CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 10 (b)

3.3K 591 121
By AryNilandari

"Aidan, please, talk to me." Aku memusatkan pikiran pada sosok kenangannya. Membayangkan senyumnya yang tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Tawa renyahnya. Sapaan ramahnya. Kedekatannya dalam beberapa kesempatan. Tak terlupakan. "Aku membutuhkanmu, di sini, sekarang. Aidan! Aidan! Aidan!"

"Kamu seperti memanggil jin dari lampu ajaib." Aidan muncul akhirnya.

Aku tertawa. Bahagia rasanya. "Di tempat kos, kotak kaleng itu jadi lampu ajaib untuk memanggilmu. Menyesal enggak aku bawa. Kamu tahu, di kaleng itu, ada sobekan agenda bertanggal 1 Januari, dua tahun lalu. Dari kamu, Aidan. Enggak langsung sih. Remasan kertas itu kamu buang dan aku pulung. Ya, aku jadi pemulung juga sejak kenal kamu, terima kasih. Waktu itu, kamu banyak bicara tentang 1 Januari. Fix, aku pilih tanggal itu. Bang El dan Tante Fang agak kecewa. Harusnya 22 Februari, biar kami bertiga barengan ultah. Tapi sejak aku ditemukan Bang El, aku selalu ikut ultah mereka."

"Kamu ditemukan? Bagaimana ceritanya?"

"Ah ya, kamu bertanya begitu waktu itu. Selagi aku bingung mulai dari mana menjelaskan, kamu keburu pergi. Bang El yang menemukan aku di lereng gunung Malabar dalam pendakiannya. Aku pingsan, dehidrasi, dengan banyak luka di sekujur tubuh. Aku enggak ingat gimana aku sampai di sana dalam keadaan seperti itu. Bang El membawaku ke rumah sakit. Menemani aku selama perawatan. Sementara polisi melacak asal-usulku. Banyak keluarga datang untuk lihat aku, siapa tahu anak mereka yang hilang. Enggak ada yang cocok. Akhirnya, aku dipindahkan ke rumah yatim piatu tempat Bang El dan kembarannya dibesarkan. Mereka sering menengokku. Aku bergantung sama mereka, ingin ikut saja rasanya. Tapi Bang El dan Tante Fang sendiri baru kuliah, sambil bekerja pula, enggak mungkin mengurusku. Lima tahun kemudian, saat usiaku 13 tahun, dan Bang El sudah mapan, ia datang untuk mengadopsi aku."

"Tapi kamu kos dekat sekolah?"

"Ya, sejak masuk SMA. Gara-gara tanganku juga. Sejak awal, yang tahu bakatku cuma Bang El dan Tante Fang. Mereka rahasiakan juga dari semua orang termasuk para dokter. Khawatir aku dijadikan kelinci percobaan. Masalahnya, aku sulit mengendalikan kemampuanku sendiri. Di panti asuhan dan di sekolah, pilihanku hanya dikucilkan atau mengucilkan diri. Jadi, waktu aku diboyong Bang El, rasanya merdeka. Nyatanya enggak semudah itu. Aku ABG melit dengan tangan ajaib. Tante Fang menjabat sebagai reserse kriminal. Dan Bang El sibuk bekerja sambil kuliah S2 lalu S3. Aku ingin membantu dan membalas jasa mereka. Tapi yang terjadi malah banyak insiden tak diinginkan."

"Wow! Insiden seperti apa?"

Aku tersipu. "Pelanggaran privasi. Aku yang melanggar. Contohnya, menyadap dosen Bang El untuk mencari soal-soal ujian. Karena aku enggak tega lihat ayah angkatku kelelahan belajar. Aku juga merecoki penyelidikan Tante tanpa diminta, lalu memberinya petunjuk yang keliru karena kurang informasi. Tapi sejak itu, Tante memberiku penyaluran dengan membantu kepolisian sebagai Clair. Aku nyaris enggak pernah membuat masalah lagi, sampai sore tadi di ruang bukti."

Aidan geleng-geleng. "Sekarang kamu di-PHK gara-gara aku. So sorry."

"Jangan khawatir. Aku enggak menyesal, kok. Demi kamu."

Kudengar tawanya sesaat, yang terputus oleh notifikasi ponselku. Pukul 20.15. Aku duduk tegak, membaca pesan dari Kei. Laptop Aidan belum selesai diservice, tidak bisa ditunggu. Sekarang ia sedang menuju Kafe Bandrek.

Aku meneleponnya. "Bisa bicara?"

"Tentu. Aku pakai handsfree. Ada berita baru?"

Aku ceritakan apa yang kulihat di kotak bukti. Fakta saja tanpa drama pingsan, mimisan, dan PHK.

Kei tidak curiga. "Sayang sekali sudah dipindahkan. Mungkin kamu bisa mengejarnya ke tempat yang baru?"

"Sulit. Aku enggak kenal orang-orang di Sat Resnarkoba. Saat ini tanteku juga enggak mungkin dibujuk. Tapi aku akan cari jalan ...."

"Rhe, energy drink itu, kamu yakin milik Aidan dan masih utuh?" Kei tiba-tiba menyela.

"Enggak bisa aku pastikan karena aku enggak pegang kalengnya. Tapi benar jenis dan merknya kesukaan Aidan. Masih utuh. Aku enggak tahu kenapa dimasukkan sebagai bukti."

"Soal itu ada di berita. Waktu baru ditemukan, polisi ingin memastikan apakah minumannya dibubuhi racun. Kalau sekarang masih utuh, berarti isinya enggak jadi diperiksa. Mungkin karena menurut visum, enggak ditemukan racun di tubuhnya."

"Bagaimana memasukkan racun ke dalam kaleng yang masih utuh dan tetap utuh?"

"Dengan cara disuntikkan. Kalau pelakunya profesional, tanpa jejak. Seperti di film-film ...."

Kalimat terakhir Kei tidak mengurangi efek kata-kata sebelumnya. Punggungku sudah telanjur dirayapi rasa ngeri. "Maksudmu ... pelakunya profesional?"

Kei mendesah. "Itu asumsiku, Rhe. Bisa gila bayangin Aidan diperlakukan sejahat itu. Tapi lebih masuk akal kalau Aidan diracun sampai enggak sadar. Lalu disuntik heroin dengan dosis berlebihan. Artinya, ada pelaku kejahatan yang harus bertanggung jawab. Bisa aku kejar sampai dapat. Tapi polisi enggak jadi memeriksa isi kaleng. Asumsiku gugur." Kudengar Kei memukul kemudi beberapa kali. Lalu berteriak marah, "Suicide itu enggak masuk akal! Aku lebih gila lagi kalau itu yang terjadi."

Aku terdiam. Mataku sudah panas lagi. Untuk beberapa saat, Kei juga tidak berbicara. Telepon masih terhubung. Kesunyian yang menekan.

Akhirnya dengan suara tersekat, ia berkata, "Rhe, aku sampai di parkiran Bandrek. Kafenya ramai. Apa yang harus aku periksa?"

Aku turun dari tempat tidur. Rasa cemas mendadak muncul. Bergerak mungkin dapat membantu meredakan. Sambil mondar-mandir, aku meminta Kei menunjukkan tempat itu melalui video. Harapan dan takutku sama besar bahwa tempat itu adalah yang muncul di mimpiku.

Streaming video dimulai. Pada layar ponsel, tampak suasana kafe yang ramai. Sambil menjelaskan melalui earphone, Kei mengarahkan kamera ke setiap sudut interiornya. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada kaitannya pula dengan mimpiku. "Kei, pergi ke Toko Bandrek. Tanyakan pada pelayan jalan ke sana."

Kudengar percakapan Kei dengan pelayan, sementara kameranya mengarah ke lantai. Lalu Kei berjalan. Dan kamera dinaikkan untuk menangkap halaman belakang kafe. "Bisa kamu lihat? Buram ya? Malam soalnya. Pencahayaan terbatas. Aku harus mendekat. Tokonya masih buka."

Kei melewati papan nama Toko Benda Antik Dan Relik Kuno yang ditancapkan di rerumputan. Ada panah menunjuk ke arah bangunan di seberang sana.

"Stop!" Aku menegang. Memandang layar, pada pintu toko yang terbuka. Membandingkannya dengan detail yang kuingat dari mimpi. Mimpi biasa seringnya terlupakan begitu terbangun. Tidak dengan mimpiku yang ini. Sudah dua kali memunculkan hal yang sama: peti mati, tawa orang yang memerangkapku, ruangan penuh benda tertutup kain putih, dan jendela terbuka. "Aku enggak yakin pintunya sama. Mungkin sudah pernah direnovasi. Kamu bisa masuk?"

"Tentu. Aku masuk sekarang. Tapi apa sebetulnya yang kamu cari?"

"Peti mati dalam ruangan berisi benda-benda tertutup kain putih. Aku melihat penampakannya. Hanya menduga-duga ruangan itu ada di dalam Toko Bandrek."

"Peti mati ...." Kei mengomel. Tertawa getir. "Kenapa baru bilang sekarang? Ke sini siang hari bakal lebih menyenangkan."

Keteganganku cair sedikit. Aku bisa tertawa. "Maaf. Aku baru dapat petunjuk sore ini. Enggak bakal minta kamu ke situ kalau enggak ada kaitannya dengan Aidan."

"Dengan kasusnya sekarang?" Kei terdengar heran.

"Aku enggak yakin sih. Tapi nomor ponsel kafe aku dapatkan dari loker Aidan di kelas 12A. Dan dari penampakanku, Aidan pernah ke situ. Aku masih berusaha memahami Aidan dari jejaknya, Kei." Cukup itu dulu yang perlu Kei ketahui. Tidak ada waktu untuk memaparkan seluruh mimpiku.

"Oh, baiklah. Walau menurutku, tempat seperti ini bukan Aidan banget, apalagi sampai berurusan dengan peti mati segala."

"Aku jelaskan nanti lengkapnya. Eh, kenapa menghadap lantai lagi? Kei?"

Kei tidak menjawab. Terdengar penjaga toko melarangnya mengambil foto.

"Enggak ambil foto kok, Mbak. Nih, lihat, aku cuma video call sama adikku. Dia nantang aku deketin peti mati di dalam. Boleh, ya?"

"Bukannya enggak boleh. Tapi di sini enggak ada peti mati." Terdengar penjaga itu tertawa.

"Ada!" seruku, membantah. Ruangan tempat Kei berada sekarang terasa familier. Aku jadi yakin firasatku benar. "Ada di ruangan paling ujung."

Kei menyampaikan kata-kataku pada penjaga. "Adikku enggak akan percaya kalau enggak lihat sendiri. Dia pasti mikir aku enggak berani. Kalah taruhan berarti aku harus nurutin perintahnya selama sebulan. Bete banget kan, Mbak?"

"Heh?" Aku tergelak. "Alasan aneh. Mendingan kamu pamerin senyum biar dikasih."

Tapi bahkan sebelum aku selesai bicara, Kei sudah melangkah semakin ke dalam. Kameranya menangkap patung dan totem di kanan-kiri selasar, dan sekilas sosok penjaga toko yang mengikutinya, seorang wanita muda berbaju batik.

"Kita sampai di ruangan paling ujung. Pintunya dikunci. Mbaknya mau bukain."

"Ini tempat perbaikan benda-benda kuno yang baru datang. Selama aku kerja di sini, enggak pernah ada peti mati. Lihat saja sendiri." Pintu dibuka lebar dan lampu dinyalakan.

Aku terkesiap. Di layar, tampak benda-benda yang ditutup kain putih. Tidak sebanyak dalam mimpiku. Tidak ada peti mati tergeletak di lantai. Tapi jendela di seberang ruangan adalah jendela yang sama. Jendela yang kutuju untuk lari dan menyelamatkan Aidan. Tapi gagal karena aku malah mendekati peti mati dan seseorang mendorongku masuk.

"Kei, tanyakan ...." Aku terbata. Terduduk di kasur, sensasi terkurung tiba-tiba menyergap dan membuat kakiku lemas. "Tanyakan, sudah berapa lama dia bekerja di situ? Apakah ada catatan tentang peti mati sebelumnya?"

"Dua tahun, katanya." Kei menyampaikan jawaban. "Catatan disimpan kurator, yang sesekali saja datang ke sini. Jadwalnya enggak jelas. Ada lagi yang perlu kutanyakan, Rhe?"

"Enggak. Sudah cukup. Terima kasih."

"Oke. Aku mau pulang. Tapi kamu harus jelaskan semuanya." Wajah Kei muncul di layar, tampak serius. "Bicaralah."

"Sekarang?"

"Ya, aku bisa dengarkan sambil nyetir. Aku enggak mau bawa-bawa masalah peti mati sampai susah tidur."

Aku menimbang-nimbang. Mau mulai dari mana? Setelah terbukti mimpiku adalah bagian dari ingatan terkubur, pertanyaanku justru semakin banyak. Aidan dan perkelahiannya dengan Armand, akukah penyebabnya? Aku terperangkap dalam ruangan itu dan seseorang mendorongku masuk ke dalam peti mati, kenapa? Siapa pelakunya? Siapa yang harus kutanyai? Adakah saksi selain mereka yang terlibat? Bagaimana sampai Bang El dan Tante Fang tidak tahu ada sepenggal memoriku yang terblokir juga di masa SMA, setidaknya dua tahun lalu? Bagaimana aku bisa menjalani hari-hari tanpa sadar ada waktu yang hilang? Apa sebetulnya yang terjadi? Apakah trauma kali ini berkaitan dengan peti mati?

Lolongan yang kudengar di mimpi bergema lagi di kepala.

"Ya, Tuhan!"

Tapi bukan aku yang berteriak. "Kei? Ada apa?"

Kei mengarahkan kamera pada kaca depan mobilnya. Terselip pada wiper secarik kertas ditulisi dengan marker merah:


Continue Reading

You'll Also Like

5.5K 584 16
Pengarang: Yue Banding Jenis: perjalanan waktu dan kelahiran kembali Status: Selesai Pembaruan terakhir: 02-11-2023 Bab terbaru: Teks utama Bab 73 Fi...
16.2K 3.5K 46
Credit cover by noisa_art (Instagram) ⭐ Follow sebelum membaca ⭐ Tidak mudah menjadi Haura. Di rumahnya, Haura harus menghadapi ibunya yang temperame...
408K 36K 37
Buku Ketiga dari empat buku dalam seri T.A.C.T. (Fantasy - Romance) Apa yang akan kamu lakukan saat mengetahui kalau dirimu dijodohkan dengan lebih d...
32.3K 5.6K 55
[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. H...