Takdirku ✓

By NurAzZahra8300

44K 2K 363

(Tamat pd bln Juni 2019)-(revisi tgl 24 April 2020/1 Ramadhan 1441) Karena maaf yang tak sempat terucap, mere... More

prolog
1. Menyapa Bayangmu.
2. Lewat Sebait Doa
3. Egois
4. Tak Sesuai Harapan
5. Gelisah Melanda Hati
6. Free It
7. Sebuah Firasat
8. Yang Dinanti
9. Satu Langkah Menuju Akad
10. Bahagiamu, Bahagiaku Juga
11. Pangeran Ar-Rahman
12. Rahasia Gadis Belia
13. Takut
14. Tragedi Kondangan
15. Di Sudut Hati Terdalam
16. Mencari Keikhlasan
17. Sebuah Kebenaran
18. Tak Ada Kabar
19. Bertemu
20. Terungkap
22. Terungkap 2
23. Penjelasan
24. Realisasi Ikhlas
25. Pertemuan Pertama
26. Titipan Deri
27. Yang Terbaik
28. Haruskah Pergi?
29. Perkara Takdir
30. Tamu Tak Diundang
31. Keputusan Shila
32. Tegar
33. Tersenyumlah
34. Sesaat Bersamamu
35. Jawaban Pasti
36. Harapan Kosong?
Lahirnya Anak Baru

21. Silih Berganti

554 45 13
By NurAzZahra8300

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa'ala aali sayyidinaa Muhammad.

Pergunakanlah hidupmu di jalan kebaikan, selama Allah memberimu kesempatan. Banyak dari mereka yang telah pergi, meminta kembali ke dunia ini. Hanya untuk mengerjakan satu amalan, yang bisa menyelamatkannya dari siksaan.

~Takdirku~

***

Kebahagiaan demi kebahagiaan dapat Shila rasakan hari ini. Selain mendapat kabar dari Lisna yang telah melahirkan anak pertamanya, kabar bahagia juga dibawa Elsa tentang dirinya yang tengah hamil. Yang membuat Shila semakin menganga tak percaya, sebab usia kandungan temannya itu sudah memasuki minggu ke 9. Itu artinya, saat mereka bertemu beberapa Minggu yang lalu, rupanya Elsa telah mengandung.

Ini merupakan nikmat yang patut disyukuri, karena apa yang Elsa harapkan selama ini telah ia dapatkan. Siapa yang dapat menyangka, minggu lalu keadaan masih biasa-biasa saja, tapi sekarang semuanya tampak luar biasa. Shila pun dapat merasakan euforia yang tercipta ketika Elsa dengan semangat menceritakan awal ia mengetahui kehamilannya.

Begitu sampai di klinik tempat Lisna bersalin, Shila tak banyak membuang waktu. Secepatnya ia menarik Elsa supaya bisa sampai ke ruangan yang sudah Lisna beritahu saat di telepon.

"Shil, sabar dong, buru-buru banget, mau ke mana sih," tegur Elsa di tengah dirinya yang masih berusaha mengejar langkah Shila agar tak terseret-seret.

"Ayo El, aku udah gak sabar mau lihat bayinya Lisna."

"Iya, tapi kamu jangan melupakan aku dong. Aku lagi hamil loh, kalau janin aku kenapa-napa karena kamu ajak aku lari seperti ini, bagaimana?"

Spontan, langkah Shila terhenti. "Maaf, aku lupa," katanya menyesal.

"Ya udah, kalau begitu kamu duluan aja. Nanti aku nyusul."

Bukannya kembali berjalan, Shila malah menggeleng pelan. "Aku mau bareng sama kamu aja. Gak tega kalau aku harus ninggalin kamu demi bisa sampai secepatnya."

"Tapi aku gak papa loh."

"Aku juga gak papa." Shila lekas merangkul bahu Elsa. Lantas, keduanya mulai berjalan beriringan.

Tepat di depan pintu ruang anggrek, Shila dan Elsa mematung. Matanya begitu jeli, melihat siapa saja orang yang ada di dalam ruangan dari arah jendela. Setelah memastikan tak ada orang asing, mereka pun melangkah masuk.

"Assalamualaikum."

"Wa alaikumsalam warahmatullah," jawab Lisna dan suami sambil mendongak. "Hai, akhirnya kalian datang juga." Mata Lisna berbinar ceria.

"Lisna, barakallahu lakum fil mauhubati lakum," doa Shila seraya memeluk sekilas temannya.

"Terima kasih Shila, sudah mau menjenguk ke sini."

"Iya A, sama-sama. Aku turut bahagia atas kehadiran buah hati di tengah-tengah kalian." Diam sesaat, "eh, boleh gendong dede bayinya gak?"

Tanpa mengiyakan, Lisna langsung memberikan bayi dalam gendongannya pada Shila. Begitu bayi berpindah tangan, senyum yang terpahat di bibir Shila semakin bertambah lebar. Berkali-kali ia mencium pipi bayi itu sampai akhirnya si bayi menggeliat tak nyaman.

"Masya Allah, cantiknya."

"Hidungnya mancung ya." Untuk menanggapi ucapan Elsa, kepala Shila bergerak naik turun. "Persis seperti ayahnya," tambah Elsa sambil mengusap pelan pipi si bayi.

"Wajahnya juga mirip banget sama A Abay, iya gak A?"

Suami dari Lisna tersenyum bangga. Namun tiba-tiba istrinya protes tak terima. "Mirip akulah, kan aku yang melahirkannya. Enak banget mirip A Abay yang cuma sebatas nanam benih doang."

Shila dan Elsa sama-sama tergelak. "Udah Lis, terima aja. Kadang memang suka begitu. Kita yang capek ngandung, berjuang mati-matian demi melahirkan si anak, eh pas keluar, orang-orang yang lihat malah bilang 'mirip ayahnya'."

Bibir Lisna mencebik ke bawah. "Udah sayang, gak usah sedih gitu. Meskipun dia mirip aku, tapi dia akan tetap cantik seperti kamu," kata Abay seraya menjawil dagu runcing Lisna, sampai akhirnya sang istri dapat kembali mengukir senyum.

Sekejap, hening mampir di tengah-tengah kerumunan. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara, selain untuaian salawat yang dilantunkan Shila.

"Ya Allah, Lis, anak kamu aku bawa pulang ke rumah aku aja ya, biar aku ada teman," seloroh Shila menyela salawat yang tengah dibacanya.

"Enak aja, dikiranya anak aku barang apa, main  bawa gitu aja. Kalau kamu mau, kamu bikin aja sana, biar gak ambil anak orang."

Setelah mengerucutkan bibirnya, Shila tak lagi menyahuti ucapan Lisna. Jika ditanggapi, takutnya akan semakin panjang, dan malah mengganggu ketengan bayi yang sedang tertidur pulas dalam gendongannya.

"Nak, untung aja kamu mirip ayah ya, coba kalau mirip ibu, gak kebayang ini hidung peseknya seperti apa. Terus cerewetnya juga."

Selorohan Elsa kembali memancing suasana menjadi riuh. "Ih aku ini gak pesek, cuma belum mancung aja," sergah Lisna sebelum akhirnya ia memberengut.

Shila dan Abay kompak menertawakan ucapan konyol yang meluncur dari bibir Lisna. Bukan tawa menggelegar, hanya kekehan pelan saja, hitung-hitung menghangatkan suasana.

"Dasar gak berkaca diri, bilang pesek ke orang lain. Eh, sendirinya juga pesek," lanjut Lisna masih dengan nada kesal.

"Hidung aku ini bukan pesek, tapi ini mancung yang tertunda," kilah Elsa tak mau kalah.

"Sama aja, pesek itu namanya."

"Kamu aja kali, aku mah enggak, nih hidung aku mah mungil seperti oppa-oppa Korea."

"Idih seperti oppa-oppa Korea dari mananya, dari bulu hidungnya?"

Elsa mendelik sebal. "Masih mending akulah, daripada kamu, mancungnya ke dalam."

"Eh, kamu lagi hamil loh, kalau kamu hina hidung aku pesek, nanti nular sama anak kamu. Mau?" Tanpa sadar, Elsa langsung memukul tangan Lisna yang tertancap jarum infus. "Aduh, ih kamu mah, sakit tau." Lisna meringis kesakitan.

"Eh, maaf, Lis. Aku sengaja tadi," kata Elsa bersikap seolah keadaan baik-baik saja. "Abisnya kamu nyebelin sih, ngomong gak disaring dulu."

"Salah sendiri. Siapa suruh terus ngomong hidung aku pesek."

"Kalau itu kenyataannya, masa aku harus bilang hidung kamu mancung sih, kan itu bohong?"

Helaan napas terdengar dari organ pernapasan Shila. Ia tidak bisa memaklumi kedua temannya yang semakin asyik saling melempar hujat. Lisna juga, dia baru saja melahirkan, tapi sikapnya masih tetap sama. Aneh memang, waktu pertama kali Shila datang ke sini, ibu anak satu itu masih terlihat seperti orang kesakitan. Namun sekarang, rasa sakitnya ia abaikan demi menimpali ucapan Elsa.

"Rosulullah Sallallahu 'alaihi wasallam pernah berwasiat pada Abu Juray bin Sulaim, لاَ تَسُبَّنَّ أَحَدًا 'Janganlah engkau menghina seorang pun." Sebelum ucapannya berlanjut, Shila menatap satu persatu kedua temannya yang sudah diam tanpa kata.


"Kalian berdua, termasuk kita semua, adalah umat Nabi Muhammad Sallallahu 'alaihi wasallam. Gak pantas rasanya kalau kita saling menghujat. Apalagi yang dicela adalah bagian dari anggota tubuh kita. Sesuatu yang harusnya kita syukuri, bukan dikufuri. Seharusnya kita bersyukur karena Allah masih menciptakan anggota tubuh kita secara sempurna, bukan malah dicela. Karena jika kita mencela apa yang ada pada diri, sama halnya kita mencela ciptaan Allah. Paham?"


Mengangguk lesu, dengan pandangan mengarah ke bawah. Ya, mereka akui sikapnya tadi itu salah. Mereka juga tidak menyadari kalau perkataannya telah melampaui batas. Niat hati hanya ingin bergurau, malah berujung pada hinaan satu sama lain.

"Minta maaf," suruh Shila pada Elsa dan Lisna.

Tanpa menunggu lama, keduanya segera berpelukan sambil menggumamkan kata maaf. Ulasan senyum pun dilakukan Shila karena ia telah berhasil melerai perdebatan kedua temannya.


"Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa'ala aalihi wa shahbihii ajma'in." Setelah membisikan bait salawat di telinga bayi Lisna, Shila mengecup lembut dahinya. "Jadi anak salehah ya, Nak. Nurut sama ayah, sama ibu, jadi anak yang selalu membanggakan kedua orang tua kamu kelak. Jadi hamba yang selalu taat perintah-Nya, dan selalu menjauhi larangan-Nya. Serta jadi umat yang selalu mengikuti ajaran rosul-Nya. Semoga kamu, senantiasa menjaga kehormatanmu sebagai wanita, di mana pun kamu berada. Insya Allah."


"Aamiin ya Allah," ucap Lisna dan sang suami bersamaan.

Bayi mungil yang masih memejamkan matanya itu kembali menggeliat. Bibir ranumnya perlahan bergerak, dan menampilkan sebaris senyum yang begitu manis. Seolah mengerti dengan apa yang diucapkan Shila.

"Masya Allah, dia senyum," kata Elsa  kembali mengusap pipi merah si bayi.

"Semoga dia bisa menjadi wanita salehah seperti kamu ya, Shila." Menanggapi ucapan Abay, Shila hanya mengulas senyum sekilas.   

"Boleh kalau salehahnya, tapi kalau judesnya, ampun, jangan sampai deh," timpal Lisna mengetokkan tangannya ke meja dan kepala secara bergantian.

"Emang siapa yang bilang aku judes, orang baik dan ramah gini masa dibilang judes sih, bukan begitu A?" Abay langsung merespons dengan mengangkat kedua jempolnya, menandakan kalau ia setuju.

"Ih, si Aa mah teuing ah, abong si Shila mah geulis, sok kitu ka pamajikan teh (ih, Aa,tau ah. Mentang-mentang Shila cantik, suka begitu sama istri)."

Tawa semua orang kembali pecah karena melihat Lisna yang terus menggerutu menggunakan bahasa daerah. Tak ingin membuat istrinya semakin kesal, Abay langsung memeluk Lisna, lalu mengecup dahinya berkali-kali.

"Shil, handphone kamu bunyi." Elsa mengingatkan Shila dari kesibukannya bersama si bayi.

Diberikannya bayi yang masih ia gendong pada Lisna setelah yakin kalau ponselnya memang berbunyi. Setelah melihat nama yang tertera di layar, ia langsung menggeser panel jawab.

"Wa'alaikumsalam, Teteh masih di rumah sakit Re, ada apa?" Mata Shila membulat saat mendengar berita yang Reva bawa. Refleks, tangannya langsung menutup mulut. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, terus sekarang bagaimana Husna?"

Sambil mendengar penjelasan Reva di seberang sana, Shila menatap satu persatu orang yang kini menatap penasaran padanya. "Ya udah, Teteh ke sana sekarang, kamu terus jagain Husna. Udah ya, assalamualaikum."

"Ada apa Shil, kok panik gitu?" Tanya Elsa usai Shila mengakhiri panggilan.

Sebelum menjawab, terlebih dahulu Shila mengembuskan napas. "Neneknya Fadhil, meninggal dunia."

Kalimat tarji' keluar dari bibir masing-masing orang yang mendengar berita duka itu. "Fadhil teman kita?" Shila hanya menangguk untuk menjawab tanya Elsa.

"Terus yang tadi telepon kamu siapa?" tanya Lisna.

"Reva."

Raut keheranan semakin kentara di wajah kedua temannya. "Kok Reva bisa tau kalau neneknya Fadhil meninggal?"

"Kebetulan adiknya Fadhil temannya Reva, jadi dia tau kabar ini dari Husna. Aku harus segera ke sana, katanya Husna dari tadi gak berhenti nangis."

"Ya udah, kalau begitu aku ikut."

Setelah berpamitan pada Abay dan Lisna, Shila secepatnya keluar dari ruangan. Kembali, ia berlari menuju tempat parkir. Melupakan Elsa yang masih berjalan, berusaha mengejar Shila.

💞💞💞

Kurang lebih satu jam perjalanan yang ditempuh, akhirnya Shila dan Elsa sampai di kediaman Fadhil. Suasana tampak ramai, pekarangan rumah Fadhil begitu penuh oleh orang-orang yang hendak melayat.

Sebelum masuk, terlebih dahulu Shila menelepon Reva, sekadar menanyakan di mana posisinya sekarang. Setelah tahu kalau Reva berada di dalam kamar Husna, Shila memutuskan masuk, sekalian melihat keadaan di dalam sana.

Pandangan Shila dan Elsa menyapu setiap penjuru rumah yang dipenuhi oleh kerabat dan sanak saudara. Tidak berani masuk lebih dalam, Shila memutuskan diam di ruang tamu. Berharap ada orang yang menyadari keberadaannya, dan bertanya padanya.

"Assalamualaikum, Shila."

Kepala dua wanita itu tertengok ke samping kiri. Mendapatkan Fadhil yang sudah berdiri di sana.

"Waalaikumsalam, Fadhil. Husna...."

Seperti paham apa yang akan dikatakan Shila, Fadhil langsung membawanya menuju kamar lantai dua. "Dia di dalam, masuk aja," katanya setelah berada di depan kamar Husna. "Dari setelah aku kasih kabar meninggalnya Nenek, dia belum berhenti nangis. Tolong tenangkan dia ya, Shil. Elsa, kamu juga." Shila dan Elsa sama-sama mengangguk.

Setelah kepergian Fadhil, secepatnya mereka masuk hanya untuk melihat keadaan Husna. "Husna," panggil Shila pada Husna yang sedang memeluk Reva, erat.

"Teh Shila!" Dengan cepat Husna bangkit, dan  menghambur dalam pelukan Shila.

"Na, duduk dulu yuk." Shila memapah Husna untuk kembali duduk di pinggiran ranjang.

Untuk beberapa menit, Shila membiarkan Husna menangis sesenggukan di pundaknya. Tangannya tak berhenti mengusap kepala Husna yang terbalut hijab.

"Teh, Nenek. A-aku nyes-sel karena set-setelah dari kampus a-a-aku ... aku gak langsung pulang." Meski masih berurai air mata, Husna tetap berbicara walau harus tersendat-sendat. "Pad-dahal, se-se-semalam aku masih, masih ngobrol panjang lebar sam-sama Nenek, ta-tapi tadi...."

Dipeluknya tubuh Shila semakin erat, menyuarakan isi hati yang tengah dirundung duka. Sesak. Rasanya sakit, karena orang yang begitu ia sayangi harus pergi. Untuk selamanya.

"Udah Na, jangan memaksa diri kamu untuk bicara. Sekarang kamu tenang dulu, ya, ini musibah untuk kita yang ditinggalkan. Kamu ingat Na, Allah pernah berfirman; bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Siapa pun, dan apa pun itu. Bukan hanya manusia saja.

Bagi kita, selaku yang masih hidup cukup mendoakan, dan mengikhlaskan kepergiannya. Yakinkan dalam hati bahwa mungkin ini yang terbaik untuk nenek kamu menurut Allah. Jadi kamu jangan pernah menyesali apa yang sudah terjadi saat ini. Menangis boleh, asal jangan sampai mengumpat meneriakkan ketidak sukaan kita terhadap musibah ini. Yang sabar ya, masih ada Teteh di sini, ada Reva, ada Teh Elsa juga."

Husna mendongak, menatap Shila lekat-lekat. "Makasih, Teh," gumamnya lirih.

"Udah, lebih baik sekarang kita wudu, yuk, sebentar lagi jenazahnya mau disalatkan. Kamu juga jangan berhenti berdoa, semoga amal ibadah Nenek selama di dunia ini diterima oleh Allah."

Husna mengangguk kelu, lalu bangkit hendak pergi ke kamar mandi. Dengan langkah gontai, Husna tetap berjalan. Hingga akhirnya tubuh itu menghilang di balik pintu kamar mandi yang tertutup.


###

Sekarang Shila dan seluruh masyarakat yang ikut melayat sedang berada di perjalanan menuju kawasan TPU, di daerah dekat rumah Husna. Awalnya Shila meminta Husna untuk tidak ikut ke pemakaman, karena ia takut gadis itu kembali tak sadarkan diri seperti tadi ketika neneknya sedang dikafani.

Namun Husna tetap bersikukuh, ingin  ikut mengantarkan Nenek Khadijah ke tempat pembaringan terakhirnya. Alhasil, Shila hanya bisa menurut saja, dengan syarat Husna harus bisa bertahan sampai proses pemakaman selesai.

Sampai sudah Shila dan rombongan di sebuah TPU. Banyaknya para pengantar yang ikut, membuat Shila sedikit kesusahan untuk berada lebih dekat dengan liang lahat. Sekarang, para pria dari kerabat dekat sudah bersiap untuk menguburkan jenazah Nenek Khadijah.

Begitu jenazah diturunkan dari keranda, tiba-tiba datang seseorang menyerobot ke kerumunan para pengantar, dan langsung masuk ke dalam lubang untuk ikut menguburkan Nenek Khadijah. Shila yang melihat itu hanya bisa mematung. Memerhatikan setiap gerak-gerik dari orang yang baru saja datang.

"Kenapa, Shil?" Sengaja Elsa bertanya, karena ia merasa heran pada Shila yang mendadak mencengkeram tangannya, kuat.

Tak ada jawaban apa pun. Mata Shila masih terfokus pada satu orang yang membuatnya penasaran. Aneh melihat gelagat yang ditunjukkan Shila, Elsa langsung mengikuti arah pandang temannya itu. Setelah menemukan sosok yang menjadi objek penglihatan Shila, alis Elsa tertaut.

"Dia ... siapa?"

💞💞💞

20 Syawal 1441 H

Alhamdulillah..

Untuk kalian yang masih setia mengikuti setiap alur di cerita ini, terima kasih banyak. Kalian sungguh luar biasa.

Siap masuk ke klimaks ya. Beberapa part lagi, insya Allah.

Vote, comment, & follow my account😉

Salam

#AzZahra

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 17.6K 23
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
2.9K 544 20
liku sebuah takdir yang bisa dikatakan cukup rumit, tentang masalah juga Tragedi yang ada sudah cukup menjadi pembelajaran untuk mereka. Saat itu, sa...
729K 17.2K 13
Terbit Novel, bisa dipesan melalui AE Publishing. Ia ingin cintanya seperti Mim mati yang bertemu Ba', lalu menjadi Ikhfa Syafawi, seperti cinta yang...
354K 15.6K 33
Religi-Romance Baca cerita ini udah banyak korban baper. Jadi siapkan hati sebelum baca 😄 Bidadari dhuha, menceritakan kisah cinta mahasiswi dengan...