Assassin

By Irie77

116K 15.2K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 14

2.8K 409 97
By Irie77

Aku terduduk melamun di tepi sungai. Mencerna kenyataan yang begitu menejutkan hingga nafasku terasa sesak. Kini aku tahu bahwa Velian adalah putra ke empat yang selama ini membuatku penasaran tanpa sempat kucari. Dia menyembunyikan identitasnya dengan baik selama ini sampai-sampai Zealda dan Aleea tidak menyadari betapa penting keberadaannya. Bahkan paman Thomas sendiri yang telah merawatnya sejak kecil tidak tahu menahu soal ini, yang berarti—aku adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui dirinya yang sejati.

Tapi—bagaimana caraku untuk menyembunyikannya? Meskipun dia memintaku untuk bersikap biasa dan pura-pura tak tahu, namun hati, pikiran bahkan ragaku tidak bisa berbohong bahwa dia seorang 'yang mulia', dan itu membuatku canggung secara refleks. Ditambah—ia sendiri yang bertanggung jawab merawat lukaku.

Mengingat ia yang menyentuhku untuk merawat lukaku telah membuat pipiku bersemu memalukan dalam sekejap, ditambah aku mengingat mimpi aneh yang terasa begitu nyata itu. Sialan, aku tak bisa menghindarinya.

"Valen."

Aku melonjak kaget tanpa kutahu bagaimana ekspresiku ketika mendengar suaranya. Aku terdiam kaku ketika mendengar langkahnya yang mulai mendekatiku.

"Velian," ujarku dalam hati dengan segala kegugupan yang membuatku gelisah.

Aku ingin tetap diam namun kepalaku memutar kearahnya secara diluar kendali. "Y-ya?"

"Jangan mentang-mentang lukamu semakin membaik, kau bisa keluar seenaknya," cecarnya dengan nada lembut. Ia terduduk di sampingku dengan santai seolah-olah dia bukan seorang 'yang mulia' yang seharusnya. "Bagaimana bisa kau memilih tempat sedingin ini untuk bertapa?"

"Aku—hanya bosan di dalam goa," sahutku masih sedikit kaku. "Sekali-kali aku ingin menghirup salju."

Velian mendesah pelan dengan mata menatap langit. "Yah aku tahu. Hiruplah salju sebanyak yang kau mau sampai paru-parumu membeku." Ia meraih pergelangan tanganku dan menatapnya intens. "Masih butuh waktu lama untuk memperbaiki tanganmu."

"Aku tahu, misi kita tertunda karena tanganku bukan?" tanyaku menggali kegelisahan yang sedikit tersirat di matanya. "Maaf karena aku tak bisa mengendalikan diriku dan berusaha membunuhmu waktu itu."

"Tidak ada yang salah," jawabnya singkat.

Kami terdiam cukup lama namun pikiranku berputar cepat, menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang akan kugunakan sebagai puzzle untuk membuka misterinya.

"Yang mulia, jika misimu berhasil apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan melakukan kudeta terhadap raja dan menunjukan identitasmu?"

Velian terdiam sejenak dengan wajah sendu. "Aku tidak tahu," jawabnya sebelum melanjutkan, "aku tidak tahu apakah saudara sudariku masih hidup atau tidak. Jika mereka semua masih hidup di suatu tempat seperti yang ku bayangkan, maka yang berhak memegang kekuasaan itu adalah putra mahkota yang sesungguhnya, yaitu—kakak pertamaku."

Aku terdiam mendengar penuturannya. Ya, aku pernah mendengar bahwa raja terdahulu memiliki sembilan anak, tiga diantaranya adalah perempuan dan keberadaan mereka sampai sekarang tidak diketahui.

"Jika misi kita berhasil, mungkin hal pertama yang akan kulakukan adalah mencari mereka." Velian menatapku. "Kau mau membantuku kan?"

"Tentu saja. Aku sudah mengabdikan diriku padamu. Sebagai ksatriamu, aku akan melakukan apapun untukmu untuk menemukan saudara-sudarimu," ujarku menggebu.

Velian tersenyum simpul dan aku melihat kelegaan dari guratan di dahinya. "Terimakasih."

"Syukurlah kalau kalian ada disini." Aleea muncul dengan nafas terengah-engah. "Aku butuh batuan kalian."

"Ada apa?" tanyaku langsung berdiri.

Aleea menarik nafas panjang. "Gadis itu mengamuk."

Kami bertiga segera berlarian menuju goa dan kulihat Zealda melompat keluar sambil mengangkat tangannya ketika kami sampai.

Kulihat gadis itu sudah mengacungkan pedangku dan siap menyerang untuk melindungi dirinya. Tatapannya begitu nanar dan ketakutan dengan bibir begetar.

"Berani mendekat kubunuh kalian!" desisnya.

"Hei hei tenanglah." Aku mendekatinya dengan hati hati. "Kami tidak akan menyakitimu."

Gadis itu terdiam sambil menatapku intens dari atas kebawah. "Jangan mendekat!" desisnya lagi.

"Baiklah baiklah. Tapi—tenanglah. Percaya padaku, okey!" Aku berusaha meyakinkannya sebisa mungkin. "Kumohon percaya padaku. Kami—tidak akan menyakitimu—sedikitpun."

Gadis itu terdiam namun tatapannya sedikit meredup meskipun tangannya masih mengacungkan pedangku. Aku mendekatinya perlahan ketika perasaannya mulai membaik perlahan dan ia mulai menurunkan pedangnya secara bertahap.

"Tenanglah dan kau akan baik-baik saja," ucapku lagi sambil terus meyakinkannya.

Gadis itu melirikku masih dengan tatapan waspada meskipun tak senanar sebelumnya.Belum ada sepatah katapun lagi yang terucap darinya. Ia terduduk di tanah dengan wajah murung sambil menjatuhkan pedangku begitu saja di tanah.

Aku memberanikan diri untuk mendekitanya perlahan hingga aku berhasil bertekuk lutut tepat di hadapannya untuk melihat wajahnya dengan jelas. Kini gadis itu terlihat murung mekipun masih ada rasa takut sebagian.

Aku memberi aba-aba pada mereka bertiga untuk tidak ikut campur sejenak, setidaknya hingga gadis ini mulai merasa tenang.

"Kau lapar?" Itu pertanyaan pertama ketika berhdapan dengannya. "Disana ada makanan." Aku menunjuk dengan daguku sebuah piring berisi makanan di atas batu. "Makanlah."

Gadis itu menatapku lagi dengan intens dan tatapannya berhenti di pergelangan tanganku kemudian bergantian menatap wajahku masih dengan tatapan waspada. Tak lama ia langsung berdiri dan meraih piring yang tadi kutunjukkan kemudian memakannya dengan lahap layaknya orang yang kelaparan selama berhari-hari.

Aku berdiri sambil tersenyum simpul melihatnya. Sangat terlihat jelas ia begitu kelaparan. Tak lama tiga pemuda itu masuk dan langsung menatap gadis kelaparan itu dengan heran kemudian menatapku penuh tanya. Aku hanya mengendikan bahu.

Aku turut terduduk bersama mereka bertiga mengelilingi perapian yang hangat sambil sesekali melirik gadis yang masih menikmati makanannya. Ternyata aku salah mengira, kupikir gadis ini adalah Sarah, tapi ternyata bukan.

Selesai makan, ia meneguk segelas air kemudian duduk bergabung bersama kami dan bersendawa. Aku melihat ekspresi tiga pria di sekelilingku yang terlihat tak suka dan—heran.

"Aku tidak tahu siapa kalian, tapi—aku ingin mengucapkan terimakasih karena sudah menolongku," ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari perapian.

Kami berempat masih terdiam melihat tingkah gadis ini. Ia terlihat seperti gadis liar yang nakal dengan rambut panjang dengan kunciran yang berantakan. Wajahnya terlihat kusam akibat jelaga yang melapisi kulitnya, selain itu—bau tubuhnya agak sedikit tidak sedap. Aku tidak tahu kapan terakhir kalinya gadis ini mandi dan aku juga tidak mengerti kenapa Velian membawa gadis seperti ini kemari.

"Dan—aku butuh satu setel pakaian gadis. Katakan padaku dimana aku harus membersihkan diri," ujarnya lagi.

"Kau bisa mandi di sungai," jawabku. "Untuk masalah pakaian, kau bisa mengenakan pakaianku."

"Jadi kau ingin aku mandi dengan air yang sedingin es itu?" Ia menatapku sinis. "Siapakan air hangat untukku."

Kami berempat mengerutkan kening ketika mendengar penuturannya dengan nada perintah. Aku bisa melihat Zealda menyipitkan matanya pada gadis itu dengan tatapan menyelidik.

"Sangat tidak patut menyuruh orang-orang yang sudah menolongmu. Kenapa kau tidak membuat air hangatmu sendiri?" Untuk pertama kalinya Aleea berkata dengan nada dingin. "Kami bukan pelayanmu."

Kini gadis itu menatap Aleea dengan tatapan yang sinis pula. Mereka berdua mengeluarkan aura-aura tidak suka satu sama lain. Gadis itu mendekati Aleea perlahan masih dengan tatapan sinis sementara Aleea masih terdiam tanpa merubah ekspresi dinginnya.

Kami bertiga menatap mereka berdua sambil menunggu apa yang akan mereka lakukan. Aku tidak tahu mereka akan berakhir seperti apa, entah berupa pertengkaran, perdebatan atau bahkan perkelahian.

Gadis itu tampak bersiap-siap untuk bertindak, sementara Aleea masih berada di tempatnya dengan berani. Ia mengulurkan tangannya dan menarik kepala Aleea. Kejadiannya begitu cepat dan aku melihat bibir mereka sudah bersatu.

Shock, itu pasti. Kami bertiga hanya ternganga dengan tampang bodoh saat melihatnya, tapi tidak ada yang memasang tampang bodoh melebihi tampang Aleea. Dia terlihat terguncang dengan apa yang terjadi padanya. Ia terpaku layaknya patung dengan pikiran kosong sementara gadis yang telah mengambil ciumannya hanya tersenyum licik.

"Itu akibatnya karena telah menentangku," ujar gadis itu sambil menyeringai.

Kami bertiga masih dengan wajah terkejut seakan-akan terhipnotis sesuatu hingga aku tak menyadari bahwa ia sudah meraih buntalan kain yang berisi pakaianku.

"Aku yakin sekali ini berisi pakaianmu, tapi kenapa modelnya pakaian pria semua?" gerutunya padaku sementara aku masih mematung. "Tapi biarlah, yang penting aku memiliki pakaian yang ukurannya sama denganku."

Gadis itu melesat pergi keluar goa dengan membawa satu setel pakaianku. Pikiranku kembali jernih saat ia sudah tak terlihat dan kini aku menatap Aleea yang masih bergeming dengan wajah pucat.

"Aleea, kau baik-baik saja?" tanyaku disusul tatapan nanar dua pemuda lainnya.

"Aku merasa—jantungku meledak," jawabnya masih shock.

* * *

Lavina, itulah namanya waktu kami menanyakanya. Malam kali ini terasa berbeda dengan kehadirannya di tengah-tengah kami. Sampai saat ini, Aleea tidak bersuara sedikitpun dan menjadi—sangat pendiam, namun gadis itu seperti tidak merasa bersalah atas kejadian tadi siang.

Kulihat Aleea mulai terbaring dan menarik kain tebal yang biasa ia gunakan untuk selimut. Velian dan Zealda saling menatap heran dengan perilaku Aleea hari ini kemudian menatap gadis yang sedang membuat tempat tidur dengan jeraminya.

"Maaf karena sudah menyusahkan kalian. Tapi aku usahakan, aku tidak akan merepotkan kalian lagi. Terimakasih sudah mengizinkanku tinggal di tempat ini," ujarnya lembut dengan tatapan redup.

Kami bertiga hanya menyipitkan mata dengan heran, sikap gadis ini berubah drastis. Ia terlihat seperti gadis sopan nan lembut, tidak seperti tadi siang yang terlihat angkuh dan berandalan. Saking herannya, sampai-sampai kami tidak tahu harus menjawab apa.

"Kau sudah cukup menyusahkan kami, kau bahkan berani mencium pria di hadapan banyak orang." Zealda menyipitkan matanya. "Berhentilah berpura-pura manis seperti itu."

Gadis itu terlihat bingung dengan ucapan Zealda. "A-apa maksudmu mengatakan hal seperti itu? Aku mencium pria di hadapan banyak orang?"

Aku menatap Lavina dengan sejuta pertanyaan. Jika dia memang sedang pura-pura, bagaimana dia memiliki ekspresi wajah senatural itu?

Aku dan Velian menatap Zealda yang terlihat ingin menginterogasinya. Aku merasa seperti ada yang tidak beres dengan gadis ini.

"Itu benar, kau tidak perlu berbohong seperti itu Lavina. Kami semua melihatnya." Aku turut bersuara.

Kening gadis itu semakin berkerut bingung. "Tunggu, namaku bukan Lavina, tapi Liz. Kalian mungkin salah orang. Aku berani bersumpah tidak melakukan apa yang kalian tuduhkan padaku."

Kami bertiga saling berpandangan sementara gadis itu kini terlihat bingung, murung dan juga sedih. Aku tidak tahu dia pura-pura atau tidak, tapi aku memang merasa sepertinya ada yang aneh dengannya.

"Jadi—namamu Liz?" tanyaku memastikan.

Gadis itu mengangguk. "Maaf karena tadi siang aku ingin menyerang kalian dengan pedang. Tapi—sungguh, aku melakukannya karena kupikir kalian orang-orag jahat yang akan membunuhku."

Aku tidak tahu, sudah berapa kali kami bertiga saling berpandangan.

"Baiklah, kalau begitu istirahatlah." Untuk pertama kalinya Velian membuka suara untuk gadis ini.

Gadis itu mengangguk patuh dan mulai terbaring di tempat tidurnya. Velian mulai mendekatiku untuk mengganti perbanku namun masih sesekali melirik gadis itu dengan waspada, sementara Zealda masih terdiam sambil menatap gadis itu intens.

"Aku akan pergi ke suatu tempat untuk memastikan sesuatu," ujar Zealda dengan ekspresi tak terbaca. "Gadis ini—perlu di selidiki."

"Malam-malam seperti ini?" Velian menatapnya khawatir. "Tunggu beberapa saat, aku ikut denganmu."

"Wajah cemasmu membuatku geli," sahut Zealda dengan senyum miringnya. "Lagi pula, kau harus menjaga mereka yang disini."

Mata Zealda tertuju pada gadis yang terbaring di sebelah sana, yang berarti Velian harus mengawasinya jika ada sesuatu yang mencurigakan.

"Baiklah. Terserah kau saja." Velian terdengar menyerah sambil tersenyum simpul.

Sepeninggalan Zealda, kini hanya aku dan Velian yang masih membuka mata. Kami hanya mengobrol biasa meskipun aku merasa canggung, setidaknya aku tidak boleh memanggilnya 'yang mulia' atau bersikap formal pada Velian saat ini.

"Sebaiknya kau juga istirahat. Lukamu akan semakin membaik setelah di obati," ujarnya sambil meletakkan beberapa botol obat-obatan.

Aku mengangguk kemudian berbaring perlahan. "Terimakasih."

Tengah malam begitu hening, aku hanya mendengar sebuah panggilan. Seorang wanita memanggilku berulang kali hingga aku terpaksa membuka mata. Aku tersentak ketika sepasang mata sudah berada di depan mataku.

"Ikutlah denganku," bisiknya setengah menyeringai.

Keningku berkerut seketika saat ia kembali mengangkat tubuhnya agar wajahnya menjauh dariku. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu. Awalnya aku enggan bergerak sedikitpun, namun ia membalikkan tubuhnya dan menatapku tajam sambil memberi isyarat bahwa aku harus mengikutinya.

Mau tidak mau aku harus mengikutinya dengan balutan kain tebal untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk oleh udara di luar sana. Keraguan menyelimutiku seiring jatuhnya butiran salju di langit yang gelap. Gadis itu sudah menjinjing sebuah lentera berwarna oranye hingga mengeluarkan sinar berwarna kuning redup sebagai penerangan. Dari arahnya, ia sedang menuntunku ke sungai.

Aku masih mengikutinya dengan waspada sambil mengedarkpan pandangan. Tak lama gadis itu berhenti tepat di tepi aliran sungai yang dingin. Ia meraih ranting kayu yang beku untuk merobek telapak tangannya hingga berdarah kemudian menepuk punggungku.

Aku hanya bisa terdiam ketika tubuhku mendadak kaku dan tak bisa digerakan. Ia memutariku sambil menatapku intens dari ujung kaki hingga ujung kepala. Disaat tubuhku terkunci, gadis itu mulai melucuti kain yang melilit di tubuhku.

"Apa yang kau lakukan?" desisku.

"Kau akan tahu sendiri, dan setelah itu aku menunggu ucapan terimakasihmu padaku."

Aku hanya menatapnya tajam tanpa kata. Tak lama ia benar-benar mendorongku ke sungai yang dingin. Aku melihat gadis itu membentangkan tangannya. Kilat menyambar di langit gelap dengan warna yang berbeda.

"Gadis itu—seorang penyihir?"

Aku bisa merasakan perubahan air sungai yang tadinya terasa dingin kini mulai menghangat. Bukan hanya itu, teksturnya mulai mengental dengan volume yang padat layaknya lumpur, namun warnanya tetap jernih. Aku tidak tahu apa yang terjadi, sungai yang tadinya hanya sepinggangku kini menjadi dalam seolah-olah tak memiliki dasar.

"Tolong," lirihku sambil berusaha berenang layaknya orang yang akan tenggelam.

Tak bisa menahan diri, kepalaku benar-benar sepenuhnya terbenam air dan disitu aku merasa lelah. Kulitku terasa pedih dan pandanganku mulai menggelap seiring tubuhku melaju perlahan ke bawah air.

"Tidak boleh seperti ini!" makiku pada diri sendiri. "Jika aku mati, Velian tidak akan selamat."

Aku berusaha sekuat tenaga untuk berenang keatas, namun permukaan air diatas sana terasa jauh hingga tubuhku benar-benar tak berdaya. Tak lama aku mendengar seperti ada orang yang masuk kedalam air dan berenang menyusulku.

Aku merasa lega, akhirnya pertolongan datang. Namun ketika membuka mata, aku tidak melihat seorangpun yang menghampiriku. Hanya gelembung-gelembung kecil dengan cahaya sihir yang menciptakan suara gemuruh. Mataku kembali terpejam karena cahaya-cahaya itu semakin menyilaukan meskipun didalam air.

Aku tak tahu apa yang terjadi, ada seseorang yang menarik daguku lembut kemudian menciumku begitu lama. Rasa ini begitu familiar dan dalam sekejap aku teringat mimpiku yang aneh itu. Tapi rasanya begitu nyata hingga aku tak percaya.

Aku menggerakan tanganku dan ujung jariku tak sengaja menyentuh rambut yang—panjang. Semakin penasaran, aku menggerakan tanganku untuk menyentuh tubuhnya meskipun jemariku tak berkutik akibat lumpuh.

Sepasang tangan melingkar di pinggangku seiring aku melingkarkan tangan di lehernya. Tubuh kekarnya memberitahuku bahwa dia jelas-jelas seorang pria dengan rambut panjang. Tanpa membuka mata, aku sudah bisa menebak siapa pemiliki tubuh ini. Velian.

Ada perasaan aneh yang menjalar perlahan hingga semua indraku hanya tertuju padanya sampai akhirnya, aku tersadar dengan sebuah fakta. Aku sudah berada didalam air teralu lama, bagaimana bisa aku tak kunjung mati?

"Ini tidak nyata," ujarku dalam hati untuk meyakinan diriku. "Ya, ini pasti ilusi."

Aku berusaha untuk menyudahi ciumannya namun ia menahan kepalaku. Disaat yang sama aku juga merasa tubuhku mulai terangkat keatas menuju permukaan. Cuman kami terlepas dengan kasar dan seketika itu juga, kepalaku menyembul dari permukaan air.

Aku menghirup udara sebanyak mungkin untuk memenuhi kebutuhan paru-paruku yang hampir sekarat. Semua rasa yang baru saja kualami hilang dalam sekejap dan air sungai yang tadinya hangat kini berubah drastis menjadi sedingin es.

Aku mengedarkan padangan dengan bingung. Hari sudah mulai pagi dan telapak kakiku menyentuh permukaan tanah yang diselimuti bebatuan di dasar sungai. Sungainya kembali dangkal. Tapi hal yang membuat hatiku terasa berat adalah, aku melihat kenyataan bahwa tidak ada seorangpun disini selain diriku.

"Sudah kuduga, itu hanya ilusi." Aku meninju air dengan kesal. "Penyihir sialan!"

Tapi—tunggu, tanganku pulih?

_______To be Continued_______

Met malam minggu semua.. ^^ Maaf up nya sedikit lama, ada beberapa hal yang harus author urus untuk menyenangkan kalian, jadi maaf kalo Assassin sedikit terbengkalai.. ^^

Buat kalian yang kangen dengan story Archer kalian bisa langsung order bukunya dengan kunjungi story Archer di bab Info Archer, buku keduanya juga sudah terbit dengan judul Dark Acher.. ^^

Dan—sebagai ucapan terimakasih author pada pembaca Archer, author akan kabulkan permintaan kalian untuk membuat story Archer diluar tokoh Raynelle. Mungkin kalian ada yang penasaran tentang kisah lain antara Eliz dan Henry beserta tokoh lainnya, author akan kupas sesuai request kalian.. ^^ Tunggu kisahnya di minggu depan yah..

Jangan lupa tinggalkan jejak dan makasih banyak buat suportnya.. ^^

Salam Fantasy, by Indah Ghasy.. :*



Continue Reading

You'll Also Like

310K 73.8K 36
"Bahkan walau jiwa gue dirobek berkeping-keping, gue bakalan mastiin lo bisa pulang." Pasca melihat ibu kandungnya sengaja bunuh diri di depannya unt...
34.8K 7.5K 51
[ Daftar Pendek The WattysID 2021 - Nominasi Pemenang ] Gadis itu sudah mati, pria itu masih hidup. *** "Jadi, Anda ini apa? Anda semacam dewi? Pe...
25.9K 4.5K 30
A HARRY POTTER FANFICTION [Fantasy-Adventure-Minor Romance] Brianna harus menelan kenyataan pahit ketika mengetahui kalau dunia penyihir seperti di n...
58.7K 9.6K 35
[Fantasy & (Minor)Romance] Ruby tidak pernah tahu bahwa kolong tempat tidurnya mempunyai ruangan rahasia. Keinginan konyolnya waktu belia, rupanya di...