Assassin

By Irie77

117K 15.3K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 15

3K 424 105
By Irie77

Aku masih terkejut dengan perubahan kulitku yang sudah sembuh total, bahkan pergelangan tanganku sudah pulih tanpa menyisakan rasa sakit. Aku harus segera menyelidiki gadis itu secepatnya, dikhawatirkan ini akan membahayakan Velian dan yang lainnya.

"Valen."

Aku langsung mencelupkan diri hingga seleher untuk menutupi tubuhku meskipun terasa dingin. "Zealda?"

Zealda terhenti sejenak ketika melihatku. "Aku akan mengambilkan kain untukmu."

"Jangan!" sergahku. "Tolong ambilkan aku pakaianku."

"Pakaian?" Zealda terlihat heran namun sedetik kemudian mengangguk kaku. "Baiklah tunggu sebantar."

Tak lama Zealda kembali dengan membawa satu setel pakaianku kemudian kembali ke goa setelah aku memintanya mendahuluiku. Aku segera mengenakan pakaianku dan kembali ke goa dengan tergesa-gesa, membayangkan gadis itu masih di sana.

Dan—benar saja, gadis itu terduduk di depan perapian sambil menekuk lutut menahan dingin. Aku langsung meraih pedang kecilku kemudian melompat dan menjepit lehernya dari belakang dengan lenganku. Ujung pedangku sudah menempel dilehernya sementara ia mengerang kesakitan karena aku membekapnya lehernya dengan keras.

"Katakan padaku siapa kau sebenarnya? Siapa yang mengirimmu kemari, penyihir!"

"Valen tenanglah!" Suara Zealda menggema namun aku tak perduli.

Aku tak perduli dengan tiga pasang mata yang menatapku nanar dan heran, tapi aku harus membongkar siapa gadis ini sebenanrnya.

"A-aku tidak tahu apa maksudmu. Aku bu-kan pe-penyihir," jawabnya terbata sambil terbatuk-batuk.

"Kau pikir aku percaya padamu?!" geramku kemudian membanting tubuhnya ke tanah.

Gadis itu tersungkur sementara aku sudah berdiri angkuh dihadapannya sambil menghunuskan pedangku di depan wajahnya. Ia terlihat kesakitan di bagian kepala namun beberapa detik kemudian, ia menyeringai dan menatapku liar.

Tanpa aba-aba ia langsung melompat kearahku dan merebut pedang di tanganku lalu melemparkannya. Ia membenturkan punggungku ke dinding goa yang dingin dengan keras.

"Valen!"

Gadis itu mengibaskan tangannya dan mereka bertiga terpental bersamaan ketika hendak menolongku dan dalam sekejap tubuh mereka juga terjerat sihirnya. Ia mencengkeram leherku dengan aura sihir yang menguar dari tangannya dan mengunci pergerakanku.

"Bukankah aku sudah mengatakannya padamu? Aku menunggu ucapan terimakasihmu," ujarnya dengan nada dingin. "Beginikah kau membalas kebaikanku yang telah menyembuhkan rasa sakitmu?"

Melihat hal ini, akupun tersadar bahwa sekuat apapun seorang Warior, selincah apapun seorang Assassin akan tetap kalah dengan penyihir. Dia bukan hanya bisa merubah fisik, tapi bahkan bisa memanipulasi pikiran.

Aku terbatuk-batuk akibat cengkeramannya. "A-apa sebenarnya tu-tujuanmu ke-mari?" Kini aku yang terbata saat mengatakannya.

"Sebelum aku menjawabnya aku ingin bertanya satu hal padamu." Ia mendekatkan bibirnya di telingaku sambil berbisik, "Apa hubunganmu dengan pria berambut panjang itu? Kau menyukainya?"

"Itu bukan urusanmu," desisku.

"Aku tidak mengerti kenapa hanya pria itu yang ada di pikiranmu di tengah rasa sakitmu?"

"Sudah kubilang itu bukan urusanmu!"

Tentu saja aku memikirkannya. Hidup Velian adalah tanggung jawabku, jika aku mati maka Velian akan mudah untuk di bunuh dan aku tidak akan membiarkan hal itu.

"Tapi—percayalah, aku bukan orang yang tegaan. Karena itu, aku memberimu sedikit ilusi tentangnya." Gadis itu tersenyum miring. "Ilusi yang menyenangkan bukan?"

"Kau!" gertakku.

"Aku beritahu satu hal padamu. Kau tidak seharusnya memikirkan pria yang sudah memiliki kekasih, atau cintamu akan bertepuk sebelah tangan."

Keningku berkerut ketika mendengar penuturannya yang seolah-olah sedang memberiku peringatan. "Apa maksudmu?"

"Aku melihatnya berciuman dengan wanita lain saat berkuda." Gadis itu tersenyum miring. "Kuharap kau tidak kecewa dengan ucapanku. Kau tahu? Aku benci dengan wanita yang jatuh cinta pada kekasih orang lain."

"Kau berciuman dengan Sarah?!" teriak Zealda pada Velian.

"Velian, aku benar-benar tidak tahu kalau Sarah itu kekasihmu. Kenapa kau tidak pernah memberitahukan hal ini pada kami?" Aleea tak kalah shock.

"Bukan seperti itu!" Velian berusaha menyergahnya. "Sungguh itu bukan seperti yang kalian pikirkan."

"Velian, bukankah aku sudah mengatakannya padamu untuk menganggapnya hanya sebagai adikmu? Kau sudah melupakan peringatanku?"

"Zealda, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku—"

"Cukup!" leraiku kemuadian menatap tajam gadis di hadapanku. "Aku tidak perduli dengan hal itu. Dan sekarang jawab aku, apa tujuanmu kemari?"

Gadis itu mendengus dengan seringai menyebalkan. "Kau bertanya seolah-olah aku disini untuk memata-matai kalian. Bukannya kau juga tahu pria itu yang membawku kemari?" Ia menunjuk Velian. "Dan—kau tahu? Sebenarnya tempat ini sangat menarik dan aku mulai menyukainya. Aku sudah memutuskan untuk tinggal bersama kalian."

"Kau tidak bisa sembarangan tinggal bersama kami!" cecarku kesal.

"Aku tidak perduli pendapatmu. Yang jelas aku akan tinggal disini." Gadis itu melepaskan kami dari sihirnya. "Aku akan kembali membawa barang-barangku," lanjutnya sebelum melesat pergi.

Sihirnya lenyap bersamaan kepergiannya dan aku hanya terbatuk-batuk sambil tersungkur. Begitu pun dengan mereka yang memgangi bagian yang sakit masing-masing.

"Velian sepertinya kita perlu bicara." Zealda menepuk bahu Velian dan mereka saling menatap tajam.

Mereka melangkah keluar dengan sikap dingin khas masing-masing. Aku tak tahu apa yang akan mereka bicarakan tapi tebakanku pasti ini menyangkut Sarah. Sangat jelas sekali Zealda sangat tak menyetujui jika Velian menjalin hubungan Sarah lebih dari sekedar kakak beradik.

"Valen."

Aku menoleh ketika Aleea memanggilku. "Ya?"

"Menurumu—bagaimana dengan gadis itu? Tidakkah kau merasa aneh dengannya?"

Aku termanggut-manggut dengan alis terangkat sebelah. "Yah, dia sangat aneh. Menurutmu—sikap polosnya apa itu hanya pura-pura?"

Aleea menggeleng pelan semabri berpikir. "Entahlah. Menurutku—ia terlihat normal. Jika di bandingkan dengan Sarah, ia begitu natural untuk di sebut pura-pura."

"Bukahkah orang yang seperti ini yang lebih berbahaya? Ia bisa memecah kelompok kita kapan saja tanpa kita sadari," gumamku berargumen. "Kita tidak tahu apa yang ada di pikirannya."

"Mungkin—kita harus menunggu keputusan Zealda. Untuk masalah penerimaan anggota, dia yang pandai membaca karakter seseorang."

Aku melirik ke arah Aleea, pada dasarnya aku memang sudah mengetahui hal itu dari Velian. "Ya, mungkin kau benar."

"Valen, apa tanganmu benar-benar sembuh?" kini Aleea menatap pergelangan tanganku dengan tatapan menyelidik.

Aku mengangguk. "Kau lihat ini?" Aku mengangkat kedua tanganku dan menggerakan jemari dan pergelangan tanganku dengan lihai. "Dia melakukannya dengan sihir."

"Kurasa—kita sedikit membutuhkan kemampuannya." Aleea tampak termenung. "Ritual itu juga menggunakan sihir, ada kemungkinan besar dia mengetahui sesuatu tentang ritual itu."

Aku hanya terdiam. "Menurutku—cukup masuk akal, tapi kita harus menyelidikinya terlebih dahulu. Kita tidak tahu apa yang dia rencanakan."

* * *

Kami bertiga duduk melingkari perapian sambil menikmati makanan kami masing-masing. Aku merasa lega karena tak harus di suapi lagi. Kini aku bisa bergerak bebas secara normal tanpa merepotkan siapapun. Kami sengaja menyisakan sepotong daging dan sedikit sayuran untuk gadis itu.

"Aku mendapatkan sedikit informasi tentang gadis itu semalam," ujar Zealda di sela-sela makan. "Maaf kalau aku harus mengatakannya di saat makan. Kita tidak tahu kapan gadis itu akan sampai kemari dan informasi ini sangatlah penting."

"Katakan saja, kami akan mendengarkannya." sahut Velian lalu menjejalkan sepotong daging kedalam mulutnya sementara aku dan Aleea menunggu apa yang akan di katakan Zealda.

"Nama gadis itu sebenarnya memang Liz. Dia dari distrik Drysh, masih satu wilayah dengan tempat tinggal paman Thomas." Zealda mulai memaparkan laporannya. "Setelah ku cari informasi lebih lanjut dari beberapa orang yang mengenalnya ternyata—Liz memang memiliki dua kepribadian yang berbeda."

Kami terhenti sejenak dengan ucapan Zealda, kemudian kembali mengunyah sambil menantikan penjelasan selanjutnya.

"Gadis itu di perlakukan dengan buruk oleh keluarganya. Dikurung di peternakan unggas tanpa di beri makan selama seminggu. Ia hanya bertahan hidup dengan memakan jerami yang penuh dengan kotoran unggas."

"Uhuk!" Aleea tersedak. "Zealda—" Ia terbatuk sejenak kemudian meminum seteguk air. "Bisakah kau tidak membicarakan kotoran? Kita sedang makan."

Zealda terkekeh seketika. "Baiklah-baiklah. Maaf heheh."

Velian hanya menggelengkan kepala sementara aku tak terpengaruh sama sekali.

"Yah intinya seperti itu," lanjutnya lagi. "Selain itu, dia juga banyak sekali mendapat kekerasan fisik dan—tindakan asusila." Zealda mengunyah sesuap makanannya kemudian menelannya. "Aku tidak tahu dia gila sejak kapan, tapi perlahan ia menunjukan perilaku yang berbeda dan bukan seperti dirinya. Dan—kurasa Lavina merupakan pecahan kepribadiannya, pembentukan karakter lain ini adalah wujud perlindungan dirinya yang berkembang secara perlahan layaknya sistem imun tubuh yang membentuk kekebalan dari penyakit tertentu karena saking seringnya."

Aku menelan kunyahanku lalu menjilat bibirku dari semua rasa makanan yang menempel sebelum bertanya. "Menurutmu—apa dia berbahaya?"

"Kalau dilihat dari kepribadian Liz sendiri, sepertinya dia tidak berbahaya. Tapi untuk Lavina—kurasa juga tidak berbahaya jika kita tak mengganggu Liz. Hanya saja—dia memang sedikit liar dan menyebalkan."

"Tapi—jika Lavina merupakan pecahan kepribadian Liz, bagaimana bisa dia bisa menggunakan sihir? Padahal—Liz sendiri tidak bisa menggunakannya." Kali ini Velian yang bertanya.

"Kalau itu—" Zealda tampak berpikir. "Untuk masalah itu aku sendiri tidak tahu bagaimana prosesnya. Aku tidak mendapat informasi mengenai hal itu."

"Lalu—bagaimana dengan keluarganya? Apa mereka benar-benar membebaskannya begitu saja?" Aleeapun turut bertanya.

"Kudengar—dia membunuh seluruh keluarganya. Lavina yang melakukannya."

Mendengar hal itu membuatku sedikit melonjak dengan antusias. "Bagaimana bisa seseorang yang membunuh seluruh keluarganya di bilang tidak berbahaya? Mungkin suatu saat dia bisa saja membunuh kita satu persatu."

"Sepertinya—dia tidak akan melakukan hal itu selama kita tak berulah padanya."

Aku menarik nafas dengan jengah. "Tapi kau lihat sendiri bukan bagaimana sikapnya ketika ia menjadi Lavina? Dia akan berulah dan—kita tidak tahu apa yang akan dia lakukan."

"Yah itu juga patut kita waspadai." Velian menyutujui pendapatku dan Aleea juga mengangguk.

"Aku akan mengawasinya lebih lanjut, dan aku akan memberitahukan kalian mengenai hal-hal sensitif yang berakibat fatal pada kita," ujar Zealda masih dengan dengan mengunyah makanannya.

"Jadi kesimpulannya—kau mengizinkan dia tinggal disini dan bergabung bersama kita?" tanya Aleea memastikan dan Zealda hanya mengangguk.

Aku di landa cemas seketika. Sebisa mungkin kami harus melindungi satu sama lain agar hal buruk tidak terjadi.

Selang berapa lama, langkah kaki terdengar ketika kami sudah berada di tempat tidur masing-masing. Seorang gadis berwajah pucat sudah menggendong buntalan kain yang dijadikan tas untuk membawa kain-kain di dalamnya. Dia sudah kembali.

"Maaf karena banyak merepotkan kalian. Aku—benar-benar berterimakasih karena telah mengizinkanku tinggal bersama kalian," ujarnya sopan.

"Kau—Liz?" tanya Velian hati-hati.

Gadis itu mengangguk. Perlahan aku mulai mengerti perbedaan dari dua karakternya. Ternyata tidak terlalu sulit untuk membedakannya.

"Kau boleh beristirahat," ujar Zealda lalu membanting tubuhnya di tempat tidurnya seusai makan.

Gadis itu lagi-lagi mengangguk sopan. Dengan sikapnya yang sedikit canggung, ia berjalan menuju tempat tidurnya dan meletakan semua barang-barangnya. Mataku tertuju pada busur panah yang di bawahnya.

"Kau seorang pemanah?" tanyaku ingin tahu.

Gadis itu mengangguk. "Dan—busur ini adalah pemberian kakekku."

"Kau terlihat menyukainya." Aku menatap busur yang terlihat kokoh walaupun usang.

"Yah seperti yang kau lihat." Ia menunjuk busurnya dengan sopan. " Jika kau mau aku bisa mengajarimu."

Aku tersenyum senang dengan menurunkan sedikit kewaspadaan. "Tidak ada salahnya untuk mencoba."

"Kalau begitu, besok kita sudah mulai latihan," ujar Velian merapikan peralatannya. "Kita harus mempersiapkan misi kita berikutnya."

_______To be Continued_______

Sore all.. Udah berapa lama gk up yah ? Hahah.. XD

Maaf banget baru up karena authornya gk sempet ngetik ditambah gak enak badan juga jadi maaf banget yah.. T_T

Mungkin chapt ini agak pendek dan sedikit gaje karena lagi blank juga.. :D

Jangan lupa tinggalkan jejak dan makasih banget buat suportnya yah.. ^^

Salam fantasy, by Indah Ghasy.. :*


Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 138K 73
❝Diam menjadi misterius, bergerak menjadi serius.❞ -Liona Hazel Elnara Genre: 1. Drama Psikologis 2. Thriller / Suspense 3. Action 4. Romance 5. Crim...
52.7K 3.8K 27
{END} Dearly terkejut ketika mendengar sebuah ledakan yang terjadi di dekat hutan kecil belakang rumahnya. Karena penasaran, akhirnya Dearly mengajak...
12.8K 2.7K 10
Elzoya Adams, putri bungsu Gubernur Ibu Kota yang selalu menjadi satu-satunya yang selamat dari serangkaian peristiwa berujung kematian. Alih-alih me...
132K 12K 38
[ BOOK 3 : COMPLETE ] "Kekuatan itu mulai bangkit. Tak lama lagi semuanya akan terkuak dan semua rahasia akan terbongkar. Apapun tidak dapat menghent...