RENTAN: Semusim di Praha [OPE...

By swp_writingproject

114K 18.9K 3.5K

Definisi hijrah dari sudut pandang yang tak terwakili. Kata siapa bertassawuf di era modern itu mustahil? (Di... More

❄️ BAB 02: Apa dan Kenapa
❄️ BAB 03: Tidak Baik-Baik Saja
❄️ BAB 04: Hush!
❄️ BAB 05 - Jangan Terluka Sendirian
❄️ BAB 06 - Separuh Aku
❄️BAB 07: I H S A N (1)
❄️ BAB 08 - I H S A N (2)
❄️ BAB 09 - S E S A K
❄️ BAB 10 - Janji Temu
❄️ BAB 11 - Sayang Lahir Batin
❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu
❄️ BAB 13 - Orang Baru
❄️ BAB 14 - Fenomena
❄️ BAB 15 - Sultanisme
❄️ BAB 16 - Segan Beranjak
❄️ BAB 17 - Intermission
❄️ BAB 18 - Sandung
❄️ BAB 19 - P U L A N G
❄️ BAB 20 - Sarung Longgar
❄️ BAB 21 - Jangan Pecah
Surat Sayang
BUKU SEMUSIM DI PRAHA
Pemesanan Novel Rentan a.k.a Semusim Di Praha

❄️ BAB 01: Zona Bahaya

17.1K 1.4K 350
By swp_writingproject

Judul: Semusim Di Praha
Oleh: Sahlil Ge
Genre: Spritual, Slice Of Life
Alur: Maju-Mundur (Dulu dan Sekarang)

Diunggah pada: 2 Mei 2019 (BAB 1)
Bagian dari 'Antologi Semusim' (Winter).

Hak Cipta Diawasi Oleh Tuhan Yang Maha Esa.


***

Keterangan Karakter Dominan:

- Sultan El Firdausy (Tokoh Utama)
- Astrid Pramesti (Tokoh Utama)
- Wisnu (Psikiater)
- Ayaz (Sepupu Sultan)
- Tora (Abangnya Astrid)
- Nimas (Istrinya Tora)
- Kiai Adam/Abi (Pengasuh pesantren/Orangtua Sultan)
- Bu Farah (Istri Kiai Adam/Tapi bukan ibu kandung Sultan)
- Gus Mahfuz (Abangnya Sultan)
- Imam (Adiknya Sultan/Bukan kandung)
- Mba Ani (Istri Gus Mahfuz)

Semoga nggak bingung ya 🙂

***




***
Bab 01 - Zona Bahaya
***

Prague, Czech Republic - Winter

[Sekarang - Sultan El Firdausy]

...
Suara salju gemeresak di bawah sepatu. Rasanya sudah hampir menjadi beku saat langkah terakhirku sampai di depan pintu apartemen Wisnu. Aku menghentak-hentakkan kaki supaya semua fraktal salju yang menempel di celana berjatuhan. Lalu menurunkan payung dan menghentaknya juga sebelum buru-buru masuk ke dalam.

Wisnu masih di Coffee Cube, mengevakuasi kedai kopi miliknya yang malam lalu masih dibuka. Padahal dia sudah yakin kalau hari ini salju akan mulai lebat. Karena aku ada urusan dengan klien bacaku, maka aku tak bisa membantu Wisnu.

Aku belum terbiasa dengan cuaca ekstrem seperti ini. Rasanya masih aneh jika melihat jenggotku yang jadi putih tertutupi salju setiap kali dibawa keluar. Tapi aku tidak berencana mencukur jenggotku karena itu sebagai wujud pertahanan dari tubuhku agar suhu wajah tetap hangat. Beberapa hari ini misalnya. Tapi mau bagaimana lagi, ini salah satu nikmat bisa merasakan semusim dingin di Praha.

Usai berganti pakaian hangat aku mengambil ponsel yang nyaris sedingin es batu. Masih menyala. Kucoba menelepon nomor Astrid yang sudah dua minggu ini tidak ada perkembangan apa pun dari kabarnya; email tak dibalas, telepon tak diangkat, WhatsApp centang satu. Padahal aku ingin cerita banyak dan ingin tahu bagaimana kabarnya. Namun menyerah karena berkali-kali mencoba hasilnya nihil. Kudiamkan sejenak untuk menenangkan diri. Memasang prasangka baik bahwa bisa jadi dia sedang tidak ada data internet sehingga semua komunikasi dengannya menjadi terputus.

Tak lama Wisnu pulang. Laki-laki usia 29 itu berbaik hati membiarkan aku tinggal di apartemennya selama beberapa bulan di sini. Berhubung kami seumuran dan aku punya maksud juga dengan Wisnu, maka keberadaan kami sudah menjadi simbion untuk satu sama lain. Wisnu butuh teman, aku butuh dia sebagai psikiaterku.

"Aku kira kamu belum pulang, Sul," Wisnu melepas mantelnya.

"Tadi pembacaan tiga bab terakhir. Sekalian ambil bayaran. Makanya cepat. Mereka juga tahu kok sekarang salju deras dan nggak masalah kasih saya kesempatan menamatkan buku itu. Kamu sendiri sudah beres evakuasi?"

Wisnu mendengus sambil mendekati termos berisi teh hangat. Dia menuangkan isinya ke dalam gelas. "Kalau saja bule-bule itu semalam nggak ngadain pesta, mungkin hari ini aku nggak perlu balik lagi ke sana dan capek-capek beresin."

Aku tersenyum.

"Malam ini jangan tidur dulu, ya," pintanya.

"Kenapa?"

"Sergey mengundangku untuk bertamu ke rumahnya."

"Acara apa?"

"Paling makan-makan."

"Kan yang diundang cuma kamu."

"Aku sudah minta izin mau ajak kamu. lagian nggak enak kalau aku sendirian yang ke sana."

"Ya nggak apa-apa sendirian juga."

"Nggak enak. Di sana pasti ada keluarga besar. Lagian kamu mau apa malam nanti kalau di rumah saja?"

"Nggak ada ide yang lebih baik selain menghabiskan malam bersalju dengan hanya di rumah saja. Mungkin aku bisa menyiapkan bacaan apa yang akan aku suguhkan untuk klien keduaku nanti. Atau menyusun informasi yang sudah aku dapatkan untuk disertasiku."

"Ayolah," Wisnu berkacak pinggang, "Traumamu akan jadi lebih baik kalau bertemu dengan orang-orang baru. Lagi pula beberapa kali aku bertemu dengan keluarga Sergey aku selalu bilang tinggal dengan seorang teman. Aku sering bercerita tentangmu. Mereka nggak akan keberatan kalau kamu mau ikut ke sana sebentar, berbagi bahagia dengan mereka yang baru saja merayakan natal kemarin lusa."

"Aku sudah berbaur dengan tetangga, Nu."

"Bukan soal itu. keluarga besar Sergey kebanyakan perempuan, dan kamu perlu membiasakan diri dengan itu. percaya sama aku, ini tidak apa-apa. Aku nggak akan jauh dari sana. Oke?"

Karena Wisnu sudah mengaitkan itu dengan terapi maka aku tidak bisa menolak lebih keras.

Dua jam kemudian aku dan Wisnu berjalan berdua membelah hujan salju. Kami sepayung berdua. Meski tidak sederas ketika siang, tapi dingin yang menyelimuti kota ini tidak bisa disangkal-sangkal. Untuk sampai di rumah Sergey, kami harus menyeberangi Jembatan Charles. Suasana masih sangat sepi. Tak ada kendaraan yang melintas. Hanya beberapa orang saja yang sedang sama-sama melintas di sana. Tapi tetap saja sangat sulit karena salju sudah setebal mata kaki kira-kira. Belum terlihat ada mobil pengeruk salju atau petugas kota yang membersihkannya.

Beberapa kali merasakan musim salju di belahan bumi lain, tapi sepertinya yang paling menarik adalah selama di Praha ini. Alam mengubah Praha menjadi negeri dongeng yang benar-benar membeku dan tenang. Putih. Terasa suci. Lebih sunyi dari kebanyakan kota dengan musim dingin lainnya. Meski belum, tapi seperti sebelum-sebelumnya sungai Vltava di bawah jembatan yang kulintasi ini akan membeku nantinya.

Sampai di lokasi aku membiarkan Wisnu mengetuk pintu. Rumah keluarga Sergey terletak di lingkungan yang tenang. Cukup jauh dari jalan raya besar. Seorang lelaki paruh baya berjenggot putih membuka pintu dan langsung mengenali Wisnu. Memeluknya dengan ramah dan tawa. Lalu meminta kami berdua untuk masuk.

Memang benar sedang ada acara keluarga di sana, sepertinya. Ramai sekali. Laki-laki, perempuan. Anak-anak, dewasa. Dan hidangan tersaji banyak sekali di meja.

"Ini Wisnu, psikiater Sergey yang hebat," bapak itu memperkenalkan Wisnu pada anggota keluarganya yang belum kenal. Mereka memberi tepuk tangan dan berterimakasih. Seolah yang baru bertamu itu adalah seorang pahlawan yang sangat berjasa bagi keluarga ini.

Aku tidak kenal Sergey itu siapa. Tapi dari yang pernah Wisnu ceritakan, Sergey adalah salah satu pasien yang pernah ditangani mentalnya oleh Wisnu, dan berhasil pulih. Itu alasan lain kenapa Astrid mempercayakanku padanya. Mereka berteman baik saat kuliah, konon.

"Aku tidak melihat Sergey," ucap Wisnu. Aku mengikuti langkahnya. Masih terasa canggung karena Wisnu belum memperkenalkanku dengan siapa saja yang ada di rumah ini.

"Oh, dia sedang mandi air hangat. Baru pulang dari mengantar bingkisan. Kau tahu, Wisnu, dia membuatku bangga setelah semua itu."

"Sergey sudah memiliki semua potensi itu, Tuan," jawabnya. Aku memberi gerakan kode. Dan Wisnu paham, "Maaf, ini temanku. Sultan."

"Aku tahu di sana kalian hanya berdua dan sepi. Itu kenapa aku meminta Sergey untuk mengundangmu ke sini. Tentu kau sangat boleh ikut, Sultan. Keluarga kami sedang berkumpul. Dan kau sudah seperti bagian penting dari nama besarku, Wisnu," puji ayahnya Sergey masih. Aksen bahasa Inggris beliau sedikit aneh.

Aku tersenyum. Sedikit melirik pada rumah yang tak terlalu mewah dengan semua hiasan natal yang bisa aku bayangkan. Lampu-lampu tumbler menjuntai di tembok. Ada pohon natal yang masih dililit lampu warna-warni. Dan nuansa hangat dari perapian, pun kelakar semua orang yang ada di sana. Kutakar ini bukanlah keluarga yang borjuis, bukan feodal juga, tetapi berkecukupan. Tidak ada furnitur atau benda-benda yang mewah di rumah ini.

"Senang sekali bisa diterima di sini," aku bersuara. Menjabat tangan ayahnya Sergey dengan senyum tentunya.

Lalu seorang remaja laki-laki muncul dari menuruni tangga. Mengenakan mantel tebal dan segera berdecap pada Wisnu. Itu Sergey. Aku bisa mengenalinya dari caranya yang langsung memeluk Wisnu. Dan Wisnu yang orangnya super ramah tentu membalas kehangatan itu. Mereka lalu seperti bicara. Tapi aku tidak tahu apa yang sedang mereka berdua bicarakan. Mungkin tentang perkembangan Sergey, dan atau Wisnu mengatakan bahwa dia membawa seorang teman, aku. Karena Sergey pun segera memberi jabatan tangannya padaku.

"Aku memintamu untuk datang juga. Percaya padaku, Wisnu yang terbaik dalam profesinya," kata Sergey padaku. Baik, sepertinya aku juga tidak asing bagi anak remaja ini.

"Aku tahu. Terimakasih sudah menyambutku juga," jawabku.

Kemudian Tuan ―Aku tidak tahu nama ayahnya Sergey, jadi kusebut Tuan saja― mengajak Wisnu dan aku untuk bergabung di meja makan yang memang benar lebih banyak perempuannya. Kuhitung hanya ada lima laki-laki di rumah ini, dan nyaris ada sepuluh perempuan terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa muda, ibu-ibu, aku tidak tahu, dan sepasang kakek-nenek. Oh, ada satu lagi, seorang perempuan yang baru keluar dari arah dapur, memakai kursi roda, membawa baki berisi kue kering yang sepertinya baru dikeluarkan dari oven. Rumah ini ramai. Besar namun tidak begitu mewah.

Di sana aku berusaha membawa diri sesantai mungkin. Meski sebenarnya aku sedikit was-was karena berada di dekat perempuan dalam jumlah banyak. Lebih dari tiga itu banyak buatku. Bukan, ini bukan karena aku khawatir akan ada sesuatu yang mencederai imanku. Tetapi trauma yang aku miliki selalu bisa membawaku pada respons paranoid dengan perempuan lebih dari tiga. Jumlah itu. Dan aku tidak enak hati untuk ketidaknyamanan ini. Aku rindu diriku saat masih sangat bisa terbiasa dengan siapa pun.

"Kau tidak suka kalkun itu?" suara gadis kecil dari seberang meja sedikit mengejutkan lamunanku. Dan itu membuat semua yang ada di lingkar meja makan menoleh.

"Ya?" aku memastikan.

"Aku juga tidak suka kalkun," ucap gadis itu lagi.

"Oh, bukan. Maksudku, aku suka. Hanya saja, maaf, aku sedang tidak-," Wisnu menangkap basah kedua tanganku yang sedikit tremor.

"Sultan sedang menghindari makanan berlemak. Dia sedang mengendalikan kesehatannya. Mungkin kue saja tidak masalah. Iya kan, Sul?" aku langsung tahu Wisnu berusaha menyelamatkanku.

"Ah, iya," aku melempar senyum getir pada gadis kecil itu yang rupanya sudah teralihkan kembali pada sepotong puding di hadapannya. Aku diabaikan.

"Makan saja apa yang menurutmu aman untuk dimakan," Sergey menimpali.

Aku mengangguk dengan tundukan sesaat.

"Sultan hanya sampai akhir Februari di Praha," kata Wisnu. Aku berusaha mempercayai apa yang dilakukan Wisnu adalah bentuk pertolongannya untukku. Harus percaya. "Jadi kesehariannya hanya bolak-balik ke Universitas Charles menemui ..." Wisnu menoleh padaku.

"Profesor Ahmed," aku melengkapi.

"Program doktoral."

"Waaw," reaksi ayahnya Sergey, "Kita kedatangan tamu priyayi rupanya!"

Aku segera menampik, "Aku hanya pelajar, bukan orang sehebat itu."

"Tetap saja! Apa kau mendapat beasiswa?"

Dengan ragu aku mengangguk. "Dan di Praha hanya menyelesaikan penelitianku saja."

"Dengar itu anak-anak," pinta beliau.

"Sultan juga bekerja di sini," sebenarnya aku tidak ingin Wisnu mengatakan itu, "Dan itu bukan profesi utamanya. Hanya memenuhi permintaan klien untuk asosiasi yang dia ikuti. Kurang lebih semacam terapis."

Aku bukan terapis, Nu. Jangan melebih-lebihkan.

"Dia juga seorang novelis. Sejak dari Istanbul sudah bergabung dengan Asosiasi Pencerita. Dan kebetulan di Praha ada asosiasi itu juga yang penggawangnya orang-orang yang sama ketika di Istanbul dulu. Semacam cabang karena itu sangat diperlukan di mana-mana rupanya," Wisnu menjelaskan. Tapi aku bukan terapis, Nu. Itu kamu.

"Aku belum mengerti."

"Jadi dia menerima pekerjaan sebagai pembaca buku. Iya, kalian tidak salah dengar, pembaca buku. Sultan membacakan buku pada klien yang membayarnya untuk 'dibacakan'. Macam-macam kliennya. Ya, beberapa orang kan tidak begitu berbakat untuk membaca, atau tidak mampu membaca karena sebuah kondisi. Tapi bukan berarti yang tidak berpotensi seperti itu tidak ingin tahu isi buku. Justru, pemalas membaca yang ingin tahu buku lah yang pada akhirnya jadi klien Sultan. Kadang, dia membacakan buku untuk manula, anak kecil, dan orang sakit. Dia baru saja menyelesaikan bacaannya untuk seorang manula di Karlova. Dan itu berhasil. Sebuah buku bagus yang dibacakan oleh orang yang tahu bagaimana bercerita, memperbaiki situasi psikis seseorang, membuatnya lebih baik, bagiku itu terapi. Itu kenapa aku menyebut dia sebagai terapis juga."

"Tapi bukan dalam artian aku seprofesional itu," aku berusaha memperjelas. Sudah paham maksud Wisnu.

Di sana aku hanya menikmati sepotong puding saja. Dan tepat saat aku tuntas meneguk minuman hangat ―entah apa namanya, rasanya seperti campuran beberapa rempah, warnanya cokelat. Sedikit mengingatkanku pada kopi kapulaga khas pesantren yang jadi suguhan warga setiap kali ada acara istigosah― aku merasa ada yang bergetar di saku celanaku. Dengan gegas aku mengambil ponsel dari sana. Sebuah panggilan tak terjawab. Dan itu dari Astrid!

Aku lalu melihat ke arah wisnu yang ternyata dari tadi sedang memperhatikan geliatku. Aku berbisik padanya bahwa Astrid tadi meneleponku dan tak terjawab.

"Kamu serius?"

Aku mengangguk cepat masih menahan girang. Lalu kutunjukkan layar ponselku padanya. "Aku perlu menelepon dia kembali, Nu."

Kami masih berpandangan.

"Kayaknya aku harus ke luar sebentar."

"Salju deras, Sul," jawabnya masih bisik-bisik.

"Aku bisa duduk di terasnya."

Wisnu menggeleng. Kemudian dia seperti punya ide. Dia berbisik ke Sergey dengan bahasa yang belum bisa aku pahami. Sampai setelah mereka selesai bicara, Wisnu kembali menoleh padaku.

"Sergey bilang kamu boleh pakai kamarnya. Kamu naik saja ke lantai dua. Belok kanan. Jalan saja sampai ketemu pintu kamar yang menghadap ke Utara. Bukan yang dekat kamar mandi."

"Kamu yakin aku boleh naik?"

"Sergey bilang boleh."

Aku masih ragu. Lalu Wisnu menyiarkan ke semua orang bahwa aku harus meminjam kamar Sergey untuk menelepon. Hanya menelepon dan bukan melakukan apapun. Tidak ada yang perlu dicurigai. Dan rupanya pemilik rumah memperbolehkan dengan senang hati.

Aku lalu mengangkat diri dari kursi. Membetulkan mantel sebelum kemudian mulai menaiki anak tangga. Belok kanan. Sampai menemukan dua kamar yang saling berhadapan di koridor kecil. Masalahnya, sampai di sana aku cukup bingung dengan arah mata angin. Ini kamar mana yang menghadap ke Utara? Dan dua-duanya sama tidak dekat dengan kamar mandi. Lalu aku yakin dengan salah satu pintu yang ditempeli topeng Iron Man. Tapi aku ragu takut salah kamar. Sampai keraguanku itu semakin terdesak saat ponselku bergetar dan mengejutkan sekali karena itu sebuah panggilan video dari Astrid. Tanpa pikir panjang aku segera membuka pintu dengan topeng Iron Man itu.

Di dalam cukup gelap. Tidak benar-benar gelap hanya remang-remang saja. Sepi. Seperti tidak ada siapa pun. Aku tidak berani bergerak lebih dari tiga langkah. Karena segera aku duduk di lantai parket menghadap pintu, membelakangi tempat tidur dan mengangkat panggilan.

Hanya butuh waktu beberapa detik sampai aku benar-benar terhubung pada panggilan video. Jantungku berdetak tak karuan. Aliran darah dengan cepatnya menghangat dan seolah mengenyahkan suhu dingin di udara. Ya, dan wajah istriku langsung terlihat di sana. Demi Tuhan bibirku seketika melengkung lebar sampai rapatan gigiku tampak.

"Kok gelap, Mas?" tanya Astrid. Aku mengerjap sebentar. Dia tidak tahu aku seperti apa kangennya. Suaranya itu, aku kangen sekali.

"Aku lagi bertamu di rumah temannya Wisnu," aku belum langsung bicara banyak karena dia sedang menyesuaikan posisi kamera ponselnya. Sementara aku sedang menyesuaikan posisi hatinya.

"Oke. Um. Hai?"

Aku tersenyum songar, "Hai." Bibirku gemetar. "Kamu masih bisa lihat wajahku, kan? Di sini memang agak gelap. Wisnu lagi sama orang-orang di bawah. Aku pinjam kamar cuma buat angkat panggilanmu saja."

"Oh, gitu."

"Iya."

Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh dari nada bicaranya kali ini.

"Kamu baik-baik saja? Nggak ada masalah? Karena sudah dua minggu nggak ada respons apa-apa."

Astrid mengerjap. Menghela napas kemudian, "Ceritanya panjang, Mas. Aku nggak apa-apa kok."

Ada sedikit kelegaan. "Kenapa memangnya? Kayaknya aku punya cukup waktu untuk mendengarkan kalau kamu mau cerita."

"Ini gara-gara Fathan!" kata Astrid yang diikuti dengan tawa heran.

"Loh, kenapa dengan jagoanku?"

"Jadi gini, aku habis telepon kamu gitu kan waktu itu. Sore kalau nggak salah. Nah, Fathan itu belum tidur. Aktif banget dia, habis dijenguk sama Mas Tora. Karena aku bilang ke Mas Tora kalau Fathan udah miring-miring kayak yang lagi usaha buat belajar tengkurap gitu. Penasaran kan, makanya dia datang sama Mba Nimas. Terus aku naruh hape sembarangan. Dan kayaknya kegeser tangan Fathan yang kepak-kepak gitu. Nggak tahu bagaimana jadinya. Fathan ngompol dan merembas ke hape. Rusak seketika."

Sontak kekhawatiranku memudar bersama tawa yang tanpa suara. Astrid pun sama. "Waduh," komentarku.

"Dan waktu itu Fathan lagi nggak aku pakaikan diaper. Jadi dari karpet lembut ngalir gitu ke hape. Padahal itu belum tidur. Kakungnya juga ketawa waktu aku cerita gitu. Untung kartu SIM-nya aman. Dan hape beneran langsung rusak gitu. Heran aku."

Aku tertawa lirih. "Fathan, Fathan. Terus sekarang pakai hape siapa?"

"Aku beli tadi."

"Kenapa harus nunggu dua minggu baru beli, dan nggak waktu itu aja langsung?"

"Kan aku nunggu diperbaiki dulu. Barangkali bisa. Garansiku udah kadaluwarsa. Lagian lucu banget lah kalau pun garansi masih ada dan aku laporan di garansinya 'hape rusak dikencingi anak lanang'."

"Oh, kenapa nggak pakai hape siapa dulu? Bu Farah atau Abi."

"Aku mikirnya mau ngasih waktu buat kamu fokus sama urusanmu di Praha. Kalau pun iya pasti ganggu kamu banget misal telepon, nge-chat. Aku tahu kamu sibuk banget di sana."

"Nggak sesibuk itu. SMS, telepon, atau notifikasi apa saja dari kamu nggak ada yang istilahnya bakal mengganggu urusanku. Mau sesibuk apa, aku selalu berusaha merespons. Ya walaupun mungkin nggak langsung aku balas. Tapi pasti aku cari waktu untuk membalasnya. Notifikasi dari kamu yang belum aku respons itu seperti denging nyamuk di telinga. WhatsApp dari Astrid belum dibalas, ada dua panggilan tak terjawab dari Astrid yang harus aku telepon balik, email dari Astrid belum dibalas, atau duh aku belum transfer uang ke Astrid," kami berdua tertawa kecil pada bagian ini. "Yang seperti itu, Trid. Nggak pernah ganggu. Malah memacu biar aku lekas menuntaskan urusanku dan cepet-cepet ngeladenin kamu."

Astrid mengangguk-angguk sambil mengulas senyum mengerti. "Apalagi, Trid," kataku, "Aku kangen kamu itu tiap detik. Kalau sama anak lanang tiap setengah detik. Gimana aku nggak kayak orang gila kehilangan komunikasi sama kalian berdua selama dua minggu ini. Takut ada apa-apa."

"Yang penting sekarang udah tahu kan alasannya kenapa. Aku pastikan, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan."

Aku menghelan napas panjang. Mengerjap. Lalu mengangguk.

"Fathan lagi tidur? Itu kamu di mana sih?"

"Fathan dari abis asar itu digendong sama Kakungnya. Kan tadi aku ngajar ngaji dulu. Nah, Kakungnya yang pengin gendong Fathan sambil dibawa jalan-jalan katanya. Paling lagi di sekitar rumah warga, main sama Imam juga. Di sini belum magrib lho sekarang. Bentar lagi kayaknya," dia lalu seperti bangun dari duduk dan berangkat ke dapur. "Bentar, aku matiin kompor dulu. Lagi masak air. Termos tiga kosong semua. Nanti kalau Abi mau ngopi kan kasihan."

Demi Tuhan aku kangen banget sama perempuan yang satu ini. Dan sama Fathan juga tentunya, anak lanangku. Manusia kecil yang sebelum dia lahir pun aku sudah siap melakukan apa saja untuknya.

"Maaf ya."

"Kenapa?"

"Aku nggak ada di sana."

Astrid tidak menjawab karena dia sedang berjalan kembali ke kamar. Sambil memeluk bantal dan berbaring menyamping dia menjawab, "Ssshh," dia memintaku untuk tidak membahasnya. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang sedang dia tahan di matanya. "Kamu jangan mikir seperti itu. Maksud aku, iya, kamu pasti kepikiran. Tapi aku serius, urusanmu juga penting. Di sini aku baik-baik saja. Fathan juga bukan cuma aku saja yang ngurus. Mas Tora, Nimas, Bu Farah, dan Abi bahkan nggak ragu sama sekali kalau mau gendong. Pernah malah Fathan digendong Abi sambil ngajar santrinya, Mas! Padahal aku udah berusaha mencegah takut dia rewel atau nangis, apalagi kalau sampai ngompol. Dan anehnya kalau sama Kakungnya itu anteng dia."

Aku tersenyum saja. Mengangguk ringan. "Februari aku pasti pulang."

"Itu pun setelah kamu balik ke Istanbul lagi."

Aku menunduk sebentar. Lalu kembali menatap layar. Menghela napas lagi melalui mulut. "Tapi aku janji yang sama Wisnu akan aku ikuti sesuai prosedur dia."

"Itu baru Samsulku."

Aku tertawa sambil menunduk, "Dari zaman abege sampai udah jadi orang tua gini kamu nggak capek apa panggil aku Samsul? Dan kamu satu-satunya orang yang panggil aku gitu. Kan jadi suka akunya."

"Panggilan sayang."

"Awet banget sayangnya."

"Kamu nggak sayang aku? Nggak pasti."

"Apa sih."

Astrid terkekeh.

"Trid."

"Apa?"

"Di luar salju deras banget. Kamu ingat nggak setahun yang lalu? Ya hari-hari terakhir Desember juga."

Astrid tersenyum.

***

[Dulu - Sultan El Firdausy]

...
Waktu itu, kurang lebih setahun yang lalu aku menghadiri sebuah konferensi Tassawuf Modern di Moskow yang diadakan oleh Himpunan Pengkaji Ilmu Ilahiyat. Lokasinya setiap tahun berpindah-pindah. Aku mengajak Astrid serta sebelum kami pulang ke Indonesia. Kurang lebih seminggu. Salju sama sedang tebal-tebalnya. Kami masih berdua dan belum ada Fathan.

Sewindu menikah, aku masih menghormati keinginan Astrid untuk tidak dulu punya anak. Kami sama sekali tidak mengikuti program penundaan kehamilan. Hanya perlu berhati-hati saja. Saat menikah usiaku dua puluh, dan Astrid delapan belas. Masih sangat muda untuk memiliki buah hati. Ke Moskow kami juga berencana untuk berlibur. Tinggal di penginapan selama kurang lebih sepuluh hari. Dan saat itu baik aku maupun Astrid sudah tidak punya tuntutan akademis yang memberatkan. Pun urusan punya anak aku sampai lupa dan benar-benar tidak memikirkannya.

Suatu malam aku baru pulang dari grosir Seven Eleven membeli beberapa persediaan makanan. Astrid sedang duduk menonton tv sambil makan camilan. Kugantungkan mantel dan topi, melepas sepatu bot, mengganti kaos kaki, sebelum menaruh camilan lain di meja depan Astrid. Lalu berjalan ke arah kulkas, menata makanan, barulah aku bergabung dengannya di depan tv. Namun, saat aku kembali sudah ada satu kado kecil di atas meja yang sebelumnya tidak ada.

"Itu apa?" aku bertanya.

Dia tidak menjawab sama sekali. Sibuk dengan camilannya. Kupandang ia yang masih abai. Lalu kuraih kado itu. Kubuka, dan isinya hanya secarik kertas yang dilipat satu kali. Tanpa bertanya lagi aku membukanya. Tetulis di sana sebuah surat, yang sampai saat ini kuhafal tiap kata di dalamnya. Atau mungkin kuingat karena kertas itu aku bawa ke mana pun aku pergi jauh.

Untuk Mas Sultan.

Aku menoleh ke Astrid begitu membaca kalimat itu. Kemudian lanjut membaca. Sementara Astrid benar-benar hanya sibuk dengan makanannya dan acara tv.

Aku rasa ini aneh menuliskan hal-hal yang sebenarnya bisa aku sampaikan secara lisan. Tapi aku nggak tahu, sepertinya lebih baik aku diam saja dan biar kertas ini yang akan mengatakan semuanya. Jadi jangan tanya apapun dulu ke aku sebelum kamu selesai membaca tulisan ini.

Sekali lagi aku menoleh pada Astrid. Berusaha mencai sebuah isyarat atau apa saja yang bisa aku baca dari wajahnya. Tapi tak ada. Dia hanya santai sambil mengunyah dan tatapannya fokus ke layar tv.

Oke, jadi gini. Kamu jadi suamiku sudah sewindu, kan? Dan maaf banget kalau aku belum bisa jadi istri yang kamu harapkan.

Surat macam apa ini?

Tapi, aku mau jujur. Kamu sudah sangat berhasil jadi suami yang aku harapkan. Kamu tanggung jawab. Norakmu pas, nggak kebangetan. Dan bikin aku makin zheyang.

'Astaghfirullah, Trid, suamimu ini novelis. Mbok ya agak ketularan puitis dikitlah.' Begitu saya bereaksi dalam hati waktu itu.

Aduh aku pusing mau nulis apa.

Intinya atas kerja kerasmu selama ini. Dedikasimu yang luar biasa bikin aku salut. Kasih sayangmu yang bikin aku nggak mau yang lain-lain. Dan kamu cukup buatku. Karena sepertinya masa depan pernikahan ini akan menjanjikan bersamamu. Maka, dengan ini aku nyatakan, kamu aku promosikan jabatannya dari seorang suami menjadi seorang ayah.

Seketika aku menoleh padanya. Nyaris ternganga. Aku belum menanyakan apa pun. Kuperiksa kotak itu lagi dan di sana ada sebuah amplop kecil, yang ketika kubuka isinya adalah IUD.

"Sejak kapan kamu melepas ini?" aku bertanya dengan jantung berdebar.

"A month ago."

"Dan?"

"Kamu nggak nyadar gitu?"

Aku menatap awang-awang dan mengingat-ingat sesuatu. "Aku nggak tahu."

Astrid memutar bola mata. Dan lanjut makan camilan.

"Astrid, serius. Ini maksudnya?"

Lalu dia mengambil sesuatu dari saku mantelnya. Dan itu adalah sebuah tespek dengan dua garis.

"Allahu!" aku berdiri dari kursi dengan ekspresi seperti ingin meledak. "Kamu nggak lagi mencandai aku, kan?"

Astrid menggelengkan kepala. Kali ini dengan senyum tertahan.

"Trid, serius?"

"Iya, calon ayah."

Ya jelas saat itu aku langsung memeluknya. What a feeling!

"I know my boy can swim!" aku berseru begitu sambil menggerakkan tangan seperti ikan ke udara. Dan Astrid tertawa.

***

[Sekarang - Sultan El Firdausy]

...
"Aku ingat lah. Masa nggak."

"Meskipun selama hamil sampai lahiran aku ada sama kamu. Jujur sekarang aku merasa nggak enak. Kamu harus mengurus Fathan sendirian. Iya, mungkin memang ada keluarga kita yang selalu sedia di sana. Tapi tetap bagi aku itu kamu sendirian. Aku minta maaf untuk itu, Trid."

"Aku nggak apa-apa, Mas. Beneran. Jangan mikir yang tidak-tidak."

"Dan, aku ... lagi susah, Trid, di sini," napasku sesak. "Nggak bisa begitu tenang. Bagaimana kalau aku nggak bisa sembuh?"

"Itu kamu melecehkan Tuhan namanya. Karena tidak diciptakan satu kesakitan tanpa disertai penawarnya."

"Astagfirullah," ucapku lirih.

"Aku percayakan kamu sama Wisnu karena aku yakin dia bisa jadi perantara dan tahu betul gimana menangani kamu. Yang mana aku sendiri nggak bisa. Bukan nggak bisa, tapi kamu kan yang belum siap menjelaskan semuanya?"

Aku menunduk. Lalu memberi jawaban dengan anggukan. "Kamu harus tahu, tapi bukan sekarang. Akan coba aku jelaskan kalau tahapan terapiku sudah entas sama Wisnu."

"Iya," dia mengerjap dalam anggukannya. "Um, ini udah mau magrib. Aku mau jemput Fathan. Takut Abi mau ke pesantren dan ngerepotin."

"Iya."

"Kamu jangan khawatir lagi, ya?"

"Sekarang sudah nggak. Tapi, kamu baca semua email-ku, kan?"

"Baca."

"Ya sudah. Kalau gitu, sampai nanti."

Tak lama kemudian panggilan terputus. Ada kelegaan yang sangat besar di dalam dada. Kecemasanku kadang bisa menjalarkan prasangka ke mana-mana. Ini salah satu imbas dari tragedi itu. Aku jadi mudah dilanda kecemasan. Paranoid dengan perempuan banyak. Dan selalu takut dengan sentuhan perempuan. Bahkan satu hal yang aku tangisi dan selalu kusesali, yang juga menjadi alasan kenapa aku marah dengan diriku sendiri, atau alasan lain kenapa aku selalu menghindari kata 'pulang', karena itu. Aku takut menjadi bereaksi paranoid jika nanti bersentuh dengan Astrid lagi. Padahal dia istriku. Dan dia belum tahu apa yang membawaku ke sini dan limbung seperti fraktal salju yang terombang-ambing angin dingin. Pun aku belum siap memberitahu dia.

Ketakutanku yang lain ialah karena tragedi itu terjadi ketika usia Fathan masih sekitar lima puluh hari. Terpaksa harus aku tinggal ke Istanbul untuk menuntaskan urusan lain di kampus. Pertama, aku tidak benar-benar selalu ada saat Astrid hamil. Ya, karena aku pulang pergi Turki-Indonesia. Kedua, Fathan sudah aku tinggal di usia segitu. Aku takut ketika pulang nanti Fathan malah tidak mengenaliku. Aku takut dia merasa asing dengan aromaku. Aku takut ... dia tidak bisa merasakan kehangatanku sebagai ayahnya. Dan kekecewaan lain yang pasti ada di benak Abi atau Mas Tora. Tapi kuharap mereka mengerti.

Aku menghela napas. Lalu berdiri hendak keluar kamar. Saat kupegang kenop pintu, mengejutkannya, lampu kamar tiba-tiba menyala. Aku segera berbalik melihat kamar itu. Dan sebuah kursi roda bergerak pelan dari salah satu sudut kamar yang tadi tidak dalam pengawasanku. Di kursi roda itu ada seorang gadis yang mengendalikan tombol gerak.

Aku taksir usianya lebih muda dariku. Rambutnya terang seperti warna madu. Dan ... sangat cantik meski pucat.

"Kau siapa?" dia bertanya dengan suara bergetar namun dingin. Kursi rodanya terus bergerak sampai mendekatiku, "Kenapa kau masuk ke kamarku?"

***

Well, bagaimana komentarmu untuk BAB 1 ini?

***

Assalamualaikum Wr. Wb.

Saya ucapkan selamat datang bagi kawan-kawan yang membaca tulisan ini. Terimakasih sudah berkenan mampir.

Perkenalkan, saya Sahlil Ge. Biasa disapa dengan panggilan 'Bang Ge' oleh mereka yang baca tulisan saya. Jangan panggil saya 'Akhi'. Boleh 'Mas', 'Kak', atau 'Bang'. Usia saya baru masuk 23 tahun di bulan ini, insya Allah. Mahasiswa semester akhir di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Jurusan Manajemen Keuangan. Insya Allah wisuda tahun ini, aamiin. Semoga bisa melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya.

Demi kenyamanan bersama, saya ingin bilang, jangan anggap saya sebagai penulis. Sekali-kali jangan. Karena kalau Buya Hamka dipanggil penulis, Imam Al Ghazali dipanggil penulis, lalu Ibnu Athaillah dipanggil penulis, maka saya secara pribadi sangat merasa tidak pantas mendapat sebutan yang menyamai beliau yang mulia. Saya hanya pencerita fiksi yang tidak terkenal. Pembaca saya tidak sampai jutaan. Pengikut saya tidak banyak. Kawan-kawan mungkin bahkan belum pernah mendengar nama saya. Atau baru tahu kalau saya suka bercerita di wattpad.

Saya pencerita multi aliran. Genre apa saja saya insya Allah bisa menceritakan. Tapi genre yang saya sukai yaitu Fiksi Realistis/Slice Of Life; ialah aliran fiksi yang penceritaannya mendekati seperti kisah sungguhan.

Silaturahmi saya terbuka bagi siapa saja. Silakan bisa kunjungi media sosial saya untuk lebih akrab. Saya sering berbagi multimedia dan informasi mengenai cerita yang berkaitan.

Instagram: @sahlil_ge

Wattpad: TheReal_SahlilGe

Oh iya, ini instagramnya Mas Sultan @sultan.isme. Saya sarankan supaya kawan-kawan follow beliau. Karena itu bisa mengimbangi kawan-kawan dalam menikmati cerita ini.

Perlu diketahui 'Semusim Di Praha' akan diceritakan dengan menggunakan alur maju mundur [Dulu] dan [Sekarang]. Tapi saya jamin kawan-kawan tidak akan sampai pusing mengikutinya.

Terimakasih. Sekali lagi, salam kenal.

Sampai jumpa hari Minggu.

Ps: Jangan lupa lunasi hutang puasa Tahun lalu. Ramadan is coming. 🙂

Continue Reading