CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 6

3.8K 701 215
By AryNilandari


Rasanya seperti déjà vu, aku terjaga lagi. Kali ini tanpa mimpi. Aku langsung duduk, sadar masih berada di apartemen Aidan. Pukul 11.15. Satu jam, aku tertidur di karpet di belakang kabinet home theater. Tempat yang paling jarang dilewati Aidan dan tamu-tamunya. Kucoba berdiri, masih agak goyah, tapi tidak masalah. Obat pereda nyeri yang kuminum pun bekerja efektif.

"Aku siap bekerja lagi, Aidan. Mungkin sebaiknya aku baca ruangan ini dulu. Enggak terlalu banyak barang, tapi siapa tahu ada petunjuk penting. Aku akan mengumpulkan informasi secara sistematis, pada setiap jengkalnya."

Dari ambang pintu masuk, aku bergerak selangkah demi selangkah, menyentuh dinding dan lantai, membaca perabot dan pernak-pernik yang kulewati. Sebetulnya, benda-benda yang tidak memancarkan getaran bisa kuabaikan, tapi aku tidak mau ada kenangan sesamar apa pun yang terlewat. Semua kuraba, kuselisik, dan hasilnya kucatat di ponsel, jeda sebentar hanya untuk istirahat dan shalat.

Dua jam penuh kuhabiskan untuk sampai kembali di titik semula. Aku duduk lagi di kursi makan. Memeriksa catatan sambil menghabiskan energy drink. Perutku mulai berkeruyukan. Tahan sebentar.

"Aku bacakan catatanku, kamu koreksi ya, kalau salah," kataku pada Aidan. Dan kudengar tawanya di dalam sana. Aku menyeringai. "Ya, aku tahu, sama saja minta orang buta menuntun orang buta."

"Tepatnya, minta sesosok kenangan mengoreksi kenangannya sendiri."

Aku tergelak. Tapi kali ini Aidan tidak ikut tertawa. "Maaf," kataku.

Kubayangkan Aidan mendekat, untuk duduk di kursi di depanku. Memandangku ramah. "It's okay. Aku tahu yang kamu lakukan itu bikin lelah. Harusnya aku berterima kasih."

Aku menyemburkan napas. Terharu. Seperti itulah tanggapan Aidan aslinya, aku yakin. Cowok yang selalu memikirkan orang lain. "Oke. Dari semua kenangan yang kulihat, ada fakta tak terbantahkan, tapi banyak juga kilasan peristiwa penuh lubang yang perlu dicarikan kepingan lengkapnya."

Aidan tampak serius. Tapi tatapan mata hazelnya lembut dan membuatku meleleh. Kuhirup dalam-dalam aroma sejuk water fountain dalam kenangan. Aidan menyeringai. Aku berdeham dengan muka panas. Buru-buru membacakan catatanku untuknya.

"Apartemen ini dibeli Bunda Dhias waktu kamu masuk SMA. Bunda Dhias dipindahtugaskan ke Jakarta tapi kamu menolak pindah sekolah. Cinta mati pada DIHS. Aku enggak tahu rumahmu di mana sebelum ini. Tapi dugaanku, di kompleks yang sama dengan Kei dan River, mengingat kalian berteman sejak kecil.

"Kalian bertiga menjadikan tempat ini markas, karena terdekat dengan sekolah. Kei sering datang sendiri dan menginap di sini. River sesekali muncul bersama Kei. Di dapur aku mendapati jejak River membawakan buah-buahan.

"Teman-teman tim basket pernah berkunjung ke sini. Tapi kenangannya samar-samar. Berarti sudah lama atau sangat jarang. Di antara mereka, cuma Armand yang enggak kamu sukai. Aku paham benar emosimu saat cowok itu datang sendirian ke sini. Kamu ragu mempersilakannya masuk, membiarkannya berdiri saja, lalu ikut keluar dengannya. Entah ke mana. Aku sudah khawatir. Tapi kulihat kamu pulang dengan selamat."

"Aku enggak pernah benar-benar membenci orang." Aidan seperti mengoreksi.

Aku mengangguk. "Ya. Kelihatan banget. Tapi, Aidan, aku bilangin ya, Armand itu bad news. Sejak putus dengan Alea, Armand memusuhiku. Memang masalahku enggak ada kaitannya dengan kamu. Cuma, alangkah baiknya kita waspada. Aku mau cek catatan polisi, tapi Tante Fang dan Bang El enggak boleh tahu. Aku enggak heran kalau Armand masuk ke dalam daftar orang yang dicurigai dalam kasusmu."

"Biasanya dalam cerita misteri, pelakunya adalah tokoh yang paling enggak mencurigakan." Aidan tampak geli.

"Ah, itu kan fiksi. Penulisnya sengaja mengecoh pembaca. Kenyataannya, apa pun bisa terjadi," aku memprotes. Aidan angkat bahu. "Oke, berikutnya. Ada yang menarik dengan minuman kaleng di kulkas, salah satunya yang kuminum ini. Tanggal produksinya baru sebulan lalu. Jadi, bukan kamu yang nge-stok. Sayangnya, enggak ada petunjuk, kecuali bahwa wanita yang bersih-bersih apartemenmu mengeluarkan kaleng-kaleng dari kardus dan menata isinya di kulkas. Kardusnya sudah dibuang. Asumsiku, Kei atau River yang beli buat kamu. Kebiasaan. Lupa kalau kamu ...."

Kalimatku terhenti begitu saja. Aku perlu menarik napas dalam-dalam.

Aidan mengerjap. Masih tersenyum. "Lanjutkan."

"Oh, baik." Aku tergeragap. "Ada jejak kamu marah-marah lagi, Aidan. Kali ini sasaranmu foto-foto berpigura di kabinet dekat jendela itu. Hanya ada foto kamu dan Bunda di sana. Malah satu pigura yang retak adalah foto kamu sendiri. Kamu marah kenapa? Sama diri sendiri atau Bunda?"

Aidan menunduk. "Aku enggak ingat."

Tentu saja. Itu karena rekonstruksi sosok kenangannya belum utuh. Dalam benak, aku menjangkau tangannya di atas meja. Bukan untuk menguatkan Aidan, tapi aku yang membutuhkan genggamannya saat ini.

"Aidan, aku bisa lihat luapan frustrasi, sedih, dan marahmu di pigura. Sama seperti kenangan dari cermin di dalam walk-in closet. Tapi pada dua insiden itu, aku enggak bisa konek dengan emosimu. Padahal sebelumnya bisa, bahkan dengan memori yang nyaris pudar. Kenangan marahmu di cermin dan pigura itu kayak bukan dari kamu.

"Kei bilang, kamu sangat dekat dengan Bunda, mungkin karena itu aku merasa, enggak mungkin kamu semarah itu sama beliau. So out of character. Aku harus cari petunjuk lain di kamarmu. Atau kubicarakan saja dengan Kei nanti. Mungkin ia tahu sesuatu."

Kemudian aku terdiam. Berpikir. Kalau Kei tidak tahu kejadian yang membuat Aidan mengamuk di sini, bertanya padanya pasti akan menoreh luka baru. Sebagai sahabat terdekat, harusnya tidak ada rahasia di antara mereka. Bukankah begitu? Ataukah itu hal yang wajar? Aku tidak pernah tahu, karena selama ini tidak ada yang mengaku sebagai sahabatku. Bahkan Alea yang kuanggap teman dekat, ternyata tidak suka saat kuberitahu rahasia Armand. Dan sekarang, aku menyembunyikan banyak hal dari Tante Fang, yang lebih dari sekadar sahabat buatku. Uh, confusing.

"Kamu terlalu banyak mikir. Lakukan saja apa yang kamu anggap benar." Aidan geleng-geleng. "Apa lagi yang kamu temukan?"

"Cuma segitu dari ruangan sebesar ini. Break dulu sebentar. Lalu kita periksa kamarmu."

"Oke. Terima kasih ...."

"Ah, Aidan. Aku pengin banget mendengar kamu panggil namaku. Tapi enggak ada kenangan satu pun yang bisa jadi contoh. Kalau kupaksa kamu menyebut namaku, pasti kedengaran banget itu suaraku, khayalanku. Sudahlah, aku harus terima kenyataan."

Aidan memamerkan senyum. "Hai!"

Aku tertawa. "Ya, Aidan. Kamu selalu menyapaku begitu."

"Hei, jangan sedih." Aidan mendekatkan wajahnya.

Aku terperenyak di kursi, terbelalak. Apa itu tadi? Kenangan dari mana? Kedengaran meyakinkan itu suara Aidan. Tapi kapan Aidan bilang begitu padaku, dengan cara seperti itu pula?

Jantungku berdebar keras saat satu kemungkinan mengemuka: Ada kenangan yang terlupakan, di antara aku dan Aidan. Bang El bilang, otakku memblokir kenangan yang dianggap traumatis sebagai bentuk pertahanan. Itu menjelaskan hilangnya ingatan tentang asal-usulku dan kejadian sebelum aku ditemukan pada usia 7 tahun.

Ya, Tuhan ....

Apakah berarti ada kejadian traumatis menyangkut Aidan yang diblokir otakku? Kapan? Di mana? Kemungkinan besar selagi Aidan masih SMA. Tapi apa yang terjadi waktu itu?

Aku bangkit dari kursi. Berjalan mondar-mandir mengelilingi meja makan. Panik karena otakku semakin nge-blank. Sama seperti kalau aku mengingat keluarga kandung. "Aidan, help!"

"Hei, jangan sedih." Aidan mengulang. Lagi dan lagi, mengikuti kemauanku. Tapi tak ada kenangan lain terbangkitkan.

Aku menjerit frustrasi. Kuraih kaleng minuman kosong dan kulemparkan ke keranjang sampah di sudut dapur. Meleset, berkelontangan di lantai. Kupungut kaleng untuk kulesakkan ke tempat semestinya. Tanganku menyentuh plastik di dalam keranjang. Plastik dari supermarket. Aku sudah melihat memorinya tadi. River berbelanja buah-buahan dan membawanya ke sini. Aku berasumsi, itu terjadi saat Aidan masih ada. Ya asumsi saja, aku enggan memeriksa lebih jauh karena kenangan itu melibatkan River.

Tapi penampakanku meluas sekarang. River sendiri yang memasang plastik bekas buah itu di keranjang sampah. Buah-buahan yang dibelinya sudah ia pindahkan ke dalam tas tangan. Air mata River menetes pada plastik itu.

Hanya ada satu kemungkinan: Aidan sudah tiada, dan River datang belum lama ini, sendirian.

River punya kunci juga. Apakah Kei tahu?

Uuh, masa bodoh dengan River! Ada yang jauh lebih penting untuk kuingat. "Aidan, kamu pasti punya sesuatu untuk membantuku mengingat. Kenapa kamu bilang, jangan sedih? Harus kutemukan sekarang!"

Tanpa menunggu jawaban Aidan, aku berlari ke kamarnya. Langsung terlihat tempat tidurnya yang rapi dan nyaman. Benakku membayangkan apa yang dilakukan penghuninya di atas kasur. Tapi akal sehatku segera mengingatkan. Clair tidak mampu membaca mimpi. Pemandangan orang tidur sama saja baik dilihat dengan mata awam maupun mata batin. Jadi, tidak ada gunanya memeriksa kasur. Hanya membuat jantungku berdebar keras tanpa alasan yang jelas.

Lebih baik memulai dengan tangga kayu dan tempat belajar di balkon. Getaran memori sangat kuat karena Aidan merancangnya sendiri dan banyak menghabiskan waktu di sini.

Tapi aku tidak tahu apa tepatnya yang kucari. Jadi, semua benda aku selisik bolak-balik. Dari alat tulis, buku-buku bekas SMA, bacaan ringan, catatan kuliah, ransel, surat-surat, bahkan laptop yang tidak bisa menyala. Kubongkar laci-laci yang bisa dibuka. Kucoba membaca isi laci yang terkunci.

Seperti memasuki labirin kenangan, kumasuki banyak pintu, kuselusuri banyak cabang, sampai aku tidak tahu lagi caranya kembali ke titik semula. Aku tersesat dalam kilasan-kilasan memori. Kenangan bertumpuk dan membaur. Menggelayuti kepalaku. Tak ada satu pun yang menyambung dengan kata-kata Aidan kepadaku. Hei, jangan sedih.

"Aidan, apa yang bikin aku sedih? Kapan kamu bilang begitu?"

Aidan tidak menjawab. Dan aku mengomeli tangan kananku. Clairtangency tidak disertai kemampuan menentukan waktu kejadian. Tanpa adanya kalender, jam, sinar matahari, dan cahaya bulan dalam penampakan, kenangan yang kulihat tidak bisa diperkirakan waktunya.

Walk-in closet! Mungkin ada petunjuk di sana. Bergegas kuturuni tangga, terhuyung oleh rasa berat di kepala. Dan di antara bunyi papan terinjak, telingaku menangkap langkah kaki lain. Mendekat. Kemudian jeritan perempuan.

"Oddio! Siapa kamu?!"

Aku membeku. Memandang ke depan dengan penglihatan kabur. Riverkah itu?

"Maling! Jangan bergerak! Aku panggil polisi!"

Aku menggeleng. Melanjutkan turun, dua anak tangga lagi. Lalu tulang di kakiku mendadak kayak agar-agar.

"Oddio! Oddio!" River berteriak-teriak panik.

Aku terjerembap ke lantai. Tak ada rasa sakit, karena aku sibuk berbicara. Kudengar ocehanku sendiri. Tapi sebagian otakku tidak mengenali kata-kata. Sebagian lagi masih awas dan bisa melihat River mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Semprotan? Ia mengancamku dengan benda itu. Aku harus menyebut namanya demi keselamatan. K-K-Kei. Kei. Kei. Kei. KEI!

Entah apa yang dilakukan cewek itu selanjutnya. Aku timbul tenggelam antara jaga dan terhanyut. Sempat kudengar ia berbicara di telepon. Semoga dengan Kei, bukan dengan polisi. Hal terakhir yang kuharapkan adalah Tante Fang dan Bang El membatasi gerakku. Lalu kurasakan badanku ditarik. Diseret. Berhenti. Diseret lagi. River terengah-engah dan mengomel. Aku sadar sesaat dan mengoceh lagi.

"Iya, aku sudah dengar namamu Rhea. Tapi aku enggak ngerti soal baju bekas dan macan tutul Malabar. Kamu ngigau!"

Berikutnya, kurasakan badanku terangkat. Mendarat di kasur. Lembut dan menenangkan. Selimutnya seperti krim kental hangat. Aku langsung bergelung memeluk guling.

"Aku tinggal dulu, disuruh Kei beli makanan. Jangan macam-macam. Kalau bukan karena jaminan Kei, aku sudah seret kamu keluar!"

Aku tidak menjawab. Aroma air sejuk melingkupiku. Memori Aidan mengamankan aku dalam rengkuhannya. Kudengar detak jantungnya pada guling. Tanganku meraihnya lebih dekat lagi. Ritmenya merambat dari dadanya ke relung hatiku. Membuai lembut.

Lalu aku bermimpi. Sejelas yang bisa dirasakan oleh orang yang sadar sedang tidur dan mulai terhanyut ke alam mimpi.

Aku berada di dalam ruangan remang-remang. Gaung suara pintu berat yang menutup masih terdengar. Meredam tawa dan cemoohan di baliknya. Mereka sengaja mengurungku, aku tahu, bersama benda-benda penuh kenangan.

Apakah ini tempat penyimpanan barang bukti di kantor polisi? Aku memandang ke sekeliling. Bukan. Aku belum pernah ke ruang bukti, tapi Tante Fang pernah menggambarkan dimensinya yang luas dengan rak-rak tertata rapi. Di sini tidak ada rak. Hanya ada perabot diselimuti kain putih. Mungkin rumah yang dibiarkan kosong?

Apa pun itu, aku harus cari jalan keluar. Jendela di seberang ruangan, terbuka secelah! Tapi harus melewati peti besar itu. Aku memaksa kakiku melangkah. Berat. Tanganku bukan hanya gemetar, tapi berayun liar. Ke mana sarung tanganku? Tak ada perlindungan dari kenangan yang semakin kuat menarikku ke arah peti.

Tidak .... Aku berbalik. Memukuli pintu dan berteriak-teriak. Suaraku bergema. Tak ada yang datang. Aku harus keluar. Bisakah aku pergi ke jendela, tanpa tersedot peti?

Nekat, aku lari ... rasanya lurus menuju kebebasan, tapi tangan dan kakiku berkhianat. Membawaku langsung ke arah kotak kayu itu ... yang kini membuka. Di dalamnya ....

Aku menjerit. Suaraku tercekik. Kurasakan kehadiran seseorang di belakangku. Tidak sempat menoleh, aku sudah terjerembap masuk ke dalam peti. Jeritanku dan tawanya berpadu. Lalu rasa sakit dan kengerian yang tertinggal di dalam peti membungkam suaraku. Aku melebur menjadi sosok kenangan yang pernah hidup dan mati di dalamnya.

Aku tahu ini mimpi. Tapi sulit sekali untuk terbangun. Hanya bisa menangis. Sampai tidak jelas lagi apa yang kutangisi, dan kenapa aku ada di sini.

"Hei, jangan sedih. Mereka enggak layak jadi temanmu. Kamu terlalu istimewa. Dan ingat, kamu enggak pernah sendirian. Ada aku. Jangan sedih lagi. Sssh, tidurlah dulu. Aku jagain sampai jemputan datang."

Aidan ....

"Sudah berapa lama Rhea tidur?" Suara itu menyusup ke telinga. Menarik kesadaranku kembali.

"Tiga jam. Kamu juga lama banget. Aku bosan setengah mati nungguin."

"Sudah kubilang, macet sepanjang tol. Benar ya, kamu enggak gangguin Rhea? Dia harus tidur nyenyak biar pulih. Ini demi Aidan."

Mataku langsung terbuka. Mendapati Kei berdiri di samping dipan, berbicara dengan River. Saat itu juga, serbuan kenangan dari seprai, bantal, dan selimut, membuatku terlonjak. Aku bergegas turun, menunjuk kasur. "Itu tempat tidur Aidan! Kenapa aku dibaringkan di situ?"

Kei dan River saling berpandangan, lalu menjawab serempak. Yang satu menanyakan keadaannku, terdengar khawatir. Satu lagi mengomel dengan bahasa campur aduk Indonesia-Italia. Terdengar seperti telenovela jadul di televisi.

Aku segera keluar dari kamar, sebelum wangi khas Aidan membuat aku mabuk lagi. Kuempaskan bokongku di kursi makan. Memandang kesal River yang duduk di depanku. Gara-gara dia, aku melanggar janjiku sendiri untuk tidak pernah tidur di kasur orang lain, apa lagi Aidan. Kewarasanku jadi kacau oleh kenangannya yang terlalu pribadi. Tepat di saat aku ingin menggali memori terpendam di antara kami, mimpi absurd semi horor seperti tadi dapat merusak rekonstruksi sosok Aidan.

"Kamu pasti bisa memilah-milah, mana kenangan yang beneran aku dan mana yang bukan," bisik Aidan optimistis. Tentu saja, ia mengikuti kami ke dapur, duduk di sampingku.

Aku tidak sehebat itu, kataku dalam hati, tersenyum kepadanya.

Kei membalas, mengira senyumku untuknya. Cowok itu mendorong salah satu kotak makanan yang tersaji ke dekatku. "Sepertinya kamu belum pulih benar sejak semalam. Makanlah. Selain tidur, makanan enak mungkin membantu. Sapo tahu seafood dari kafetaria di bawah. River enggak suka seafood tapi kalau beli makanan, otomatis deh pilih menu favorit Aidan."

Jealousy detected. Poor Kei. Karena di mata besar River yang mengawasiku, hanya ada kewaspadaan. Wilayah cowok yang ia idolakan dimasuki cewek lain. River cemburu kepadaku, entah kenapa. Tapi diam-diam aku merasa senang. Aku diperhitungkan olehnya.

Pelan-pelan, aku mulai makan. Kei benar. Rekor, hanya dalam 24 jam aku sudah kehabisan energi tiga kali. Kalau sebegini saja kemampuanku, aku tidak akan bisa menyelesaikan pemeriksaan sekarang. Padahal besok, aku tidak ada waktu untuk kembali ke sini. Dan aku tidak ingin bertemu Bang El dengan pikiran dipenuhi rekonstruksi Aidan.

"Izinkan aku menginap di sini," kataku pada Aidan, tanpa sadar dengan suara dikeraskan.

"Eh?" Kei terkejut.

"Apa? Jelas enggak boleh!" River memberengut. Beralih pada Keiran. "Kei, apa pun yang kamu bilang tentang dia, aku enggak percaya. Dia salah satu fans Aidan yang mau menjarah barang-barang peninggalannya."

Aku mendengkus. Aidan, kamu enggak naksir cewek satu ini, kan? Teman sejak kecil, jadi sahabat. Cuma itu, kan? Aidan tidak menjawab. Aku beralih pada Kei yang tampak gugup. Berganti-ganti memandang aku dan River, serba salah. Ia pasti terpaksa menjelaskan siapa aku pada River. Itu sebabnya aku mendapatkan tempat tidur Aidan alih-alih semprotan merica. Aku mengerti. Sebagian besar salahku juga.

"Maaf, Rhe." Kei bangkit dan mengambil tangan River. "Kita perlu bicara."

"Bicara saja di sini!" Aku dan River merespons serempak. Lalu saling pandang. Kekompakan tidak terduga.

"Baiklah." Kei duduk lagi. "River, aku sudah jelaskan semua. Enggak usah aku ulang lagi. Kamu cuma kesal karena aku melibatkan Rhea tanpa bilang dulu sama kamu. Tapi impas, kamu juga diam-diam menduplikasi kunci apartemen. Sekarang aku tahu siapa yang membuat tempat ini seperti berpenghuni. Seperti Aidan masih ada. Beberapa kali aku nyaris kena serangan jantung lihat jaketnya di sofa, CD musik yang keluar dari laci, dan buah-buahan di atas meja. Don't do that again, please. Aku sudah cukup melihat Aidan di mana-mana. Enggak perlu kamu tambahi kesan ia masih di sini."

River mengangguk. Menggigit bibir. "Karena aku juga lihat dia, Kei. Kupikir, enggak cukup Bu Asih datang beres-beres dua minggu sekali. Kalau Aidan tinggal di sini, minimal tiga hari sekali, ada yang datang membantunya mengurus apartemen. Sayangnya, Bunda Dhias enggak kasih aku kunci waktu aku minta. Alasannya, enggak mau aku repot. Cukup kamu saja. Tapi kamu sering menolak kalau aku ajak ke sini."

"Kalau Aidan tinggal di sini ...." Kei mengulang kata-kata River. "Maksudmu, Aidan yang sekarang?"

River mengangguk lagi. "Ya, yang sekarang. Aku baru tahu, dia juga membayangi kamu."

Dua sahabat yang baru sadar masing-masing menyimpan rahasia, kini melanjutkan berbicara lewat tatapan mata.

Aku mendesah. Menyingkirkan kotak makanan dan pergi untuk mencuci tangan. Aidan mengikutiku, bersandar pada lemari dapur dengan kedua tangan masuk saku celana. Tampak prihatin memerhatikan kedua sahabatnya.

Ya, Aidan, kamu lihat sendiri. Mereka dihantui kamu. Oh, maafkan istilahku, bukan dalam artian sebenarnya. Bisa dibilang mereka berhalusinasi lihat kamu. Itu karena mereka enggak bisa menerima fakta. Aku juga. Buktinya kamu ada di sini, karena aku pengin begitu. Dengan cara berbeda, kami bertiga menghidupkan kenanganmu.

Agar kalian bisa damai melepaskan aku, satu-satunya cara adalah mengungkap misteri kematianku. Bukankah begitu?

Ya, mungkin. Tapi aku enggak suka kamu bilang begitu dengan enteng. Ini bukan fiksi, bukan cerita detektif yang kamu baca sambil menebak-nebak endingnya. Kamu bukan cerita yang bakal dilupakan karena move on ke buku lain.

Hei, jangan sedih. Aku mengerti.

Aku tersenyum getir. Berdiri di sampingnya, aku teringat lagi dengan mimpi absurd tadi. Benar, sebagai Clair, otakku menyimpan banyak kenangan orang lain, yang bisa muncul jadi mimpi-mimpi aneh, bahkan nightmare. Sedikit kenangan Aidan yang kusimpan, sewaktu-waktu juga muncul di mimpiku. Tapi baru kali ini, Aidan menjelma lengkap dengan segala sensasi yang terasa nyata. Dekapannya. Aroma tubuhnya. Detak jantungnya. Kata-katanya. Ugh! Stop. Mukaku sudah panas terpanggang.

Aidan menepuk-nepuk kepalaku. It's okay. Perasaanmu, cuma aku yang tahu. Lagian, itu pasti karena kamu berbaring di tempat tidurku. Astaga, jangan-jangan .... Ah, enggak kok. Aku selalu berpiyama lengkap.

Aidan!

Kudengar tawanya menggoda. Ngomong-ngomong, kita memeluk guling yang sama ....

Stop it, Aidan!

Bagaimana cara menghentikan sesosok kenangan yang mendadak usil dan bandel? Selama ini, keisengannya tidak pernah ditujukan pada cewek, apalagi aku. Aidan suka bercanda, tapi hanya dengan teman-temannya di tim basket. Ah, aku tahu, Aidan. Berhenti membayangkanmu!

Aidan tergelak. Lalu berbaik hati mengalihkan persoalan. Hei, mereka kenapa?

Ada drama di meja makan. Kei dan River berdebat seru.

"Aku enggak mau nginap di sini. It's too much, Kei! Urus sendiri deh, Rhea-mu!"

"Rhea membantu kita, bukan cuma aku."

"Masih ada cara lain. Aku enggak percaya dia."

"River, beri Rhea kesempatan. Semua cara kita coba. Demi Aidan."

"Demi Aidan, aku enggak mau dia menggeratak di sini. Menyentuh-nyentuh semua barang."

"Rhea mencari petunjuk. Please, River. Rhea enggak boleh sendirian. Aku khawatir dia pingsan atau gimana-gimana. Tapi enggak mungkin cuma aku yang menemani. Ayolah, kita berdua menginap di sini."

"Aku lagi banyak tugas."

"Kerjakan saja di sini. Aku juga harus belajar untuk praktikum besok."

"Tapi aku enggak percaya sama dia." Suara River meninggi. Tanpa menoleh, ia menunjuk tempatku berdiri.

"Percaya saja sama aku." Kei hampir putus asa.

"Kamu? Lebih-lebih lagi! Siapa dulu yang bohongin Mami, biar ngebolehin aku keluar malam-malam? Siapa yang ngarang seribu alasan biar aku enggak dimarahin Papi saat ketahuan menyelinap? Terus, kamu juga banyak ngebohongin aku. Bilang enggak apa-apa, tahunya tepar di rumah sakit. Bilang sudah ngerjain tugas, jadi bisa bantu aku, besoknya kamu disetrap. Sekarang, kamu diam-diam minta bantuan cenayang. Gimana aku bisa percaya sama kamu? Kenapa enggak seperti Aidan yang bilang apa adanya?! Tinggal kamu sahabatku, tapi aku semakin enggak ngerti kamu. Kenapa, Kei?"

Kei menunduk semakin dalam. Telinganya memerah. Aku tidak tahan lagi. River terlalu buta untuk melihat cinta di balik tindakan Kei. Kutinggalkan Aidan, kudekati River. Sebelum gadis itu sadar, aku sudah menyambar tangannya. Menggenggam jemarinya dengan tangan kananku. Ia terkesiap, berusaha melepaskan diri. Kugunakan tangan kiri juga untuk menahannya.

"Rhea ...." Suara Kei terdengar khawatir.

River adalah cewek yang tidak pernah menahan-nahan emosi. Mengalir tumpah ruah melalui pertemuan kulit kami. Ia terbiasa blak-blakan. Bicara apa adanya, dan berharap orang lain pun seperti itu. Rahasia dan kebohongan dapat menyakiti hatinya. Ia mencintai Aidan karena cowok itu tidak pernah berbohong. Termasuk saat menanggapi pengakuan cintanya. Suatu hari di dalam mobil River, kuduga setelah mereka lulus SMA, Aidan duduk di kursi penumpang. Menolak kotak emas berpita merah yang disodorkan River.

Aidan bilang, You are like a sister to me, I don't want to break your heart. But you deserve someone who would give you everything you need as a woman. He is waiting for you ... share your sweets with him.

Tapi kotak itu, cokelat Godiva yang terkenal mahalnya di dunia, kemudian diberikan River kepada pengemis di lampu merah.

"Lepaskan!" River mendorong bahuku sambil menarik tangannya. Untuk cewek yang tidak lebih tinggi dan lebih berisi ketimbang aku, tenaganya begitu kuat, aku bisa terjengkang kalau Kei tidak menahanku.

"Kamu enggak apa-apa?" tanyanya. Membantuku berdiri tegak lagi.

Aku mengangguk. Merapikan rambut dan pakaianku. Berdeham, lalu menghadapi River dengan tenang. "River, kalau kamu enggak percaya aku atau Kei, enggak masalah. Tapi aku tahu kamu percaya Aidan. Dia tahu, ada seseorang yang tepat buat kamu berbagi cokelat Godiva. Orang itu ada, menunggu kamu. Tentunya bukan sembarang orang di lampu merah."




Continue Reading

You'll Also Like

16.2K 3.5K 47
Credit cover by noisa_art (Instagram) ⭐ Follow sebelum membaca ⭐ Tidak mudah menjadi Haura. Di rumahnya, Haura harus menghadapi ibunya yang temperame...
11.7K 739 24
Menikah tanpa rasa itu menyakitkan. Setiap kali aku mencintai, semuanya menghilang begitu saja.
32.3K 5.6K 55
[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. H...
105K 15.7K 61
[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta k...