CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Interlude: Robekan Agenda 1 Januari

3.4K 599 210
By AryNilandari


Kelas 10, Semester II

Aku mengadu gelas jus kiwi milikku dengan mug kopi Tante Fang. "Iptu Marie 'Fang' Faradila, kedengarannya keren. Selamat!"

"Berkat kamu, Rhe. Clair yang berprestasi, aku yang naik pangkat." Tante Fang tertawa.

Aku menggeleng. "Aku cuma lihat kilasan peristiwa. Tante menalarnya jadi petunjuk yang masuk akal. Malah harusnya sejak setahun lalu Tante jadi Iptu, sekarang jadi AKP, gantiin AKPRI yang sudah tua."

Tante Fang semakin tergelak. "Kamu ini! Jangan sampai AKPRI dengar. Ada aturan dan komando yang jelas di kepolisian. Tapi sungguh, kamu bikin kenaikan pangkatku terasa istimewa. Bayangkan, beberapa kali aku nyaris menangkap orang yang enggak bersalah. Kamu yang menemukan pelaku sebenarnya."

Aku duduk bersandar dengan perasaan puas. Di teras kafe, aku dan Tante Fang menunggu sarapan pesanan kami datang. Bang El sudah pergi lagi tadi, hanya sempat menghadiri upacara kenaikan pangkat Tante Fang semalam. Minggu pagi yang lengang, taman kecil yang cantik. Dari sini, aku bisa melihat siswa-siswa SMP dan SMA Internasional Darmawangsa lewat.

Tante Fang mengikuti pandanganku. Ia berkomentar, baru kali ini melihat sekolah yang tidak pernah sepi dari siswa dan kegiatan. Sekolah terbaik yang dipilihkan Bang El untukku. Mahal, tapi terjangkau berkat beasiswa kerjasama kepolisian dan sekolah. AKPRI benar-benar memanjakan aku, sampai teman-teman keliru mengira ia kerabatku. Tante pernah menjelaskan, beasiswa itu dimungkinkan dengan realokasi dana operasional. Biasanya, dana terserap habis untuk penyelidikan yang berlarut-larut. Clair membantu menyelesaikan kasus dengan cepat sehingga dana bisa dihemat. Tapi Clair bukan pegawai resmi, tidak digaji, maka beasiswa adalah cara kepolisian memberiku imbalan layak.

"Kasus penculikan anak selalu membuatku senewen." Tante Fang kembali pada topik semula. "Sering, waktu kita hanya 24 jam untuk menemukan si anak sekaligus meringkus penculik. Terlambat sedikit, akibatnya mengerikan. Di kasus terakhir itu, aku terperangkap statistik bahwa umumnya penculik adalah keluarga dekat. Icha dekat dengan bibinya. Bibinya punya segala motif untuk membawanya lari. Mudah sekali untuk keliru menyimpulkan. Berkat kamu, Icha dan bibinya selamat. Pelaku sebenarnya boleh membusuk di penjara."

Aku mengangkat gelas jusku lagi. "Tante layak naik pangkat dan dapat satyalancana karena itu. Aku bangga."

Wajah cantik Tante Fang semringah. Hendak berbicara lagi tapi ponselnya berbunyi. Panggilan dari markas. Ia berdiri sigap. Merapikan baju sipilnya. Rambutnya yang dibuntut kuda berayun. Ia memandangku penuh penyesalan. Berakhir sudah quality time kami. Makanan pesanannya bahkan belum datang. "Kamu makan saja. Aku pergi dulu. Take care, Rhe!"

Aku menghormat. Mengawasi kepergiannya. Semoga bukan kasus penculikan lagi. Aku tahu, Tante Fang bukan cuma dibikin senewen, tapi terobsesi dengan kasus penculikan bahkan sejak sebelum menjadi polisi. Dugaannya kuat bahwa aku dulu korban penculikan juga. Mungkin aku melarikan diri dari si penculik dan tersesat di lereng Gunung Malabar, atau aku memang dibuang di sana. Penyelidikan asal-usulku yang luar biasa lambat dan tanpa hasil membuat Tante Fang geram. Begitu saja ia berubah haluan, masuk sekolah kepolisian. Setelah Tante menjadi polisi, kasus-kasus pertama yang ditanganinya adalah penculikan anak. Tante berhadapan dengan segala macam pelaku dan motifnya. Dari keluarga dekat yang mendendam, orang-orang gila pemangsa anak, hingga sindikat perdagangan anak. Tante mencari-cari benang merah pada setiap kasus itu dengan kasusku.

Setahun lalu, lokasi lereng Gunung Malabar mencuat lagi. Korban penculikan adalah Lilo, anak perempuan berusia 7 tahun. Rambutnya ikal pula. Tante langsung waspada karena persamaannya denganku. Tapi Lilo sudah meninggal dunia bahkan sebelum orangtuanya sadar anak itu hilang. Sang ibu mengira Lilo masih menginap di rumah ayahnya. Dan sang ayah mengira Lilo sudah kembali ke rumah si ibu. Lilo adalah korban perceraian dan komunikasi orangtua yang buruk, di tengah-tengahnya ada orang yang mengambil kesempatan.

Sebagai Clair, aku belum berpengalaman waktu itu. Langsung memegang sandal dan ikat rambut Lilo yang ditemukan di semak-semak. Kenangan dari benda-benda itu mengempaskan aku ke hari nahas yang dialami Lilo. Jemariku terkunci menggenggamnya. Kudengar jerit tangis Lilo begitu dekat di telinga. Kurasakan kengerian dan kesakitannya. Belakangan Tante bilang, aku sendiri yang melolong histeris. Baru setelah ia berhasil merampas sandal dan ikat rambut Lilo, aku bisa ditenangkan. Di sisi lain, dengan bertahan menyaksikan penampakan itu, aku dapat menemukan identitas si penculik dan tempat Lilo dikuburkan.

Seseorang berdeham. Aku nyaris terlompat dari kursiku.

"Maaf, maaf! Enggak sengaja ngagetin kamu. Tapi di dalam agak pengap. Dan tantemu sudah pergi. Boleh aku duduk di situ?"

Tanganku masih memegangi dada. Perlu lebih lama untuk menenangkan jantung. Berkhayal pun aku tidak pernah berani, tapi Aidan sungguhan berdiri di depanku. Membawa nampan makanan dan minumannya.

"S-silakan." Suaraku nyaris lesap.

Aidan tersenyum lebar. Aku ingin bilang, ia tampak senang sekali. Tapi kupikir itu hanya khayalanku. Wajar saja ia mengungsi dari ruangan dalam yang agak pengap karena sudah ramai pengunjung. Satu-satunya meja luar yang kosong pun yang kutempati ini. Eh, sebentar, dari mana ia tahu aku tadi bersama Tante? Kan bisa saja ia menebak kakak atau orang lain.

Aidan meletakkan nampan di meja, ransel di kursi di seberangku, lalu ia sendiri duduk di sampingku. Aku sampai celingukan, khawatir ada anak-anak DIHS.

Aidan tertawa. "Sesekali aku ingin melakukan apa yang ingin kulakukan tanpa memikirkan reaksi orang. Aku sarankan, kamu juga. Kafe ini enggak populer dan bukan favorit mereka. Kita aman."

Aman dari gosip? Aku memandanginya dengan lidah kelu.

Aidan mulai makan nasi gorengnya. Dari setelan celana training, jaket, dan sepatunya, kuduga ia habis berlari pagi. Ada jejak keringat di dahi dan rambutnya. Pasti belum mandi .... Plak! Diam-diam aku menampar mulutku sendiri. Tapi hidungku tak urung menghidu. Ah, aku salah kira. Wanginya terlalu segar untuk cowok yang habis berolahraga. Pipiku tiba-tiba menghangat. Aku mengubah posisi duduk dengan gelisah.

"Kamu enggak makan?" Aidan menoleh.

"Sudah." Aku menunjuk cangkir bekas sup krim. Tapi saat itu, pelayan datang mengantarkan pesanan Tante, dan meminta maaf karena terlalu lama.

"Oh, tadi appetizer. Sekarang main course." Aidan tersenyum. "Bagus, untuk remaja yang masih tumbuh, jangan pikirkan diet."

Aku terbelalak. Kata-kata Aidan dan seporsi besar spageti merupakan kombinasi yang cocok untuk ledekan. "Ini pesanan Tante," kataku membela diri.

"Tante yang baik, memikirkan nutrisi anak kos."

"Eh? Bukan. Maksudku ... Tante pesan untuk dia sendiri tapi keburu dipanggil bertugas. Aku enggak bakal bisa menghabiskan ini." Di belakang kepalaku, pertanyaan lain timbul, dari mana ia tahu aku kos? Ah, mungkin gosip tentang aku mencakup tempat tinggalku juga.

Keherananku pun teralihkan oleh tindakan Aidan yang tidak terduga. Cowok itu menarik piring spageti ke depannya. "Mari kita bagi dua. Gotong-royong biar enggak mubazir. Setuju?"

Aku hanya mengangguk, tak sempat berpikir lagi. Aidan bersorak kecil, langsung memindahkan separuh spageti ke piring nasi gorengnya. Dan begitu saja tawaku terlepas. Aidan memandangku, senyumnya lebar, terpancar juga pada bening irisnya. Ya, Tuhan. Mimpi apa aku semalam? Makan satu meja dengan cowok idola DIHS.

Terlalu rakus rasanya kalau aku berharap lebih. Misalnya setelah ini, kami jadi lebih dekat di sekolah. Kutepiskan bayangan itu. Tidak mungkin. Kami beda dunia. Sesederhana itu penjelasannya. Jadi, nikmati saja momen ini, saat dua dunia tiba-tiba bersinggungan di sebuah kafe kecil, dan kami terhubung oleh sepiring spageti. Hanya itu. Tidak ada apa-apa lagi. Aidan tampak nyaman dan menikmati hidangan. Jadi, aku berusaha santai pula. Tidak berbicara. Berharap Aidan saja yang mendahului.

"Oh ya, kamu punya tanggal yang lebih spesial ketimbang hari lahirmu?"

Harapanku terkabul, tapi topiknya membuatku nyaris tersedak.

Aidan menggeleng sendiri. "Maaf. Pertanyaanku terlalu pribadi."

"Enggak apa-apa. Tapi jangankan tanggal yang spesialnya melebihi ultah, untuk ultah pun aku belum dapat tanggal yang cocok," sahutku, tiba-tiba merasa nyaman berbicara apa adanya. Seakan memilih hari lahir adalah hal paling wajar sedunia.

Orang lain mungkin sudah menganggapku sinting, tapi Aidan tenang saja menanggapi kata-kataku. "Hmm, kalau begitu, kamu harus pilih tanggal ultah dulu. Biar kamu punya pembanding untuk mengistimewakan tanggal lain. Nah, untuk ultahmu, apa kriteria tanggal yang cocok? Selain bahwa kamu dilahirkan pada tanggal itu."

Aku mempertimbangkannya sejenak. "Jelas harus tanggal istimewa. Enggak semua orang bisa memilih sendiri tanggal lahirnya, jadi aku harus selektif."

"Ah, betul banget." Aidan tersenyum, meletakkan gelasnya. "Tapi sebaliknya, buat yang enggak bisa pilih-pilih, sebuah tanggal jadi istimewa hanya karena ia lahir saat itu. Kayak aku, 15 Oktober. Enggak ada pilihan lain, itu jadi tanggal istimewa."

Aku memandangnya tercengang. Ini percakapan rumit hanya untuk memenuhi kekepoannya. Kenapa pula ia ingin tahu hari lahirku dan tanggal yang lebih spesial dari itu? "Tanggal lahirku belum diputuskan karena asal-usulku enggak jelas. Aku enggak ingat. Enggak ada dokumentasi."

Giliran Aidan yang tercengang. Kupikir ia tidak akan percaya dan menganggapku bercanda. Tapi cowok itu mengangguk kikuk. "Maaf."

Aku mengangkat bahu. Menunduk untuk mengaduk-aduk spageti. Mengomeli diri sendiri dalam hati, kenapa pula mengungkit masa lalu? Aidan memberiku efek nyaman untuk berbicara apa adanya. Tapi kan belum tentu sebaliknya. Mendadak aku khawatir, kalau kata-kataku membuatnya ingin segera menyingkir. Aku mengangkat kepala.

Aidan sedang memindahkan piring dan gelas. Melapangkan meja di depannya. Lalu diraihnya backpack, dikeluarkannya buku agenda dan bolpoin. Ia kemudian sibuk menulis sesuatu. Di satu sisi, aku lega, berarti ia masih betah di sini. Tapi di sisi lain, aku bingung. Apakah gesturnya pertanda 'ramah-tamah' sudah usai? Isyarat yang berarti, 'oke, sudah waktunya basa-basi dihentikan'?

Sikap Aidan mulai membuatku menebak-nebak lagi. Seperti waktu di lapangan basket pasca-TPTS, tiba-tiba ramah, tiba-tiba lari menjauh. Juga di gerbang sekolah, ia menyapa, tapi kemudian pergi dengan tidak acuh.

Ya, ampun! Ini mejaku. Aku belum selesai makan, walau sudah tidak bernafsu makan. Daripada aku dicuekin begini, aku yang akan meninggalkannya duluan. Secara impulsif, aku berdiri, menyandang tasku.

Aidan menoleh. Seperti terkejut. "Kamu enggak boleh pergi!"

"Eh?" Aku melengak. "Kenapa?"

Aidan garuk-garuk kepala. "Hmm, kenapa ya ... ah. Ini! Habisin spagetinya dulu! Tinggal dikit lagi. Sayang. Kata orang-orang tua, untuk setiap suap makanan yang kamu buang, satu anak ayammu mati." Bahkan Aidan terkekeh sendiri dengan leluconnya.

Tapi ia berhasil. Aku luluh, duduk lagi. Melanjutkan makan pelan-pelan. Bukan demi anak ayam, tentu saja. Aidan mencegahku pergi. Itu saja sudah cukup.

Ia memandangku dengan mata yang ikut tersenyum. "Apa arti 1 Januari buatmu?"

Begitu saja ia pindah topik, membuatku bengong sesaat. "Eh, 1 Januari? Awal tahun? Waktunya bikin resolusi baru? Entahlah. Aku enggak pernah merayakan tahun baru."

"Aku juga enggak. Tapi buatku, 1 Januari lebih penting dan istimewa ketimbang 15 Oktober."

"Karena?" Gantian aku yang kepo. Dan kerlip di matanya, kali ini aku yakin benar, menunjukkan kebahagiaan.

"Karena sering pada 1 Januari, untuk pertama kalinya aku ketemu orang-orang yang jadi berarti banget dalam hidupku. Tentu saja, awalnya aku enggak perhatikan itu. Tapi begitu seseorang menjadi berarti, aku jadi ingat, ketemunya 1 Januari. Selanjutnya, kalau aku ketemu orang baru pada 1 Januari, aku yakin, ia bakal jadi orang yang istimewa buatku."

Aidan punya kebiasaan berbicara dengan menggerakkan tangan. Ekpresif juga. Aku terkesima karenanya. Untung aku segera sadar ia menunggu tanggapanku. "Tapi kamu pasti ketemu banyak orang setiap tahun. Berarti banyak orang yang kamu anggap istimewa. Kalau semuanya istimewa, enggak ada lagi istimewanya masing-masing." Ah, aku dengan kebiasaanku berbicara menggunakan kata-kata yang sama. Pasti bikin bingung.

Aidan tergelak. "Aku mengerti maksudmu. Enggak semua orang, sih. Hanya mereka yang menolongku saat aku melakukan kebodohan. Entah kenapa, cenderung terjadi pada 1 Januari, di tahun-tahun berbeda. Terbukti mereka istimewa. Aku jadi yakin, 1 Januari adalah tanggal penuh berkah buatku."

Siapa saja mereka? Aku ingin bertanya. Tapi itu terlalu pribadi. Biar Aidan menjelaskannya sendiri kalau mau. Aku hanya bisa menduga, Kei dan River termasuk. So sweet.

Aidan tiba-tiba merobek halaman agendanya. Meremas kertas dan melemparkannya ke keranjang sampah. Masuk, tentu saja. "Lupakan tanggal yang lebih spesial dari ultah. Itu bisa menunggu. Kamu harus memilih tanggal ultah dulu."

Aku mengangkat alis. Aidan kembali pada topik semula. Tidak kupahami benar maksudnya, tapi itu ide bagus. Dan 1 Januari tiba-tiba sangat menarik. Lebih spesial buat Aidan ketimbang hari lahirnya sendiri. Kenapa tidak? Kutepuk meja penuh tekad, 1 Januari. Fixed.

"Sepertinya kamu sudah memilih," kata Aidan riang.

"Ya. Akhirnya, setelah sekian tahun aku ditemukan."

"Ditemukan? Bagaimana ceritanya?" Aidan tampak benar-benar tertarik. "Tapi kalau kamu mau sharing saja."

Aku memang ragu. Bukan karena tidak mau berbagi dengan Aidan. Tapi aku bingung mulai dari mana.

Aidan salah paham dengan diamku. "Enggak usah kamu ceritakan kalau bikin enggak nyaman. Pasti kamu sebal ya aku kepo?" Bahkan sebelum ia selesai berbicara, ponselnya berdering. Aidan mengangkatnya, hanya mendengarkan, lalu bilang oke. Sambil memasukkan lagi ponselnya, ia memandangku. Aku tahu, ia harus pergi.

"Aku enggak sebal kamu kepo. Lain kali aku jawab," kataku.

Aidan mengangguk, memamerkan senyum. "Tentu. See you around."

Ramah-tamah benar-benar selesai sekarang. Cowok itu menyandang ranselnya. Menghabiskan minumannya. Lalu mengangkat tangan berpamitan.

Begitu ia tidak terlihat lagi, aku buru-buru beranjak untuk memulung remasan kertasnya dari tempat sampah. Satu lagi kenangan dari Aidan untuk kusimpan di dalam kotak kaleng.

Kulepaskan sarung tangan. Dengan tangan telanjang kurapikan kertas itu. Aidan menulis sebuah kalimat:

1 January, you've come along to change my life.

Kubaca yang tersirat. Kenangan dari secarik kertas saat Aidan menulis. Goresan penanya. Detak jantung yang merambat. Bahagia. Perasaannya bahkan meledak-ledak, tulisannya jadi tersendat.

Apa yang dia pikirkan? Wajahku tiba-tiba muncul. Tersenyum. Tertawa. Aku terbelalak. Aku? Tidak mungkin! Pasti hanya karena aku sedang duduk tepat di sebelahnya tadi.

Kutelusuri emosinya lebih dalam lagi. Aidan menulis hanya satu kalimat dan berpikir lama selang setiap kata. Seekor anjing terrier putih menemaninya berlari-lari. Aidan punya hewan peliharaan? Mungkin salah satu sosok istimewa yang datang pada 1 Januari dan mengubah hidupnya. Siapa sangka, seekor anjing!

Hanya itu. Tidak masalah. Aku tahu, doodle-nya ditujukan untuk mereka yang istimewa bagi Aidan. Tapi maknanya tepat sekali untukku. Aidan datang untuk mengubah hidupku dengan 1 Januari-nya. Sekarang, aku punya tanggal ultah.

Continue Reading

You'll Also Like

After I Die By Dareve Stevn

Mystery / Thriller

106K 16.7K 32
[MYSTERY; THRILLER • END] Suatu pagi di akhir musim dingin, Avaline Ives tewas dalam sebuah kecelakaan. Itu terjadi tepat setelah dirinya mengundurka...
198K 31.2K 40
Ikuti perjalanan melalui ide ini dalam segala bentuknya saat tiga puluh penulis dari Program Stars Wattpad mengeksplorasi kisah tentang cerita semasa...
11.8K 739 24
Menikah tanpa rasa itu menyakitkan. Setiap kali aku mencintai, semuanya menghilang begitu saja.
221K 13K 38
Gema dan Jana terikat oleh pernikahan. Rencana masa depan harus terpupus, menikah itu seperti pergi ke tempat baru. Berkenalan dengan lingkungan Gem...