Desir Arah

Galing kay Cloudlhy

8.2K 2.3K 407

Jauh sebelum lintang bintang memudar Dia pernah berpikir ke arah mana kaki melangkah Dengan rasa lelah memunc... Higit pa

[ P R A K A T A ]
P R O L O G
2. Aku, Kamu, dan Laboratorium
3. Payung dan Boneka Penangkal Hujan
4. Si Nyasar Pelangi
5. Tragedi Pohon
6. Gitar Tua Itu
7. Pulang, Gi!
8. Perihal Haysel dan Tentang Russel
9. Menemukan Kamu
10. Di Bawah Pohon Halaman Belakang
11. Pulang Bersama Haysel
12. Ma, Apa sakit?
13. Mama dan Pelangi
14. Rumah Itu Seperti Apa?
15. Rumah Bibi Airi
16. Lembar-Lembar Fakta
17. Pelangi, Pena, dan Kolam
18. Cinta Dari Pelangi
19. Pemakaman Ibu
20. Tentang Keluarga Russel
21. Tempat Pulang Haysel
22. Desir Untuk Menghilang
23. Teman Pertama
24. Sebuah Pernyataan
25. Seandainya Pelangi Tidak Pernah Ada
26. Ibu dan Mama
27. Russel Bagi Pelangi
28. Tempat Meminta Tolong
29. Membawa Pergi Kesalahan
30. Pengakuan Pelangi Sore Itu
31. Pertemuan Kembali
32. Panggilan Masuk
33. Pada Akhir yang Berakhir
E P I L O G

1. Penghapus Papan Tulis

713 136 34
Galing kay Cloudlhy

Ketika mata kita bertemu, aku selalu berharap untuk diam. Diam-diam berharap tidak ada lagi tatapan kesepian hinggap. Diam-diam berharap kamu menjadi bagian yang tak akan pernah lenyap. Diam-diam berharap aku si pemberi mimpi indah di tidurmu yang lelap.
☔☔☔

Kalau seorang Anjani Pelangi ditanya, apa yang lebih menyenangkan ketika hujan datang, dengan wajah dan mata berbinar cerah gadis itu akan menjawab ketika hujan turun ia bisa merenung sepuasnya, pura-pura tidak mendengar sekitar, dan ketika hujan turun, semua hal akan memudar dari penglihat. Hanya ada dia, hujan, dan pikiran bebas melalang buana. Dunia hanya miliknya.

Tapi Russel tidak suka hujan, cowok jankung berkacamata dengan rambut coklat kelam berantakan itu akan menghilang ketika hujan turun. Kedengaran aneh, kan? Iya, itu beneran aneh. Hilang yang dimaksud di sini adalah, Russel tidak akan beranjak dari kamarnya. Seperti hari ini, di sepanjang sekolah dimulai.
Ketika hujan turun pagi hari, Russel tidak akan pergi sekolah. Jangan tanya ada berapa banyak absensi si cowok ketika musim hujan. Parah sekali.

Pelangi mendengus bosan, suasana kelas menghening seolah terhanyut akan buaian penjelasan guru matematika depan sana, pada jam terakhir rawan-rawan kantuk menyerang. Pelangi berusaha sekuat tenaga berperang agar tidak ikut ngorok lalu dilempar penghapus papan tulis super duper butut itu. Kalau ada yang bertanya sudah berapa kali penghampus itu berhasil menyabet kepala siswa menciptakan jejak hitam pada wajah, jawabannya sudah lima kali dalam waktu singkat ini.

Salah satu korbannya adalah Haysel, cowok yang baru pindah dan menetap di bangku sebelahnya saat ini.

Bibirnya monyong beberapa senti, mengerutu setengah tidak iklas jidat mahalnya mendapat maha karya berupa cap hitam. Pas bagian kening.

"Sumpah, pengen pindah sekolah aja gue," gumamnya sambil sibuk pura-pura mencoret belakang buku. Beberapa anak kelas berusaha melotot memandang papan tulis agar tidak kena serangan mendadak. Haduh, susah memang punya guru killer matematika, hujan badai pasti selalu muncul di depan kelas tersenyum devil membawa buku paket. Apalagi kalau sudah ditambah kalimat keramat macam ini.

"Hari ini kita ulangan."

Semua anak sekelas akan bersorak untuk menyambut nilai merah merona mereka. Serupa kejadian dua hari lalu, dengan tiba-tibanya pintu kelas yang sudah berusaha ditutup rapat, untuk menimalisir guru masuk menjeblak kencang, ketua kelas yang tengah duduk di kursi guru bergitarkan sapu seketika terjungkal kaget. Suara emasnya tadi menjadi melengking kencang "Astagfirullah ya ahli kubur," sebutnya.

"Selamat pagi menjelang siang anak-anak didik saya tercinta."

Kampret memang bapak guru matematika satu ini, manggil sayang pasti ada udang di balik bakwan.

"Hari ini karena mood saya lagi baik kita ulangan matematika."

Pelangi tercengang, mau kaget tapi ini kan Pak Kiki, sukanya dadakan.

"Pak, orang kalau mood baik, traktirin belanja di kantin bukannya ulangan!" Zalpajri selaku ketua kelas pemberani mencoba protes.

"Loh? Kamu siapa?"

"Saya ketua kelasnya pak."

"Yang nanya."

Zalpajri mingkem, oke dia menyerah dengan kerandoman guru matematika satu ini. Besok-besok dia mau mengajukan ke wali kelas ganti guru matematika dengan bu Aini saja, yang waras dikitlah setidaknya. Bukannya yang rada-rada sebleng dan killer pada nilai ini.

"Silahkan kumpulkan semua catatan kalian di depan, sekalian saya mau periksa."

"Pemaksaan banget," bisik-bisik siswi di depan.

"Kalau gak suka, pintu sebelah kanan saya."

Pada akhirnya sekelas ulangan dengan hasil nilai yang cukup memuaskan, memuaskan untuk membakar amarah emak bapak di rumah.

Balik ke masa sekarang, di kelas yang mencoba hening, suara hujan luar sana menghipnotis untuk pindah ke alam mimpi.

Kursi kelas terdiri dari empat deret dari depan, Pelangi dan Haysel mendapat bagian tengah kiri, nomor dua paling rawan dilihat guru.

Papan-papan tulis yang tengah menjabarkan angka-angka, penjelasan Pak Kiki terdengar samar-samar rasanya membuat Pelangi tidak tahan untuk tidak tidur.

Terkutuklah yang membuat jadwal mata pelajaran keramat ini di jam akhir. Badan letih, otak mumet tidak bisa berpikir jernih selain 'ingin pulang', semoga orang yang meletakan jam matematika di akhir pas pulang sekolah dikejar maung dan setiap harinya adalah Senin.

"Hei, hei." Haysel mencolek-colek lengan Pelangi.

"Kenapa?"

"Hari Senin kemarin lo sekolah gak?"

Cowok dengan rambut hitam serta bola mata kelam itu bertanya dengan wajah serius. Sejujurnya, Pelangi tidak terlalu dekat dengan cowok satu ini. Penampilannya jauh lebih tidak rapi dari siswa kebanyakan, terlihat agak serampangan apalagi baju yang kusut. Merebahkan kepalanya di atas meja setelah memastikan Pak Kiki tengah asyik mengoceh.

Pelangi menganguk-anggukan kepala.

"Memangnya kenapa?"

"Pas pak kepala sekolahnya bilang apa?"

"Eung? Keknya gak ada yang penting deh, tentang kebersihan, melanggar peraturan sama yang kemarin menang olimpiade. Cuma itu."

"Oh, gak asik banget ya sekolah di sini."

Pelangi mengernyit. Memangnya apa yang diharapkan? Tarzan terbang sambil teriak 'pulu pulu' biar seru gitu?

"Btw ada kalimat mutiaranya gak? Moto idup kek apa gitu?"

Si gadis memiringkan kepalanya berpikir sejenak, rambut hitamnya di kepang ke samping dengan poni menjuntai, bola matanya bulat lucu seperti cimol.

"Moto idup, ya? Gak inget sih, tapi buat apa deh?"

"Entah kenapa pas ketemu lo idup gue berubah haluan."

"Hah?"

"Berubah haluan untuk idup mencintai lo."

"Hah?"

Bagus, sempurna. Haysel tahu kalau dia tidak terlalu jago mengombal, maksudnya dia hanya tidak sedikit pandai menyambung gombalannya. Oke, baik, dia akui kalau tidak bisa mengombal. Tapi, tolonglah hargai perasaannya yang kini ditatap kasihan oleh beberapa penghuni kelas.

Seharusnya seseorang memberi tahu Haysel mengenai seorang Pelangi adalah makhluk tuhan paling lemot di kelas mereka. Kasihan sekali.

"Er, lo gak paham?"

"Kamu ngomong apa sih? Aku gak ngerti."

Haysel benar-benar ingin menengelamkan dirinya ke samudra Fasifik. Dari arah depan tatapan tajam mengintai, deheman kencang berhasil menjadikan bulu kuduk Haysel merinding disko.

"Ngobrolin apa?"

Dengan gerakan patah-patah keduanya menoleh ke depan melihat tampilan Pak Kiki bersedekap sambil tersenyum.

"Seru ya, pedekatenya?"

Mampus sudah harapan hidup, kening Haysel pasti bakal benjol beneran habis ini.

Sambil terus mempertahan senyum manis Pak Kiki mengulung lengan kemaja hitamnya, meraih penghapus. Dan seperkian detik kemudian, penghapus butut melayang.

"Ampun pak! Ngak lagi!"

Ngeri sekali guru yang satu ini.

☔☔☔

"Mau gue bantu iket gak?"

Pelangi menoleh, berlatar suasana hujan deras belum kunjung usai, halte dengan hiruk pikuk jalanan ramai kendaraan. Bangku panjang yang mepet-mepet itu menjadikan Pelangi berada di ujung namplok dengan tiang besi sudah mulai berkarat.

Mata kelam Haysel menatapnya lamat, Pelangi sadari bahwa mengepang rambut tengah halte begini sangatlah susah.

"Gue bisa kepang rambut!" serunya riang. Pelangi bertanya ragu-ragu.

"Beneran?"

"Ho oh, serius, gue pernah belajar kepang rambut."

Pelangi berpikir sejenak, rambut panjangnya itu menyusahkan kalau dibiarkan tergerai apalagi setengah basah begitu. Jadi ia menyerahkan ikat rambut ungu tersebut pada Haysel, membiarkan Haysel dengan riang gembira melakukan percobaan.

"Lo tenang aja, rambut lo bakal gue bikin super cantik kayak yang punya."

Oke, kalimat barusan terasa meragukan sekali.

"Sekarang lo hadap sana."

Haysel memutar bahu Pelangi menyamping, lalu secara tidak berkrimanusiaannya ia mengeser orang di sebelahnya dengan kekuatan pinggul, dan hampir menjatuhkan orang paling ujung tersapu jatuh.

"Woi! Jangan geser-geser sempit!"

"Sorry guys, gue lagi melakukan tugas mulia sekarang. Harap tenang."

Haysel tersenyum menyebalkan, ia tidak tahu saja bahwa siswa yang duduk di sampingnya itu adalah kakak kelas.

"Pacaran jangan di tempat umum."

"Terus di mana? Di tempat gelap gitu?" sahut Haysel rada nyolot.

"Jomlo mah kata gue diem aja."

Cowok di sampingnya mendengus sebal, yang waras ngalah. Tapi lihat saja besok, mau ia labrak.
Pelangi berbalik berucap, "Tapi Haysel kita kan gak pacaran?"

"Calon," balasnya.

Yang mendengar balasan itu terbahak kecuali Haysel. Cowok itu malah kicep, diam pura-pura tuli menyuruh Pelangi berbalik, sedang jemarinya mulai mencoba sekuat tenaga mengepang. Sembari memutar-mutar ingatan kejadian bertahun-tahun lamanya saat ia belajar caranya mengepang rambut perempuan. Rambut Ibunya.

Si gadis hanya pasrah, derai rintik hujan memercik mengenai sepatu. Pikirannya mengelana pada kejadian sepulang sekolah kemarin bersama Russel.

Setelah turun dari desakan angkot yang sesak. Pelangi bertanya pelan menarik tali headphone putih milik Russel.

"Kenapa harus dengar lagu saat hujan sih?"

Russel berdecak tidak suka.

"Bukan urusan lo," katanya penuh penekan memperbaiki letak kacamatanya yang jadi miring. Jalanan ramai serta suasana gerimis turun, tidak deras namun cukup membuat seragam basah. Di depan toko baju itu, di tepi trotoar ramai. Dua onggok manusia tersebut terlihat mencolok adu bacot.

"Kata tante Airi gak boleh denger lagu pake headphone di jalan."

"Ya, terus?"

"Nanti dimarahin."

Memutar bola mata jenggah, Russel memasangkan kembali benda tersebut mulai menghiraukan ocehan seorang Pelangi kepadanya.

"Hey! Kamu denger gak sih? Nanti kualat!"

Tidak Russel tidak ingin dengar. Bodo amat, ia membesarkan volume lagu.

Pelangi menghentak-hentakan kaki kesal. Sejujurnya Russel sangat terganggu dengan kehadiran gadis satu ini, dia terlalu kekanakan, tidak cocok disandingkan dengan Russel yang tidak ingin peduli banyak hal dan mageran luar biasa.

Tapi tante Airi malah sering menyuruhnya untuk menjaga Pelangi sedari kecil sebab si gadis sering lupa alamat dan arah pulang. Fakta mengejutkan lagi adalah Russel tidak terlalu akrab dengan Pelangi, malah berusaha tidak mengacuhkan semua tindakan si gadis agar jera berurusan dengannya. Bukannya kapok malah makin menjadi-jadi dikintilin anak ayam satu itu.

Pelangi menarik kembali sebelah headphonenya, menjadikan cowok itu seketika miring ke kiri, sedikit berjinjit Pelangi bersuara.

"Russel sampai kapan kamu gak mau peduli dengan sekitar?" katanya nyaris terdengar seperti bisikan, Russel berbalik lalu muka mereka bertemu amat dekat, Russel bahkan dapat merasakan deru napas si gadis menerpa wajahnya. Mata bulat cerah menatapnya lekat.

Kaget, Russel mundur beberapa langkah. Headphone tersebut terlepas berpindah tangan pada Pelangi yang notabenya memegang sebelah.

"Gak usah ngangetin gue!"

"Kamu kaget?"

"Gak! Gue ketawa!" ketusnya.

"Tapi Russel, denger headphone sambil jalan di luar itu bahaya."

Russel pengen jawab bahwa Pelangi lebih bahaya untuk kesehatan jantungnya.

"Gak usah ngatur gue."

"Bukannya ngatur, cuma ngasih tau."

"Sini balikin."

"No, no, no, aku balikin pas udah nyampe rumah aja."

Pelangi tersenyum menyembunyikan benda tersebut di belakang punggungnya, Russel menengadah sejenak, hujan kian mulai menderas. Panik, Russel mulai kalang kabut mencoba meraih headphone dari tangan Pelangi.

"Balikin gak?"

"Enggak!"

"Itu punya gue."

"Tau kok."

"Gue teriakin maling nih."

"Gak akan ada yang mau nolongin."

Pelangi bersunggut-sunggut mundur ke belakang.

"Pelangi!"

Si gadis tertawa mengambil ancang-ancang hendak berlari, tapi naasnya malah hendak tersungkur akibat batu. Untung saja Russel lebih sigap menarik ransel abu-abu si gadis selayaknya anak kucing.

Iya sih, Pelangi selamat tapi headphonenya berakhir kena geprek mobil lewat akibat reflek terlempar lepas dari gengaman Pelangi ke jalan raya.

Russel seketika membeku meratapi nasib benda kesayangannya, pengen nangis sih tapi malu harga dirinya tinggi.

Pokoknya yang pasti Russel ngambek banget gak mau ketemu Pelangi lagi. Titik. Apapun itu bujuk rayu tante Airi.

"Russel maaf."

Si cowok masih terdiam menyaksikan bangkai headphonenya.

"A-aku bakalan ganti! Ta-tapi nanti."

Tidak mempan soalnya Russel masih syok.

"Russel maafin aku."

Pelangi jadi panik sendiri memegang lengan Russel takut-takut.

Memperbaiki letak kacamatanya, Russel mengacak rambutnya kesal setengah frustasi. Haduh, mak, kenapa di dunia yang luas ini tetangganya harus Pelangi sih?

"Aku bakal ganti janji."

"Terserah!" ujarnya setelah sadar hujan semakin menderas, Russel berbalik pergi setengah berlari.

"Russel tungguin! Aku janji bakal ganti! Maafin aku!"

Kembali ke masa sekarang Pelangi menghembus napas panjang, merasa amat bersalah dengan kejadian kemarin. Dia janji akan memukul celengen ayamnya setelah penuh nanti untuk menganti headphone Russel. Tapi kayaknya Russel udah terlanjur ngambek berat padanya.

Bagaimana ya caranya agar bisa baikan minta maaf baik dan benar? Apa dia bawa bolu pandan dari toko mama?

Melamun terlalu lama membuat ia tidak menyadari bahwa angkot berwarna kuning telah melaju begitu saja, dari ujung matanya ia menangkap kenet angkot berteriak. Secara tiba-tiba Pelangi berdiri, Haysel di belakangnya tengah berusaha mengepang rambut terkaget-kaget, belum sempat cowok itu memasangkan ikat rambut sebagai tindakan akhir 'Mengepang rambut dengan cantik, ulala.'

Pelangi sudah keburu kabur tunggang langgang sambil berteriak nyaring mengalahkan suara hujan.

"Abang angkot tungguin!"

Haysel mengangga.

"Bang angkot aku mau naik!" jeritnya keras.

Tinggallah Haysel meratapi nasib.

"Lho? Ikat rambutnya?" tanyanya pada udara hampa.

"Belum selesai lho ini?" gumamnya.

"Cie yang ditinggal ayang," ujar cowok beberapa menit lalu dibuat kesal, sekarang ceritanya mau balas dendam.

"Lho? Gi! Ikat rambutnya belum selesai! Pelangi!"

Baru sadar dia ditinggal Pelangi tanpa salam perpisahan.

***TBC***

31 Januari 2019

Revisi alur mulai publis
Senin, 2 Mei 2022

Catatan Penulis:
Hae ͡° ͜ʖ ͡° 
Sejujurnya ini udah ada lima bab, cuma akunya mageran publis.
Huehuehuehue, enakan diselesaian dulu baru publis gak sih? Hwhwhwhhw
Tapi ya Russel sama Hayselnya ngambek, gak mau kerja sama lagi. Gak mau aku tulisan tentang mereka. Cape aku tuh bujukin biar mau, biar bisa hidup ceritanya. Jadi tolong baik-baik sama mereka, terutama Pelangi, walau polos ngeselin gitu dia bisa polosin orang.
Udah itu aja.
Anggap ini THR raya(~º△º)~
luv yu

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

7.7K 663 100
Antologi ketiga dari Ode Marjinal.
9.7K 1.6K 36
[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan det...
3.3K 405 37
Ditinggalkan oleh sosok yang paling dia sayangi untuk selamanya membuat Joan merasa kehilangan, tetapi di samping itu pria yang memiliki paras serupa...
312K 32.2K 37
Allin tidak pernah berfikir soal cinta. Dibesarkan dipanti asuhan membuat Allin berfikir bahwa setidaknya ia harus memiliki otak yang pintar. Seakan...