Ten Rumors about the Mute Girl

By fibiway

264K 26.7K 2.3K

Orang-orang bilang ada gadis bisu di rumah itu. Dan akhirnya aku tahu bahwa itu benar setelah kejadian dimana... More

0.0 | copyright
epigraph
prologue
1 | people said, the house is haunted
2 | people said, she is from the other city
3 | people said, the carpenters have often moved house because 'she' is mute
4 | people said, they are anti-social family
5 | people said, Julia is a whiny girl
6 | the beginning
7 | the warming party
8 | why Mrs. Carpenter gets mad?
9 | the taro flavor
10 | Seth, the stalker
11 | Seth and the truth
12 | why Mrs. Carpenter gets mad? (pt.2)
13 | a middle-aged man asked us about the Carpenters' house
14 | what the hell?
15 | she; a gone girl
16 | ten rumors about the mute girl and her family
17 | Mom said that she will try
18 | but Mom never trying
19 | the Carpenters' truth
20 | a girl who was slapped
21 | what happen; why Penelope calling?
22 | Julian
24 | stupidity
23 | a big confusion
25 | a stranger
26 | he is the hero, again
27 | Herbert Carpenter
28 | she said she really sorry for her father
29 | the day with them
30 | a ticket, to Iceland
31 | me, and the sun, and the girl-who-will-go to reach her dream
32 | the truth, but not the whole truth
33 | the truth happened later, i think it's the end
34 | too late to say goodbye
35 | everything's back to normal, like when the girl has not come yet
36 | new neighbor, isn't it?
37 | yeah, they are gone
38 | a diary
39 | page 1, 30 November
40 | page 2, 3 December
41 | page 3, 10 December
42 | page 4, 12 December
43 | page 5, 15 December
44 | page 6, 28 March
45 | page 7, 30 March
46 | page 8, 31 March
47 | page 9, 3 April
48 | page 10, 30 May
49 | "nothing ever goes away..."
epilogue
[ author's note ]

50 | "...until it teaches us what we need to know."

1.9K 191 57
By fibiway

Aku memasuki lorong panjang yang menghubungkan pintu utama rumah Julian dengan ruangan besar yang kurasa malah lebih cocok disebut sebagai aula sekolah. Luas dan penuh riuh manusia yang sedang berpesta, tiba-tiba aku merasa mual melihat semua pemandangan ini, sialan. Kulayangkan pandangan ke seluruh ujung-ujung kepala setiap orang, mencari wajah-wajah yang kiranya kukenal. Namun nihil, tidak muncul wajah sialan Seth di antara mereka.

Aku sengaja datang terlambat ke pesta syukuran beasiswa Julian karena sebelumnya aku sudah merasa bahwa pesta bukan ide yang bagus untukku; aku tidak pernah menyukai pesta sepanjang hidup. Mereka pasti hanya akan berjoget seperti orang kesetanan sambil terus menenggak belasan gelas minuman beralkohol hingga mabuk, sebelum akhirnya menghabiskan sisa malam mereka dengan berhubungan seks di kamar-kamar besar rumah ini.

Seth sudah berada di sini sejak setengah jam lalu dan katanya ia datang bersama Adam. Sialan, rumah Julian sudah seperti istana saja! Inderaku kesulitan mencari sesosok Julian untuk nantinya kuberi ia selamat dan terima kasih karena telah mengundangku. Ya, aku hanya berniat datang ke pesta ini untuk mengucapkan selamat pada Julian, lalu minum segelas soda, lalu pulang, dan tidur, selesai.

Seusai menghabiskan segelas minumku, aku mengunyah sebuah cupcake yang sengaja disajikan di atas sebuah meja, pada rak mini yang khusus digunakan untuk menyajikan makanan. Karena tenggorokanku rasanya seperti tersumbat adonan cupcake yang kumakan, terpaksa aku harus menenggak air minum lagi, dan perutku nyaris kembung karenanya.

Seseorang menepuk punggungku, menyebabkan kerongkonganku tersedak dan rasanya seolah terbakar. Berusaha kupulihkan penglihatanku yang tadinya penuh air mata (karena rasa panas yang meluap di kerongkongan berhasil membuatku hampir menangis). Penelope Miller berdiri di depanku sebelum akhirnya menyapa selamat malam. Aku membalasnya dengan anggukan kecil beserta wajahku yang diselimuti ketegangan akibat tersedak minuman tadi. Ia tersenyum, namun aku tidak berniat membalasnya karena tidak ada gunanya kulakukan itu.

"Yo, Jason!" tiba-tiba Julian muncul di belakang Penelope. Perutku mendadak mual ketika Penelope menyosor ke bibir Julian dengan seenaknya. Julian pun membalas ciumannya tanpa peduli lagi dengan keberadaanku padahal dua detik yang lalu Julian baru saja menyapaku, sialan mereka.

Aku langsung beranjak dari tempat itu tanpa pikir panjang. Entah kenapa tiba-tiba saja pikiranku lupa akan niat awalku untuk mengucapkan 'selamat atas beasiswanya' dan 'terima kasih karena telah mengundangku' kepada Julian. Langkahku berjalan menuju ke lorong yang lebih kecil dari yang kulewati sebelumnya, dan lorong itu rupanya berujung pada tangga ke lantai atas. Aku menaiki tangga itu dan sampai di lantai dua. Ruangan besar lagi, dan hanya terdiri dari kamar-kamar. Tidak kuhiraukan kamar-kamar itu (yang mungkin saja pintunya terkunci sekarang karena orang-orang sedang memuaskan diri di dalam sana, berpasang-pasangan, bercumbu dan bercinta yang sangat menjijikkan). Aku langsung menuju salah satu pintu yang terhubung dengan balkon, yang mempersilakan dinginnya angin malam masuk ke seluruh ruangan.

Tubuhku berdiri di balkon dan lenganku bertumpu pada pagar. Sengaja kuberdiri di tempat ini selama kurang lebih dua menit sebelum akhirnya duduk di lantai balkon dan kedua kakiku kubiarkan menggelantung di antara sela-sela pagar besi. Jarang sekali kurasakan suasana malam di penghujung bulan September seperti sekarang ini, apalagi kamar sialanku tidak terdapat balkonnya, sehingga jelaslah sudah, Jason si pemalas ini hanya terbatas duduk di sisi jendela tanpa pernah bisa duduk-duduk di balkon, sialan.

Aku baru saja mengamati van warna putih yang memposisikan diri untuk parkir di halaman rumah Julian ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahuku, dan yang ada kemudian adalah aku kaget setengah mati. "Sialan! Aku bisa mati tadi," umpatku, lalu menoleh, rupanya Penelope, "Kenapa kau di sini?"

"Aku agak terkejut ketika kau tiba-tiba langsung menghilang dalam hitungan detik," ucapnya kemudian.

"Aku tidak terkejut," kataku singkat. Mengapa juga Penelope perlu mengekor padaku? "Hei, bukankah kau harusnya bersama Julian?"

Penelope bergeser dari belakangku dan memposisikan tubuhnya duduk di lantai balkon, menurunkan kaki di celah-celah pagar, lalu menghembuskan napas panjang. "Julian harus bertemu teman-temannya."

"Mengapa kau membuntutiku?!" tanyaku setengah menggertak.

"Hei, santai saja, Jason, aku tidak akan menyukaimu lagi."

Persetan, pasti dia ke sini karena ada maunya, aku yakin, sialan. "Apa maumu?"

"Hanya ingin menemanimu," Penelope menatap langit-langit malam, lalu tersenyum memandangku. Sekarang ini aku yakin aku mau muntah, sial. "Lalu, kenapa kau malah ke sini?

"Aku benci pesta."

Penelope melayangkan tatapan menyelidik, seolah ia tahu sesuatu dari ucapanku. "Apa kau kesepian? Setelah kepergian gadis itu?"

"Kesepian? Jelas tidak."

"Aku yakin rasanya aneh menyadari tetangga kita tiba-tiba pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan." Ingin kutonjok muka Penelope yang seolah menantangku, namun kutahu jika aku benar-benar melakukannya, setelah ini aku otomatis akan dipanggil pengecut.

Kataku, "Aku diberi penjelasan, meski tidak secara langsung." Wajah Penelope menunjukkan antusiasme yang sangat menonjol. Aku yakin dia kaget pastinya. Lalu aku melanjutkan, "Kenapa kau tiba-tiba berubah? Dan Julian ... Kenapa setelah kalian bersama, mendadak kalian seperti serempak menjadi baik?"

"Julian, sebenarnya anak itu baik, hanya saja ia terkadang membuat onar pada siapa saja kecuali pada orang-orang terdekatnya. Hei, aku minta maaf atas waktu itu; ketika ia menonjokmu," jelas Penelope sebelum akhirnya berkata lagi, "Juga, mengapa aku berubah? Karena aku menyadari sesuatu, bahwa Julia bukan satu-satunya imigran gelap di kota ini." Kulayangkan tatapan penuh heran pada Penelope yang membuat gadis itu terus bicara, "Ayahku. Dia dari Jamaika. Hanya saja sekarang sepertinya polisi pun sudah menyerah mencarinya."

Tanyaku, "B-bagaimana bisa dia berasal dari Jamaika sementara kulitmu...."

"Dia ayah tiriku."

Baiklah, bukan sesuatu yang mengejutkan. Aku tidak terkejut sampai di sini. Ini perihal Penelope, bukan Julia. Seharusnya aku tidak perlu banyak tahu tentang Penelope; dia bukan siapa-siapa, masa bodoh. Lalu kualihkan topik agar Penelope tidak meneruskan bicara tentang ayahnya, "Apa yang kau tahu dari Julia?" tanyaku.

"Hanya seorang yang tidak bisa bicara, lalu ... imigran gelap. Aku tahu dia seorang imigran dari Islandia adalah dari seseorang—"

"Franklin Wellman, petugas imigrasi Amerika. Mencari Julia dan ibunya," kataku tiba-tiba, seolah membabi-buta.

Kata Penelope, "Aku pernah didatangi pria itu dan dia bertanya tentang penghuni rumah yang ada di sebelah rumahku, Julia dan keluarganya. Aku hanya menjawab tidak tahu siapa mereka sebenarnya, dan akhirnya, pria itu tidak mendapatkan informasi apa-apa. Namun sebagai informasi, dia memberitahuku bahwa wanita bernama Olivia Whitney adalah imigran gelap dari Islandia, beserta anaknya, Julia Whitney."

Kata-kata Penelope masuk ke dalam rongga telingaku, dan tiba-tiba saja kudapati suaranya langsung keluar melalui telinga kiriku (karena pada dasarnya aku sudah tahu kebenarannya, lewat diary Julia). Lalu kudapati diriku membuat pengakuan, "Aku membaca buku hariannya," ada jeda selama tiga detik sebelum akhirnya kulanjutkan, "Aku tahu itu salah, tapi, aku memang tidak sengaja mengambil bukunya. Ketika Julia menghilang, hari itu juga aku memanjat ke kamarnya dan mendapati kamarnya memang benar-benar kosong. Kutemukan potongan kertas yang sengaja disobek-sobek menjadi ukuran kecil yang kemudian setelah kugabungkan kembali, itu berisi ejekan pedas seseorang. Kukira itu dari kau ... ternyata beberapa minggu lalu aku salah. Dan, aku baru ingat, ketika aku mengumpulkan potongannya, kertas itu kumasukkan dalam bukaan sebuah buku yang kuambil asal dari atas meja. Aku baru saja menyadari hal itu kemarin ketika kutemukan di kamarku ada buku hariannya." Penelope menatapku nanar, mungkin ia belum mengerti.

"Kau memang sempat menulis pesan lewat kertas kecil yang kau tulis dengan huruf-huruf kapital. Kau selipkan di sela bawah pintu rumah Julia. Tapi kau tidak menulis 10 ejekan tentang Julia," aku lalu membuka ponsel pintarku, menekan ikon galeri ponsel, dan menggulir layar sebelum akhirnya kutemukan satu foto di antara ratusan foto yang telah kugulir ke atas. "Kau ingat foto ini? Ini yang Julia tulis. Dia sengaja meniru tulisanmu."

Penelope ternganga ketika bola matanya tertuju pada layar ponsel yang kusodorkan padanya. Gadis itu terdiam beberapa detik, lalu mengambil ponsel dari tanganku sembari terlihat berpikir. Kuyakin ia pasti bingung dengan kenyataan yang baru saja ia dengar dari mulutku karena Penelope setelahnya bilang, "Mengapa dia menulis itu semua? Bukankah hal-hal seperti itu belum tentu benar? Seperti misalnya orangtuanya akan bercerai? Atau ibunya gila? Atau bahkan, Julia sendiri sakit jiwa?"

"Aku tidak tahu perihal orangtuanya; apakah mereka akan bercerai atau tidak dalam waktu dekat, mengingat sekarang Olivia Carpenter sudah pergi dari Bloomington. Lalu, soal Olivia Carpenter, wanita itu mengidap bipolar; gangguan emosional yang ditandai dengan perubahan mood yang drastis, lalu kemudian ... karena ia tidak tahan lagi dengan emosinya, akhirnya berujung pada pelampiasan. Julia ... Gadis itu tidak gila ataupun mengidap gangguan seperti yang dimiliki ibunya. Asumsiku, Julia hanya ingin melampiaskan kekesalannya selama ini. Gadis itu begitu tertekan dengan keadaan. Olivia Carpenter mengubahnya menjadi murung-kurasa ia hampir putus asa. Tidak, sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan ibunya karena terus-menerus mengekang Julia, melainkan, masa lalu-masa lalu yang pahit. Terkadang, sesuatu yang kita harapkan terjadi, belum tentu akan berpihak pada kita. Takdir-lah yang menentukan seseorang akan menempuh jalan yang mana. Dan, Olivia Carpenter tidak mendapatkan harapannya."

"Apa maksudmu?" tanya Penelope, "Aku tidak mengerti."

Aku berdeham seraya meminta ponselku kembali sebelum akhirnya gadis itu memberikannya padaku. Kuhela napas panjang sambil berpikir, kira-kira apa yang harus kujelaskan pada seseorang yang belum mengetahui kebenaran seluruh ceritanya? Penelope tidak tahu isi buku harian Julia karena belum membacanya. Apakah pantas jika kuberitahukan rahasia kelam yang terpendam di antara keluarga Julia selama ini? Rahasia yang sudah lama mereka simpan dan menyebabkan semuanya berubah drastis, dari mulai kehidupan Olivia Carpenter sendiri, lalu Julia. Oh, sial, mendadak pikiranku diselimuti rasa kegelisahan. Mengapa aku jadi paranoid begini? Padahal jelas-jelas perihal Julia dan keluarganya tidak ada hubungannya sama sekali denganku, sial.

Langit malam kelabu, tidak ada bintang-bintang yang terlihat oleh mataku. Itu pasti dikarenakan sebentar lagi musim dingin dan cuaca cenderung tidak menentu, hampir setiap hari mendung. Aku menghela napas panjang lalu berkata, "Kau tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sangat kau harapkan menjadi hakmu lalu sesuatu itu hilang begitu saja?" aku berkata dengan tidak menatap wajah Penelope karena kuyakin aku pasti akan mul lagi melihat ekspresi kebingungan di wajahnya yang sok lugu itu. Kataku, "Sesuatu itu menjadi amat berharga dalam hidup ketika ia telah jauh, dan kita yang kehilangannya, selalu dihantui rasa penyesalan yang berujung frustasi, atau kalau frekuensinya terlalu parah, bisa jadi depresi."

"Mengapa kau tiba-tiba menjadi sok bijak begini? Dan mengapa juga kau harus mengatakannya dengan perumpamaan dan bukannya berterus terang? Sungguh, Jason, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan."

Aku masih bicara sambil menatap langit-langit yang mendung, "Terkadang, Tidak ada yang pernah benar-benar hilang sampai itu mengajarkan pada kita apa yang kita perlu tahu."

"A-apa-apaan?"

Sedetik berlalu tiba-tiba kudapatkan pencerahan; kalau kupikir adalah tidak boleh jika aku membicarakan rahasia hidup orang lain, maka, bukankah jika hanya mengetahuinya saja itu berarti boleh? M-maksudku, Penelope mungkin bisa tahu kebenaran tentang Julia tanpa pernah kuceritakan padanya apa-apa saja yang sudah kubaca dalam buku harian Julia. Bukankah ... Bukankah Penelope masih bisa membacanya? Hanya saja, Julia hanya menulis sampai halaman ke sepuluh, dan setelahnya, buku itu sudah ada di tanganku karena aku yang mengambilnya sendiri.

"Hei, apa kau mau membaca buku hariannya?" tanyaku akhirnya.

"Kalau kau menyuruh," kata Penelope, "dengan senang hati."

"Baiklah," kataku, "Kapan-kapan."

"Tapi, kau harus ingat, diary Julia," terangku, "dia baru sempat menulisinya sepuluh halaman karena bukunya telanjur kuambil pada hari dimana Julia menghilang."

"Omong-omong, kau mau mendaftar kuliah di mana besok?" tanya Penelope tiba-tiba, mengalihkan perhatian.

"Entahlah, tapi, Mom menyuruhku tur keliling universitas di New York begitu ujian kelulusan selesai, jawabku. "Mungkin akan kuambil jurusan Multimedia, sebagai pertimbangan dulu. Atau kalau tidak, Manajemen Properti seperti yang Mom-ku bilang," jelasku. Sengaja tidak kutanya balik Penelope, karena aku malas membahasnya; hal-hal Penelope yang tidak penting.

Namun, sialnya, seolah sudah seperti sifat melekat dari diri Penelope, mengajukan diri, "Mungkin aku harus kuliah Rias Rambut atau kalau tidak, Terapi Kecantikan," jelasnya dengan nada penuh kewibawaan seolah ia sudah tahu nantinya ia benar-benar akan diterima di jurusan itu tahun depan. Omong-omong, ini sudah akhir September, dan bulan Mei tahun berikutnya kami sudah dijadwalkan mengikuti ujian kelulusan. "Oh iya, ada satu lagi jurusan yang kuinginkan; Kesehatan dan Kebugaran."

Menganggapi ocehan tidak penting Penelope, aku akhirnya berkata, "Aku tidak tanya."

"Baiklah," katanya.

---

Aku menyelinap keluar diam-diam ketika pesta masih berlangsung meriah. Sehabis dari balkon, aku bilang pada Penelope bahwa perutku mual karena kebanyakan minum soda padahal yang sebenarnya terjadi adalah, aku benci pesta. Aku pulang sendirian, tidak dengan Penelope karena gadis itu kuyakin malam ini—mereka; Penelope dan Julian—akan bersenang-senang. Ketika aku sudah berada di luar halaman, kucoba menelepon Seth namun ponselku bilang nomor Seth tidak aktif. Lima kali kutekan tombol panggil nomor Seth, lima kali juga suara operator dari pengeras suara ponsel bilang bahwa nomornya tidak aktif dan di luar jangkauan.

Lima belas menit kemudian kuparkir sepeda di garasi sebelum akhirnya aku masuk ke rumah melalui pintu garasi yang terhubung dengan ruang makan. Mom sedang memanaskan sesuatu di atas kompor, yang kulihat itu adalah sebuah omelette. Ia bertanya dimana Seth dan kenapa tidak bersamaku yang kujawab bahwa Seth masih di rumah Julian. Untung saja Mom percaya setelah kukatakan bahwa nomor Seth sulit dihubungi, karena kalau tidak, aku pasti akan dimusuhi Mom seumur hidup kalau-kalau Seth tidak pulang.

Aku tidak berkomentar apa-apa lagi karena setelahnya aku langsung menuju kamar tidur karena terlalu lelah. Tubuhku menghempas di atas tempat tidur lalu kubuka ponsel, tidak ada pemberitahuan apa pun. Sampai saat ini masih kutunggu balasan surel dari Julia. Ah, ya, kemarin begitu selesai membaca isi buku harian gadis itu yang mana halamannya hanya sepuluh, aku teringat akan alamat surel Julia yang diberikan Herbert Carpenter padaku.

Pesan yang kukirim pada Julia hanya singkat, berisikan menanyakan kabar, lalu sedikit cerita mengenai sekolahku—yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan—serta, dengan bodohnya, kulampirkan foto wajahku pada surat elektronik tersebut sebelum akhirnya kukirim ke alamat email Julia. Pada foto yang kukirim padanya, aku berusaha tidak tersenyum ketika mengambil swafoto. Namun begitu pesan itu terkirim bersamaan dengan foto wajahku, kupikir tolol sekali aku, mengapa juga mengirimkan foto diriku sendiri seolah wajahku sangat penting. Aku sempat berpikir untuk menarik kembali pesan itu, namun, ya sudahlah; kalau memang Julia mengerti, gadis itu pasti akan membalas dengan foto juga.

Aku membuka email pada pesan terkirim, membacanya ulang meskipun kurasa aku ingin mual melihat kata-kataku sendiri.

---

Jason MacMillan
to juliacarpenter97
1 day ago

(Subject : Hello)

Hi Julia!

Hello, ini aku, Jason. Mudah-mudahan kau belum lupa denganku, tetangga samping rumahmu di Bloomington. Omong-omong, kudapatkan alamat surelmu dari ayahmu.

Bagaimana kabarmu? Dan bagaimana Islandia?

Di sini aku masih sama. Meskipun kecelakaan itu rasanya baru beberapa hari yang lalu, namun aku baik-baik saja. Oh hei, kita tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pagi itu saat hari keberangkatanmu. Aku mengalami koma, tidak kuingat apa pun waktu koma, jadi tidak akan kuceritakan di sini.

Pertengahan tahun depan aku akan lulus dari SMA dan setelahnya, mungkin aku akan melakukan tur ke New York, melihat-lihat kampus. Itu perlu, karena Mom bilang aku harus persiapan kuliah jauh-jauh hari. Kau ingat Julian? Anak itu mendapat beasiswa olahraga dan sebagai syukurannya dia mengadakan pesta.

Julia, kuharap kau membalas pesanku dan menceritakan Islandia karena ingin kudengar ceritamu; apa kau bahagia di sana? Please reply this letter soon.

Jase

---

Aku turun ke ruang tamu ketika Mom berteriak memanggilku. Kudengar suara Seth yang meraung tidak jelas yang kini terduduk di sofa, merebahkan punggungnya begitu saja di permukaannya. Seth mabuk parah, bau alkohol menyengat memenuhi ruang tamu. Aku tahu sekali Seth jarang mengunjungi pesta, namun sekali ia minum, Seth akan kecanduan kalau tidak diawasi.

Di situ ada Adam yang berpakaian seperti anak punk nyentrik. Adam begitu kaget sewaktu aku muncul (memangnya, aku ini dikira apa?) Kami tidak berkata apa pun, ruangan tenang namun sesekali Seth kembali bergumam tidak jelas hingga Mom akhirnya muncul dengan segelas air putih di tangannya.

"Adam, lebih baik kau pulang," kata Mom, "Terima kasih banyak telah mengantarkan Seth pulang. Sekarang, biar kami tangani dia. Kau, pulanglah," Mom memberikan tatapan khawatir terhadap Adam yang membuat anak itu pamit pulang kemudian. Aku tidak memberikan komentar apa pun ketika ia akhirnya pergi karena setelahnya aku dan Mom harus membawa adikku ke kamar, di lantai atas, sialan.

Seusai menyeret Seth ke kamar, tubuhku langsung kuhempaskan ke tempat tidur kamarku begitu saja, tidak peduli betapa berisiknya Seth yang masih bergumam keras-keras seperti orang gila di kamar sebelah. Kurasa anak itu malah lebih mirip seperti kesetanan daripada mabuk berat karena, sial, berisik sekali.

Aku sedang menatap langit-langit kamar yang kosong ketika tiba-tiba layar ponselku—yang terletak di sisi tempat tidur—menyala. Sebuah notifikasi menunjukkan, ada email masuk.

Itu dari juliacarpenter97. Baru empat menit yang lalu, astaga.

---

Julia Carpenter
to jasemacmillan37
4 minutes ago

(No subject)

Hello, Jase? Jason? Maaf, bagaimana cara memanggil namamu?

Pertama, aku mau bilang, maaf, tapi aku bukanlah Julia yang kau kira.

Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya; apakah teman dekat Julia ketika di Amerika atau bukan, aku tidak tahu sepenuhnya. Aku membalas email-mu karena aku merasa aku bertanggung jawab atas Julia, dan itu perlu kulakukan.

Namaku Aimee Whitney, saudara Julia.

Jason, aku harap kau dalam keadaan baik ketika membaca ini karena, ada hal serius yang harus kau ketahui.

Julia kecelakaan, satu hari lalu. Ada kesalahan, maksudku, kesalahpahaman antara orangtua kami (kurasa belum saatnya kau tahu penyebabnya karena ini adalah masalah keluarga kami).

Julia sempat koma. Dan, hari ini, Tuhan tiba-tiba mengambilnya dari kami.

Pemakamannya besok sore. Maaf atas berita ini Jason, tapi, aku merasa perlu memberitahukannya padamu karena aku saudaranya.

Salam,
Aimee :')

[]

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 376K 33
Series Kedua #2A3Series Tentang gadis receh yang harus berhadapan dengan si ketua ekskul judesnya. "Dari jutaan manusia di dunia kenapa gue naksirnya...
103K 13K 51
Ayasa yang tomboy bersahabat dengan Adriel yang menjadi idola cewek-cewek di kampus. Bosan diteror terus-menerus karena kedekatannya dengan Adriel, A...
RAIN By Nanas Biru

Teen Fiction

276K 14.9K 36
[The Winner Of Wattys Award 2017 Category THE ORIGINALS] Ketika Terlalu Takut Untuk Menatap Hujan. Soal hujan yang datang membawa luka. Juga tentang...
2.1M 126K 33
[SUDAH TERBIT] Sebagian cerita sudah dihapus. Buku sudah bisa dipesan dan ditemukan di semua toko buku. An Eternal Vow Wanita itu masih memakai keba...