Augury of Lune

By risequinn

254 41 26

Penduduk Kota Dethilor hidup dalam damai selama bertahun-tahun, terbiasa berdampingan sebagai makhluk sosial... More

Introduction
Prologue
02 | The Hrano Festival Starts Now

01 | What You Should Know About Dethilor

56 10 0
By risequinn

BERAKHIR TINGGAL dan menetap di Dethilor mungkin terdengar seperti anugerah bagi sebagian orang. Kau tak perlu mencemaskan apa pun dan menjalani hidup dalam damai sebab tak mungkin ada gangguan dari makhluk-makhluk mengerikan yang berusaha memangsa jiwamu karena di sana ada portal yang dibangun oleh Dewa Poseidon sebagai pelindung atas tempat itu. Atau mungkin, kau tidak harus bekerja keras mencari lahan bagus untuk ditanami segala jenis tumbuh-tumbuhan bermanfaat dan bernilai jual tinggi, lantaran di sepanjang tanahnya akan subur biarpun itu berada di tengah-tengah kota.

Kedamaian yang hangat diperbincangkan di kota Dethilor mungkin bukan isapan jempol belaka. Tidak pernah ada kasus di mana penduduk kota tersebut melaporkan kekurangan uang atau bahkan terlilit utang yang cukup besar, sehingga ada yang harus dikorbankan untuk menebusnya. Tidak pernah. Mereka hidup dengan mengandalkan satu sama lain, memberi pada satu sama lain, dan tidak membiarkan kesulitan bertandang terhadap satu sama lain.

Kedengarannya memang menggiurkan, menyenangkan, dan mungkin tak akan pernah bosan untuk menjadi salah satu bagian dari penduduknya. Belum lagi dengan berita yang selalu dielu-elukan sampai ke luar pulau, bahwa Dethilor memiliki sumber daya tak terbatas yang berdaya magis; mampu menyihir segala bahan makanan menjadi kudapan super lezat yang memuaskan setiap mulut yang menyantapnya. Barangkali demikian, saudagar kaya raya yang bertandang ke pulau akan memilih Dethilor sebagai satu-satunya destinasi untuk tinggal lebih lama.

Namun, tidak semudah itu; tidak ada siapa pun tanpa memiliki darah campuran Dewa-Dewi Olimpia yang bisa diizinkan masuk serta tinggal di sana. Dethilor merupakan kota istimewa yang tak terjamah. Keberadaannya ialah untuk melengkapi Samelshain yang dulunya merupakan tanah gersang tanpa satu pun penghuni. Bahkan tujuan awal kota itu dibangun guna melindungi segenap anak Dewa-Dewi Olimpia dari terkaman monster-monster berbahaya.

Lagi pula, tinggal di Dethilor tak semenyenangkan bayangan yang tergambar. Saban hari, kau harus menambah stok kesabaran sebab anak-anak Dewa Ares tak akan membiarkanmu menghirup udara dengan tenang. Mereka mungkin terkadang memberi bantuan dan saling bekerja sama setiap masa panen tiba. Akan tetapi, mereka lebih banyak berbuat keusilan terhadap seluruh penduduk sampai-sampai jika terjadi sesuatu di Dethilor yang berbau kerusuhan, maka sudah dapat dipastikan pemicunya adalah para anak Dewa Ares. Benar, para. Karena jumlah mereka tidak hanya satu, ada setidaknya dua puluh delapan anak dan mereka semua memiliki sikap dan watak yang sama.

Bayangkan saja, setiap kali salah satu membuat keributan, yang lain akan turut memberi dukungan atau bahkan memicu keributan lain di waktu yang berdekatan. Tapi tentu, hal itu tidak dilakukan jika Kratos dan Bia―oops, jangan memanggil mereka seperti itu, mereka lebih suka dipanggil memakai nama kerennya―maksudnya Kwon Kijoon dan Kwon Baera, sedang tidak ada di tempat untuk mengawasi. Karena jika sekali saja ketahuan oleh dua bersaudara tersebut (bahwa mereka tidak hidup dengan rukun), maka siap-siap saja mendapatkan hukuman dengan cara dirantai di loteng kastel tempat keduanya tinggal selama ini.

Seperti halnya siang terik pada awal minggu ke tiga bulan ke sepuluh penanggalan lunar ini, sepeninggal Kijoon dan Baera untuk melaksanakan tugas lain dari Dewa-Dewi Olimpia, berbagai ide jahil bermunculan dari mulut-mulut yang sibuk merencanakan kericuhan di kota. Ke dua puluh delapannya tampak masih berkumpul di dalam rumah nomor enam; rumah yang tak cukup besar dan dilengkapi ornamen-ornamen aneh bergaya metal, cat temboknya berwarna biru gelap hampir ke hitam dengan dua pilar tinggi dicat warna oranye api.

Cekikikan tawa terdengar dari dalam, merasa luar biasa senang setiap kali memperbincangkan kenakalan-kenakalan apa lagi yang hendak dilakukan. Tak lama setelah itu, satu per satu dari mereka mulai meninggalkan rumah guna melancarkan aksinya, berpecar ke segala penjuru kota dalam bentuk gerombolan yang sedikitnya diisi oleh tiga orang. Ada yang mematahkan roda gerobak, mengempiskan ban sepeda tetangga rumah, pun memicu pertengkaran dengan beberapa penghuni.

Sasaran empuknya selalu berada di Hunian Sebelas, tempat para anak Dewa Hermes tinggal―karena mereka tak cukup pandai dalam perkelahian, serta Hunian Satu lantaran hanya ditinggali seorang demigod saja. Mereka tak kenal gentar meski Hunian Satu adalah tempat tinggal putri Zeus yang terkenal lebih kuat dari kesemua demigod. Mereka hanya berpikir, kalau sanggup menyatukan kekuatan―dengan kata lain mendatanginya secara keroyokan―mereka pasti mampu membuat putri Zeus tersebut mengalami sedikit kemalangan.

Hanya saja, Kim Ryuna sudah paham bahwa setiap kali Kijoon dan Baera pergi bertugas, ia selalu menjadi sasaran keusilan anak-anak bengis bertubuh gempal itu. Padahal jika dipikir-pikir, mereka masih terikat oleh garis keturunan Dewa Zeus. Ya, memangnya kenapa? Anak-anak Ares tidak pernah mau tahu menyoal hal tersebut. Bahkan pernah sekali waktu, rumah Ryuna dipenuhi dengan minyak jelantah dan membuatnya terpeleset hingga kepalanya nyaris terantuk lantai marmer yang keras. Beruntung saat itu, hanya sikunya yang terluka karena digunakan sebagai tumpuan ketika terjatuh.

Lantas keesokan paginya, ia membalas dengan membakar daun-daun kering di depan Hunian Enam yang menyebabkan asap mengisi sepenjuru rumah hingga membuat penghuninya terbatuk-batuk dan mengakibatkan adu mulut pun terjadi. Mereka baru dapat dihentikan setelah diberi kabar bahwa Kijoon dan Baera akan segera kembali, jadi mau tak mau mereka justru membereskan kekacauan bersama-sama.

Kali ini, lantaran malas meladeni keusilan anak-anak Ares―yang tampaknya juga tengah menargetkannya―Ryuna memilih mengendap-endap pergi dari rumah dan menuju lumbung di mana ia bertemu dengan Jung Hoseok yang sedang bertugas hari ini.

"Sedang melarikan diri, Rhun?" tanya Hoseok begitu mendapati Ryuna datang dengan wajah ditekuk masam.

"Kubiarkan mereka bersungut-sungut karena tak akan menemukanku di mana pun." Gadis tersebut mencebik sepintas, melompat duduk di atas peti penyimpanan gandum, lalu mengayunkan kaki sembari mencermati sekitar. "Ada pengiriman ke luar kota, ya? Banyak sekali petinya."

"Persiapan untuk festival di Joaxshire," balas Hoseok, kali ini tanpa mengalihkan pandang dari catatan di dalam genggaman.

"Ah, benar, ini hampir purnama di bulan ke sepuluh." Ryuna menepuk keningnya.

Bicara soal festival, setiap tahun di Ibu Kota Samelshain tersebut memang rutin mengadakan festival untuk memperkenalkan makanan khas dari pulau ini, ditambah mungkin beberapa menu baru hasil inovasi dari menu-menu sebelumnya. Acara besar yang biasa disebut dengan Festival Hrano tersebut selalu ramai didatangi orang-orang dari luar kota maupun luar pulau. Jantung kota dipilih untuk menjadi tempat penyelenggaraan karena merupakan wilayah yang paling luas dari seluruh kota di Samelshain.

Selesai mencentang daftar terakhir dan memastikan segala kelengkapan, Hoseok akhirnya memutar tubuh, menatap lurus ke arah Ryuna yang tengah menepuk-nepuk penutup peti. Ia berjalan mendekat, bergumam, "Katanya akan lebih banyak tamu yang datang kali ini, mereka semua ingin membuktikan sendiri bahwa makanan di Samelshain memang berdaya magis."

"Kedengarannya kenapa malah mengkhawatirkan," balas Ryuna, kini mematut tatap lebih serius. "Pak Yong tetap menyeleksinya, bukan?"

"Tentu saja," Hoseok menyahut selagi tersenyum. Ia melemparkan sebutir stroberi ke arah karibnya tersebut yang ditangkap dengan sukses. "Tidak akan ada perompak aneh yang memasuki wilayah Samelshain lagi. Aku tahu Pak Yong pasti menyeleksi dengan sangat ketat pada setiap tahunnya."

"Kuharap acara kali ini sukses besar," ungkap Ryuna, lantas melahap stroberinya sekali suap.

Hoseok hanya terkekeh pelan. Lelaki itu kemudian mengemas peti-peti kayu ke dalam truk angkut yang dibantu seorang anak laki-laki yang lebih muda tujuh tahun darinya. Tapi meski laki-laki itu memiliki jarak umur yang lumayan jauh dari Hoseok, kekuatannya tak dapat diragukan lagi. Ia anak dari Hunian Tiga, salah satu putra Dewa Poseidon, saudara dari teman mereka yang lain, Park Jimin, anak itu bernama Choi Beomgyu.

Mengungkapkannya seperti ini, Ryuna jadi ingat bagaimana mereka bisa berteman dekat hingga sekarang―maksudnya ia, Jung Hoseok, dan Park Jimin. Mereka bertiga datang ke Dethilor hampir di waktu yang bersamaan.

Hari itu, petir menyambar-nyambar di sepanjang pantai Amrora. Langit tampak gelap, namun tidak ada hujan yang turun. Ryuna hampir saja terbunuh oleh lecutan cambuk dari salah satu monster bersayap dengan tanduk besar yang tumbuh di ujung kepalanya, kalau tidak salah dalam buku tentang makhluk-makhluk mitologi yang pernah ia baca, monster itu disebut dengan nama Erinyes.

Ryuna mengarungi lautan dengan sebuah sampan kecil selama beberapa hari, menyembunyikan diri di bawah tumpukan ikan mati berbau busuk demi mengelabuhi para Erinyes tersebut hingga akhirnya tiba di dermaga pantai Amrora. Ia mengalami dehidrasi parah, hipotermia, dan gangguan pada saraf penciuman. Beruntung, seorang nelayan menemukannya tak sadarkan diri dan lekas membawanya ke rumah Pak Yong Hwanki tak lama setelah itu. Ia dirawat selama beberapa hari, lantas begitu terbangun dan sadar sepenuhnya, ia menemukan Jung Hoseok berdiri di sebelah ranjangnya sambil melipat tangan―memerhatikannya dengan seksama.

Kala itu, ia berkata dengan nada ceria, "Hai! Syukurlah kau sudah bangun. Bagaimana kondisimu? Lebih baik? Masih sakit? Atau tidak membaik sama sekali?"

Ryuna terlihat linglung. Ia tidak mengingat apa pun selain lecutan cambuk Erinyes dan berakhir di atas sampan. Kepalanya meneleng ke samping, menemukan seorang anak lain tengah berbaring di ranjang sebelahnya―dipisahkan oleh jarak tak cukup lebar dan tubuh Hoseok yang berdiri di antaranya.

"Oh, dia. Dia juga datang setelah dirimu, kukira kalian baru melewati hari yang berat, bukan?" Hoseok menarik sebuah kursi, mendudukkan bokongnya perlahan saat Ryuna mencoba menarik diri untuk bersandar. "Eh, eh, jangan dipaksa duduk. Nanti kau jatuh pingsan lagi, kau tidur selama sepekan, omong-omong."

Mata kecil Ryuna spontan membelalak. "Apa? Sungguh selama itu?" tuturnya pelan dan serak.

"Iya, benar. Untung saja, sih, Pak Yong segera membawa kita kemari. Beliau tahu kalau kau, aku ..., dan dia itu berbeda." Hoseok melirik seonggok tubuh yang belum pula sadarkan diri di sebelahnya. Lelaki itu lantas tersenyum, mengusap telapak tangan ke celana kain biru lusuh, lantas mengulurkannya ke arah Ryuna. "Namaku Jung Hoseok, aku datang tiga hari sebelum dirimu dan ... aku belum ditentukan harus masuk hunian yang mana, jadi aku masih tinggal di kastel milik Tuan Kijoon dan Nona Baera."

Ryuna benar-benar pusing saat itu; kastel, ditentukan masuk hunian, juga yang katanya ia berbeda. Tapi jika mengingat bagaimana monster bersayap kemarin menyerangnya, ia dapat sedikit percaya jika ia memang berbeda. Hidupnya sejak SMA bahkan tidak terlihat baik-baik saja, banyak kejadian aneh di luar nalar yang sering melibatkannya dengan petir juga langit, pun makhluk-makhluk aneh yang datang dan mengganggunya. Awalnya mereka tidak melukai, tapi lama-lama setelah beranjak dewasa, ia sangat sering mendapat luka ketika bangun tidur atau merasa tercekik di dalam mimpinya. Belakangan, Ryuna sadar kalau itu bukan mimpi, melainkan memang sungguhan terjadi dan dilakukan oleh satu dari sekian monster yang memburunya.

Dalam ketidakmengertian yang kian memenuhi isi otak, seorang makhluk bersayap lain memasuki ruangan dengan membawa sebuah gelas berisi cairan pekat, membuat Ryuna seketika terlompat dan mendapat sakit kepala yang hebat.

"Tenanglah, aku bukan salah satu dari monster yang menyerangmu," katanya, meletakkan gelas di sisi meja dan berdiri menghadap Ryuna. "Aku dan kakakku adalah suruhan ayahmu, namaku Bia―eh, tapi lebih baik kau memanggilku Kwon Baera saja." Perempuan bersayap itu mengibaskan tangannya sesaat, meminta Ryuna mendekat, tapi si gadis jelas tidak berani bergeser sedikit pun. "Tidak apa-apa, sungguh! Aku hanya bisa menyakiti atas perintah, lagi pula kau adalah anak Tuan kami, tidak mungkin aku menyakitimu."

Ryuna akhirnya bergerak perlahan, menyeret kakinya ragu-ragu dan berdiri dalam jarak aman dari makhluk bersayap itu.

"Minum ini," kata si perempuan sembari menunjuk-nunjuk gelas yang baru diletakkan di sisi meja. Setelahnya, ia melipat tangan di depan dada selagi meneruskan tenang, "Dan karena aku sudah tahu siapa ayahmu, setelah kau cukup pulih dan merasa lebih baik, maka pergilah ke Hunian Satu."

"APA?!" Hoseok berteriak panik, sejurus berdiri dari kursinya hingga membuat benda tersebut jatuh berdebum menghantam lantai batu. "Hu―hunian Satu? Berarti dia ... dia ...."

"Ya, putri Dewa Zeus." Baera tampak memerhatikan Hoseok sejenak, ia menjentikkan jari kala teringat sesuatu. "Ah, kau juga sepertinya akan ditentukan sebentar lagi. Nanti malam, pergilah ke sungai Clys. Kau akan menemukan petunjuk di sana, Krat―bukan, maksudku, Kak Kijoon akan menemanimu."

"Benarkah itu Dewi Bia?"

"Baera," koreksinya cepat.

"Iya, maksud saya itu, Nona Baera." Hoseok memukul mulutnya sendiri. "Benarkah saya akan segera ditentukan? Atau ..., apakah Anda tidak langsung tahu siapa ayah saya?"

"Tidak! Dan jangan bertanya lagi, cukup pergi ke sungai Clys nanti," cetus si perempuan dengan nada keras.

Hoseok seketika menciut. Ia membalas gugup, "Ba―baiklah, Nona Baera."

Jika Hoseok langsung berteriak panik mengetahui bahwa Ryuna adalah putri Zeus, maka yang bersangkutan hanya sanggup terpekur lama dan tenggelam dalam hening. Ia mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan informasi yang tampaknya semakin tidak masuk akal ini.

Bagaimana mungkin ia adalah putri dari Raja para dewa, penguasa langit beserta isinya, dewa tertinggi dalam takhta Olimpia? Mana mungkin itu terjadi sementara ... ah, benar juga. Itu menjelaskan bagaimana ia memiliki hubungan yang rumit dengan petir dan langit selama ini. Tapi tetap saja, Ryuna merasa ini semua masih di luar nalar dan kewarasannya.

Dalam suasana yang sedikit membingungkan itu, geraman serak seorang pemuda sontak mengalihkan seluruh atensi. Laki-laki yang tadi mengisi ranjang di sebelah Ryuna tampak menggeliat dan perlahan membuka mata. Hal pertama yang ia lakukan saat berhasil terjaga adalah menghirup udara dalam-dalam, lalu menatap Baera setengah terperanjat.

"Bagaimana mungkin aku bisa bernapas di dalam air?" Adalah kalimat pertama yang ia ucapkan dan membuat semua orang di dalam ruangan itu menatap dengan berbagai macam ekspresi.

Hari itu, mereka bertiga akhirnya ditentukan untuk masuk pada hunian ke berapa di kota tersebut. Kim Ryuna di Hunian Satu (Rumah Zeus), Jung Hoseok di Hunian Sebelas (Rumah Hermes), dan yang mengaku dapat bernapas di dalam air, Park Jimin, di Hunian Tiga (Rumah Poseidon).

"Aku boleh ikut, tidak?" tanya Ryuna, kembali pada masa kini setelah melompat turun dari atas peti kayu dan menepuk-nepuk tangannya yang kotor oleh debu.

Hoseok dan Beomgyu menoleh bersamaan, dahinya berkerut samar-samar. "Ini bukan hari tugasmu, Rhun, kau tidak boleh keluar dari Dethilor," ujar Hoseok.

Ryuna mendengkus pendek, menatap memelas. "Aku benar-benar sedang tidak ingin kembali ke rumah, anak-anak bengal itu pasti akan membuatku naik pitam, lebih baik aku pergi."

"Tapi kau tentu ingat peraturannya. Keluar dari Dethilor tanpa Batu Amethyst akan sangat berbahaya. Bahkan meski membawa batu itu pun, keselamatan kita belum tentu terjamin." Hoseok melangkah gusar, mungkin ia bisa meminjamkan batu miliknya pada Ryuna, namun ia pasti tak tega membiarkan gadis ini pergi hanya bersama Beomgyu saja. Lagi pula, tidak ada yang bisa mengemudikan truk di antara mereka berdua. "Kau bisa tinggal di sini, lalu kembali nanti menjelang petang. Biar kupanggilkan Jimin untuk menemanimu?"

"Kak Jimin sedang pergi ke Iscalta," sahut Beomgyu tiba-tiba. "Katanya, ia mau menonton pertarungan di Arena Boragon."

"Dia pergi sendiri? Tidak membawa batu?" pekik Hoseok, agak panik karena biasanya mereka tak diizinkan pergi ke tempat-tempat ramai tanpa membawa Batu Amethyst. Dan lagi, batu itu hanya ada selusin di kastel Tuan Kijoon dan Nona Baera. Mereka tak bisa membawanya kecuali mendapat izin atau diberikan secara cuma-cuma saat hari bertugas oleh dua bersaudara tersebut.

Namun, pernyataan Beomgyu selanjutnya sanggup mengantarkan seberkas kelegaan pada karib saudaranya itu, "Tadi Kak Jimin sudah pergi ke kastel dan meminta izin pada Tuan Kijoon sebelum mereka pergi, sepertinya memang dapat batu mengingat ia bisa keluar."

"Harusnya tadi aku juga pinjam batu ke mereka, ya? Tsk." Ryuna mendecak, melipat tangan setengah bersungut-sungut.

"Kak Ryuna mau pinjam batuku saja?" tawar Beomgyu, yang lekas dibalas dengan binar mata bahagia oleh si gadis.

"Memangnya boleh kupinjam, Beomgyu?"

"Tentu saja! Sepertinya Kakak benar-benar ingin pergi keluar."

"Ya ampun, kau baik sekali, sih! Aku akan membelikanmu sekotak cokelat nanti setelah pulang, oke?"

"Wah, terima kasih banyak, Kak!" Beomgyu tersenyum begitu lebar, kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan Batu Amethyst sebesar biji buah alpukat dan mengangsurkannya pada Ryuna.

Gadis tersebut menerimanya dengan senang hati, menyimpan potongan batu ke dalam kantong yang dililitkan ke pinggangnya. Ia memang biasanya menyimpan barang-barang penting di sana, takut hilang jika dilesakkan ke saku atau tempat lain seperti tas selempang kecilnya.

Hoseok lantas berjalan maju, menekan bahunya dan mengajaknya segera naik ke truk untuk berangkat menuju Joaxshire. Namun, Ryuna malah memandang Beomgyu setengah menyesal, berbicara pelan, "Kalau aku membawa batumu, kau akan melakukan apa setelah ini?"

"Aku bisa berlatih di lapangan," ujar Beomgyu, kemudian meneliti langit yang berpendar terik di atasnya. "Agak panas, sih, memang. Tapi udaranya sejuk, cocok untuk melakukan panjat tebing atau lempar belati."

"Baiklah," sahut Ryuna cepat begitu mendengar jawaban Beomgyu. Ia mengerling kegirangan, lantas melambai kecil tak lama kemudian. "Kalau begitu aku pergi dulu, ya! Sekali lagi terima kasih, Beomgyu."

Begitu si anak laki-laki membalas lambaiannya, suara mesin kendaraan besar itu berderum dengan nyaring. Truk lantas berjalan meninggalkan lumbung menuju perbatasan yang dihubungkan oleh jembatan batu luas ke Iscalta dan selanjutnya menuju Joaxshire guna mengantarkan bahan-bahan yang dipesan untuk Festival Hrano yang akan digelar dalam tiga hari ke depan. []

―――――――――――――――

ʟᴜᴍʙᴜɴɢ ᴅᴇᴛʜɪʟᴏʀ

ᴋᴀꜱᴛᴇʟ ᴋʀᴀᴛᴏꜱ ᴅᴀɴ ʙɪᴀ

ʙᴀᴛᴜ ᴀᴍᴇᴛʜʏꜱᴛ

―――――――――――――――

Notes: Setting cerita ini berada di masa lampau, di mana belum ada alat komunikasi semacam telepon/ponsel, tapi sudah ada kendaraan yang berjalan menggunakan bahan bakar seperti truk atau mobil. Untuk pergi ke luar pulau, mereka menggunakan kapal layar. Kendaraan lain yang biasa digunakan yaitu kereta kuda dan sepeda. Rumah dan kastel terbuat dari batu marmer, beberapa juga hanya menggunakan batu-batu biasa yang kokoh dan berukuran besar.

―――――――――――――――

Halo! Kalian yang membaca ini, semoga kita bisa berpetualang hingga akhir, ya! Kutunggu kritik/saran jika ada dari mitos-mitos yang kujabarkan ternyata ada salah atau melenceng. Terima kasih untuk kalian yang menyempatkan diri menengok dan membaca cerita ini ♡

- ʀɪꜱᴇQᴜɪɴɴ -

Continue Reading

You'll Also Like

304K 20.6K 22
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...
2.8M 266K 78
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.
155K 14.3K 21
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
3.1M 201K 49
Elisa Latasha Mauren hendak di jual oleh ibu tiri nya ke salah satu rumah wanita malam. Elisa tentu tak terima, ia memilih kabur dari sana dan sialny...