My Cool Bodyguard, Let Me Fre...

By iinajid

1.2M 122K 2.2K

Ayari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawa... More

1. Me
2. My Papa
3. I Am (Not) The Boss
4. (Never) Been Punished
5. I (Do) Not Have A Life
6. Missing Time
7. Under Sunshine
8. A Runaway Plan
9. One Step Closer
10. My Priceless Life
11. Fight
12. Promise For Ayari
13. Protect Me ✅
14. Jealous ✅
15. Forgiving ✅
16. My True Heart ✅
17. Run Away ✅
18. Dice with Death ✅
19. His Exasperation
20. Cry Over Spilled Milk
21. A Necklace
22. Reveal The Secret
23. My World is You ✅
24. Saving Mindy✅
25. Saving Mindy (2) ✅
26. Kiss Of Death✅
27. Gone With The Wind
28. Miss You Like Crazy
29. Be Healthy, Aya!
30. Between Two Mothers
32. New Life
33. The Last Message
34. Still Miss You
35. Finally, Meeting Him
36. Hurt
37. The Sorrow Night
38. Fly Away
39. Leave Me Alone
40. Waiting
41. Little Happiness
42. (Real) Family
43. Friendship Never End
44. Love Call
45. Let Me Free to Love You!

31. The Days Without You

21K 2.2K 46
By iinajid

Aku berusaha.

Tapi hari-hariku kembali ke rumah seperti merajam seluruh kepalaku dengan kenangan Kak Malik.

Malam hari, ketika mataku sulit terpejam, aku pernah mencoba caraku yang dulu. Berbaring di kursi jemur di sisi kolam renang memandang bulan dan bintang. 

Hanya satu kali Kak Malik menjagaku semalaman di situ, tapi sekarang aku tak lagi bisa melakukannya tanpa teringat kenangan bersamanya malam itu.

Aku memejamkan mata, berharap dirinya muncul dan sekali lagi menyelimuti aku dengan selimut. Aku memejamkan mata, usai menghitung bintang yang bertaburan, tapi tak ada lagi seseorang yang duduk menemani dan menjaga di dekatku. 

Aku tetap sendirian. Tanpa siapapun kecuali hembusan angin malam dan suara deru air laut yang memecah pantai. Paling-paling hanya Ibu, Mama atau bahkan para staf yang membangunkanku untuk pindah ke kamar.

Subuh, aku terbangun. Teringat kebiasaan yang dulu diajarkan Kak Malik. Berlari pagi. Aku juga mulai melakukannya lagi. Sejak awal kembali. Walaupun hanya bisa berlari pelan, mengingat aku masih dalam proses pemulihan.

Tapi aku tak berani melihat ke arah matahari terbit lagi. Sulit menahan air mata rindu setiap kali melihat semburat merah kekuning-kuningan itu muncul, jadi aku lebih suka duduk bersandar di pohon, beristirahat dan menghindari terangnya matahari pagi. Lebih baik lagi kalau aku sudah pulang dan kembali ke rumah sebelum sang matahari muncul.

Tak hanya itu, sekarang seberapa banyakpun orang menabrakku, takkan ada lagi Kak Malik yang memelukku. Aku hanya bisa memandang iri pada mereka yang berlari berpasangan, tertawa dan bercanda dengan bahagia. Dalam hati aku berdoa untuk mereka, semoga kebahagiaan mereka tak berakhir sepertiku. 

Dulu, walaupun Kak Malik jarang tertawa dan tersenyum, aku selalu menikmati saat-saat berlari di sampingnya. Kini aku mengerti, sebenarnya lari pagi itu hanyalah sebuah aktifitas biasa, yang membuatnya jadi bermakna, karena ada seseorang di sisiku. 

Mama membantuku dengan membiarkan barang-barang Kak Malik yang tertinggal di kamar tetap seperti dulu. Padahal tidak banyak, hanya beberapa potong pakaian, buku-buku bacaan dan beberapa alat pengamanan miliknya. Ketika rinduku tak tertahankan lagi, aku masuk dan tidur di kamarnya. 

Kadang kupakai jaketnya. Tapi tak ada lagi jejak aroma tubuhnya yang kusukai itu karena semua pakaiannya sudah dicuci bersih. Walaupun begitu aku tetap suka melakukannya. Hanya di kamar Kak Malik, aku merasa ia masih ada dan seperti sedang memelukku. 

Aku tak bisa sebebas dulu bahkan untuk bersedih diam-diam, karena Ibu tidur di kamar yang sama denganku sekarang. Hanya melihatku sedih, Ibu akan langsung mendatangkan dokter  atau psikiater ke rumah dan itu membuat semua orang di rumah utama kalang kabut termasuk Papa dan Mama. 

Sesekali Mindy datang menjemputku, mengajakku main ke luar rumah. Kini aku bebas. Tak ada pengawal lagi mengikutiku seperti dulu. Ke manapun dan di manapun aku menikmati kebebasanku. 

Hanya saja... masih saja tak mudah berada di tempat-tempat yang pernah kudatangi bersama Kak Malik. Salah satunya Kids City...

"Mau main Walking Dead  lagi gak, Ya?" tanya Mindy sambil menunjuk Arcade itu. "Sekarang aku udah berani!" lanjutnya dengan bangga.

Aku menoleh ke arah arcade itu juga. Gelak tawa Kak Malik seperti terdengar kembali di telingaku. Tawanya saat mendengar aku berteriak kaget. Itu pertama kalinya aku melihat ia tertawa lepas. Dan saat ini, aku hanya bisa menunduk dengan tangan saling menggenggam. Menanam kuku-kuku di antara kulit tangan. Sakit, tapi hanya ini agar aku bisa bernapas lega tanpa airmata.

Kak, aku nyaris tak bernapas. Sulit sekali. Hanya ini cara yang bisa kupikirkan. 

Bukannya aku tak mencoba untuk melakukan sesuatu yang menghibur. Seperti seorang remaja yang kini hidup normal. Menonton di gedung bioskop misalnya. 

Tapi duduk di antara para penonton, tak membuatku tertarik untuk menonton film apapun yang sedang ditayangkan. Mataku tak bisa berhenti mencari bayangan Kak Malik, berharap ia ada di antara para penonton, diam-diam mengawasiku seperti dulu.

Bahkan saat memotong kuku, berenang sampai makan nasi goreng buatan Bibi Fatim. Semuanya mengingatkanku pada Kak Malik. Aku berusaha sangat keras melupakannya, tapi kenangan itu semakin merasuk dalam pikiranku. 

Demi orangtuaku, demi semua orang yang kusayangi selain Kak Malik, aku berusaha bertahan. Meski setelah sekian lama, tanganku mulai memperlihatkan jejak-jejak. Luka-luka kecil, bekas kuku-kuku yang tertanam mulai terlihat dan aku harus pandai-pandai menyembunyikannya. 

Mindy juga membantu menyusun rencana masa depan kami berdua yang putus sekolah selama hampir setahun. Kami berdua ikut ujian persamaan, dan persiapan itu mengalihkan rinduku dari Kak Malik. Sementara, sampai kami selesai.

Tak ada kesulitan bagiku diterima di beberapa universitas negeri. Berbeda dengan Mindy. Ia hanya berhasil masuk satu, itupun setelah bersusah payah. 

Setelah pertimbangan matang, akhirnya aku memilih kampus yang sama dengan Mindy. Ia di jurusan Manajemen, sementara aku mengambil bidang teknik. 

Mengajari Ibu pada segala hal tentang Indonesia juga berhasil mengalihkan pikiranku. Lucu melihat Ibu yang sering kesulitan mencari kata yang tepat dalam bahasa dan tak sadar sering mengomel dalam bahasa Jerman yang sama sekali tak dipahami olehku. Lebih lucu lagi ketika melihat Ibu yang terpaksa bertanya pada Mama, dan Mama yang terpaksa memanggil Papa hanya demi memahami maksud Ibu.

Di rumah ini hanya Papa yang bisa berbahasa Jerman selain Mama. Di depan mereka, aku sengaja menolak untuk belajar bahasa Jerman. Tujuannya, agar mereka bertiga bisa menghadapi masalah mereka dengan berkomunikasi walaupun terpaksa. Padahal diam-diam, aku juga mempelajari bahasa asing itu.

Tapi, sepandai-pandainya tupai melompat, suatu hari akan jatuh juga. Sepandai-pandainya aku berusaha menyembunyikan kerinduanku, tetap saja ketahuan.

"Running?" tanya Ibu saat melihatku menggeliat bangun. Aku mengangguk.

Biasanya Ibu akan berbalik dan melanjutkan tidurnya, membiarkan aku berlari pagi sendiri. Tapi hari ini, Ibu malah duduk dan berkata, "I'll go with you. Is it ok?" [TN: Aku akan pergi denganmu, apa itu OK?]

Aku kembali mengangguk. Mungkin Ibu ingin merasakan lari pagi di pantai. 

Ketika mulai berlari menyusuri pantai, aku melihat Ibu sedikit terseok berlari mengejarku. Beberapa kali ia tertinggal. Entah karena usianya, atau karena tak terbiasa. Berkali-kali aku terpaksa berhenti dan menunggu Ibu sampai ia bisa menyusulku. 

"Ple...hhh...ase, hhh... stop! I'm so... hhh... tired," ucap Ibu dengan nafas terengah-engah. 

"Ya udah. Ibu, you can stay here. I'll run to there and back. Soon. Ok!" Lalu aku berlari sekencang mungkin seperti biasa, tanpa menoleh pada Ibu. 

[TN: ... Ibu bisa tetap di sini. Aku akan lari ke sana dan kembali. Secepatnya.]

Ibu tak tahu, setiap pagi saat aku berlari, itulah saatnya aku memuaskan airmataku mengalir sederas-derasnya. Angin akan menyapu air mata yang mengalir. Hawa pagi yang segar seperti bisa membawa mimpi-mimpi buruk yang masih menghantui sampai sekarang. Berlari adalah kesempatanku untuk mengurangi sesak di hatiku.

Sekitar setengah jam kemudian aku kembali dan Ibu tengah duduk di atas pasir memandang matahari yang sedang terbit malu-malu di antara cakrawala. Sebuah kacamata hitam bertengger manis di wajah Ibu.

"Bu, let's go back!" ajakku. 

Aku tak mau melihat ke arah matahari itu. Tadi aku baru selesai berlari dan baru saja membersihkan wajahku dari sisa-sisa airmata. Aku tak ingin menangis lagi.

Ibu menggeleng. "Enggak, ah. Aku mau lihat sunset," ujar dalam bahasa. 

Aku menatap Ibu, "Come on, Bu! I don't like sunset.

[TN: Ayolah, Bu. Aku gak suka matahari terbit]

Ibu menoleh padaku. "Because it remains you to him, right? To Malik? Did you know that he loves sunset?" - 

[TN: Karena sunset itu mengingatkan kamu sama dia, kan? Pada Malik? Apa dulu kamu tahu kalo dia suka matahari terbit?]

Bibirku terkunci. Tak menyangka saat Ibu menyebut nama Kak Malik begitu ringan.

"If you avoid that sunset, because of him. It's not right, Aya. Even you don't see it, you'll never forget him. Just enjoy everything he left, My princess. Let every moment in your memories with him stay forever inside your heart. If you try too hard to forget, it's just hurt you forever. Avoid something that you like, doesn't make him back."  

[TN: Jika kamu mengabaikan sunset itu karena dia, itu tidak benar, Aya. Bahkan jika kamu gak liat, kamu gak akan pernah lupa sama Malik. Nikmati saja apa yang ia tinggalkan, Putriku! Biarkan setiap momen dalam kenanganmu bersamanya selamanya ada di hatimu. Jika kamu mencoba terlalu keras untuk melupakannya, itu hanya akan menyakitimu selamanya. Menolak sesuatu yang kamu suka, takkan membuat dia kembali]

"Bu... "

"Cry if you want to cry. Don't hide it, Prins! I know everything even you never said. Your Mama and your Papa too. They all know. We really want to help you, Prins. But if you always hide it, we can do nothing."  

[TN: Menangislah jika kamu ingin menangis. Jangan sembunyikan, Putriku! Ibu tahu segalanya walau kamu gak cerita. Mamamu dan Papamu juga. Mereka semua tahu. Kami benar-benar ingin membantumu, Putriku. Tapi jika kamu selalu sembunyikan, kami gak bisa lakukan apa-apa]

Aku menunduk. Satu demi satu bulir airmata berjatuhan di pipiku. "Bu. Aku tak bisa tinggal di sini lagi. Let's go! I can't stay here anymore. It's so hard without him. Everything here always remains me to him. I can't live normal here. Please, just bring me to go far from here. Please..." 

[TN: Ayo pergi! Aku tak bisa tinggal di sini lagi. Sangat berat tanpa dia. Segalanya di sini mengingatkanku padanya. Aku gak bisa hidup normal di sini. Tolong, bawa saja aku pergi dari sini. Kumohon... ]

Ibu memelukku, mengelus punggungku menenangkan, membiarkan aku menangis tersedu-sedu dalam pelukannya.

Akhirnya aku tak bisa menghindar. Aku tak bisa lagi membohongi diriku sendiri. Aku menyayangi Papa dan Mama, tapi tinggal di rumah ini sudah terasa berbeda. Sebesar apapun keinginanku membuat ketiga orangtuaku berdamai dengan masa lalu, tetap saja setiap jengkal rumah ini mengembalikan kesedihanku. 

Maafkan aku, Papa, Mama! 

***** 


Continue Reading

You'll Also Like

3.5M 362K 38
Satu tahun tinggal di apartemen, Almira tidak pernah berinteraksi dengan tetangga kanan dan kirinya. meskipun tidak berinteraksi, bukan berarti ia ti...
83.6K 3.6K 26
Cinta itu bisa datang darimana saja dan pada siapa, kita tidak akan bisa mengontrol pada siapa hati ini akan jatuh terkadang kita bertemu dengan cint...
6.6M 299K 69
[COMPLETE] "No great love ever come without great struggle" Kendra Damaris (23), anak tunggal dari sebuah keluarga miliarder, seorang artis papan at...
2.6M 122K 34
Angela Mandhela, malaikat bersosok manusia. Rupa yang elok serta hati yang tak kalah cantiknya. Sosok yang mampu menarik perhatian semua orang diseki...