Heartbeat⇝

By jealoucy

4.7M 92.7K 6.1K

[SUDAH TERBIT] Berbeda dari saudara kembarnya yang mendapat seluruh curahan perhatian dari keluarga, Seraphin... More

Heartbeat⇝
2ndBeats
3rdbeats
4thbeats
5thbeats
6thbeats
7thbeats
28thbeats
detak ke-31
detak ke-32
Pengumuman
Perubahan Harga PO

8thbeats

143K 7.2K 192
By jealoucy

⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊ Heart ✽Beat ✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Dengan perlahan dia memasukkan anak kunci kedalam lubang dan memutarnya ke kanan. Setelah terdengar klik dua kali, dia mendorong pintunya terbuka dengan perlahan pula. Rumah itu bukan rumah tua yang jelek, jadi walau tidak hati-hati dan perlahanpun pintu itu tidak akan menimbulkan bunyi saat terbuka. Tapi orang itu menyukai tantangan dan pacuan adrenalin dalam dirinya ketika permainan kucing-kucingan ini berlangsung.

Awalnya dia berjalan biasa saja sampai kemudian dilihatnya siluet orang sedang tidur disofa panjang di ruang keluarga. Dia berjalan mengendap-endap dengan hati-hati layaknya pencuri menaiki tangga. Ditengah perjalanan dia berhenti, dia teringat sesuatu. Kemudian dengan salah satu senyum jahatnya dia kembali menuruni tangga dan berjalan ke dapur

Dia mencari sesuatu, apa saja asal bisa dia gunakan untuk menjalankan rencananya. Membuka laci dekat westafel dengan perlahan agar tidak membangunkan orang yang tidur di sofa, dia menemukan mangkuk plastik kecil berwarna merah, mangkuk yang biasa digunakan Bi Inah untuk menampung sambal kecap kesukaan ayah disana. Dengan senyum masih terukir dari bibirnya, dia menuangkan minyak sayur kedalam mangkuk itu sampai penuh.

Setelah itu dia kembali menaiki tangga. Pada lima anak tangga sebelum mencapai lantai atas, orang itu menuangkan minyak sayur tersebut disepanjang anak tangga kelima itu. Senyum licik itu tidak pernah pudar dari mulutnya. Setelah puas dengan hasil pekerjaanya dia tersenyum lebar membayangkan apa yang akan menimpa adik bungsunya nanti. Sebenarnya dia ingin tertawa, tapi mengingat ada seseorang yang tidur tidak jauh dari tempatnya berdiri dia memilih menahan tawanya sampai dia masuk ke kamarnya sendiri.

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

♪Throw it away, forget yesterday

We'll make it the great escape.

We won't heard a word they say, they don't know us anyway ♪

Tanganku meraba-rapa meja disamping tempat tidur mencari ponsel yang alarmnya berteriak-teriak minta dibunuh. Merasa kesal alarm itu berbunyi semakin keras dan tidak bisa aku temukan di meja itu ataupun juga dimeja satuanya, aku bangkit terduduk dan celingukan seperti anak tersesat

.

Tentu saja aku ada di kamarku dengan lampu yang masih menyala terang dan tidak terlalu rapih. Alarm ponselku berbunyi lagi dan aku baru sadar kalau aku masih pakai baju yang kemarin jadi ponselku pasti ada didalam saku jaket.

Sambil menguap lebar aku mengeluarkannya dan mematikkan alarm. Aku kemudian melepaskan semua bajuku dan menggantinya dengan baju olahraga. Makanku banyak jadi aku perlu menjaga badanku biar tidak gembul dan tetap sehat dengan berlari minimal 1mil setiap pagi buta. Tentu saja kalau aku sedang tidak malas. Setelah menguncir rambut dan mengambil iPod, aku pun keluar kamar.

Rumah masih sunyi, lengang dan gelap seperti kuburan angker. Kecuali kamar bang Rag- loh? Aku segera berlari ke kamar itu dan mengetuk pintunya. Pintu terbuka dan nampaklah bang Ragil yang sudah rapih memakai peci, baju koko dan sarung .

"Loh? Bang Agil kapan pulang dari pondokan?" tanyaku heran.

Bang Ragil atau Agil, anak ke lima yang awalnya direncanakan sebagai anak bungsu keluarga ini (Yeah, aku dan Fani itu adalah 'kecelakaan ganda'). Tadianya dia satu sekolah denganku, tapi gara-gara patah hati dia mengagetkan semua orang dengan mengatakan kalau dia ingin sekolah di pondokan. Tentu saja mengagetkan karena sifatnya itu dulu 11/12 sama bang Adid. Mama sampai membawanya menemui psikiater. Tapi dia meyakinkan oraang tua kami bahwa dia baik-baik saja dan itu murni keinginannya. Jadilah dia dikirim ke pondok pesantren di Jogja dan jarang pulang. Tiga bulan disana dia berubah total , dia jadi super alim dan bicaranya sangat sopan. Bang Adid berteori kalau otaknya sudah di cuci , sedangkan mama sama ayah sih seneng-seneng aja ada salah satu anaknya yang bisa diteladani.

"Kemarin," jawabnya singkat.

"Kok aku ngga tahu?"

"Kamu mencari tahu ngga?" Aku menggeleng. "Ya sudah." Dia kemudian menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Mau kemana?"

"Lari."

"Bukannya sholat dulu."

"Belum juga adzan."

Bang Agil melirik arlojinya. "Lima belas menit lagi."

"Aku bisa dapat 3mil dalam 15menit," ujarku sambil tersenyum dan menjauh dari pintu. "Mikum."

"Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Pulang sebelum jam 5!"

"Iya Pak Ustad."

Aku mendengar bang Agil mengguman namun aku tidak menangkapnya dengan jelas. Aku memasang earphone pada kedua telingaku dan mendendangkan Masayume Chasing bersama BoA sembari menuruni tangga. Tapi kemudian kakiku menginjak sesuautu yang basah , membuat kakiku hilang keseimbangan dan bumi rasanya jadi jungkir balik sebelum akhirnya kepalaku membentur sesuatu yang tajam dan nafasku seperti diambil secara paksa dari paru-paruku. Ah kepalaku rasanya dihantam puluhan ton batu.

Deja vu

Aku pernah jatuh dari tangga sebelumnya.

Ugh. Rasanya aku banyak sekali mengalami deja vu akhir-akhir ini. Apa itu yang dinamakan refleksi masa lalu sebelum mati?

Aku menatap langit-langit tanpa bernafas.

Ah. Aku belum minta maaf kepada mama. Aku belum membeli hadiah untuk ulang tahun Vee besok. Apa aku punya kesempatan?

"Maaf Ma, Vee," gumamku sebelum kegelapan menarikku dari rumahku..

--------⇝

Elang ⇝

▔▔▔▔

Aku melirik arlojiku, sudah pukul 06.35 tapi aku belum menemukan pemilik suara yang menyihirku sejak pertama kali mendengarnya itu. Di kelasnya hanya terdengar dua suara sahabatnya yang sialnya tidak mengungkit-ungkit namanya sekalipun.

Aku memejamkan mata dan menghela nafas panjang.

Ini buruk.

Perasaan ingin terus mendengar suara jantungnya, suaranya saat berbicara dan suara tawanya mulai membuatku terganggu. Bukan karena suara-suaranya itu jelek, tapi lebih dari apapun mereka itu unik dan menenangkan telinga serta bisa membuatku menyingkirkan suara-suara lain yang tidak ingin aku dengar. Tapi rasa ketergantungan ini sendiri yang membuatku terganggu.

Lihat saja apa yang sudah aku lakukan beberapa hari ini. Sejak dia menyiramku dengan air pel dan aku mendengar suaranya dan jantungnya itu , setiap pagi aku berdiri disini mengamati dan mendengarkan dengan seksama suara-suara darinya.

Aku tidak pernah bergantung pada siapapun , dan kenyataan bahwa aku bergantung pada orang asing untuk mensunyikan suara-suara lain disekitarku itu membuatku kesal sekaligus merasa lucu. Aku yakin sudah membuat dia menganggapku aneh dan menyeramkan detik saat aku mengiriminya SMS setelah mengantarnya malam sabtu lalu, dan dia membuatku terheran-heran karena dia masih mau berada disekelilingku. Jelas bukan sebuah reaksi yang biasa aku dapat apabila seseorang mengetahui tentang kemampuanku. Aku juga tidak habis pikir, apa yang ada dalam kepalaku sampai bertindak ceroboh begitu.

Menghela nafas panjang, aku memutuskan untuk masuk kelas saja . Aku berbalik badan membelakangi pagar dan hendak melangkah ketika samar-samar aku mendengar suara itu. Aku kembali dan melihat-lihat ke bawah memeriksa seluruh halaman parkir, tapi aku tidak menemukannya. Aku memejamkan mata dan memfokuskan pendengaranku hanya pada suaranya. Perlahan-lahan suara disekitarku mulai meredam walau tidak hilang sepenuhnya dan aku bisa mendengar suaranya.

"Ah ngga mau ah," katanya.

Ada yang aneh dengan suara jantungnya. Walaupun memang suaranya sudah aneh, tapi sekarang terdengar semakin aneh serta ritmenya tidak teratur. Aku mengerutkan dahi. Apa dia sedang sakit? Atau dia sedang mencoba berbohong?

Sial!

Ini juga salah satu alasan yang membuatku terganggu. Belum terbiasa dengan suara jantungnya membuatku susah berkonsentrasi dan susah mengetahui apakah dia berbohong , sakit, malu atau tidak. Aku belum bisa membedakannya. Padahal aku biasanya jago dalam hal ini.

"Ngga mau apanya," suara seorang wanita membentak. Wanita itu menghela nafas. "Kamu sendiri yang bilang kalau kepalamu seperti dihantam puluhan ton batu. Kita seharusnya ke rumah sakit untuk merongent kepala kamu."

Rongent kepala? Aku memang mendengar Jake memberitahu Raya kalau Sera masuk jebakan yang dipasang kakak-kakak kembarnya, tapi dia tidak mengatakan kalau adiknya itu terluka.

Aku lebih berkonsentrasi dan mengikuti darimana suara itu berasal. Aku menemukannya, didalam mobil tepat didepan gerbang sekolah.

Sera menghela nafas. "Aku kan udah bilang ke mama, aku ada remid."

"Kalau mama yang izin pasti dibolehin nunda remidi sampai besok."

"Ngga bisa , mamaku sayang. Pak Ramli mau ke luar kota nanti siang sampai minggu depan, sedangkan jum'at nanti aku udah menerima raport. Mama mau lihat nilai ekonomiku merah yah?"

Kekeraskepalaannya mengesalkan sekaligus menghibur, sungguh.

Ibunya menghela nafas. "Baiklah. Tapi janji, pulang sekolah datang ke rumah sakit."

"Aah aku benci rumah sakit mama," rengeknya. "Aku ke klinik bang Alfa aja yah?"

Dari suaranya aku tahu dia tersenyum dan bisa aku bayangkan, dengan wajah lugunya dia memohon pada ibunya.

"Sekalian mau cabut gigi, gigiku udah otek."

"Ya udah nanti mama bikin janji sama bang Alfa untukmu," kata ibunya menyerah. "Mama ngeri lihat kepala kamu itu loh."

Seketika aku menegakkan badan mendengar nada kecemasan dari ibunya. Aku siap untuk lari menghampirinya dan melihat seberapa parah dia terluka, seandainya dia tidak didalam mobil. Kenapa juga dia tidak keluar dari mobil dengan segera?

Gelak tawa Sera membuatku mengerutkan dahi. "Iya yah, ma. Mirip seperti sesuatu menanamkan telurnya dibawah kulit kepalaku." Dia tergelak lagi.

"Ngga lucu deh."

"Tch. Mama payah kayak bang Jake. Ngga punya selera humor."

"Tentu saja mama punya selera humor. Hanya saja kamu selalu membuat lelucon dari sesuatu yang tidak pantas dijadikan lelucon."

"Aku punya benjolan sebesar telur di kepalaku itu pantas dijadikan lelucon, mama."

"Tapi mengingat bagaimana kamu mendapatkannya, sampai pingsan segala, itu ngga pantas dijadikan sebagai lelucon." Ibunya mulai kehabisan kesabaran. "Cuma kamu yang bisa membuat lelucon dari rasa sakitmu sendiri."

"Yeah, cuma satu putri anda itu yang masih bisa berkelakar walau dia terlihat mengenaskan," gumamku mengingat kejadian kemarin malam.

"Siapa yang mengenaskan?"

Aku menoleh dan mendapati Ryan, si cuek Ryan satu-satunya orang yang tidak takut atau canggung berbicara denganku di sekolah ini, sedang berjalan ke arahku dengan dua tangannya dipenuhi snack dan mulutnya menggigit sepotong pizza. Dia doyan makan seperti...

"Sejak kapan lo kenal Seraphine?" tanyaku mengingat mereka sering terlihat berkumpul dan mengobrol akrab.

"Serafin dari Serafina atau Serafin dari Seraphine?" tanyanya acuh.

"Seraphine Alana."

Ryan tersenyum lebar. Pandangannya kemudian menerawang entah kemana. "My first love," ujarnya sambil mendesah.

Aku mengangkat salah satu alisku. "Terus? Elo ditolak atau gimana?" tanyaku. "Masih temenan aja sekarang." Walaupun disisi lain merasa kesal juga kalau mereka punya sejarah tapi aku penasaran.

"Gue bahkan belum sempat menyatakan perasaan gue, tapi dia udah lupa sama gue." Aku menyeringai sedangkan wajahnya menjadi murung. "Padahal yah kami sempat membangun chemistry yang aku yakin kalau aku bakal diterima seandainya aku mengatakan perasaan aku, eh dia kecelakaan."

Ini kenapa aku tidak keberatan bergaul dengannya. Dia tidak usil ingin tahu tentangku dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengganggu atau kenapa aku begini dan begitu. Dia tidak akan bertanya hal pribadi kalau orang lain tidak lebih dulu membukanya. Mungkin karena dia gampang teralihkan. Yah, sifatnya sesederhana itu.

Aku memutar bola mataku. "Lo menyalahkan kecelakaan hanya karena gagal nembak? Dasar pengecut , tumben."

"Hey emang gara-gara kecelakaan itu gue gagal nembak," ujarnya tersinggung. Kemudian sambil berbisik dia menambahkan, "Dia hilang ingatan."

Ini baru mendengar tentang ini. Aku memutar kembali ingatanku , mungkin lebih tepatnya rekaman tentang pembicaraan Jake pada Raya yang tidak sengaja aku dengar. Tidak ada, Jake tidak pernah mengungkitnya.

"Hilang ingatan? Tapi dia tidak seperti orang bingung yang tidak punya ingatan dan dalam proses penyesuaian diri."

"Yaiyalah. Orang kejadiannya waktu kita kelas 8." Ryan memasukkan segenggap chips kedalm mulutnya. "Lagian tidak semua ingatannya hilang, hanya beberapa moment dalam hidupnya saja." Ryan meneguk habis sodanya dan melemparkan kalengnya ke tempat sampah. "Namanya amnesia apaaa gitu."

Violet memilih saat itu untuk keluar dari kelasnya dan denyum Ryan langsung mengembang.

"Eh Vi, nama amnesia yang diidap sama Fina namanya apa yah?" tanya Ryan.

"Selective amnesia," jawab Violet sambil lalu.

"Aha!" Ryan menoleh padaku. "Selective amn---hmp!!"

Ryan tidak diizinkan Violet menyelesaikan kalimatnya. Violet sudah membekap mulut Ryan dengan tangannya dan memberi pelototan mata tajam dan termasuk menyeramkan untuk ukuran gadis semacam Violet; manis, cantik, dan penyayang.

Violet membuka mulutnya, tapi menyadari aku ada disana dia lalu menyeret Ryan dengan kasar sampai menjatuhkan makanan yang dia bawa.

"Hei!" protes Ryan.

Sementara Violet memarahi Ryan yang mengungkit-ungkit soal amnesia yang diidap sahabatnya , aku mengalihkan perhatianku pada suara 'dug-dug-dug' aneh dari seseorang. Sera baru saja melewati gerbang dimana Pak Jarwo sedang menutupnya. Sambil berjalan dia menggeliatkan badannya dan mengenyit kesakitan. Dia lalu memegang dahinya sambil memejamkan mata dan menghirup nafas lelah. Aku segera menuruni tangga meninggalkan Ryan dengan Violet yang sedang memperingatkan si cuek itu untuk jangan pernah mengungkit soal amnesia itu didepan Sera.

Aku menunggunya dibawah tangga. Ku dengar detak itu semakin dekat sampai akhirnya orangnya muncul. Dia sedang meraba-raba kepala belakangnya kemudian tiba-tiba memekik 'awh'. Aku memutuskan keluar dari tempatku.

"Bagaimana kepalamu?" tanyaku tanpa basa-basi.

Dia terkesiap kaget. Tapi ketika sadar bahwa itu aku, dia menghela nafas lega. "Kamu yakin kamu cuma punya pendengaran super?" Dia memandangiku dengan curiga. "Atau kamu mempunyai gerakan super cepat juga?"

Mengacuhkan sindirannya, aku kembali bertanya, "Bagaimana kepalamu?"

"It hurts like hell," gerutunya. Kemudian dia memandangku waspada. "Eh tunggu, bagaimana kamu tahu tantang kepa-?" Dia menghentikan dirinya lalu menepuk dahinya sendiri.

Aku tersenyum lebar.

Bukankah dia lucu? Dia sendiri barusaja mengungkit soal pendengaran superku dan sekarang dia bertanya bagaimana aku bisa tahu tentang kepalanya? Kasihan dahinya yang tidak berdosa itu.

Dia melanjutkan langkahnya menaiki tangga. "Apa ngga ada yang pernah bilang padamu kalau menguping itu ngga baik."

"Ngga bisa dibilang nguping juga. Aku ngga sepertimu yang hanya dengan pindah tempat atau menutup telinga bisa memblokir suara yang masuk ke telinganya."

Dia menghadapku lalu menaruh tangannya diatas salah bahuku dan memandangku dengan wajah iba. "Percayalah, aku bersimpati padamu karena hal itu," ujarnya lembut dan terlihat tulus. Namun secepat kilat wajahnya kembali tegas dan siap memarahiku. "Tetap saja namanya menguping kalau kamu hanya fokus pada satu atau dua suara!" bentaknya sebelum menghentakkan kaki dan pergi meninggalkanku.

Ah iya. Aku lupa kalau dia itu pintar.

Tertawa kecil, aku kemudian berlari mengejarnya. "Apa yang terjadi?" tanyaku begitu sampai disebelahnya.

"Jatuh ditangga," jawabnya kesal

"Boleh aku lihat?"

"Hah?"

"Luka di kepalamu. Aku ingin melihatnya."

Dia memandangku ragu, menimbang-nimbang jawaban yang akan diberikannya sembari menggerak-gerakkan mulutnya dengan lucu. Sementara aku sendiri menahan senyum sambil mendengarkan irama jantungnya dengan penuh minat. Tapi kemudian pengeras suara diatas kepalanya mengeluarkan bunyi yang memekakan telinga, membuatku mengernyit.

"Ok," ucapnya berbarengan dengan suara bell itu.

Aku mengajaknya menepi karena banyak anak-anak yang balapan lari menuju kelas masing-masing di lantai atas. Sera berbalik badan memunggungiku. Aku menyentuh kepalanya dan menyingkirkar rambutnya dengan sangat hati-hati. Dia mengarahkanku dimana lukanya berada dan aku mengerutkan dahi saat aku bertemu tujuanku.

Saat si empunya mengatakan bahwa cideranya nampak seperti sesuatu telah menyimpan telur mereka dibawah kulit kepalanya, aku bisa melihat kenapa dia bisa bilang begitu. Ada memar , ah lebih tepatnya benjolan besar dibelakang kepalanya. Dan saat ibunya bilang cideranya itu mengerikan, beliah tidak berlebihan juga. Benjolen itu memar membiru dan ada luka terbuka tak lebih dari dua senti. Kepalanya pasti membentur tepat di sudut tajam pada anak tangga.

Aku melepaskan kepalanya setelah dengan hati-hati menutupi kembali cideranya dengan rambut. "Kenapa lukanya ngga diperban sih?"

"Iih males. Nanti kepalaku keliatan lebih besar dari sekarang." Bel kedua berbunyi. "Oh shoot! Aku harus ke kelas , ada ulangan. Bye!" Dan dia dengan hampir berlari menaiki tangga .

"Jangan lari. Nanti jatuh lagi!" Dia hanya melambaikan tangannya.

Dasar.

------

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

Aku langsung tepar di mejaku begitu jam istirahat berbunyi. Kepalaku semakin nyut-nyutan saja. Selain cideraku , rasanya otakku juga mengalami gempa dengan kekuatan 7src. Sakit!!

"Udah deh sono ke UKS aja. Kalau pingsan siapa yang mau ngegotong?" kata Rally dari sebelahku.

"Aku memang mau kesana, " gumamku masih memejamkan mata.

"Akan lebih baik kalau kamu ikut mamamu ke rumah sakit tadi pagi," Vee memarahiku. "Kamu bahkan lebih pucat dari zombi."

"Kalau aku ke rumah sakit tadi pagi, kalian pasti sudah menerima berita kematianku sekarang." Aku menegakkan posisi dudukku.

Bukankah sebuah ironi? Aku benci rumah sakit dan segala sesuatu yang berada didalamnya, tapi ibu dan abang pertamaku adalah dokter. Bang Alfa bahkan sudah punya klinik sendiri bersama istrinya, kak Ayu, seorang dokter gigi.

"Kalau begitu dress code ultah ku sudah ditentukan, hitam. Sekalian merayakan dilepaskannya kamu dari derita dunia ini," kata Vee, tersenyum.

"Hm. Boleh. Kalau bisa salah satu diantara kalian pakai kostum Grim Reaper yah."

"Biar aku saja. Jadi Grim reaper 'kan tidak perlu dialog," kata Rally.

"Ngomong-ngomong soal ulang tahun, kamu belum bilang mau dirayakan dimana," tanyaku pada Vee.

"Kamu juga belum menyebarkan undangan. Tumben," kata Rally memandangi Vee dengan curiga.

"Aku ngga berniat mengundang siapapun," jawab Vee, menghendikan bahu.

Aku dan Rally saling beradu pandang lalu memandang Vee dengan khawatir. Sangat tidak biasanya. Diantara kami bertiga, keluarga Vee merupakan keluarga terkaya. Dia yatim piatu dan dibawah pengawasan pamannya yang merupakan pengusaha kaya raya sejak berumur enam tahun membuatnya sangat dimanja. Oleh karena itu, kenyataan bahwa Vee tidak mau merayakan ulang tahunnya besar-besaran seperti tahun-tahun sebelumnya terasa aneh.

"Apa Om Lukas bangkrut?" tanyaku.

"Hah?"

"Atau ada masalah dengan bisnis Om Lukas?" giliran Rally bertanya.

"Apa? Ngga. Om Lukas masih single dengan kekayaan tak terhitung."

"Trus kenapa dong ulang tahun ngga mau dirayain besar-besaran? Ngga biasanya." Aku mengangguk menyutujui Rally.

"Ya ngga apa-apa." Vee merangkul bahuku dan Rally. "Aku hanya mau merayakannya dengan dua sahabatku tercinta."

"Aw so sweet!" Aku membalas pelukan sahabatku itu.

"Kamu ngga bosen sama kita?" tanya Rally. "Aku aja kadang bosen ama kalian berdua." Sementara Vee semakin mempererat pelukannya sampai hampir mencekik Rally, aku memukul lengannya pura-pura kesal.

"Jadi? Enaknya kita kemana besok?" tanyaku.

"Kemana aja. Pokoknya ayo kita gila-gilaan," jawab Vee.

"Woke." Aku dan Rally menyetujui dengan senyum lebar grub hug..

Aku melihat Rafi sedang makan bekalnya dan itu membuatku ingat kalau aku dapat amanat dari mama. Melepaskan diri dari pelukan sahabat-sahabatku aku kemudian mengambil tas kertas dari bawah meja dan berdiri.

"Bisa tolong mintakan aku izin pada Pak Hasan nanti? Aku mau ke UKS."

"Tch. Mau makan ajah pergi ke UKS. Takut banget yah kita ngabisin?" kata Rally sambil mengamati tas kertas di tanganku.

Aku tertawa. "Bukan begitu , Rally sayang. Tapi ini punya Fani. Ini mau dianterin sekalian," kataku.

"Kenapa kamu yang bawain? Emang dia ngga punya tangan?" Seperti biasa, Vee selalu sinis dan wajahnya cemberut kalau nama saudaraku itu disebut.

"Semalam dia nginep di rumah Sasha terus tadi pagi berangkatnya buru-buru, ngga sempet sarapan jadi-" Vee mendengus memotong omonganku. Aku memutar bola mataku. "Ya udahlah yah. Sampai jumapa di jam pelajaran ke empat," ujarku sambil melangkah keluar.

Aku memasuki kelas Fani yang suasananya mulai sepi. Aku menyapukan pandanganku sambil berjalan menuju dimana kakaku duduk.

"Thank yooouuu!!" ujar Fani antusias saat aku meletakan tas kertas didepannya.

"Eh Fina, katanya kak Ragil pulang yah?" Elisabeth memandangku penuh harap. Anak ini sudah naksir bang Agil sejak SMP, namun sayangnya bang Agil melirik ke arahnya saja tidak pernah. Anak malang.

Aku mengangguk dan dia bersama Sasha menjerit kegirangan. Bukannya Sasha naksir abangku juga, tapi dia adalah jenis seorang sahabat yang sangat suportif dan setia. Jujur saja, dari semua sahabat-sahabat Fani aku paling menyukai Sasha. Dia selalu bersikap sopan dan ramah padaku. Tidak seperti yang lain yang terkadang mentang-mentang hanya karena berteman dengan kakaku yang unggul mereka akan memandang rendah diriku. Sok.

Aku mengedarkan pandanganku kesegala penjuru ruang kelas tapi tidak juga aku temuakan siluet yang familiar itu.

"Nyari siapa?" tanya Fani sambil mengunya.

Aku menggeleng. "Ngga nyari siapa-siapa." Aku kemudian pamit.

Saat menuruni tangga, aku berpegang erat pada pagar pembatasnya. Berjalan menuruni tangga dan getaran-getaran yang timbut disebabkan oleh hal tersebut membuat pening dikepalaku kambuh lagi. Padahalkan tadi sudah hampir hilang sakitnya. Ugh.

Sesampainya dilantai satu, aku kemudian berbelok diujung koridor setelah ruang guru. Aku kemudian berjalan menuju gedung terpisah dan terkucilkan yang hanya digunakan sebagai perpuskaan, UKS dan Laboratorium . Menyeberangi taman belakang sekolah dimana terdapat banyak tanaman obat dan sayur yang ditanam para siswa tumbuh dengan subur -terimakasih pada mang Ujang- membuatku teringat pada halaman sambing rumah Budek Vivian, dan aku jadi teringat eyang Ezra, dan aku jadi sebal. Aku mempercepat laju kakiku, ingin lari tapi sepertinya aku bakal pingsan sebelum sampai di UKS jadi aku jalan cepat saja.

Aku memotong jalan. Menginjak-injak rumput hijau nan indah serta beberapa batang kangkung yang tertanam didepan UKS sambil terus mengucapkan maaf pada tanaman yang tidak berdosa itu. Sebenarnya bisa saja aku tetap pada jalurku dijalan setapak dari batu-bata yang tersusun rapi yang memang berfungsi agar para siswa tidak menyiksa tanaman disekitarnya, tapi kalau aku tetap di jalurku berarti aku harus melewati perpus sebelum sampai di UKS dan aku tidak mau. Perpustakaan selalu menjadi tempat paling menyeramkan disekolah setelah toilet perempuan di lantai dua. Dengan pencahayaan yang minim dan terdapat buku-buku dengan bau apek dan pengap (menurutku) membuatku tidak pernah betah disana lebih dari 5 menit. Apalagi ditambah pohon beringin besar yang usianya sangat misterius yang tumbuh dibelakang perpus. Hiiih.

Selain perpustakaan menyeramkan yang harus aku lewati seandainya tetap dijalur yang disediakan, aku juga harus melewati Lab. Rasanya aku selalu melihat kodok-kodong dan tikus yang perutnya terkoyak sedang berpesta di meja. Kalau informasi ini mengganggu, jangan hiraukan. Terkadang imajinasiku memang absurb dan menakutkan ,bahkan untuk diriku sendiri.

UKS sepi. Miss Hanum yang biasanya bertugas disini tidak ada. Mungkin dia sedang ngerumpi bersama Miss Daharti di perpustakaan. Kalau begitu aku harus mencari obatku sendir, walau sebetulnya bayangan minum obat itu lebih mengerikan dari kodok dan tikus yang perutnya terkoyak. Aku mendatangi lemari obat dan mulai mencari obat penghilang rasa sakit.

"Dari tadi aku bertanya-tanya kapan kamu akan datang kesini."

Aku menjatuhkan sebotol paracetamol dari tanganku saking terkejutnya oleh suara yang tidak terduga itu. Aku memutar badanku sembari memegangi dada kiriku kalau-kalau jantungku memutuskan untuk melompat keluar aku siap menangkapnya. Elang yang menyeringai sedang duduk bersila diatas salah satu tempat tidur sambil menopang dagu diatas kepalan tangan yang bertumpu pada paha kanannya.

"Kamu!" bentakku sambil melotot pada orang yang muncul entah dari mana itu.. "Berhenti memperpendek umurku."

Dia tergelak lalu turun dari tempat tidur. "Apa maksudmu aku memperpendek umurmu?"

"Selalu muncul tiba-tiba layaknya hantu jin dan mengejutkanku seperti itu serta tadi pagi. Aku bisa kena serangan jantung dini tahu," gerutuku kesal.

"Bukan salahku kamu ngga menengok kedalam tempat tidur yang bertirai," ujarnya beralasan.

"Tentu saja itu salahmu yang ngga mengeluarkan suara sedikitpun untuk mengumumkan kehadiranmu."

"Baiklah. Aku akan menyewa marching band sekolah sebagai tanda kehadiranku untukmu lain kali."

Aku memutar bola mataku lalu berjongkok untuk memunguti pecahan botol obat yang berserakan dilantai tapi Elang menghentikan tanganku.

"Nanti kamu melukai dirimu sendiri lagi," ujarnya menggoda.

Aku menarik tanganku dari genggaman tangannya dan membuang muka. "Huff! Aku tidak seceroboh itu," kataku membela diri.

Elang mengambil sapu dan pengki lalu tanpa berkata apapun dia membereskan pecahan-pecahan kaca serta cairan yang paracetamol yang tumpah dilantai sementara aku hanya berdiri disana tidak melakukan apapun. Merasa tidak nyaman diperlakukan seperti itu, aku segera merebut pengki yang berisi sampai dan mengambil alih proses bersih-bersihnya. Tentu saja dia berusahaa mengambil pekerjaan itu kembali tapi aku bersikeras bahwa ini tanggung jawabku karena aku yang memecahkan botolnya jadi aku yang harus membereskannya.

Aku bukannya tidak sadar bahwa dia memperhatikanku, tapi aku memilih untuk pura-pura tidak tahu dan berkonsentrasi pada tugas ditanganku saja. Namun saat aku aku balik dari membuang sampah diluar dan memergokinya masih memperhatikanku, aku memilih untuk mengkonfrontasinya.

"Apa lihat-lihat dari tadi?" tanyaku sambil berkacak pinggang di ambang pintu.

Tersenyum miring, Elang hanya menggeleng dan kembali ke tempat tidur dan merebaahkan dirinya sendiri disana. Aku kembali ke lemari obat karena kepalaku kembali nyut-nyutan.

"Sedang apa kamu disini?"

"Nunggu kamu."

Aku menoleh dan memandangnya curiga. "Apa mengejutkanku sudah menjadi hobi barumu?"

Dia tersenyum lebar lalu menggeleng. "Bukan. Tapi bisa dikatakan sebagai hiburan favoritku yang baru."

Aku menggeram sebelum kembali mencari obat. "You're so mean. Go away," gumamku.

Aku menemukan ibuprofen, lumayan lah. Mengeluarkan dua tablet sekaligus, aku kemudian mengambil air dari dispenser disamping lemari obat lalu meneguknya bersama obat. Setelah menyetel alarm pada ponselku untul menyala pada jam pelajaran ke empat, aku merebahkan diri ditempat tidur juga. Jangan salah paham, disini ada tiga buah ranjang besi yang tersedia. Elang tidur di ujung dekat dinding sedangkan aku didekat pintu, jadi masih ada ranjang kosong yang memisahkan jarak kami.

Sialnya punya luka dibelakang kepala adalah kita tidak bisa tidur terlentang, jadi aku memiringkan badanku ke arah Elang -karena kearah ointu terlalu terang- lalu memejamkan mata. Beberapa lama aku memejamkan mata Elang tidak bersuara membuatku akan mengira kalau dia tidak ada seandainya aku tidak diam-diam mengintipnya dari mataku yang terpejam. Memang dia diam dan seharusnya aku senang karena aku kesini untuk tidur, tapi entah kenapa kebisuannya malah menggangguku.

"Serius deh, ngapain kamu disini?" tanyaku pada akhirnya.

"Aku sudah bilang 'kan kalau aku menunggumu."

Walau aku merasakan ada kupu-kupu terbang yang menggelitik didalam perutku, aku memaksakan untuk mendapat jawaban yang jelas kali ini. "Iya tapi kenapa?"

"Untuk melihat siapa yang menang taruhan," jawabnya ringan.

Kupu-kupu dalam perutku langsung mati dan aku bangkit duduk , memandang sebal padanya. "Kamu membuatku jadi bahan taruhan?" tanyaku, menjaga nada suaraku agar tetap datar.

Elang mengangguk ringan tanpa dosa. Aku melihat kesekeliling ku, memeriksa kalau-kalau ada orang lain bersembunyi tapi aku tidak menemukan siapapun.

"Taruhan sama siapa?"

"Taruhan antara logika dan instingku," jawabnya masih menatap langit-langit.

Kali ini aku mengerutkan dahi memandangnya. "Kamu melakukan taruhan antara logika dan instingmu?"

Elang mengangguk sementara aku merasa lucu dengan tindakannya itu. Sambil tersenyum aku kembali merebahkan badanku.

"Logika dan intingmu bertaruh soal apa?" tanyaku.

"Kan dari awal aku sudah mengatakannya. Soal Kapan kamu akan sampai disini."

"Oh?" Untunglah bukan taruhan-taruhan yang aneh. "Jadi siapa yang menang, logika atau insting?"

Elang bangkit dan duduk bersender pada tembok menghadapku. "Logika bilang kamu harusnya seperti gadis yang terluka lainnya tidak akan bertahan sampai jam pelajaran pertama dan akan langsung lari kesini mengingat betapa pusingnya kepalamu."

Aku mengangguk-anggukan kepala. "Sudah dipastikan kalau si Logika kalah karena aku selalu mendefinisikan diri sendiri sebagai gadis yang berbeda," ujarku serius. Elang tergelak. "Bagaimana dengan Insting? Dia mendapat hadia apa sebagai pemenang?" tanyaku masih dengan nada serius.

Elang menggeleng. "Aku tidak yakin kalau dia menang juga."

"Oh ya? Emang bagaimana tepatnya yang ditaruhkan si Insting?"

"Insting bilang; mengingat bagaimana keras kepalanya seorang Seraphine Alana, dia mungkin akan mencoba bertahan tetap dikelas dan mengikuti pelajaran," jawabnya. Dia kemudian memandangku dengan kepalanya sedikit miring. "Sepertinya dia lupa kalau Seraphine Alana ngga menyukai pelajaran Fisika."

Mendengar itu aku langsung tertawa , benar-benar tertawa terbahak-bahak. Rasanya ada yang menggembungkan hatiku, dia membuatku tersanjung. Bagaimana dia bisa tahu aku tidak suka Fisika?

"Well, menurutku si Insting masih tetap jadi pemenangnya karena awalnya aku memang berniat tetap di kelas kalau bukan pelajaran Fisika yang seharusnya merupakan rahasia bahwa aku tidak menyukainya."

"Menurutmu begitu?" Aku mengangguk ,masih dengan senyum lebarku. "Baiklah. Kalau begitu aku harus mengabulkan keinginan si Insting sebagai hadiah."

"Dan apa itu keinginan si Insting?"

"Itu rahasia."

"Apa, kenapa? Ngga adil ah. Kan aku yang jadi bahan taruhannya, aku berhak tahu dong."

Elang tersenyum miring. "Ngga ada aturan seperti itu. Yang ada justru obyek taruhan tidak boleh mengetahui apapun menyangkut taruhan itu sendiri."

"Kamu sudah melanggar satu aturan dengan memberitahuku perihal taruhan itu. Ngga ada salahnya sekalian memberitahuku apa hadiahnya."

Elang nampak berpikir. "Masih tetap tidak." Aku manyun dan Elang sambil tersenyum turun dari tempat tidur lalu berdiri disamping tempat tidurku. "Kamu harus tidur."

"Aku tidak akan memejamkan mata sampai kamu memberitahuku," kataku ,menatapnya dengan keras kepala.

Dia berjongkok sehingga nata kami selevel. "Mau aku nyanyikan sebuah lagu?"

Oh sweet.

Tidak! Jangan tergoda.

Aku menggeleng dan malah semakin melebarkan mataku. Elang tertawa kecil kemudian menutup kedua mataku dengan salah satu telapak tangannya yang besar. Aku mencengkeram pergelangan tangannya namun tidak melakukan apapun kecuali bertahan disana. Sebenarnya aku ingin menyingkirkan tangannya dari mataku, tapi aku agak terlalu banyak menyukai bagaimana rasanya kulitnya menyentuh kulitku.

"Tutup matamu. Tidur."

Seperti dirapalkan mantera, aku menuruti perkataannya. Dan tidak lama kemudian aku tidak ingat atau memikirkan dimana aku tidur.

Continue Reading

You'll Also Like

9.8K 909 6
A short story about Arcello dan keenam saudaranya. Cerita yang dibuat sederhana untuk mencapai akhir yang bahagia. "Gak ada yang perlu disesalin. Per...
18K 2.5K 56
Alex : Si adonis dengan tatapan tajam. Keinginannya untuk membalas dendam pada akhirnya kalah oleh rasa cinta. Hana : Si pemikat dan pemberani. T...
7K 505 71
Antologi pertama dari Ode Marjinal.
27.9K 2K 74
A little secret With little lies In little note From little heart Ketika bibir enggan terbuka, tapi hati tetap merasa. Ketika senyum terukir, tapi lu...