H A R A

By aiyanasha

129 45 84

/beruntung hujan dan pelangi bertemu. Membuat lensaku tak lagi malu membidik objek pengusir sendu satu tahun... More

|2| abcd about plan
|3| ?
|4| d-day! but bad day
|5| glass and bloods
|6| kopi panas

|1| tentang rasa

66 19 54
By aiyanasha

tentang    rasa    yang    terpaksa

-


"Come on!!!"

Teriak seorang gadis yang tengah menggenggam tongkat mayoret. Matanya berbinar-binar terang, diiringi senyumnya yang terus mengembang. Dari sorot matanya, ia tengah meyakinkan teman-temannya untuk terus berlatih walaupun teriknya sinar matahari tidak bisa diajak berkompromi.

Bulir-bulir keringat berhasil membanjiri wajah orientalnya. Kulitnya bersinar tatkala terkena pancaran sinar matahari, begitu juga dengan bibir mungilnya yang terus berkilauan walaupun tanpa usapan lipsgloss.

"Adiraaa!"

Senyum yang sedari tadi menghiasi wajahnya semakin memudar. Enyah entah kemana setelah mendengar suara yang tidak asing di telinganya.

Ia melirik ke berbagai arah, mencari dimana sumber suara itu berada."Bentar ya." ucapnya setelah menemukan sosok yang memanggilnya barusan.

Ditatapnya laki-laki jangkung yang kini berdiri di depannya dengan membawa kotak yang entah apa isinya, Adira tidak ingin tahu. "Kenapa Wil?"

"Gue barusan dari kantin, nih gue beliin makan. Lo pasti belum makan kan?" Ia menunjukkan senyum andalannya. Manis, bahkan sangat manis seperti senyawa aspartam. Hidungnya yang bangir membuat iri siapa saja yang melihat, matanya benar-benar sipit seperti bulan sabit. Tidak heran, ia mewarisi darah Chinese dari sang ayah. Sedangkan ibunya, orang Jerman asli yang tinggal di Indonesia karena urusan pekerjaan. Warna bibir elipsnya sangat kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat, ditambah lagi satu aksen pemikat yang selalu diumbarnya dimana saja ia berjalan. Gigi gingsulnya, salah satu alasan kenapa senyumnya semanis pemanis buatan.

"Oke. Thanks ya." singkat padat jelas. Adira tidak ingin berlama-lama menjadi pusat perhatian.

Satu bulan berlalu ia sudah menjalin hubungan dengan Wildan, salah satu anggota tim basket yang paling digandrungi semua siswi di Alfadia High School. Banyak yang mendukung hubungan mereka, tapi juga tidak sedikit yang menggunjing dan menghujat. Serba salah.

Mungkin kebanyakan dari mereka yang mendukung hubungan Wildan dengan Adira, karena Adira memang sangat cantik dari berbagai segi dan sisi. Dari segi prestasi, sudah jangan diragukan lagi. Baru saja, Adira memenangkan olimpiade di bidang Ekonomi. Dari segi nonakademik, Adira juga aktif di beberapa organisasi. Pramuka salah satunya.

"Eits, cuma itu?" ia berhasil meraih tangan Adira yang terburu-buru meninggalkannya.
Adira sebenarnya tidak tahan menjadi pusat perhatian siswa-siswi yang berlalu lalang di lapangan.

"Sorry Wil, gue harus latihan." Tangannya berusaha melepaskan genggaman Wildan di lengan kanannya.

"Besok di final pertandingan basket, lo dateng kan?" Adira menghentikan langkah kakinya, kemudian berbalik menatap Wildan yang masih berdiri di tempatnya semula.

"Em...." Adira baru saja ingat, lusa ialah hari ulang tahun Nata. Ia tidak mungkin meninggalkan momen bahagia sahabatnya untuk melihat Wildan di pertandingan basket. "Em, gue nggak bisa janji. Karena lo tau sendiri kan, gue harus gladi bersih buat kompetisi drumband di Karnaval besok."

Wildan memutar bola matanya, merasa jenuh dengan semua alasan Adira. Di pertandingan semi final kemarin Adira tidak ada di barisan penonton. Mungkin terlambat datang, pikir Wildan meredakan emosi. Tapi sampai pertandingannya selesai, Adira masih tidak ada di bangku penonton. Karena, waktu itu Adira tengah menjenguk nenek Arisha yang terbaring sakit di rumahnya, Bogor.

"Bagaimana pun caranya, lo harus dateng. Kalo enggak, lo bakal tau sendiri." langkahnya semakin jauh. Kini Wildan yang meninggalkan Adira.

Adira hanya bisa berdebat dengan pilihan beserta pertimbangannya yang terus berputar-putar di benaknya semenjak Wildan melangkah pergi.

"Ck! Oh God!" dengus Adira sebal.

***

Adira Anandita Raveena atau kerap dipanggil Adira itu sedang duduk di bawah pohon rindang yang berada di taman sebelah lapangan utama kampus AHS. Pikirannya masih terbang kemana-mana, sama halnya awan yang sedang dilihatnya saat ini. Terus merangkak kemana saja mengikuti arah angin berhembus.

Ini bukan masalah hati yang sederhana, melainkan perasaan yang tidak terdefinisikan dengan kata maupun frasa. Bagaimana bisa, hatinya mengatakan tidak ada apa-apa. Lantas, di sudut mana nama Wildan berada?

Yang ia pikirkan sekarang hanya dua pilihan yang sama-sama pentingnya. Menonton Wildan bertanding, atau merayakan ulang tahun Nata.

Hafidzan Fakhri Ananta. Salah seorang sahabatnya sejak menempuh pendidikan di sekolah dasar. Sosok laki-laki yang merangkap tugas sebagai ayah, kakak, dan sahabat di hidupnya. Ayahnya sudah kembali ke sisi-Nya saat Adira masih kelas dua SD. Dan saat itu pula, Nata ialah orang yang menemukan dirinya menangis di pojok gudang buku bekas.

Waktu itu benar-benar hari terburuk bagi Adira, harus merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan oleh seorang yang dianggapnya super hero. Ia tidak tahu, bagaimana cara Nata menemukan dirinya. Padahal, gudang buku bekas di sekolahnya ialah tempat yang sangat dikeramatkan.

Waktu itu, Adira sempat berfikir bahwa hari itu dirinya akan mati dan ikut bersama ayahnya ke surga. Karena ia melihat siluet seorang laki-laki yang berdiri memegang tongkat. Ia berdiri membelakangi cahaya. Seketika, Adira sangat senang karena ia berfikir permintaannya satu menit yang lalu untuk ikut mati dan bersama ayahnya akhirnya terwujud. Tapi, ia salah. Siluet seorang laki-laki memegang tongkat itu ialah anak laki-laki seumurannya. Ia membawa tongkat pramuka untuk meraba-raba sekitar supaya tidak tersandung buku atau apalah benda di dalam gudang. Karena di gudang buku bekas memang gelap, tidak ada cahaya sedikit pun.

"Hai, ada orang? Aku mendengar seorang anak kecil menangis. Aku harap bukan hantu."

Adira tertawa kecil tatkala mengingat ucapan Nata saat itu di gudang buku bekas. Ia ingat betul, apa saja yang diucapkan Nata. Dan ia tidak mau melupakannya sampai kapan pun.

"Keluarlah, aku mulai takut."

Adira kembali tertawa sendiri. Beberapa anak yang berada di taman menatap Adira bingung. Lima menit yang lalu, ia nampak begitu murung. Tatapannya kosong, pikirannya sibuk dengan dunianya. Tanpa memperdulikan orang yang berlalu lalang.

Waktu itu, saat Nata berbalik dan hendak pergi dari gudang, Adira berusaha untuk bicara. Tapi kerongkongannya begitu kering, ia habiskan seluruh tenaganya untuk menangis. Sehingga ia hanya mampu berdeham.

"Siapa disana, sebutkan namamu! Setidaknya kalau kamu mengatakan namamu, berarti kamu bukan hantu. Tenang saja, aku pahlawan yang akan menolongmu."

Lagi-lagi Adira terkekeh geli, mengingat kembali bagaimana dirinya dan Nata bertemu.

"D-dira." jawabnya lemah. Tapi mungkin masih bisa terdengar dalam jarak tiga meter.
Kemudian, Nata mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke lantai tiga kali. Sebenarnya ia masih tidak paham apa tujuannya. "Jika kamu manusia, majulah dan pegang tongkatku."

Dengan sisa tenaga, Adira berusaha sekuat mungkin untuk bangun dan meraih tongkat yang di ketuk-ketukkan Nata tadi. Akhirnya ia dapat meraihnya, dan saat itu pula Adira melihat wajah Nata, yang katanya seorang pahlawan.

"Kenapa kamu menangis. Ayo ikut aku pergi dari sini, kamu mau jadi temannya hantu?"
Semenjak kejadian itu, Adira dan Nata berteman akrab. Dan ternyata, ayah Nata ialah partner bisnis Serena−Ibu Adira. Setiap waktu mereka habiskan bersama, walaupun hanya bercengkrama tidak ada arah yang penting untuk diicarakan.

Seketika, hatinya mengatakan untuk merayakan ulang tahun Nata. Tapi tiba-tiba, perasaannya kembali dipusingkan oleh kalimat Wildan. Bagaimana pun caranya, lo harus dateng. Kalo enggak, lo bakal tau sendiri.

Danesh Hwan Wildan, anak XI IPA 3 yang mayoritas isinya orang-orang bermandikan harta dan tahta. Sama halnya Wildan, anak dari Presdir Bank Danamon, Hwan Lee Hyun.
Semua orang menganggap Adira sangat beruntung bisa berkencan dengan Wildan, si anak Presdir yang hartanya tidak akan habis sampai tujuh turunan, si anak basket yang sangat terkenal sampai seluruh wilayah Jakarta, si ketua Stevasa Alvador -nama tim baseball kebanggaan Alfadia High School, dan tentunya yang paling menonjol adalah wajahnya yang tidak dapat didefinisikan lagi ketampanannya.

Tapi bagi Adira, hubungannya dengan Wildan tidak ada apa-apa. Adira tidak menaruh rasa, bahkan perasaan yang biasa orang lain sebut cinta. Hatinya benar-benar hampa. Satu bulan berlalu, tapi Adira tidak merasakan apapun. Baginya, dirinya selama ini hanya mengikuti apa yang dilakukan Wildan. Saat Wildan menyatakan perasaan kemudian tersenyum, Adira juga ikut tersenyum tapi tidak bisa membalas getaran perasaan Wildan. Dan ketika Wildan menggandeng tangannya, ia juga mengeratkan genggamannya. Tapi, masih tidak ada rasa apa pun. Katanya, jika sepasang kekasih bergandengan tangan akan merasa senang, tenang, dan bahagia. Tapi Adira tidak. Semua itu biasa saja baginya.

Adira merasa dirinya egois, benar-benar egois. Ia tidak bisa memilki rasa yang sama seperti Wildan kepadanya. Bagaimana jika nanti Wildan tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Disisi lain, ia tidak mau melihat Wildan sakit hati karenanya. Karena dari gosip yang viral di AHS, Wildan si ice boy itu belum pernah pacaran. Boro-boro pacaran, berinteraksi secara akrab dengan cewek di kelasnya saja hampir tidak pernah.

Tak terasa, langit memuntahkan rintik air. Padahal di wheater tidak menunjukkan tanda-tanda akan hujan hari ini, sama halnya hati setiap manusia yang tidak bisa ditebak dan selalu berubah-ubah selagi Tuhan berkehendak.

Semua anak yang sedari tadi beraktivitas di taman kini berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Kecuali Adira. Ia masih duduk ditempatnya, merenungi perasaannya sendiri. Kepada siapa hatinya berlabuh. Jika nanti bukan Wildan orangnya, apakah ia akan menggoreskan luka di hati orang yang selama ini menyayanginya. Apakah ada karma yang kelak ia rasakan akibat perbuatannya saat ini?

Adira hampir saja terjatuh saat seseorang menarik tangannya tanpa permisi. Matanya tidak bisa melihat dengan jelas karena terhalang hujan yang semakin lebat. Tapi dengan indera perabanya, Adira bisa merasakan yang menarik tangannya adalah seorang laki-laki.

Saat ia sudah berada di koridor kelas, orang itu menghilang, Adira belum sempat memperhatikannya secara detail orang yang menariknya tadi. Mungkin karena banyak anak yang berdesak-desakan untuk berteduh.

"Adira, lo abis hujan-hujanan?" celetuk anak perempuan yang jaraknya tidak jauh dari tempat Adira berdiri.

Matanya masih sibuk mencari-cari sosok yang menariknya tadi, otaknya sedang mencerna kejadian yang barusan terjadi. Apakah hanya ilusi, karena dirinya sedang berhalusinasi?

"ADIRAAA!"

karena merasa pertanyaannya tidak digubris oleh Adira, perempuan dengan poni sedikit berantakan itu sudah kehabisan kesabaran. Ia sengaja mendorong tubuh Adira yang mungil itu ke arah kerumunan anak hingga membuat kegaduhan.

Adira menoleh kasar. "Arisha! Apaan sih!" protesnya tidak terima.

"Lo yang apaan, daritadi celingukan kaya orang ilang. Bajunya basah lagi, kalo lo sakit gimana?! Inget, lombanya satu minggu lagi!"

Kata demi kata yang ia lontarkan benar-benar persis seperti mamanya lakukan setiap kali ia pulang ke rumah.

Berteman selama bertahun-tahun memang membuat Arisha bersikap seenaknya. Terkadang menjadi seorang kakak, terkadang menjadi sahabat yang baik, menjadi guru saat kegiatan belajar malam, tak jarang juga menjadi musuh adu pendapat.

Sebenarnya Adira dan Arisha sudah saling mengenal saat usia mereka lima tahun. Tepat saat mereka masih TK. Sayangnya, saat masuk SD, Adira memutuskan ikut bersama Serena di Jogja. Karena perpisahan kedua orang tuanya, Adira harus berpisah dengan Arisha yang tinggal di Jakarta.

Baru setelah lulus SD, Adira memutuskan kembali ke Jakarta, karena Serena juga harus mengurus bisnis butiknya yang sekarang mempunyai cabang di kota besar Indonesia. Salah satunya Jakarta.

Pertemuan mereka juga sangat kebetulan, Adira tidak tahu akan bertemu kembali dengan Arisha dan bersekolah di tempat yang sama. Si perusuh waktu tidurnya enam tahun yang lalu, si anak ingusan yang hobi menangis, si gadis kecil yang suka sekali dengan segala macam olahan buah stoberi, dan seorang gadis yang kini sudah tumbuh dewasa. Bukan lagi gadis manja, tapi gadis cantik yang selalu ada disampingnya, bersamanya. Bersama-sama saat tertawa, bersama-sama saat menangis, dan bersama-sama di setiap waktu yang tidak akan terlupakan.

"Iya gue juga tahu kalo lombanya satu minggu lagi." jawabnya ketus, tangannya sibuk mengusap-usap bajunya yang basah kuyup. Untung saja seragam yang ia gunakan terbuat dari bahan yang tebal, tidak tembus pandang.

Arisha mendengus kesal. "YA TERUSS, kalo udah tahu kenapa malah hujan-hujanan? Waktu di Jogja dulu nggak pernah hujan-hujanan atau gimana?!"

"Waktu di Jogja dulu gue bahagia banget ye, makanya jangan sok tahu!" Adira mencibir seperti biasanya, kebiasaan yang sangat dibenci Arisha.

Arisha menarik paksa tangan Adira. Melewati kerumunan anak di koridor bawah AHS yang konon sangat viral karena ke aestethickan desain bangunannya.

Bangunannya masih mengandung unsur klasik, tapi tidak menghilangkan desain modern yang sangat megah dengan ornamen-ornamen perak yang sangat serasi dengan warna cat putih abu-abu.

"Sha, mau kemana?" tangannya tak berhenti berusaha melepaskan genggaman Arisha yang sangat kuat.

Tapi tiba-tiba Arisha berhenti tepat di depan pintu kelas XI IPA 3, ia mematung di depan sosok Wildan yang jauh lebih tinggi 20 cm darinya. Perlahan genggamannya merenggang.

Wildan melirik perempuan di belakang Arisha yang sudah basah kuyup, bibirnya pucat, badannya terlihat menggigil karena dingin. Matanya menangkap gerakan jari-jarinya yang tremor.

Rasa khawatir merayapi tubuhnya. Membuat otaknya tidak bisa berfikiran jernih. Ia langsung menarik tubuh Adira dan menggendongnya, tanpa memperdulikan anak-anak di sekitarnya yang berteriak histeris. Begitu juga Arisha yang sangat kaget karenanya.

"Wil, Wil! Lo udah gila ya! Turunin gue sekarang!" berontak Adira menendang-nendangkan kakinya. Tapi apa boleh buat, tubuhnya yang mungil bukan sebuah kendala bagi Wildan yang bertubuh atletis dan tinggi itu.

Arisha. Ia masih mematung di tempatnya tadi, ia masih tidak percaya Wildan menggendong paksa Adira di hadapan anak-anak lainnya. Padahal, Wildan sangat terkenal karena sikap dinginnya terhadap perempuan. Ia pernah disumpahi salah seorang kakak kelas perempuan yang sangat menyukainya, tapi ditolak mentah-mentah oleh Wildan di hadapan banyak orang. Dan luka itu juga dirasakan siswi-siswa yang mengidolakan Wildan. Tapi sekarang? Ia malah berperilaku seolah bukan seorang Wildan yang dingin.

"Wil, Lo mau bawa gue kemana?! TURUNIN GUE ATAU GUE GIGIT TELINGA LO SEKARANG!!!"

"Yaudah, tinggal gue gigit pipi lo sekarang. Gimana? Impas kan?" lagi-lagi ia menunjukkan gingsulnya.

Pipi Adira memerah. Bukan karena tersipu malu melihat pesona Wildan, tapi karena sebentar lagi ia akan menangis. Adira sangat benci menjadi pusat perhatian.

Air matanya menetes perlahan. Tidak bisa ditahan lagi butiran air mata yang sedari tadi memenuhi kelopak matanya.

Menyadari Adira menangis, membuat Wildan bertambang bingung dan panik. "Ra, Lo kenapa nangis?" Ia masih menggendong Adira.

"Turunin gue sekarang!" ucapnya lirih. Tapi masih bisa didengar oleh telinga Wildan.
Perlahan, Wildan menurunkan Adira dan berusaha menenangkannya. Tapi gagal, Adira masih menangis. Baru kali ini, Ia melihat gadis menangis di hadapannya tanpa mengetahui alasannya.

"Hey, kenapa?"

"Gue nggak suka cara perhatian lo ke gue."

"Tapi gue khawatir lo kenapa-kenapa. Gue tau tangan lo tre-"

"Gue nggak suka Wil! Gue nggak suka."

Dalam hati, Wildan yakin perbuatannya tadi sama sekali tidak salah. Ia ingin memperlihatkan rasa perhatiannya kepada Adira. Perempuan yang benar-benar melunakkan hatinya yang terkenal seperti batu.

"Gue yakin kalo gue nggak gendong tadi, lo bakal nolak gue ajak ke UKS. Sebenernya salah gue ke elo itu apa sih?! Lo seharusnya bersyu-"

Lagi-lagi Adira memotong ucapan Wildan."Karena gue sama sekali nggak punya rasa!"

Wildan mematung. Tubuhnya terasa tidak memilki tulang yang menopangnya untuk berdiri. Respon otaknya terhadap kalimat Adira begitu lambat, membuatnya seperti orang linglung. Berkebalikan dengan dadanya, rasa sesak menyeruak dengan cepat. Ada sesuatu yang menghantam hatinya begitu keras.

"Mak-maksud lo?" Ia berharap salah mendengar, atau Adira hanya bercanda.

"Selama ini gue nggak punya perasaan apapun Wil."

Tidak. Pendengarannya tidak salah, tapi hatinya. Selama ini hatinya salah, sangat terobsesi dengan Adira.

"Lo bercanda kan?"

Air matanya kembali menyeruak, melesat mulus di pipi mulusnya. "When you love someone, you will have to be ready to accept the reality wether she loves you or not." Ia terus menunduk, matanya tidak pantas lagi menatap mata abu-abu milik Wildan.

Kalimat terakhir Adira benar-benar membuat Wildan mati rasa. Laki-laki itu hanya bisa diam mematung. Kalimat Adira barusan sudah cukup menjelaskan dan sudah sangat menyayat hatinya hingga tak berupa.

Perasaan Adira juga berkecamuk. Seharusnya ia bersikap bersikap baik kepada laki-laki yang hampir tidak mempunyai kekurangan. Laki-laki yang diidam-idamkan teman-temannya, laki-laki yang setiap hari membawakan bekal karena Wildan sangat hafal jika Adira tidak pernah sarapan pagi. Tapi bagi Adira, rasa tidak bisa dipaksa. Rasa bukan rasa kalau itu terpaksa.

"Oke."

Jawaban Wildan juga sudah cukup memberi rasa sakit yang sama pada Adira.
Ia mendengar suara langkah kaki yang semakin menjauh. Meninggalkannya di pojok koridor, di depan ruang UKS.

***

Wildan tidak lagi menghubungi Adira semenjak kejadian di depan ruang UKS waktu itu. Salah satu alasan kenapa benda tipis persegi panjang yang selalu dibawa Adira kemana saja ia pergi sekarang menjadi sepi. Memang benda mati, tapi sewaktu Adira menjalin hubungan dengan Wildan, tidak sekali pun Wildan absen menghubungi Adira tepat pukul delapan.

Perempuan bermata cokelat terang itu menggeliat malas di ranjang bertingkat di asramanya. Sepulang sekolah, Adira memutuskan untuk langsung berlabuh ke pulau mimpi. Rasa lelah dan pegal karena berlatih seharian membuat tingkat kemalasannya untuk beraktivitas menjadi meningkat.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Tapi asramanya masih sepi. Linka dan tentunya Arisha, teman se-asrama Adira saat ini pasti sedang lembur mengerjakan tugas remidi. Untung saja diulangan Biologi hari ini Adira mendapat nilai yang cukup bagus, jadi ia tidak harus mengikuti remidial malam ini.

Tangannya meraih ponsel kesayangannya di nakas dekat ranjang. Tertera sepuluh notifikasi panggilan tak terjawab dari sebuah kontak dengan nama Bola Jepang.

Adira mengernyitkan dahinya, bertanya secara tersirat. Tumben nelfon, nggak biasanya.

Bola Jepang, panggilan khusus Adira kepada sahabatnya yang bernama asli Hoshi Kazuhiro. Dari namanya saja sudah sangat jelas, ia berasal dari negeri Matahari Terbit. Kedua orang tuanya memang asli orang Jepang. Mamoru Kazuhiro−ayah Osik menikah lagi dengan seorang wanita berkewarganegaraan Indonesia setelah dua tahun ditinggal sang istri. Ibu dari Osik.

Osik kehilangan ibunya saat berusia tujuh tahun, karena mengalami kecelakaan beruntun di daerah Kyoto delapan tahun silam. Melihat usia Osik yang sangat membutuhkan perhatian seorang ibu, membuat Mamoru memutuskan untuk menikah lagi.

Kebetulan, ia menaruh hati dengan rekan kerjanya yang berasal dari Indonesia. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menikah dengan syarat ayah Osik harus tinggal menetap di Indonesia. Dari ibu tirinya, sekarang ia mempunyai adik perempuan yang sangat cantik dan sekarang menduduki bangku SMP. Matanya sipit, seperti dirinya. Tetapi lebih parah Osik, mungkin karena ibu kandung Osik juga orang jepang.

Tidak perlu diperinci lagi, ia sangat tampan. Dari segi visualnya, bentuk wajah dan dagunya persegi. Rahangnya tegas, seperti ayahnya −Mamoru Kazuhiro. Kulitnya putih bersih, hidungnya kecil begitu pula dengan bibirnya

Pertemuan Adira dengan Osik juga tak kalah menarik dari pertemuannya dengan Nata. Adira bertemu dan akhirnya berteman sampai saat ini dengan Osik di mulai sejak kelas tiga SD. Waktu itu, Osik benar-benar lucu bagi Adira. Matanya membentuk garis, dan ada sebuah cekungan kecil di pipi kirinya. Adira sangat ingin tahu dengan manusia seperti Osik.

Waktu itu di kantin sekolahnya, Osik menangis karena ingin membeli jajan tapi tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia. Karena merasa kasihan, Adira mendekati Osik.

"Mau ini?" Tanya Adira dengan menunjuk jajanan yang ada di depan Osik.

Osik mengangguk. Tangannya sibuk mengusap air mata yang membanjiri wajah Jepangnya.

Karena merasa kasihan, akhirnya Adira membayar jajan yang diinginkan Osik dengan uang saku yang seharusnya dipakai Adira untuk membeli makanan. Tapi tidak masalah, dengan begitu Osik akan berhenti menangis. Setelah itu, Adira mengajak Osik untuk meninggalkan kantin sekolah. Hanya butuh satu hari untuk saling mengenal, hingga delapan tahun kemudian keduanya masih dekat. Bahkan sangat dekat. Melewati masa SD bersama, SMP bersama, dan saat ini mereka juga satu SMA.

Nata, Osik, dan Arisha memang sudah menjadi bagian dari keluarganya. Setiap waktu mereka habiskan untuk berkumpul walau hanya bercengkerama tidak jelas. Adira sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka bertiga. Mungkin ini menjadi alasan kenapa dirinya tidak bisa mencintai orang selain mama dan ketiga sahabatnya.












TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA
JANGAN LUPA MENINGGALKAN LIKE DAN VOTENYA
SALAM LITERASI👋

QUOTESNYA PART 1: /RASA BUKAN RASA KALAU ITU TERPAKSA/
Uwuu

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 105K 45
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
1.4M 123K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
230K 21.9K 28
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
807K 11.4K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+