelapon di atas kamar bocor lagi. Bukan masalah besar─kalau saja Nadia Stecker dan Thalia Shields tidak akan tidur dikamar bercat ungu lembayung tersebut. Mereka pun berpindah ke dapur, sebuah keberuntungan kalau dapur tersebut juga tidak ikut bocor. Namun lantai dapur berderak lebih dulu sebelum mereka injak. Nadia dan Thalia saling pandang, ternyata anak laki-laki sudah lebih dulu menempati ruangan itu.

Nicholas Stecker menangkap pandangan mata adiknya, juga gadis disebelahnya dalam balutan baju tidur berwarna merah muda dari balik meja pantri. Ia mengerang pelan, penciumannya mengisyaratkan bahwa masakannya sudah hampir matang. Nick berbalik dan mematikan kompornya.

Nadia berjalan gontai kearah meja, Thalia mengekor dibelakangnya. Ben dan Percy sudah lebih dulu duduk disana menanti masakan Nick. Mereka terlalu asyik berbincang sampai tak menyadari kehadiran dua perempuan itu.

Nadia sengaja berdeham agak keras.

“loh?” Percy berkata sedikit kaget dan memandang pada Nadia, “bukannya kalian tadi bilang kalau sudah mengantuk?”

“kau susah akrab ya dengan Thalia?” Ben ikut menimpali.

“bukan” kata Nadia melenguh panjang, dagunya bertopang pada sebelah tangan.

“oh” Ben mengangguk seolah mengerti, “kupikir kau belum terbiasa tidur dengan orang lain.”

Kursi disebelah Nadia sedikit berderak saat Nick mendudukinya. Laki-laki bersurai hitam itu membawa beberapa piring di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya membawa piring berisi telur goreng buatannya. Ia lalu membagi telur tersebut ke dalam beberapa bagian.

“makanlah” katanya setelah semua temannya sudah memegang piring masing-masing. Ini acara makan malam pukul sepuluh.

Thalia makan dengan begitu lahapnya, tak ada sedikit pun rasa canggung terhadap orang-orang baru di hadapannya. Di hadapan teman-teman Ben, sepupunya. Bahkan tanpa sungkan ia mengambil satu porsi telur lagi yang masih tersisa di piring.

“wow, ternyata sepupu Ben keren juga soal makanan” Percy berdecak kagum. Mulutnya sedikit menganga dan matanya memandang tak percaya ke arah Thalia di sudut kirinya.

“ya, biasalah” Thalia menjawab enteng lalu memasukkan sesendok penuh nasi beserta telurnya─lagi. Nick hanya memandangi heran pada sepupu Ben yang baru bergabung bersama mereka hari ini, makanannya belum berkurang setengah pun karena ia menyuapkannya begitu lambat─berbanding berbalik dengan yang lain.

Pikiran Nick terfokus pada hujan yang masih belum reda mengguyur bumi persadanya. Baskom ukuran sedang yang digunakan untuk menampung air di ruang tamu sudah penuh. Airnya meluber dan membasahi lantai, meski begitu Nick enggan bangkit dan menggantinya.

Di luar jendela nampak malam yang begitu pekat dengan suara gemericik hujan dan di selingi suara guntur. Bayangan pohon cemara yang memanjang terkena sinar lampu teras membayangi jendela, sekilas nampak seperti sesosok bayangan yang menyeramkan. Nick mengalihkan pandangan pada jam di dinding dapur, jarumnya baru bergerak lima belas menit dari angka sepuluh.

“kamarku bocor” suara Nadia memecah keheningan di luar suara hujan. Ia telah menyelesaikan makannya dan kini tengah menatap Nick di hadapannya melalui bola mata coklat gelapnya.

Nick menyernyit memandang kamar Nadia disebelah ruang duduk, ruangan itu tepat berada dibelakang punggung adiknya.

“kalau tahu begitu aku tidak ikut Ben menginap disini” Thalia melenguh menambahkan. Piring bekas makannya sudah ia tumpuk bersama piring-piring lainnya. Gadis bersurai pirang itu lalu menopang dagunya dengan sebelah tangan. Pandangannya jatuh pada plastik pelapis meja makan.

“lalu kalau kau tidak ikut menginap kau akan tinggal di rumah sendirian, begitu?” Ben menjawab santai.

Nick mendengus berusaha menahan kesal terhadap sepasang sepupu itu. Kalau boleh jujur, ia juga menyesal telah membiarkan adiknya mengundang mereka untuk menginap di rumahnya. Menyesal karena itu berarti ada banyak orang yang akan mengganggunya selain Nadia. Ia tak terpikir itu sebelumnya.

Ben dan Percy membawa piring-piring bekas makan ke wastafel untuk di cuci. Anak laki-laki sudah merundingkan ini sebelumnya, Nick yang memasak sedangkan Ben dan Percy yang mencuci bekas makannya.

“bagaimana ini?” suara Nadia kembali terdengar, “kami berdua tidur dimana?”

“kamarku penuh” Nick menjawab, ia lalu menyandarkan punggungnya pada kursi dan terlihat berpikir sejenak. “semua tempat kurasa sudah penuh” tambahnya.

Nadia berdecak sebal, sedangkan Thalia disampingnya menghela napas pendek. Ia menyesal menerima tawaran Ben untuk ikut menginap.

Rumah Nick dan Nadia tidak terlalu besar, hanya saja tata ruangnya di buat sedemikian rupa hingga rumah ini terlihat lebih luas dari ukuran aslinya. Ada sekitar lima ruangan disini, diawali oleh ruang tamu bercat cream cerah, papa bilang warna cerah akan membuat tamu merasa nyaman─namun itu tidak berlaku saat bocor seperti sekarang. Kamar Nick, Nadia, dan orangtua mereka bersebelahan. Mama dan papa sedang keluar kota, jadilah kamar yang terletak paling ujung itu terkunci rapat. Nick lebih setuju begitu, setidaknya ia tidak harus membersihkan ruangan itu.

Ben dan Percy telah kembali. Nick mengalihkan pandangannya dari pintu bercat putih gading milik kamar orangtuanya itu kearah Ben dan Percy secara bergantian. Mereka berdua membawa wangi sabun pencuci piring.

“apa yang kita lakukan setelah ini?” Percy bertanya, ia sudah mendudukkan kembali bokongnya pada kursi.

Nadia yang berada di sudut depannya mendongak, “bagaimana kalau kita ke perpustakaan?” ia berkata dengan mata berbinar-binar.

“tidak boleh” sahut Nick cepat, suaranya yang masih dalam masa puber terdengar dingin dan menentang.

“aish” Nadia mendesis, ia melipat kedua tangannya di depan dada. Pipinya menggembung sebagai tanda kesal. Ben dihadapannya tampak terkejut, lalu berucap “kalian punya perpustakaan? Wah aku sangat penasaran.”

“apa peduliku?” Nick menjawab acuh. Ia teringat pesan papa, “jangan bermain di perpustakaan, ada banyak buku-buku penting disana” kata papa kala itu.

“Nick” Nadia kembali merengek, “ayolah. Lagipula, kalau kita di sini terus kita akan melakukan apa?! Tidak ada hal asyik di sini.”

“membaca buku terdengar lebih asyik, apalagi hujan-hujan seperti ini.” Thalia menimpali. Ia terlihat menerawang sementara senyumnya terus tersungging. Nadia merasa di atas awan kini, ia berharap Nick segera berkata ‘iya’.

Nick menimbang-nimbang, walau ada satu sisi di sudut otaknya yang memberontak menginterupsi Nick untuk mempertahankan pemikirannya. Namun jika kembali dipikir, dimana lagi mereka bisa melakukan hal yang asyik sementara tidak tidur juga tidak mendengar gemericik hujan diluar. Perpustakaan mungkin bisa menjadi jawaban.

“sudahlah, kau lama berpikir” Nadia berkata sembari bangkit dari kursinya. Seluruh perkataannya membuyarkan pemikiran Nick dan juga sebagai pertanda bagi yang lain untuk segera mengikutinya. “ayo ke perpus” dia menggerakkan tangannya mengajak yang lain, sementara Nick masih belum bangkit dari kursinya.

Ben, Percy, dan Thalia berjalan mengikuti Nadia. Gadis bertubuh mungil yang memimpin teman-temannya itu berjalan lihai melewati sudut dapur yang tidak terisi oleh barang apapun, papa sengaja menyisakan ruang untuk tangga lipat yang dipasang menuju ruang perpustakaan dibawah tanah. Nadia sudah memanjangkannya dan mulai menuruninya dengan berisik.

Ruang perpustakaan berwarna terang kekuning-kuningan membiaskan cahaya dari bola lampu pijar yang menggantung di pelapon. Ada banyak rak yang disusun rapi memanjang mengikuti arah pintu. Thalia sempat terperanjat, ruangan ini lebih mirip pepustakaan kota dibanding perpustakaan pribadi milik ayah Nick dan Nadia. Ia tersenyum perlahan, mengagumi ruangan yang menjadi tempat kesukaannya ketika di sekolah.

Wewangian lavender langsung menguar tatkala Nadia menyalakan Air Conditioner yang berada di sudut kanan atas, mengaturnya sebagai penghangat. Ia memulai bacaan ketika sudah duduk rapi di lantai dan sebuah album foto keluarga terhampar di depannya, menampilkan berbagai macam foto keluarganya. Nick telah bergabung, ia sedang berkutat di rak paling ujung mencari bacaan yang pas dengan seleranya. Meskipun Nadia tak yakin kakaknya itu suka membaca. Nick lebih suka melatih otot-ototnya daripada menghabiskan waktu dengan menekuni kata-kata dalam lembaran buku, itulah mengapa Nick sering memenangkan banyak perlombaan bela diri.

“ini dia” Nick berseru.

Sebuah buku dengan sampul keemasan pudar sudah berada digenggaman Nick. Buku berjudul Shadow yang berisi cerita sihir tersebut memikat hatinya untuk dibaca, atau sekedar di buka-buka. Ia berjalan melewati Thalia yang terlihat masih sibuk memilih-milih buku dikedua tangannya, sementara ia melihat Percy dan Ben sudah bergabung bersama Nadia dan tertawa tidak jelas. Nick mendengus samar, tiga orang itu kalau sudah bergabung selalu saja berisik. Satu hal yang tidak terlalu disukai Nick.

“bagaimana kalau yang ini?” Nadia bersuara lagi ketika Nick duduk di sebelahnya

“bagus, bagus, bagus” suara Ben begitu lantang, ia mengacungkan jempolnya merefleksikan ucapannya. Telinga Nick berdenging saat mendengar suara Ben yang cempreng menyayat telinga.

“eh, ada Nick. Kau mau ikutan tidak?” Percy menimpali.

Nick hanya menggerakkan bibirnya seolah mengabaikan, kemudian ia menyandarkan punggungnya pada sisi rak tedekat. Dan dalam kesendirian Nick mulai membuka lembar pertama pada buku dipangkuannya. Hal yang jarang ia lakukan adalah membaca dengan serius tanpa terganggu tiga bocah tengil di sekitarnya.

Suara tawa sumbang mereka masih berlanjut, bahkan dengan kehadiran Thalia tidak bisa menghentikan apapun. Nadia mempertahankan posisinya menatap sebuah foto yang kini terpampang dihadapannya. Ia agak menyernyit ketika merasa tak mengenali seseorang dalam foto tersebut.

“ekspresi Nick disini lucu sekali.”

Merasa namanya disebut, Nick langsung menoleh. Matanya memandang curiga pada ketiga orang yang lagi-lagi kembali tertawa. Ah, Nick tidak menyadari kalau Thalia sepupu Ben sudah ikut bergabung.

“apa yang kalian bicarakan?” Nick langsung menyembur tak tahan dengan suara tawa mereka yang semakin sumbang. Mungkin pasien di rumah sakit jiwa akan kabur jika mendengar tawa mereka, apalagi menyebut-nyebut nama Nick sang sesepuh rumah sakit jiwa. Pikiran Nick semakin melantur.

Thalia menoleh memperlihatkan senyumnya yang terukir lebar, “aku tak mengira jika Nick si rambut hitam sangat lucu ketika masih kecil.”

“iya, mandi saja masih dimandikan” Ben menyahut cepat, nada suaranya mengejek.

Muka Nick memerah, antara menahan malu dan marah. Ia berharap kalau hujan masih turun dengan derasnya, lalu dia akan membawa keempat orang itu keluar dan membiarkan mereka kedinginan sampai lupa apa yang mereka lakukan malam ini.

“Nick bergabunglah” setelah puas tertawa Nadia masih bisa berbicara normal. Nick mengira-ngira, hukuman apa yang pantas untuk adiknya yang reseh itu.

“puas kalian menertawaiku?” Nick berucap begitu sewot, ditatapnya temannya satu per satu melalui mata biru elangnya. Alih-alih takut, mereka malah kembali tertawa.

“tapi aku serius, kau lucu sekali.”

“apalagi ketika kau menangis saat terjatuh da─Aww” Percy memekik kencang ketika buku Nick tepat mengenai kepalanya. Ia meringis lalu mengusap-ngusap kepalanya yang tertutup rambut coklat itu.

“itu balasan untuk orang yang menertawaiku” Nick berkata.

“tapi mereka tidak” Percy menunjuk menggunakan bibirnya sementara tangannya sibuk mengelus kepalanya. Ia merasa tidak terima.

Nadia menghela napas panjang. “tapi memang benar kok, fotomu sangat lucu” tawa Nadia pecah saat mengucapkannya, padahal ia sudah mati-matian menahannya.

“kau juga, adik macam apa yang mempermalukan kakaknya sendiri?”

“adik yang sayang kakaknya” Nadia menjawab santai dengan tampang terimut yang ia punya, lalu membuka lembar selanjutnya. Ia terlihat masih berusaha menahan tawanya dengan pipi yang mengelembung.

Nick hanya bisa memutar bola matanya dan mendesis tajam melihat kelakuan adiknya itu.

“Nick” lagi-lagi Nadia berucap memanggil nama Nick, “kau tahu siapa wanita dalam foto ini?”

Beberapa kali Nadia sudah melihat foto wanita yang tidak ia kenal ikut dalam foto keluarganya. Saat itu, mungkin Nick masih berumur beberapa bulan sedang digendong oleh wanita itu dan dirinya masih di dalam kandungan mama. Nadia menganalisa, apakah itu tantenya? Atau tetangga mereka? atau─tapi setahunya semua orang yang pernah dekat dengan orangtuanya pernah berkunjung ke rumah, jadi seharusnya ia tahu kalau itu adalah kerabat dekat orangtuanya. Atau dia kerabat yang sudah meninggal? Nadia jadi bertambah penasaran.

 “wanita yang cantik” Ben berkomentar. Hal ini mengundang Thalia dan Percy untuk melihatnya juga.

“kau tahu Nick?” Nadia kembali menyentak.

Nick hanya mengangkat bahunya, lalu berusaha kembali untuk membaca.

“taruhan, bagaimana gaya Nick di foto selanjutnya?” suara Nadia seperti pelayan kafe yang menawari pelayanan pada para pengunjung, dan hal itu berhasil menarik perhatian ketiga temannya. Tanpa Nick.

“mungkin dia akan belepotan coklat.”

“atau mungkin foto saat sedang mengompol.”

Nick tak bisa menahan dirinya untuk tidak menjejali mulut Ben dengan pena di dekatnya. “memangnya aku kamu?!” katanya sewot.

Nadia membuka halaman berikutnya, foto selanjutnya adalah foto yang tidak tertebak sama sekali oleh mereka semua. Dalam foto tersebut Nick yang masih balita berpopok tidur sangat nyenyak dengan satu tangan yang memeluk Nadia yang masih dalam bedongan, terlihat seperti seorang kakak yang begitu melindungi adiknya. Nadia terlihat menarik senyumnya senang.

Suasana jadi hening seketika.

Lalu Thalia membuka suaranya, “how a sweet brother.”

 “tapi” Thalia kembali berbicara, ia mengalihkan pandangannya pada Nick dan Nadia bergantian. “kok kalian tidak mirip ya?”

Sekelumit pertanyaan dari gadis pirang itu membuat hati Nick mencelos, ia seperti terlempar dari pucak Burj Al-bar setelah susah payah ia merangkak. Seberapa banyak orang yang telah mengatakan bahwa ia dan Nadia sama sekali tak memiliki kemiripan mungkin tak terlalu penting, namun ini yang kesekian kalinya pula ia harus menjelaskan. Dan Nick mulai membuka mulut menjawab pertanyaan Thalia.

“kami memang berbeda, aku laki-laki dan dia perempuan. Jelas berbedalah” Nick menjawab dingin. tatapannya menantang Thalia untuk bertanya lebih jauh, dan lebih pribadi. Ia tidak suka, perbedaan mereka memang mendasar pada perbedaan kelamin, menurutnya.

“tapi” Thalia akan kembali menyangkal ketika tatapan membunuh Nick sepenuhnya mengarah pada manik coklat miliknya, hal ini berhasil membungkam mulut Thalia yang masih ternganga ingin berucap.

“jangan kasari sepupuku” Ben menyambar, “Bagaimana bisa ia tahu kalau kalian memang sama sekali tidak mirip.”

Nick membuang muka, menatap lantai ubin yang mengkilat di samping tempat duduknya. Ia melihat pantulan dirinya disana yang dibiaskan lampu pijar. Wajahnya yang kaku dengan rahang hampir berbentuk persegi terpantul dengan warna kekuningan buruk. Nadia dan dirinya memang berbeda, setidaknya apa yang dia katakan tadi memang benar. Nadia perempuan dan ia laki-laki. Semua sudah jelas, Nick merasa ia tak perlu bicara apa-apa lagi.

Thalia dan Ben pun tidak ada kemiripan apapun, kecuali sifat keduanya yang menyebalkan bagi Nick. Sosok gadis itu mungil dengan badan yang berlekuk-lekuk, sedangkan Ben bertubuh kurus tinggi yang tampak seperti tiang listrik. Rambut Thalia pirang, Nick curiga bahwa rambut tembaga Ben sebenarnya berwarna coklat tua. Ini sudah cukup jadi bukti kalau mereka sama sekali tidak mirip. Namun satu hal yang terlewatkan olehnya, mata keduanya sama-sama berwarna coklat dan berbentuk bulat besar. Satu hal yang sama sekali tidak dimiliki Nick dan Nadia.

Nadia tampak ringkuh, Ben berdeham menyenggol lengan Percy yang masih asyik membaca, dan Thalia terlonjak lagi seperti mendengar tembakan.

“Aku ingin membaca buku ini” ucap Thalia tiba-tiba ketika ia merasa butuh bicara namun tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Tangan kanannya mengangkat buku bersampul coklat terang yang sedari tadi berada digengamannya. Semua orang sontak mendongak, begitu juga dengan Nick.

Sebuah buku berjudul Ramalan Sinta yang ditulis dalam huruf kapital dan timbul hampir memenuhi sisi atas. Gambarnya sama sekali tidak menarik untuk membuat seseorang membacanya, sebuah apel yang digenggam sebuah tangan halus dan berkuku panjang. Sekilas hal ini mengingatkan Thalia pada novel Stephanie Mayer kesukaan. Twilight.

“Kau mendapatkannya dimana?” Nadia bertanya.

“Disana” Thalia menelan ludahnya seraya menunjuk pada rak paling ujung yang terlihat lebih gelap karena tak mendapat sinar lampu. Nadia mengikuti arah telunjuk Thalia lalu mulutnya bergumam, “oh.”

“kurasa ini buku antik” Ben ikut berkomentar.

Nick menoleh, meski enggan untuk beranjak.

Percy yang mendengar suara-suara mereka meletakkan buku bacaan dan ikut bergabung, suatu hal yag asing mengingat ia adalah kutu buku. Namun sepertinya buku bersampul coklat itu mengalihkan fokusnya.

“Kau tidak bisa berpaling dari setiap halamannya” mulut Percy bergerak mengeja kata yang terdapat pada bagian bawah.

Seketika itu juga Nick terperanjat, ia teringat pesan papa yang melarangnya membaca buku bersejarah miliknya. Mungkin buku itu salah satu yang dimaksud.

Thalia hampir membuka buku tersebut saat Nick berteriak, “jangan main-main dengan buku itu. Papa melarangku untuk jangan membaca buku bersejarah miliknya”

Suara Nick yang lantang mengalihkan semuanya, Nadia mengerutkan alisnya. “ini tidak boleh, itu tidak boleh. Sudahlah, buka saja toh hanya buku biasa.” Suara Nadia terdengar kesal dan tidak terima. Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan sumpah serapah untuk kakaknya yang menyebalkan itu.

Nick hanya mendengus kasar.

Thalia mulai membuka buku tersebut, lapisan debu tipis yang menyelimutinya luruh ketika sampulnya dibalik dan menjuntai. Tulisan pada sisi bawah benar-benar membuat mereka penasaran, tapi Nick tidak termasuk.

“tidak ada apa-apa” Thalia berkata.

“sudah kubilang kan” Nick kembali bersuara, nadanya terdengar meninggi. “buku sejarah itu sama sekali tidak menarik. Wanita sok tahu” ia mencibir dengan suara pelan di akhir kalimatnya. Meski begitu Thalia mampu mendengarnya dengan jelas, ia mencebikkan bibirnya kesal.

“aku yang mau membaca kok kamu yang sewot” katanya tak kalah ketus dari Nick. Ia lalu kembali sibuk membuka lembar selanjutnya.

Tak banyak yang dilihatnya, hanya ada gambar seperti pohon rindang yang berdiri kokoh ditengah-tengah suatu tempat, dan di bawahnya terdapat sekumpulan tulisan yang tidak di ketahui tulisan apa. Setahu mereka mereka belum pernah menemui dan mempelajari bahasa tersebut. Semacam bahasa asing yang langka mungkin.

Nadia menyernyitkan keningnya, “bahasa apa ini?”

“mungkin ini semacam bahasa Hungaria atau Hindi” Percy menyeletuk berkomentar.

Ben terbahak, “mentang-mentang kau pernah belajar bahasa itu, kau menganggap semua bahasa asing adalah bahasa Hungaria atau Hindi, huh” Ben benar-benar tak bisa menahan tangannya untuk tidak mengacak rambut coklat temannya itu. Alhasil rambut Percy berubah menjadi berantakan dan ini memicu Thalia dan Nadia untuk menertawainya, Nick selalu dalam pengecualian.

“aku kan cuma menebak” bibir Percy mengerucut berusaha membela dirinya. Namun ini tak berarti apa-apa, mereka masih tetap menertawakannya. Nick semakin mendengus sebal. Keadaan ini hampir berlangsung selama lima menit sampai akhirnya Percy menyela.

“biar kuambil ipad-ku, lalu kita bisa menterjemahkannya” katanya. Ia langsung bangkit dan berjalan menuju tangga yang tadi mereka gunakan. Lalu sosoknya menghilang setelah mencapai sisi atas.

Tak menunggu waktu lama, Percy sudah kembali dengan ipad barunya di tangan kiri, tangan kanannya memegang pegangan tangga. “yuhu!” teriaknya kegirangan sembari mengangkat benda itu ke udara.

“ayo kita terjemahkan” teriaknya lagi, sepertinya Percy ahli dalam hal teriak.

“tapi,” Thalia menyela “kalau kita tidak tahu bahasa apa ini, bagaimana kita bisa menerjemahkannya?” satu poin penting untuk pertanyaan Thalia, mereka memang tidak akan bisa menerjemahkan kalau tidak tahu darimana asal bahasa yang ingin diterjemahkan.

“jadi?” Ben menambahkan pertanyaannya.

Nadia tampak tersenyum misterius, ia lalu menoleh ke arah Nick yang sibuk duduk menyendiri sembari melanjutkan bacaannya yang tadi. “Nick” panggilnya manja, wajahnya penuh seringai misteri.

Nick mendongakkan kepalanya, Nadia belum berkata lebih lanjut, namun ia mengerti apa yang sebentar lagi akan terucap dari bibir adiknya itu. Nick merasa tidak perlu menjawab, tatapan matanya mampu mengungkapkan kalimat yag tidak tersampaikan itu.

Nadia langsung menarik lengan Nick untuk mendekat. Nick sempat mengerang kaget namun Nadia memberikan senyuman andalannya. Senyum innocent seorang anak ingusan. Hal ini berhasil, Nick tak jadi memberontak.

“kau kan pintar,” kata Nadia memberi pujian, seperti inilah cara Nadia jika ingin Nick membuatkan makanan untuknya.

“apa?” kata Nick dingin dan sewot.

Lagi-lagi Nadia memberikan senyum rayuan lengkap dengan wajah anak anjing yang kedinginan. “kau pasti tahu ini bahasa apa, kasih tahu dong” katanya sambil menunjuk pada buku di tangan Thalia yang terbuka.

Nick menatap Nadia sejenak dengan mata melebar, yang dibalas tatapan memohon dari mata coklat Nadia. Meski enggan, Nick akhirnya mendekat juga. Ia memperhatikan sejenak tulisan kecil dan berderet di bagian bawah lembar buku tersebut, tulisan yang ditulis dengan huruf latin kuno. Kalau tidak salah, Nick pernah melihat dan sedikit memperlajari bahasa itu. Ia memastikan sekali lagi, tidak salah.

“itu bahasa Latin” katanya kemudian. Semua dari mereka ber‘oh’ ria.

“nah, sudah tahu bahasanya kan?! Sekarang tinggal terjemahkan saja” Nadia kembali bergumam antusias, ia sudah duduk bersila dihadapan Thalia, mengacuhkan Nick.

Nick mendengus karenanya, adiknya itu hanya akan baik jika membutuhkannya. “aku jamin, tidak akan ada yang menarik” ia mencibir, mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Percy sibuk mengetik menyalin tulisan pada buku tersebut, agak lama karena ia tidak terbiasa menulis dengan bahasa dan tulisan asing. Tinggal sentuhan terakhir dan menunggu google translate sepenuhnya bekerja menerjemahkan ke dalam bahasa yang mereka mengerti.

“nah” Percy berseru, “ini dia”

Nadia yang paling antusias, ia memiringkan ipad itu ke arahnya, namun karena Percy tidak kuat memegangnya benda itu akhirnya terjatuh dan menciptakan bunyi ‘buk’ di atas lantai berlapis karpet bulu itu.

“kau sih” Nadia berujar jengkel menyalahkan Percy.

“enak saja” Percy tidak mau kalah, “kau itu yang merebutnya, awas saja kalau ipad baruku sampai rusak”

“sudah-sudah” Ben menengahi, sementara Thalia mengambil ipad yang masih tergeletak dilantai dengan posisi telungkup. Nick hanya menggeleng menyaksikannya.

Thalia membersihkan layar ipad kalau-kalau ada debu yang menutupi, sebelum ketahuan Percy, bisa-bisa Percy akan lebih berteriak lagi kalau tahu hal ini. Setelah itu baru ia bisa melihat dengan jelas apa yang terpampang di layar itu.

“apa artinya?” tanya Nadia, wajahnya masih terlihat jengkel, begitu juga dengan Percy.

Ben yang berada di sebelah Thalia sudah membacanya, dalam hati.

Thalia menghela napas sebelum membaca, mulutnya sudah sepenuhnya terbuka namun tiba-tiba Percy menarik ipad-nya. Thalia mendelik kaget, berusaha sebisa mungkin untuk tidak marah pada laki-laki berambut coklat itu. Ia hanya menggenggam bukunya.

“kau kelamaan” komentar Percy, ia lalu menyentuh layar ipad-nya sehingga kembali menyala. “Hal pertama yang harus kau sadari, adalah sekelilingmu” katanya kemudian membaca terjemahannya tadi. Setelah itu ia menyernyit bingung, “maksudnya?”

Lampu di tengah ruangan tiba-tiba berkelip, hidup, mati, lalu sepenuhnya hidup dalam cahaya keremangan. Semua kaget, termasuk Nick yang tersentak dan tiba-tiba kesulitan bernapas.

“ada apa ini?” suara Percy terdengar terkejut, ia melihat ke segala arah namun hanya cahaya kuning redup yang ia lihat. Tak ada satu pun yang bisa menjawab pertanyaannya tadi.

Dikungkung kebingungan seperti ini, tiba-tiba sesuatu bergerak di balik karpet lantai. Nick yang melihat paling pertama karena sesuatu itu bergerak nyaris mengenai kakinya.

“aaaa” Nadia menjerit. Sebuah pusaran tiba-tiba menghambur dari balik karpet membentuk kabut tipis nan pucat, nyaris tak kasat mata.

“ada kabut” Thalia berteriak memberitahu.

Serangan kabut yang tidak tahu berasal dari mana menyerang mereka, berputar membentuk pusaran semakin besar dan warnanya semakin pekat.

“menjauh dari jangkauan serangan,” Nick memerintah yang lain. “naik ke kursi. Jangan injak lantainya!”

Mereka kalang kabut berpindah ke sofa di pojok ruang baca. Jemari Nick menaut jemari Nadia erat dan membawanya menjauh menuju sofa. Nick bisa merasakan tubuh adiknya bergetar, itu sebabnya genggamannya semakin mengerat.

“jangkauan serangan” Ben melompat ke sofa bersamaan dengan Thalia dan Percy, mereka memegang sandarannya erat-erat.

Sofa tidak terlalu besar untuk menampung mereka berlima, Thalia berdiri di atas sofa. Ia berusaha menajamkan penglihatannya, “kabut” katanya. “apakah ini semacam serangan penyihir?”

“diamlah” Nick membentak, ia tidak suka seseorang semakin menambah keruh suasana. Ini pertama kalinya hal aneh terjadi di rumahnya, bisa saja karena gadis asing yang di bawa Ben itu, karena memang selama Ben dan Percy berkunjung tidak pernah terjadi hal aneh.

Kabut semakin bergerak cepat dan menyebar. Siapapun hampir tak dapat melihat dengan jelas lagi, ruangan ini sudah sepenuhnya terkurung kabut. Lalu pusaran itu seperti mencengkram sofa dan memakannya. Mereka semakin mengeratkan genggaman pada sofa.

Pusaran yang mengamuk tadi sudah tidak mereka rasakan. Nick mengendorkan genggamannya pada Nadia, lalu membuka matanya perlahan. Segala sesuatunya terlihat berbeda.

“dimana ini?” Thalia membuka mulut paling pertama. Keadaannya terduduk di rerumputan basah, ia terlihat sama bingungnya dengan yang lain. Sebelah tangannya menapak pada permukaan rumput sedangkan satu tangannya lagi masih menggenggam bukunya dengan erat.

Ben menyergap pandangan sekelilingnya, seingatnya mereka sedang berada di perpustakaan rumah Nick. Namun sekarang semuanya sama sekali tidak sama. Ruang terbuka hijau dengan pepohonan yang menjulang tinggi terhampar di sekelilingnya. Tempatnya jatuh terduduk juga terasa lembap dan keras.

Berbagai pertanyaan masih menyelimuti mereka semua. Nick tidak bisa menjawab petanyaan yang dilontarkan adiknya. Mengapa dan bagaimana mereka bisa berada di tempat asing dan aneh seperti ini?

Continue Reading