Trapped by You

By Ristan

807K 16.9K 946

"Sayangku, ahh....akhirnya aku mendapatkanmu." Jantungku berdegup kencang saat kalimat itu dibisikkan ke teli... More

Chapter One
Chapter Two
Chapter Three
Chapter Five
Chapter Six
Chapter Seven
Chapter Eight
Chapter Nine
Chapter Ten
Chapter Eleven
For Your Info

Chapter Four

76.2K 1.4K 15
By Ristan

Hi, fellas....

Suka nggak sama cerita Pram & Dhania? Kalo suka, jangan lupa vote dan comment sebanyak-banyaknya yaaaaaaa.....

For next chapter, kayaknya bakal update agak lama karena satu dan lain hal. Sekalian mau liat respon keseluruhan chapter 1-4 dulu.

Khusus chapter 4, gue persembahin untuk seseorang yang selalu support gue dalam penulisan cerita ini. Semoga suka ya. Thanks a lot. And enjoy. ^_^

**************************************

Sinar senja mengintip dari balik bayang-bayang tirai jendela kamar itu. Walau mentari sudah mulai berpulang ke peraduannya, jejak-jejak warna jingga yang tersisa masih menampakkan pesonanya. Siluet kamar yang tercetak samar-samar karena cahaya yang minim membuat suasana ruangan tersebut terlihat begitu menentramkan.

Entah sudah berapa lama Pram menatap nyalang langit-langit kamarnya. Berkutat dengan pikirannya sendiri. Sedangkan udara dingin yang dihasilkan dari pendingin ruangan membuatnya tersadar bahwa gadis yang membelakanginya merasa sedikit kedinginan. Secara tidak sadar, tangan langsing itu menarik selimut supaya merapat lebih erat di dadanya. Gerakan kecil yang ia timbulkan membuat lengan maskulin Pram melingkar lebih erat di perut wanita itu. Lengan itu mengetatkan dekapannya sehingga dada bidangnya melekat di punggung mulus si gadis.

Pram membenamkan wajah di rambut panjang gadis tersebut. Tengkuknya dihirup dalam-dalam lalu hembusan napas hangat menyebar di kulit sensitif di sekitarnya. Dikecupnya lembut bahu mulus gadisnya. Ternyata aksi kecilnya menimbulkan gumaman tidak jelas dari bibir merah merona itu. Walau mata cantiknya masih tertutup, yang menandakan pemiliknya masih terlelap, namun suara merdu itu mampu membuat Pram membeku.

Desir aneh merambat dari bawah perut hingga ke tempat dimana jantungnya berada. Detaknya tak beraturan. Tanpa sengaja ia makin mengetatkan rangkulan intim mereka. Hampir tidak peduli kalau tindakannya itu menimbulkan sesak napas bagi lawan jenisnya. Perlahan, ia menyadari bahwa harus meminimalisir gerakan tubuhnya. Ia tidak ingin merusak momen ini. Well, sebenarnya itu lebih dikarenakan ia gugup dengan apa yang harus dilakukan jika yang datang selanjutnya bukan hanya gumaman tak jelas lain yang berasal dari gadis yang memunggunginya ini.

Saat dirasanya keadaan sudah kembali normal, ia melepaskan napas yang ditahannya sejak tadi. Konyol! Kenyataan bahwa saat ini ia begitu merasa tegang akibat satu gerakan sederhananya membuat ia tersenyum. Pikirannya kembali melayang pada adegan yang belum lama berlalu, sebelum segala rengkuhan dan seringai bodoh menghiasi. Saat dimana ia menjejakkan kaki kedalam apartemen bersama Dhania.

Ya. Gadis yang berada dalam gelungan lengannya masih gadis yang sama. Dhanianya.

Memorinya pun melayang ke saat dimana Dhania bersikap begitu tegang serta panik dihadapannya. Yang semua itu terlihat manis dimatanya.

~~

Satu setengah jam yang lalu ~ Pram

"Tadaima (aku pulang)...." Ucapku lantang sesaat setelah membuka pintu apartemen. Tubuhku menyisih ke samping untuk mempersilahkan Dhania masuk ke dalam terlebih dahulu.

Sekilas kulihat wajahnya tampak memucat. Rona merah muda yang biasa membingkai wajah cantik yang polos dari make up itu raib tanpa jejak. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa kiranya yang membuat wajah kekasihku serupa dengan warna salju seperti itu?

Ahh... mungkin hanya sindrom gugup khas wanita.

Memang kuakui, baru kali ini Dhania kuajak masuk ke dalam apartemen. Biasanya kami hanya bertemu di lobby atau sekedar duduk-duduk santai di taman kompleks apartemenku. Dulu, kupikir dia bersikap seperti itu lebih karena pembawaannya yang pemalu. Namun setelah kuamati dan selidiki lebih lanjut, ternyata dia memang berbeda. Dia bukan tipe gadis yang merasa nyaman untuk bertandang sesukanya ke tempat tinggal sang kekasih kalau tidak ada orang tua atau saudara kandung yang tinggal bersamanya.

Well, orang tuaku memang tidak bersamaku disini. Mereka tinggal di Bali karena Dad menjalankan usaha resort dan perhotelan yang dirintisnya sejak muda. Sedangkan aku memilih untuk menempuh pendidikan S1 di Jakarta dan tinggal di apartemen.

Jadi kesimpulannya, sejak saat itu aku tahu bahwa Dhania bukan sekedar manis, tetapi juga sopan dan penuh perhitungan. Dia tahu benar batas-batas kesopanan yang saat ini rasanya tidak banyak dimiliki oleh wanita metropolitan. Aku pun menghargai prinsipnya dan tidak pernah mencoba menggoda atau merayunya untuk masuk ke apartemenku. Cukup saja ia tahu di lantai berapa aku tinggal dan nomor berapa pintu kamarku.

Jadi, aku pun sebenarnya cukup kaget ketika ia masuk tanpa ragu hanya demi mencari jawaban dari keingintahuannya yang lugu di food court tadi. Pernyataan main-main yang kuucapkan untuk sekedar menggodanya. Tapi entah apa yang merasukinya sampai ia terpancing godaanku. Sudah kepalang basah, jadi kuambil saja kesempatan langka itu. Walau tidak dapat kupungkiri bahwa keberadaannya begitu membuatku lupa diri dan hampir tidak tahu harus berbuat apa lagi detik ini.

Hampir.

Kalau bukan karena dorongan konyolku untuk menggodanya di food court tadi, pasti aku tidak harus menunjukkan jawabannya sekarang juga. Aku bisa manfaatkan waktu untuk bermesraan dengannya di kesempatan yang bisa disebut langka ini.

Kugenggam tangannya lalu kutuntun langkah kami menuju sebuah kaca besar yang tergantung di dinding ruang televisi. Kuatur tubuhnya sehingga menatap cermin dan kutatap dia yang balas menatapku dengan menaikkan satu alis seakan menyiratkan tanda tanya.

"Kaca?" Tanyanya bingung.

Senyumku mengembang. Gemas rasanya melihat dia kebingungan seperti itu. Dengan hati-hati kudekap sepanjang bahu dan perutnya dari belakang serta berbisik tepat ditelinganya.

"Kamu udah ketemu sama dia, sayang. Jawaban dari pertanyaanmu di food court tadi ada di depan kamu." Kukecup lembut telinganya. Reaksi yang kudapat adalah tubuhnya menegang.

Tidak ada 10 detik, Dhania menyentak tanganku dengan kasar lalu mengambil jarak dariku. Belum juga aku mampu mencerna sikapnya yang di luar dugaan, tiba-tiba dia bertanya dengan suara pelan dan sedikit serak.

"Mana dia?" Kepalanya menunduk. Seolah tak berani menatapku yang berdiri terpaku. Jemarinya saling bertaut, kebiasaannya yang kukenali kalau sedang gugup. Kegugupannya masih bisa kumengerti. Tapi pertanyaannya tidak.

Kukerutkan kening tanda kebingungan seraya balik bertanya, "Dia siapa?"

"Jangan bercanda, Pram! Aku nggak mau ngulur waktu. Aku cuma mau tau siapa gadis lain itu lalu aku akan angkat kaki dari hidupmu kalo itu mau kamu. Toh aku udah nggak kamu anggap siapa-siapa lagi sekarang!" Jeritnya hingga menggetarkan bibirnya. Tubuhnya menegak kaku di hadapanku tak kurang dari satu meter dari tempatku berdiri.

"Apa maksud kamu, Dhan? Aku nggak ngerti. Gadis lain? Kamu ngomong apa sih?" Aku bingung maksimal. Aku mendekat ke arahnya beberapa langkah, tapi alangkah terkejutnya aku saat tangannya terangkat membentuk tanda berhenti sambil melangkah mundur menjauh.

"Jangan berlagak bodoh, Pram. Kamu sendiri yang bilang kalo kamu lagi tergila-gila sama seseorang dan kamu nawarin aku ketemu sama dia. Jadi, aku minta kamu panggil dia sekarang juga dan tolong jelasin ke aku gimana bisa kamu tega khianatin aku!"

Aku memandangnya lurus tak percaya sekaligus kehilangan kata-kata. Beberapa detik berlalu dengan hanya mata kami yang beradu. Kedua bola mata indahnya yang biasa memancarkan kehangatan ketika menatapku, kini disambangi luka kehancuran mendalam. Lagi. Bibirnya bergetar menahan tangis. Air mata mengancam tumpah dari kedua matanya.

Dan seperti disiram air dingin di tengah gurun, aku terhenyak.

Great! Ternyata kekasih cantikku ini salah paham. Bodohnya aku yang telah membuat ini menjadi kacau begitu rupa. Padahal aku tidak memiliki niatan sama sekali untuk membuat semua ucapanku di food court tadi terdengar ambigu baginya.

And, shit! My angel is crying now.

Kusambar tubuhnya lalu kurengkuh erat-erat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha lepas dari rengkuhanku. Meronta membabi buta, menolakku mentah-mentah hingga lepaslah tubuhnya dari tanganku. Mata merah, air mata yang mengucur deras, sekaligus isakan pilu keluar dari tubuh kekasihku itu.

"Sayang, tolong dengerin aku dulu. Kamu salah paham..." Aku mulai menjelaskan perlahan-lahan kepada Dhania bahwa dari awal aku memang menggodanya saja dengan pernyataanku yang tricky itu. Aku meminta maaf karena telah membuatnya salah mengerti atas kata-kataku yang sungguh kusesali saat ini. Kalau tahu bencana yang akan aku tuai, dari semula aku tak akan berani menabur.

"Kamu bohong! Kalo itu yang sebenernya, kenapa pas buka pintu apartemen kamu langsung manggil seseorang? Jelas-jelas aku denger, Pram." Dhania bersikukuh dengan argumentasinya. Aku setengah tidak percaya dengan apa yang kudengar.

Nama seseorang? Waktu buka pintu?

"Tadaima maksud kamu?" Selidikku.

"I..iya. Kalo nggak salah." Ujarnya terbata karena diselingi isak tangis.

"Sayang, itu bukan nama. Tapi salam dalam bahasa Jepang. Yang artinya, aku pulang. Itu tradisi yang mereka lakuin kalo pulang ke rumah. Kalo kamu nggak percaya kamu bisa googling." Lamat-lamat aku melihat perubahan yang signifikan dari raut wajahnya. Tangisnya berhenti. Diganti dengan bola matanya yang membesar karena terkejut mendengar fakta yang kusampaikan. Tangannya membekap mulut. Samar-samar kudengar umpatannya yang tidak jelas.

Dengan tidak sadar kuhembuskan napas panjang yang sedari tadi kutahan. Benar-benar kacau. Niat awal aku hanya ingin menggodanya tetapi malah berujung petaka. Dua kali aku membuatnya menangis hari ini. Semua karena kebodohanku. You're such a jerk, man!

Tanpa berniat untuk memperpanjang penderitaannya, kugenggam kedua tangannya dan kukecup bergantian.

"Sayang, aku minta maaf udah bikin kesalahpahaman kayak gini. Aku bener-bener nggak nyangka kalo kamu bisa sampe mikir sejauh itu. Semua salahku, kamu jadi harus ngerasa sakit hati karena asumsimu yang terlalu jauh dari hasil omonganku yang nggak dipikir dulu efeknya bakalan gimana. Kamu mau kan maafin aku?"

"Kamu serius? Nggak bohong kan?" Tanyanya ragu masih tidak percaya begitu saja.

"Aku jujur, kalo aku bohong kamu boleh talak aku. Gimana?" Jawabku sambil menaikkan alis menggodanya untuk mencairkan suasana.

Sudut bibirnya terangkat sedikit ke atas. Menyunggingkan senyum sekilas. Kemudian dengan perlahan ia menghembuskan nafas.

"Aku bener-bener bingung." Ungkapnya berat.

"Dhania sayang, bingung apa lagi? Aku udah jujur sama kamu. Aku mengaku salah dan janji nggak akan berkata bodoh lagi."

"Tadamima itu...?"

"Tadaima," ralatku cepat, "itu salam yang aku terapin setiap pulang. Cuma kebiasaan aja. Mau bukti?" Aku sudah bersiap mengambil handphone yang tertinggal di nakas untuk googling. Tapi tanganku dihentikan.

"Nggak usah. Aku percaya. Kalo gitu aku yang minta maaf. Aku kebawa emosi sampe kepikiran yang nggak-nggak. Aku cuma nggak bisa berpikir lurus karena kejadian hari ini sama perubahan sikapmu ke aku. Aku jadi impulsif nggak jelas. Aku minta maaf, Pram." Lirihnya. Ada semburat malu menghiasi pipinya.

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak bisa dipungkiri bahwa sedikit banyak aku turut andil atas kondisi emosionalnya yang seperti sekarang. Kuusap pipinya yang masih lembab karena jejak air mata dengan ibu jari.

"Nggak apa-apa, sayang. Lagian nggak ada orang lain yang aku gilai selain kamu. Sebenernya...." Kutarik napasku dalam-dalam, mempersiapkan mental untuk menjatuhkan bom yang sebentar lagi kulemparkan ke hadapannya.

"Aku sadar aku berubah akhir-akhir ini. Bukan karena ada orang ketiga atau semacemnya. Tapi karena aku merasa bersalah atas kejadian, ehm... di rumahmu tempo hari. Aku tau kamu nggak suka sama sikapku yang udah kelewat batas. Aku nyesel. Kamu pasti mikir kalo aku laki-laki kurang ajar. Makanya aku agak menghindar."

Supaya aku nggak makin frustrasi karena nggak bisa nyentuh kamu. Batinku.

Kupejamkan mata. Setelah kuungkapkan semua, aku merasa lega. Setiap kata yang kusampaikan kepada Dhania barusan memang benar. Walau tidak kuungkapkan semuanya.

Setelah kejadian panas itu, aku selalu dibayangi oleh tubuh kekasihku. Setiap malam aku bermimpi bercumbu dengannya. Tanganku terasa gatal ketika dekat dengannya. Nafsuku bangkit. Gairahku muncul ke permukaan sejak kulihat tubuh mulusnya yang saat itu minim pakaian. Celana pendek sialan itu harusnya ilegal untuk Dhania. Sehingga aku tak harus disuguhi pemandangan indah yang menampilkan kaki jenjangnya, paha mulusnya yang tanpa cela dan celah bawah celana pendeknya yang membuka. Dan sialnya, tanganku ini dengan beruntungnya mendapat anugerah saat harus menyentuh kulit telanjangnya itu. Dan mendengar erangannya karena terbuai pijatanku.

Ah, dammit! Membayangkannya saja sudah membuat gairahku terbangun dan darahku mendidih.

Mendadak, sesuatu yang basah dan lembut menyentuh bibirku. Sontak, aku membuka mata. Dhania menciumku! Dalam setahun hubungan kami berjalan, dia tidak pernah menciumku lebih dulu. Selalu aku. Itupun sekedar menempelkan bibir. Jenis ciuman manis tanpa campur tangan nafsu birahi. Bukan ciuman basah yang melibatkan lidah. Melainkan ciuman yang sopan penuh kasih sayang.

Dilepasnya cepat bibir merah muda itu dari bibirku. Sisa getarannya masih kurasakan. Dengan malu-malu ia berujar, "Ma...maaf aku hanya...tiba-tiba ingin..." Semburat merah menjalar dari leher hingga wajahnya. Daun telinganya pun tak luput juga.

Ahh. Dhaniaku yang lugu. Aku tidak tahu apa yang merasukinya. Tapi, manis sekali dia ketika bersemu malu. Tidak tahan rasanya hasrat ini kupenjara berlama-lama. Pusat gairahku sudah membengkak hingga terasa sakit karena terhimpit di antara celana jeans. Kuangkat dagunya seraya mendekatkan bibirku ke telinganya.

"Kamu mau aku cium?"

Anggukan lemah datang sebagai jawaban.

"Kenapa?"Bisikku. Sengaja kutelusuri daun telinganya dengan bibirku dengan lembut untuk membangkitkan gairahnya.

"En..tah." Suaranya mulai tersendat

"Tell me baby, where do i have to kiss you?"

Erangan selembut sutra terdengar dari tenggorokannya saat aku berlama-lama di telinganya. Dia tidak menjawab. Hanya getaran kecil dilehernya yang merespon pertanyaanku.

"Disini?" Kuciumi daun telinganya. Berharap dapat menimbulkan sensasi yang sama yang sedang kualami sekarang. Lenguhan samar lolos dari bibir mungilnya. Aku tersenyum disela-sela ciumanku.

"Atau disini?" Kugoda dia dengan mengecup sepanjang rahangnya. Turun hingga ke lehernya yang harum. Tanganku sudah berpindah ke tengkuknya dan tanpa disadari, ia memiringkan kepalanya untuk membuka akses memudahkan aksiku. Dia tidak menjawab. Aku bertaruh gadisku ini pasti telah terbawa suasana.

Sebelah tanganku yang masih bebas mulai mengelus sepanjang lengannya menggunakan ujung jari. Perlahan-lahan kujalankan jemariku di kulitnya yang halus untuk menimbulkan gairahnya padaku.

Kusingkap rambut panjangnya yang menutupi bahu. Ku kecup ringan di atas pundaknya yang terbuka karena model kerah baju sabrinanya.

Tangannya yang semula berdiam di sisi kanan dan kiri, kini merambat naik ke pinggangku. Meremas bajuku sebagai pegangan.

Darah yang mendidih di puncak kepala, juga desakan nyeri diselangkangan membuatku tak bisa lagi bertahan. Bibirnya kulumat dengan lembut. Sedikit asin karena air matanya tadi. Sekarang bunyi tanda orang sedang mengecup dan menghisap bercampur di udara dalam apartemenku. Bibirnya lembut. Halus. Dan penuh ragu ketika lidahku mencari jalan untuk memasuki mulutnya. Karena tak kunjung membuka, kucium sudut bibirnya. Lenguhannya yang memabukkan akhirnya membukakan jalan bagi lidahku untuk menyusup. Lidahku mencari lidahnya. Dalam sekejap, lidah kami saling bertautan. Sesekali bibirku memagut bibir bawahnya. Mengigit bibirnya pelan menandakan bahwa dia milikku. Suara kecapan dan lenguhannya semakin lama semakin kencang.

Tanpa memutuskan ciuman panas kami, kuraih bagian belakang tubuhnya, kugendong dan kududukkan dia diatas meja lalu memutuskan koneksi lidah kami. Matanya sayu, pertanda bahwa ia sudah tenggelam dalam pusaran kenikmatan dan nafsu.

Kujilat bibirnya. Kuhisap dan kugigit. Erangannya yang serak mengobarkan semangatku untuk melakukan tahap selanjutnya.

"Ehm... aahh..."

Tanganku bergerilya di perutnya. Kuusap penuh gairah. Lalu mulai mengarah ke payudaranya dan kulihat manik matanya.

"Sa..yaang..." desahnya.

Belum sempat kata-katanya selesai diucapkan, kuremas payudaranya dari luar pakaian dengan antusias. Erangan nikmatnya menjadi hadiahku. Aku tak tahu apakah aku menyakitinya atau tidak. Tapi yang kutahu, Dhania tidak menghindar dan tidak marah. Kuremas lagi payudaranya, kali ini dengan perlahan. Rasanya lembut, kenyal dan empuk.

Tidak puas hanya meremas dari luar, tanganku merambat masuk ke dalam pakaiannya. Branya kudorong ke atas dan kutangkup daging lunak dan berat itu. Kuremas. Kupijat. Menyiksa diriku sendiri untuk tidak langsung menyentuh puncak payudaranya. Nafsuku sudah di atas batas normal, tetapi aku berusaha mengontrolnya supaya Dhania tidak merasakan kesakitan kalau aku sampai kehilangan kendali. Kutatap wajahnya yang memerah. Matanya terpejam menikmati pusaran gairah kami yang menyatu. Desahan dan erangan nafsunya membuatku semakin menggila.

Damn, man! Mimpi apa aku semalam sampai bisa mendapatkan surga macam begini?

Kejantananku semakin berdenyut nyeri setiap kali erangan kekasihku mengudara. Tak tahan lagi, kudorong bajunya sampai terlepas lewat kepalanya. Bra hitamnya kubuka dan kulempar ke sembarang tempat. Terpampanglah payudaranya yang bulat sempurna. Putingnya yang menegak karena rangsanganku, begitu menggoda untuk dihisap.

Tidak. Tidak. Aku harus menahan diri.

Aku tidak ingin Dhania lari ketakutan lagi kalau kami berbuat terlalu jauh.

Kupandangi matanya yang berkabut. Napas kami menguarkan udara panas. Perlahan dahinya disandarkan ke dadaku. Tak terdengar suara apapun. Erangannya berhenti. Nafasnya yang terengah-engah menjadi penanda bahwa ia dalam fase yang sama denganku. Jantungku makin berpacu. Khawatir kalau dengan posisi seperti ini ia bisa mendengar degup jantungku. Tanpa banyak kata, kugendong tubuhnya menuju kamar tidur lalu kubaringkan di ranjangku.

Hanya orang buta yang menganggap bahwa pemandangan di depanku ini biasa saja. Karena ini luar biasa! Lekuk tubuhnya pas. Indah. Pinggangnya ramping. Perutnya rata tanpa lipatan lemak yang tak perlu, walau aku tak akan peduli jika tubuhnya bergelambir sekalipun. Kutelusur kedua bukit kembarnya dengan telunjuk. Kubuat pola melingkar. Puncak payudaranya mengkerut. Menguncup. Kulihat wajahnya yang memancarkan kenikmatan. Matanya terpejam. Bibir bawahnya digigit. Wajahnya dipalingkan ke samping. Warna kulitnya sudah serupa dengan tomat. Merah. Karena malukah? Sensitif oleh rangsanganku? Ataukah hasrat? Tangannya memegang pergelangan tanganku, mengarahkan ke putingnya.

Hell! Ini tidak nyata, kan? Dengan kemauannya sendiri Dhania menginginkanku memegangnya disana?

"Hhhh...aahhh...Pramm..."

"Ya, sayang? Kamu mau apa?" Nafsu birahiku sudah di ubun-ubun. Seluruh tubuhku menginginkannya.

"Di..sini..."

Aku menyerah saat itu juga. Kukecup putingnya kemudian kujilat. Teriakannya menggema di setiap sudut kamar karena mulutku bermain di puncaknya. Mengerang. Menggelinjang. Tubuhnya bergerak-gerak dibawahku. Responsif sekali.

"Kamu nggak tau betapa aku menginginkanmu, sayang." Celotehku bernafsu.

Kulahap payudaranya. Kuhisap kuat-kuat. Kurasakan tangannya meremas rambutku begitu kencang. Kuhisap kanan dan kiri bergantian. Tak ingin menyia-nyiakan barang sedetikpun.

Puas menghisap, kutangkup payudaranya dengan kedua tangan. Kupijat sedemikian rupa. Kepalaku pening. Tidak bisa lagi berpikir dengan baik. Kulihat matanya berkabut tebal, kurasa dia juga menginginkan ke base lanjutan. Tapi aku ingin memastikan. Tak ingin berasumsi tanpa mengkonfirmasi. Kudekatkan wajahku ke lekuk lehernya.

"Baby, please say yes." Suaraku parau sampai harus menelan ludah.

Matanya, walau sudah diliputi nafsu, tetapi masih ada sedikit kebimbangan. Matanya terpejam sesaat, lalu mulutnya membuka hendak menjawab.

TOK TOK TOK.

Suara ketukan pintu apartemen membuat kami menegang seketika. Segala aktivitas terhenti. Mulut Dhania yang semula terbuka hendak menjawab langsung digantikan oleh ekspresi terkejut.

No. No. No!

TOK TOK TOK.

Ketukan pintu kembali terdengar. Dinilai dari kegigihan si pengetuk, sepertinya ia tidak berniat untuk segera pergi. Aku menghembuskan nafas kasar. Dengan enggan aku bangkit dari ranjang dan berdiri. Dhania beringsut di tempatnya berbaring. Kengerian dan kepanikan nampak di wajahnya. Tangannya telah berhasil meraih sprei untuk menutupi payudaranya. Ya Tuhan! It has to be important cos if it isn't, i will kill the knocker.

"It's okay, baby." Suara parauku menenangkannya. Darahku yang semula mendidih karena gairah, kini mendidih untuk orang yang ada dibalik pintu sekarang.

"Mungkin itu cuma cleaner mingguan, sayang. Kamu disini aja, aku mau cek dulu." Kukecup keningnya dengan hati berat karena harus kutinggal. Lalu melesat keluar kamar untuk membunuh si pengganggu sialan.

~~

Well, Pram tidak jadi membunuh. Karena dia sendirilah yang membuat si pengganggu sampai harus datang ke apartemen. Petugas delivery order mengantarkan makanan yang mereka pesan di food court tadi. Ia hanya bisa tersenyum miris. Harusnya ia membunuh dirinya sendiri atas kebodohannya ini.

Pesanan mereka berada di barstool dapur mini Pram. Mungkin sudah sekitar 15 menit ia meninggalkan Dhania di kamar. Setelah membayar makanan mereka, ia lantas mengunci pintu apartemen dan berkutat dengan pikirannya yang campur aduk sebelum akhirnya memutuskan untuk menghangatkan makanan itu ke dalam microwave. Dihampirinya Dhania setelah selesai menata makanan di piring.

Namun pemandangan yang tersuguh di depan mata membuat hatinya kembali menelan pil pahit.

Dhania tertidur dengan posisi meringkuk dalam balutan sprei yang acak-acakan. Diliriknya jam dinding. Sudah sore.

Mungkin dia kelelahan karena semua kejadian ini telah menguras energi dan pikirannya, ucapnya dalam hati.

Melihat wajah Dhania yang tertidur dan gerakan dada yang naik turun teratur, terlihat begitu damai. Pram tidak tega membangunkannya. Walau sisa gairahnya masih terbukti.

Not your day, buddy! Gumamnya pada gundukan yang masih tercetak jelas di tengah celana.

Tanpa berpikir lama, ia memutuskan untuk bertelanjang dada dan ikut berbaring diranjang dengan posisi menyamping. Sambil mendekap tubuh Dhania yang polos dari bagian bahu sampai perut. Tangannya melingkar di perutnya dan lengan satunya menjadi bantalan kepala Dhania. Sehingga sprei tersingkap dan menampilkan payudara ranum Dhania. Pram menarik selimut yang ada diujung tempat tidur alu menyelimuti tubuh mereka.

"Dhania, you're killing me." Bisikan selembut bulu yang diucapkan Pram di lekuk leher Dhania menjadi penghantar terakhir bagi kedua matanya untuk berusaha terpejam juga.

~~

Awan malam telah menggantung dilangit Jakarta. Menandakan waktunya istirahat bagi sebagian orang. Untuk sebagian yang lain, malam adalah waktunya bersenang-senang setelah selesai dengan segala aktivitas di siang hari.

Tapi ada pula yang tidak bisa mengategorikan malam sebagai waktu untuk melakukan apa. Walau hanya berlaku untuk malam ini saja.

Kamar itu masih sama. Yang berbeda hanya kegelapan pekat yang menyelimuti ruangan itu karena belum ada seorang pun diantara mereka yang beranjak dari tempat tidur untuk menyalakan lampu.

Dhania telah lebih dulu bangun dari tidur lelap yang tidak direncanakan. Bangun dalam keadaan berselimut gelap, membuatnya mengalami disorientasi ruang dan waktu. Namun, pelukan erat yang bergelung ditubuhnya seketika membuatnya tersadar akan apa yang terjadi. Dadanya langsung seperti diluncuri oleh es batu. Gugup dan panik. Takut dan bingung.

Apa yang harus dia perbuat?

Dia teringat semua kejadian tadi sore dengan jelas. Rasa malu menghinggapi dirinya.

Mereka melakukannya lagi!

Dan menggantung begitu saja untuk kedua kalinya.

Sedikit rasa syukur merayap dalam dadanya. Setidaknya mereka belum melakukan hal yang tidak pantas dilakukan oleh sepasang kekasih. Ingin sekali Dhania mngucapkan terima kasih pada si pengetuk pintu. Sehingga tidak perlu melanjutkan sesi panas mereka dan melakukan hal yang mungkin akan mereka sesali belakangan.

Hati-hati sekali, diputar tubuhnya untuk melihat pria dibelakangnya. Masih tidur. Kalau saja Dhania tidak ingat masih punya rumah untuk pulang, mungkin dia akan menikmati pemandangan itu sedikit lebih lama. Gerakannya itu ternyata membangunkan Pram. Mata mengantuk sehabis tidur membuat Pram terlihat seksi. Belum lagi selimut yang hanya berhasil menutup setengah dada bidangnya. Benar-benar pemandangan yang menyegarkan mata.

"Seneng sama yang kamu liat?" Kata Pram serak, menggoda Dhania yang tiba-tiba terfokus pada tubuh Pram yang polos tanpa kaus.

Dhania memalingkan muka. Malu! Memalukan sekali tertangkap basah oleh pacar sendiri karena memandangi tubuhnya yang seksi. Rasanya ingin menyembunyikan kepala ke dalam selimut tebal saja!

Pram terkekeh. Tangannya terulur untuk menyalakan lampu di samping tempat tidur. Memberikan penerangan yang cukup bagi mereka. Lalu kembali bergelung semakin erat memeluk Dhania dan berujar.

"Tubuhmu hangat, sayang. Aku bisa nggak bangun-bangun kalo tiap hari tidur dengan posisi begini."

Ya tentu saja, kan?

Mengingat bahwa mereka tak hanya dapat berpelukan sepanjang malam ketika tidur, tapi juga bisa bercin...

Stop!

Sedikit membersihkan tenggorokannya yang kering, Dhania berucap.

"Maaf. Tapi aku harus pulang, Pram. Takut orang rumah nyariin. Udah malem."

"Hmm? apa? aku nggak denger, sayang." Pram mulai menciumi leher Dhania yang terbuka. Bulu kuduk Dhania berdiri. Merinding karena bibir dan nafas panas Pram menghembus di kulitnya yang dingin.

"Pram...aku..ha..rus pulang." Shit! Kenapa pula ia harus selalu terbata-bata setiap kali Pram memperlakukannya seperti itu?

"Hhh...oke. Tapi dengan satu syarat." Pram menunduk di atas wajah kekasih pemalunya. "Kamu harus makan dulu sama aku. Deal?"

"Tapi nanti keburu kemaleman. Aku makan dirumah aja." Protes Dhania berani walau dipandangi sedekat itu oleh Pram.

"Kalo gitu nggak aku ijinin pulang. Aku tahan kamu di ranjangku, toh kita bisa ngelanjutin yang tadi sore." Tubuh Pram langsung menindih tubuh Dhania. Mencium sudut bibirnya. Melumat bibir bawahnya dan menyusupkan lidahnya masuk untuk mengecap rasa lidah gadisnya. Pram menautkan tangannya ke tangan Dhania. Saling mencengkram erat disisi kepala Dhania di atas bantal. Kulit tubuh mereka memanas. Engahan dan lenguhan mereka bercampur jadi satu. Tidak tahu siapa yang lebih bernafsu dari siapa.

Hisapan kuat bibir Pram yang mendominasi ciuman basah mereka membuat kepala Dhania pening. Tubuhnya pasrah, melemas dalam hasrat yang berkumpul di inti kewanitaannya. Tubuhnya seperti tak bertulang. Bibir Pram berpindah ke lehernya. Menghisap kulit mulus di sana hingga meninggalkan bercak merah. Kesadarannya sudah akan hilang jika saja tidak ada bunyi yang menyela.

"Kruyyuukkkk..."

Yak bagus! Perutnya yang tidak tahu situasi berbunyi dengan tidak tahu malu. Pertanda minta diisi. Betul-betul sound effect yang tepat untuk menurunkan gairah.

Pram menyunggingkan senyum di bibir Dhania setelah mendengar bunyi perut tanda lapar. Beranjaklah ia dari kasur sampai membuat selimut mereka jatuh di atas lantai, menyuguhkan buah dada Dhania yang tidak terlindungi. Lengan gadisnya dengan sigap menutupi ketelanjangannya. Dia tahu, usahanya itu tidak banyak membantu. Meski begitu, dengan melakukannya setidaknya Dhania tidak benar-benar kehilangan muka di depan Pram.

Dhania melihat Pram mengetatkan rahangnya. Matanya tajam menyorot. Dhania membuang muka.

"Aku ambilin bajumu dulu di ruang depan. Abis itu kita makan, baru aku anter kamu pulang." Kata Pram tajam sambil berlalu dari kamar dan menutup pintu dengan keras.

~~

Pram menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang rumah Dhania. Jam di mobil sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat mereka tiba. Dhania menoleh ke arah Pram.

"Mau mampir dulu?" Tawar Dhania.

Pram menggeleng, "malam ini nggak dulu ya, sayang. Udah malem. Nggak enak sama orang tuamu. Salam aja buat mereka, hm?"

"Ya udah kalo gitu. Sekali lagi aku minta maaf untuk kejadian hari ini, Pram. Makasih juga udah nganter aku pulang."

Pram menyunggingkan senyum separuhnya, tangannya mengusap puncak kepala Dhania kemudian mencondongkan tubuhnya untuk mengecup pipinya lembut.

"Jangan minta maaf, sayang. Aku yang salah. Aku minta maaf. Makasih ya buat hari ini." Pram mengedipkan sebelah matanya. Dhania mengangguk. Tangannya sudah hendak membuka pintu mobil saat Pram memegang bahunya serta menyambar bibirnya. Nafasnya tercekat. Jantungnya berdegup cepat. Dibalasnya ciuman itu. Ciuman Pram terasa mendesak, seperti ingin mengingatkan Dhania bahwa ia miliknya. Setelah puas, mereka melepas ciuman itu hampir bersamaan.

Aura panas menaungi mereka. Pram menyentuh dagu Dhania dan memandang wajahnya dengan mata setengah berkabut seraya berkata, "rasa manis bibirmu buat aku ketagihan, sayang."

Dhania tersipu mendengar kalimat vulgar yang disampaikan Pram. Entah kenapa, aura diantara mereka berubah menjadi lebih intim sekarang. Pun ketika mereka menyempatkan makan dulu di rumah Pram. Menyantap hidangan yang terbengkalai sore tadi. Pram tak segan-segan menyuapkan makanannya ke mulut Dhania. Perlakuan manis yang belum pernah dilakukannya. Atau ketika Pram mengecup sudut bibirnya saat melihat saus yang menempel di sana. Pram benar-benar berbeda 180 derajat!

Apa itu semua karena keintiman mereka yang terjadi akhir-akhir ini?

Dengan enggan Pram melepaskan Dhania dan menyuruh Dhania masuk kedalam rumah karena hari sudah semakin malam. Setelah mereka berpisah beberapa waktu, Pram menyalakan handphone yang seharian ini mati. Belum 5 menit, beberapa sms dan notifikasi panggilan masuk menghiasi layarnya. Semua dari Dhania. Senyumnya mengembang ketika pesan itu dibaca satu persatu.

Tanpa pikir panjang, diketiknya pesan balasan untuk kekasih hatinya itu.

To: My Dhania

Selamat tidur, cantik. Sweet dream. I love you. Nite.

~~

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 266K 53
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
1.8M 68.1K 73
Bukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.
1.2M 40.7K 55
Sial bagi Sava Orlin setelah melihat lembar penetapan pembimbing skripsinya. Di sana tertulis nama sang mantan calon suaminya, membuat gadis itu akan...
247K 10.2K 31
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...