Heartbeat⇝

By jealoucy

4.7M 92.7K 6.1K

[SUDAH TERBIT] Berbeda dari saudara kembarnya yang mendapat seluruh curahan perhatian dari keluarga, Seraphin... More

Heartbeat⇝
2ndBeats
3rdbeats
4thbeats
5thbeats
6thbeats
8thbeats
28thbeats
detak ke-31
detak ke-32
Pengumuman
Perubahan Harga PO

7thbeats

133K 7K 180
By jealoucy

⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊ Heart✽Beat ✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Seraphine⇝

▔▔▔▔▔▔▔

Aku baru saja menghabiskan pastaku ketika ponsel yang baru aku hidupkan berbunyi. Tanpa melihat caller IDnya, aku menekan tombol jawab.

"Olo?" sapaku.

"Berhenti membuat fungsi ponsel jadi ngga berguna kalau di tanganmu!" teriak si penelpon.

"Aku ngga tahu apa yang bang Juki maksud," jawabku sembari menjilati jari-jemariku yang aku gunakan tadi untuk mencolek bumbu pasta didasar piring. Kak Raya melirikku lewat kaca spion. Aku menyerahkan ponselku padanya tapi dia menggeleng.

Bang Jake menggeram. "Berhenti mematikan posel walau kamu ngga menggunakannya, dasar konyol. Kamu membunuh fungsi ponsel tahu ngga?"

Yup. Itu aku, sayang listrik. Karena aku boros di permainan game , jadi setidaknya aku harus meminimalkan pemakaian listrik pada ponselku. Kata bang Jake sih itu cuma ngelésku ajah, alasan sebenarnya padahal karena aku tidak mau diganggu kalau lagi ngelayab. Haha.

"Bla-bla-bla. To the point please?"

"Dimana kamu?"

"Didalam mobil."

"Ngga ada yang bilang kamu boleh pakai mobilku untuk jalan-jalan. Bawa pulang sekarang!"

"Iiih GR banget. Aku juga ogah pakai mobil yang bikin masuk angin itu."

"Kalau gitu kenapa mobil gue ngga ada dirumah?"

"Kok abang tahu?"

"Karena gue sedang berdiri di garasi dan mobil gue ngga ada!" bentaknya. Aku menjauhkan ponsel dari telingaku. "Dimana mobilku, you little witch?"

"Di rumah kak Raya."

Saat Dox bilang parkiran selalu penuh, dia tidak bohong. Karena pada kenyataannya Appleback punya lahan parkir yang tidak luas jadi cepat penuh. Kami parkir dipinggir jalan.

"Siapa Raya?"

Aku ingin menjahili bang Jake sedikit. Aku turun dari mobil mengukuti kak Raya.

"Kak Raya, masa bang Jake lupa sama kakak."

Kak Raya mendengus. "Gue juga ngga kenal sama orang yang kamu maksud."

Aku tersenyum lebar saat mendengar bang Jake menggeramkan namaku. "Seraphine Alana!"

"Ya bang Juki?"

"Gue unpetin PS3 mu nanti," ancamnya.

"Aku umpetin kak Raya nanti," balasku. Kak Raya memutar bola matanya. Dia menunjuk ponselku kemudian memberi isyarat agar aku memutus hubungan telpon dengan kakakku.

"Bagaimana kamu mengenal Raya?" tanyanya mulai panik.

"Di bengkel?" Mendengar kepanikannya aku menjadi kesal. "Kalau ngga mau aku ketemu kak Raya , seharusnya jangan menyuruhku mengambil mobil sejak awal."

"Dia ngga seharusnya ada disana. Dia seharusnya masih di rumah orang tuanya!" jawabnya mulai menyolot.

Okeh. Sekarang aku marah.

Dia benar-benar tidak mau aku bertemu dengan pacarnya? Dasar abang brengsek.

"Mobilnya ada di rumah kak Raya. Kalau mau, ambil saja sendiri sana!" seruku. Klik. Aku langsung memutus telponnya kemudian mendengus kesal.

"Ada apa?" tanya kak Raya.

"Bang Jake menyebalkan!!!" teriakku, mengundang pandangan aneh dari orang yang sedang lewat.

"Kita ngga salah bawa dia kesini?" tanya Elang pada kak Raya. "Kita seharusnya bawa dia ke RSJ."

Aku memukul lengannya. "Sialan."

Alih-alih memasuki Appleback, kak Raya dan Elang malah menggiringku ke bangunan yang ada disebelahnya dimana ada orang-orang yang sedang mengantri masuk. Banyak dari orang-orang yang mengantri itu memakai t-shirt hitam dengan logo tengkorak pecah dan kabur serta ada tulisan WS diatasnya. Sepertinya sebagai band indie, WS ini cukup terkenal.

"WS itu kepanjangannya apa?" tanyaku pada Elang.

"Wrecking Soul."

Elang menyerahkan sejumlah uang pada penjaga pintu sekaligus penjual karcis yang berbadan kekar. Karcis disini bukan berbentuk kertas atau berbentuk tiket seperti seperti tiket bioskop, melainkan stempel bergambar tengkorak. Kak Raya menyodorkan tangannya untuk distempel pada bagian belakang telapak tangannya , begitu juga dengan Elang. Aku? Aku menyodorkan pipi kananku dan menunjuk tulang pipi dibawah mata untuk distempel karena tengkorak merah itu terlihat sangat keren begitu juga aku. Saat aku mengesampingkan rambutku kesalah satu bahu dan menyodorkan leherku meminta stempel satu lagi , Elang dan kak Raya menarikku dari pintu.

"Kenapa sih? Kan bakal keren banget kalau aku punya disini juga," keluhku sambil menunjuk leherku.

"Caramu meminta itu bisa membuat orang salah sangka tahu," kata kak Raya.

"Memangnya kenapa dengan caraku?"

Elang membuka mulutnya, tapi kemudian ditutupnya lagi. Untuk suatu alasan yang tidak aku ketahui, dia terlihat kesal dan seperti ada yang mengganggunya. Aku hendak mengkonfrontasinya, tapi Dox datang menghampiri dan mengajak kami ke meja dimana yang lainnya berkumpul.

Aku diperkenalkan kepada empat orang baru yang katanya teman satu kampus kak Raya, Dox dan Dewa. Cowok pertama berambut sebahu mengenalkan dirinya sebagai Marko, mahasiswa teknik tingkat akhir dan seorang womanizer, Cindy menambahkan. Aku percaya Cindy karena baru lima menit berkenalan aku sudah dirayu tanpa henti sampaimembuatku merinding. Cowok kedua adalah Dayat, mahasiswa kedokteran sama seperti kak Raya dan dia mengklaim dirinya sebagai pecinta wanita. Dua orang terakhir adalah mahasiswi Desain, Ayu dan si Marta yang memandang kak Raya dengan sinis. Sembari menunggu minuman yang sedang diambilkan Rashid datang dan konser dimulai, aku mengedarkan pandanganku.

Dilihat dari luar bangunan ini cukup besar, tapi kenapa didalam langit-langitnya sangat rendah? Membuat keadaan terasa semakin sesak saja dengan banyaknya orang yang memenuhi tempat ini. Saat pandanganku melewati panggung, tidak sengaja metaku menemukan sosok familiar berbadan besar dan cewek cantik berbaju minim. Aku segera bersembunyi dibelakang punggung lebar Elang.

"Kenapa?" tanyanya.

"Hulk," bisikku.

"Hulk?" tanyanya mengerutkan dari bingung.

Ugh. Siapa sih nama Hulk yang sebenarnya? Kesal tidak juga bisa mengingat, aku mengarahkan wajah Elang kearah dimana Hulk dan Gladys sedang berbincang.

Elang tertawa. "Hulk." Elang menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Tenang saja. Dia 'kan ngga lihat wajah mu," kata Elang. "Tentu saja kecuali anak buahnya yang melihat kamu di garis finish memberitahunya, kamu ngga bakal lolos. Mungkin," tambahnya sambil nyengir.

Aku memukul lengannya.

Tidak lama kemudian keadaan menjadi gaduh dan orang-orang mulai meneriaki nama WS. Aku naik keatas kursi saat bebarapa orang berpenampilan metal naik keatas panggung. Intro lagu pertama dimainkan dan massa semakin liar. Aku hendak ikut berteriak menyemangati WS namun ku urungkan niatku saat melihat wajah Elang yang meringis seperti kesakitan. Aku minta bertukar kursi dengan Cindy dimana Elang berdiri disampingnya. Cindy yang nampak bosan dan tidak memunculkan ketertarikan apapun terhadap WS sama sekali tidak keberatan dengan permintaanku, tidak seperti Niluh dan kak Raya yang berada pada fullfansgirling mode On dan tidak mau beranjak dari kursi yang mereka pijak.

Aku kembali naik keatas kursi. Lalu aku meletakkan kedua telapak tanganku dengan perlahan dan penuh keraguan menutupi telinga Elang. Elang tentu saja terkejut dengan tingkahku. Tapi dia hanya menatapku penuh tanya.

Aku melepaskan salah satu tanganku. "Aku ingin berteriak, tapi aku merasa tidak enak padamu."

Elang memandangku lama sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, senyum yang membuat perutku keroncongan. Setelah itu aku membuat kepalany menghadap panggung dan kembali menutup telinganya lalu aku mulai berteriak sekencang-kencangnya sambil meloncat-loncat. Karena walau musiknya beraliran rock metal punk, mereka cukup catchy. Itu berlangsung beberapa saat, sampai satu lagu pertama selesai aku baru melepaskan Elang.

Ketika lagu kedua dimulai, kak Raya dan Niluh mengajakku mendekat ke panggung. Aku melepas jaketku dan menyampirkannya kesenderan kursi sebelum mengikuti mereka. Nyatanya lagu kedua lebih enak dari yang pertama walau bergenre ballad. Tempat ini juga rasanya mendadak menjadi gereja dimana para paduan suara bernyanyi dengan kompak dan indahnya. Aku sih tidak bisa mengikuti karena baru pertama mendengar, jadi aku berkontribusi pada tepukan tangan saja.

Pada lagu ke-enam suaraku sudah mulai serak , karena berteriak-teriak dan tertawa. Sejak lagu ke-empat tadi mereka mulai menampilakan peraga untuk merealisasikan lirik mereka yang nyeleneh, menyindir , lucu dan menyedihkan.

Benar kata Dox, aku jatuh cinta pada WS.

Lagu ke-enam ini musiknya terasa gelap, judulnya 'aku tak bisa mati' dan ada sejumlah peraga dengan bermacam kostum. Dari orang yang jangtungnya tertusuk sampai mayat yang hidup kembali a.k.a zombi. Pada lirik yang bebunyi 'Dan ketika aku terluka parah namun aku masih tegap berdiri' , keluarlah satu orang peraga lagi dengan kepala berlumuran darah dan tidak berhenti menetes sampai membasahi bajunya.

Tiba-tiba aku merasa dilempari rentetan flashback film dari kehidupanku yang terdahulu. Anehnya aku tidak ingat pernah berada dalam potongan-potongan adegan yang terlintas dikepalaku itu. Aku mengerjapkan mata dan menggeelengkan kepalaku , gambaran itu hilang. Aku kembali memandang panggung dimana orang yang kepalanya berlumuran darah sedang mendongak ke langit-langit sambil tersenyum. Lagi gambaran lain muncul, kali ini tanganku berlumuran darah.

Aku terkesiap. Perlahan suara disekelilingku menghilang, menenggelamkan aku dalam keheningan. Aku memandang kedua tanganku , bersih. Aku berkedip dan kembali tanganku penuh cairan merah kental. Bukan hanya tanganku, bajukupun berlumuran darah dan bahkan aku bisa mencium aroma besi karatan yang memualkan itu.

Nafasku tercekat.

Aku segera memejamkan mata erat-erat.

Aku berusaha meyakinkan diri bahwa Ini hanya mimpi. Ini cuma bayanganku saja. Saat aku membuka mata nanti, semuanya akan kembali seperti semula. Aku sedang menonton konser dengan pakaian bersihku dan tanganku hanya berkeringat.

Tapi ternyata kegelapan yang diberikan oleh mataku yang terpejam justru membawaku ke tempat lain.

Sebuah rumah dengan tangga lebar besar. Aku duduk bersimpuh memandangi tanganku yang masih berlumur darah. Didepanku tergeletak seorang lelaki tua yang kepalanya berada didalam genangan darah dengan matanya yang terbuka memandangku. Aku langsung tahu ada yang salah dengan matanya. Matanya yang terbuka lebar itu memandangku tanpa cahaya, tanpa kehidupan. Aku melihat wajahnya, mulutnya, Ia menyunggingkan senyum padaku.

Aku langsung membuka mataku dan menemukan kak Raya dan Elang sedang menatapku penuh kekhawatiran. Mereka mengatakan sesuatu tapi aku tidak bisa mendengarnya. Nafasku masih tersengal-sengal dan mataku berkaca-kaca. Katika wajah lelaki tua itu melintas dikepalaku lagi, aku mencengkeram sesuatu yang sedari tadi aku genggam. Lututku lemas, perutku mual.

"Sera!" seseorang memanggilku dan mengguncangku namun aku tetap melihat kakiku, memastikan bahwa aku tetap disini. "Hey. Lihat aku," kata suara itu lagi.

Aku tetap tidak melihatnya. Kemudian seseorang mengangkat daguku, membuatku mendongak dan mataku langsung bertatapan dengan sepasang mata indah nan cemas.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.

Kendati kami masih berdiri ditengah-tengah kerumunan dan keramaian, entah kenapa aku bisa mendengar suaranya yang lembut.

"Aku harus segera keluar dari sini," ucapku lirih penuh kepanikan.

"Ayo kita keluar," katanya.

Tangannya kemudian menggenggam tanganku yang sedang mencengkeram sesuatu. Saat aku melirik tanganku barulah aku sadar bahwa yang sedang aku cengkeram dengan kuatnya itu adalah lengan kak Raya. Aku segera melepaskannya.

"Ya ampun, kak Raya. Maafkan aku," ujarku penuh sesal.

"Aku tidak apa-apa."

"Maaf. Sungguh aku tidak sengaja."

Elang mendekapku dari belakang dan menggiringku berjalan diantara himpitan-himpitan tubuh basah berkeringat yang lengket. Tapi aku tidak peduli. Yang ada didalam pikiranku sekarang adalah segera keluar dari sini atau aku akan mengotori pakaian seseorang.

Begitu udara segar membelai wajahku dan membersihkan hidungku dari aroma rokok dari dalam venue, aku segera berlari ke sisi gedung dimana semak belukar tumbuh tinggi tak terawat . Aku membungkuk dan mengeluarkan semua isi perutku. Elang mendekat, tapi aku mengangkat tanganku , mengisyaratkan dia untuk tetap ditempatnya. Kena serangan panik didepannya sudah membuatku ingin menghilang, dan membiarkannya melihatku mengeluarkan sesuatu yang menjijikan dari mulutku membuatku ingin mati saja.

------------

Aku sedang menghirup nafas lega setelah mengeluarkan cairan terakhir saat aku mendengar suara abangku.

"Kenapa kamu?" Bang Jake melihatku yang terduduk lemas kemudian melirik muntahanku. Dia mengernyit.

Aku memeluk kaki bang Jake yang kebetulan ada disampingku. "Bang Jake. Aku pikir aku hamil," ujarku lirih sambil tersedu-sedu. "Wadau!!"

Dia memukul kepalaku sampai rasanya ubun-ubunku bergeser dari tempatnya. Sementara kak Raya mendengus menahan tawa, Elang hanya memutar bola matanya. Abangku sendiri masih mengangkat tinjunya dan aku bisa melihat urat-urat yang menonjol pada pelipisnya.

"Dasar ngga punya selera humor! Aku 'kan cuma bercanda," gerutuku sambil mengusap-usap kepalaku.

"Bukan gue yang ngga punya selera humor, tapi kamu yang selera humornya aneh. Dasar konyol," ujarnya menggeram.

Logikanya, humor tidak bisa dikatakan berhasil kalau tidak aneh, iya kan? Tapi aku tidak akan mengatakan itu pada bang Jake yang sedang sensitif, nanti bisa-bisa aku kena pukul lagi. Jadi aku cuma menjulurkan lidahku padanya.

"Ada siapa aja didalam?" tanya bang Jake pada Elang. Terlihat jelas bahkan olehku kalau dia menghindari kontak mata dengan kak Raya.

"Team seperti biasanya, minus Bram."

Bang Jak mengangguk lalu menoleh padaku. " Mau sampai kapan duduk disitu? Bangun," ujarnya, mengulurkan tangan padaku.

Aku menyambut uluran tangannya dan berdiri. "Sebenarnya mau sampai muntahanku jadi kompos , tapi karena abang sudah mengulurkan tangan aku jadi ngga tega mengacuhkannya."

Saat tangan bang Jake terangkat untuk memukulku lagi, aku segera berlari ke belakang kak Raya dan menjulurkan lidahku saat dia tidak bisa mendekat.

"JAKE!!!" Datang suara melengking yang menyakitkan telinga kemudian tidak lama kemudian si Marta bergelayut pada lengan abangku. Huh! Ngga heran dia memandang kak Raya dengan sinis, dia naksir abangku. Bang Jake berusaha melepaskan tangan Marta dari lengannya tapi lagi-lagi si rubah itu bergelayut disana.

Kak Raya membuang muka dan aku memeluknya dari belakang kemudian aroma enak tercium dari sana. Cacingku langsung berteriak.

Kak Raya tertawa. "Itu suara gempa bumi apa cacingmu mulai berdemo?"

"Yang terakhir kayaknya," jawabku. "Ah. Kak Raya maafkan aku karena pastanya terbawa keluar tadi," ujarku menyesal.

Kak Raya memutar bola matanya. "Pasta ngga enak iki."

Aku menghadapnya. "Siapa yang bilang ngga enak?" Aku menunjuk muka bang Jake yang langsung dia tangkis. "Dia? Lidahnya mati rasa. Aku yang ahli makanan, jadi percayalah padaku saat aku bilang pasta buatan kakak adalah salah satu dari yang terbaik yang pernah aku makan."

Cacingku berteriak lagi saat aku mengucapkan 'makan' , mengundang tawa dari kak Raya dan Elang. Iih ini cacing-cacing perlu disekolahin biar tahu kapan saat yang tepat untuk bersuara dan tidak mempermalukan aku.

"Sera!" Dox dan yang lainnua datang dan menatap wajahku.

Marko menangkup kedua pipiku. "Kata Niluh kamu sakit? Kamu pacat banget."

"Ngga apa-apa kok. Cuma serangan klaustrobia kecil. Maaf membuat khawatir," kataku.

"Jangan deket-deket Marko. Nanti kamu ketularan STD," kata abangku. Dia menarik kerah belakang t-shirtku, menjauhkanku dari Marko.

"Hey, jangan ngerusak image gue. Lagian gue selalu pakai ko----"

Bang Jake menutupi kedua telingaku dengan telapak tangannya sampai aku tidak mendengar sisa kalimat yang diucapkan Marko.

Bang Jake melepaskan tangannya dari telingaku. "Bisa kita mengatakan hal-hal yang lurus sensor saja? Dia masih 15 tahun," kata abangku.

"16," sergahku.

"Elo jadi pedofil yah," kata Marko. "Memang dia manis dan-" Marko mamandangku dari atas sampai bawah lalu menyeringai."- Hot. Tapi tetap aja dia anak-anak."

Aku tersanjung dikatakan hot, tapi jadi kesal dikatakan sebagai anak-anak. Aku melirik Marta, dia sedang memandangku dengan pandangan ularnya. Aku menahan hasratku untuk menjulurkan lidahku padanya.

Bang Jake dan -anehnya- Elang memukul kepala Marko. Seperti aku yang heran , abangku juga heran melihat tingkah Elang. Mamun sepertinya dia berpikir itu bukan apa-apa setelah memandang Elang, bertanya, dan Elang hanya menghendikkan bahu.

"Elo yang pedofil. Jangan ngeliatin adik gue dengan mata begitu, bego!"

Berita itu mengejutkan ke-empat orang yang belum tahu. Tapi yang paling terkejut adalah Marko dan si Marta.

"ADEK?!" seru mereka berbarengan.

Setelah pulih dari keterkejutan dan Marko semakin terang-terangan memuji serta merayuku di depan bang Jake yang mana membuatnya kesal, akhirnya dan syukurnya Cindy berteriak kalau dia lapar dan mendahului yang lain berjalan ke Appleback. Kami mengikuti, tapi kemudian aku berhenti saat aku sadar kak Raya dan Elang tidak bersama kami lagi. Aku merogoh ponselku tapi tidak aku temukan didalam kantong manapun. Aku lalu menepuk dahiku sandiri saat teriingat kalau ponselku ada didalam saku jaket dan jaketku ketinggalan didalam gedung konser.

"Bang Jake, pinjem telpon donks."

"Mana paonselmu?"

"Ketinggalan didalam," jawabku sambil menunjuk gedung dengan ibu jariku.

"Kamu sadar kan bagaimana tempat itu? Ponselmu ngga mungkin masih ada."

"Aku tahu." Aku menghela nafas. Aku mungkin tidak akan punya handphone untuk beberapa hari. Dan jaket kesayanganku.

"Terus mau buat apa pinjem ponsel gue?" tanyanya curiga tapi tetap menyerahkan ponselnya padaku.

Saat aku mengampil ponsel itu dari tangannya, aku melihat arlojinya. Dan aku terkesiap melihat kemana jarum-jarum itu menunjuk. "Bang Jake! Aku harus pulang," ujarku panik.

"Kamu kesurupan yah? Tumben pengen pulang," tanyanya dengan dahi berkerut.

"Mama memutuskan untuk memberiku jam malam mulai sekarang," jawabku sambil mencari nama kak Raya di daftar kontak. "Nomornya kak Raya mana sih?"

Bang Jake mengambil poselnya dariku , menekan beberapa tombol kemudian menyerahkan benda itu kembali padaku. "Kenapa tiba-tiba mama ngasih jam malam?"

"Ah bukan apa-apa," jawabku, memusatkan perhatianku menghafalkan nomor kak Raya. Bang Jake merebut ponsel dariku.

"Ngga mungkin bukan apa-apa kalau mama sampai menghukummu dan kamu menurutinya." Bang Jake memandangku tajam. "Apa yang sudah kamu lakukan?"

Aku mengunyah bagian dalam pipiku. "Hanya kesalah pahaman yang membuatku mampir ke kantor polisi."

"APA!!" teriak bang Jake. Aku menutup salah satu telingaku.

"Woi Jake, ada apa?" tanya Dox yang sudah sampai di pintu.

"Ngga apa-apa. Kalian duluan saja," sahut bang Jake. Dia lalu kembali manatapku dengan tatapan yang membuatku salah tingkat. "Gue udah pernah bilang kan, boleh berbuat seenak hati asal jauh-jauhlah dari drugs ,kantor polisi, dan lelaki."

Aku memutar bola mata.

Kadang aku ingin abang-abangku memperhatikan aku dan bermain denganku. Tapi saat mereka sedang dalam overprotective- mode-on itu agak menyebalkan dan aku justru berharap mereka tetap pada cuek-mode-on. Sejak insident dua tahun lalu aku diwanti-wanti tidak boleh pacaran sampai umur 30 tahun. Bleh!

"Jangan memutar bola matamu. Jawab, apa yang sudah kamu lakukan?!" bentaknya.

"Ada apa ini?" tanya kak Raya yang tiba-tiba muncul entah darimana bersama Elang.

Biasanya aku tidak suka diganggu, tapi kali ini aku mensyukurinya. "Hey , kak Raya. Dari mana aja sih? Tiba-tiba ngilang."

"Dari dalam ngambil jaket yang ketinggalan."

Elang menyerahkan jaket merahku. "My baby red. Thank's," ujarku sambil memeluk jaket kesayanganku itu.

Tentu saja bang Jake bukanlah bang Jake kalau dia gampang teralihkan. Dia merebut jaketku. "Jangan mengalihkan perhatian. Jawab!"

Aku menghela nafas. "Aku ngga melakukan apa-apa, abangku sayang. Sumpah!" Aku mengangkat tanda V keudara dengan kedua tanganku. "Aku hanya kebetulan berada ditempat dan waktu yang salah saja."

"Jelaskan," tuntut abangku.

Aku menghela nafas dan mulai menceritakan hari jum'atku di sekolah sampai mama pagi-pagi membangunkanku dan menjatuhkan hukuman itu. Aku cuma mensensor dimana aku bertemu Elang dan ikut balapan dengannya.

"Kamu ngga sampai masuk rumah itu 'kan?" tanya kak Raya. Aku menggeleng. "Kamu ngga apa-apa? Polisi ngga memperlakukanmu dengan buruk, bukan?"

Wow. Aku pikir kak Raya akan lebih ketakutan dari pada saat pertama kali mengetahui aku adalah adik bang Jake setelah mengetahui ceritaku. Tapi nada bicaranya penuh kecemasan dan juga cara dia menatapku menyorotkan kekhawatiran yang tulus. Jadi terharu.

"Oh aku ngga apa-apa. Ada pahlawan kesiangan yang memutuskan menolongku setelah dirasanya aku sudah cukup menghiburnya," ujarku melirik Elang. Orang yang disindir malah cuma mengulum senyum.

"Kamu itu jangan gampang aja disuruh Fani sana sini," kata bang Jake dengan nada frustasi. "Memangnya dia ngga bisa melakukannya sendiri? Kalau kamu masuk penjara siapa yang bakal susah?"

Aku hendak melemparkan lelucon untuk mencairkan suasanya namun kata-kataku tertahan ditenggorokan saat melihat raut wajah bang Jake yang kesal, marah dan sedih.

"Dia ada rapat OSIS. Lagian aku sekalian ke Somoron melewati rumah temannya itu," ujarku. "Maaf," tambahku lirih sambil menunduk. Bang Jake menggeram kesal.

Walau tidak jarang keluargaku membuatku marah, tapi aku tidak suka membuat mereka marah. Karena kalau mereka marah malah hatiku yang sakit sendiri. Ngomong-ngomong soal marah, aku benar-benar harus pulang. Alarm pada ponselku sudah berbunyi menandakan pukul 21.45.

"Bang Jake, abang boleh memarahiku. Tapi kita harus tunda dulu karena aku benar-benar harus pulang atau mama akan mengunciku diluar," kataku.

Bang Jake memutar bola matanya. "Mama ngga akan melakukannya," ujarnya. Menoleh pada kak Raya, dia berkata, "Kesini pake mobil kamu 'kan, Yang? Pinjem donk."

"Abang ngga bisa yakin begitu." Aku teringat kejadian tadi pagi. "Apalagi setelah apa yang aku katakan pada mama tadi pagi," gumamku lesu.

Bang Jake ,yang sedang menerima kunci mobil dari kak Raya, segera menoleh padaku. "Dan apa yang sudah kamu katakan pada mama?"

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. "Aku mengatakan hal buruk pada mama."

Akau mendengar seseorang terkesiap. "Apa yang terjadi dengan tanganmu?" kata kak Raya kaget.

Oh-oh.

Aku lupa memakai kembali jaketku yang lengan panjangnya bisa sampai menutupi jari-jemariku.

Seseorang menyentakkan tanganku dari wajahku. Bang Jake mengusap bagian belakang telapak tanganku yang sekarang sudah berwarna biru gelap.

"Sejak kapan kamu punya itu? Aku ngga melihatnya tadi pagi atau tadi sore," tanya kak Raya lagi.

"Siapa yang melakukannya?" sergah bang Jake dengan geraman sebelum aku menjawab pertanyaan kak Raya..

"Bukan siapa-siapa. Aku jatuh." Aku berusaha menarik tanganku tapi bang Jake menahannya.

"Kamu ngga punya bakat bohong, tahu ngga?"

"Lagian posisi jatuhnya bagaimana sampai yang terluka cuma bagian itu, coba?" tanya Elang. Dia memandangku sambil mengerutkan dahi namun raut wajahnya tidak bisa aku baca.

"Siapa?!" bentak bang Jake, membuatku melonjak terkejut.

"Eyang Ezra," jawabku bergumam.

"Apa?!" Bang Jake melepaskan tanganku dan melemparkan sumpah serapah ke tanah.

Sumpah serapahnya banyak banget sampai membuatku menyesal aku bukan lagi anak dibawah 15 tahun. Kalau aku masih anak-anak pasti sudah kaya karena aku bisa dapat Rp. 10,000/kata yang keluar dari mulut bang Jake.

"Mama tahu?"

"Tahu. Makannya aku mengatakan hal buruk pada mamah sebelum aku kabur," gumamku lesu. Tiba-tiba aku ingin memeluk bang Jake, jadi aku lakukan saja. Lagipula aku perlu sesuatu untuk menyembunyikan wajahku. Aku tidak tayan melihat raut kasihan dan penuh tanya dari kak Raya dan Elang. "Bagaimana kalau mama mengusirku?"

"Emang seberapa buruk hal yang kamu katakan ke mama?"

"Cukup untuk melukai hati seorang ibu," jawabku . Lalu aku pur-pura tersedu-sedu.

Bang Jake menghela nafas. "Mama ngga akan melakukannya."

"Abang 'kan ngga tahu pikiran mama."

Bang Jake melepaskan ku dari memluknya. "Kalau mama niat melakukannya, sudah dia lakukan sejak dulu. Kamu 'kan emang dari dulu songong," katanya. Aku mencibir dan memukulnya. Kak Raya terkekeh.

"Woi! Mau pada makan kagak sih," terdengar teriakan Dox dari pintu Appleback."

"Aku harus pulang, besok sekolah. Tuan putri 'kan harus tidur cepat untuk menjaga kecantikannya," balasku berteriak juga.

Sementara bang Jake mengeluarkan suara sedang mundah dan kak Raya tertawa, Aku menangkup kedua pipiku serta mengedipkan mata seperti kelilipan ke arah Dox. Dox tertawa dan meniupkan ciuman jauh padaku, aku membalasnya dan Dox melakukannya lagi lalu jadilah saling balas membalas ciuman . Bang Jake yang sudah tidak tahan dengan keusilanku akhirnya menyeretku ke mobil kak Raya.

"Kak Raya makasih yah," seruku. Kak Raya mengangguk sambil tersenyum. "Nanti aku mau main ke apartementnya kakak."

"Ya main aja. Tapi jangan sore, aku kerja."

Aku mengangkat salah satu jempolku sebelum bang Jake mendorongku masuk mobil. Pada Elang aku mengucap Thank you tanpa suara dan dia hanya mengangguk untuk menjawabku. Bang Jake naik ke kursi kemudi, menyalakan mesin dan tidak lama kemudian kami sudah dijalan.

Aku melirik bang Jake yang sedang mengutak-atik radio mobil sambil pandangannya tetap fokus ke depan. Aku sangat ingin menanyakan sesuatu, tapi mungkin lebih baik aku mengajaknya berbicara hal ringan dulu untuk basa basi.

"Apa yang sudah abang lakukan?"

"Hah?"

"Abang sama kak Raya kenapa marahan? Pasti bang Jake melakukan sesuatu. Kak Raya baik gitu."

"Jangan ikut campur urusan orang dewasa."

"Aku ngga ikut campur. Aku cuma nanya."

Bang Jake melirikku sejenak. "Cuma masalah kecil seperti biasa. Nanti juga baikan lagi."

Aku mengangguk-angguk. "Apa abang ngga menyinggungnya karena ngga pernah bawa kak Raya kerumah? Katanya kalian udah pacaran dari SMP."

"Dia ngga mempermasalahkannya. Malah dia yang ngga mau kalau gue pengin bawa dia ke rumah."

"Benarkah? Kenapa?"

"Pertama, Adam dan Idris somplak. Kedua, Mama sama Ayah auranya sangat mengintimidasi. Ketiga, Fani kayak gitu. Keempat, kamu songong. Ya iyalah dianya ngga mau."

Aku memukul lengannya. Yah abangku Adam dan Idris, sepasang kembar lain dalam keluargaku, memang somplak dan jahilnya minta ampun. Tidak pernah seharipun mereka lalui tanpa melakukan prank kotor dan menyebalkan, entah dirumah atau ditempat mereka main. Sialnya mereka kuliah di Jakarta , jadi mereka masih tinggal serumah denganku. Aku ngga keberatan mereka di sebut somplak, tapi aku 'kan ngga songong juga, bandel iya.

"Abang sih ceritanya begitu, jadi kak Rayanya ketakutan."

"Abang ngga cerita begitu. Selain kamu dan Fani, Raya sudah ketemu dengan yang lain tapi bukan sebagai pacarku."

"Kok bisa?"

"Satu kampus sama si somplaks dan kadang ketemu mama dan ayah di tempat kerjanya."

Aku diam gelisah sementara bang Jake bergumam bersama lagu yang diputar di radio.

"Ngomong-ngomong bang Jake," aku memulai. "Ehm... Apa benar Eyang kakung meninggal karena serangan jantung?"

"Iya," jawabnya tanpa ragu.

"Aku..." Aku menghela nafas. "Aku ngga membunuh atau melukainya 'kan?" tanyaku lirih.

Seperti disambar petir, bang Jake menginjak rem dengan tiba-tiba sampai hampir membuatku nyungsep kedepan. Lalu dia menoleh padaku dengan mata terbelalak lebar.

"Apa?" tanyanya. Suara klakson dibelaakang membuatnya mengalihkan pandangan paniknya dariku. Bang Jake menyalakan mobil. Saat dia melirikku lagi, tatapannya berganti menjadi marah. "Pertanyaan konyol apa itu."

Aku menghela nafas dan lebih memilih memandangi jari-jemariku serta tanda biru gelap dibelakang telapak tanganku.

"Setelah memukulku, aku menanyakan eyang Ezra kenapa dia sangat membenciku. Eyang bilang karena aku seorang pembunuh, aku membunuh eyang kakung dan Remy, siapapun Remy itu."

Dari sudut mataku aku melihat tangan bang Jake mengenggam stir dengan sangat erat dan rahangnya terkatup rapat.

"Dia itu perempuan tua sinting dan sudah pikun. Dia terjebak dalam fantasinya sendiri. Masa kamu percaya?"

Aku menerawang memandang jalanan ramai didepanku. "Sebenarnya bukan hanya kerena omongan eyang." Aku menoleh memandang bang Jake. "Aku melihatnya."

Mata bang Jake langsung membelalak lebar menatap jalan, dia menoleh menatapku lalu menatap jalan lagi. Kemudian seperti orang gila dia menepikan mobilnya tanpa mempedulikan teriakan klakson-klakson dari mobil di belakang kami. Bang Jake mematikan mesin mobil lalu duduk menghadapku di kursinya.

"Apa maksudmu kamu melihatnya? Apa yang kamu lihat?"

Aku menunduk. "Eyang kakung tergeletak diatas genang darah. Beliau menatapku dengan senyum namun tatapannya kosong." Perutku menjadi mual lagi mengingat apa yang rasanya aku lihat. Aku tidak berani mengangkat wajahku dan melihat bagaimana ekspresi bang Jake. Aku taku akan apapun yang terukir disana. Jadi dengan lirih aku melanjutkan, "Seluruh tubuhku terlumuri darah."

Bang Jake tidak mengatakan apapun untuk waktu yang sangat lama, atau mungkin itu cuma perasaanku saja. Ketika akhirnya aku mendengar suara darinya itu hanya helaan nafas sebelum kemudian dia menyalakan mesin mobil dan kami berada kembali ditengah jalan tidak lama kemudian.

"Apa pemicunya?" tanyanya kalem.

Aku tidak yakin apa yang abangku tanyakan , jadi aku mendongak memandangnya dan hanya berkata, "Hah?"

"Apa yang membuatmu membayangkan hal konyol begitu? Pasti ada pemicunya. Sesuatu yang kamu baca atau lihat , mungkin?"

"Aksi panggung WS," jawabku. "Tapi itu bukan hanya bayanganku saja, abang. Itu sangat nyata seperti aku menyaksikan scene itu didepan mataku." Aku memejamkan mataku. "Aku bahkan bisa mencium aroma darah diudara," tambahku bergumam.

Aku merasakan mobil berhenti. Saat aku membuka mata, kami sudah berada digarasi rumah.

"Sungguh, itu cuma bayanganmu karna pengaruh aksi WS," kata bang Jake, meyakinkanku. Aku menoleh pada bang Jake dan menemukannya sedang memandangku serius. "Kamu ngga pernah melukai siapapun apalagi membunuh. Eyang kakung meninggal karena serangan jantung."

Aku ingin percaya itu. Sungguh aku ingin mempercayainya. Tapi ada satu bagian dalam diriku yang meyakini kalau kejadian ya ku lihat itu juga nyata, bahwa entah bagaimana aku biasa berada disana bersama Eyang dalam keadaan seperti itu.

Aku menghela nafas dan mengikuti bang Jake turun dari mobil.

"Lagipula, bagaimana mungkin kamu membunuh eyang sementara kamu sedang terbaring diranjang rumah sakit gara-gara rollerblade bodohmu itu saat eyang meninggal,"

"Hey! Jangan beraninya nyalahin benda mati," sergahku tersinggung. Sambil berkacak pinggang aku memandang bang Jake dengan berani. "Asal tahu saja yah, mereka sering menyelamatkan aku."

Bang Jake mendengus. "Tapi abang yakin mereka lebih sering membuatmu terluka." Dia memutas bola matanya.

Saat aku membuka mulut untuk membela rollerblade-rollerblade ku yang tak berdosa, bang Jake meletakkan jari telunjuknya pada bibirku lalu menekannya, menghimpit bibirku diantara gigiku dan jarinya.

"Diam. Gue lagi males berdebat hal konyol denganmu." Bang Jake melepaskan bibirku. " Sana masuk."

Aku memandang rumahku yang besar dan nampak lengang itu dengan ragu. "Sendirian?"

"Yaiyalah," kata abangku.

Aku cemberut ke arahnya, menunjukkan wajah paling memelasku. Bang Jake menggeran tapi kemudian mendorongku menaiki anak tangga teras dan berhenti didepan pintu.

"Udah sono."

Aku membuka pintu. "Jangan pergi dulu. Siapa tahu aku butuh diselamatkan," kataku tanpa menoleh.

Aku langsung melangkah masuk. Semakin cepat ketemu mama akan semakin cepat ini selesai. Tapi kemudian aku merasakan kakiku tersandung sesuatu lalu bumi serasa bergoyang dan hal selanjutnya yang terjadi adalah wajahku menghantam sesuatu yang empuk sekaligus keras dan bau.

Bang Jake menyalakan lampu dan aku menemukan diriku tengkurap diatas sepatu-sepatu yang berserakan didepan pintu.

Sialan!!

Tahu bener dah siapa pelakunya.

"Dasar somplak," maki bang Jake sambil membantuku berdiri.

"Bang Adid!!!" triakku sekuat tenaga.

Bang Adid itu sebenarnya gabungan dari Adam dan Idris. Hanya karena aku salah satu kembar identik, bukan berarti aku memiliki indera ke-6 yang berfungsi mengenali masing-masing orang dari kembar identik yang lain. Hidup selama hampir 17 tahun bersama abang-abangku yang kembar itu tidak membuatku mengenali mana yang bang Adam dan mana yang bang Idris. Apalagi tidak seperti aku dan Fani yang mulai berpenampilan berbeda, abang-abangku itu masih tetap kompak kembaran apapun. Jadi untuk amannya aku memanggil keduanya Adid, tidak peduli saat mereka berdua atau perorangan.

"Bang Adid!!!" teriakku lagi. Ah semoga hidungku tidak patah.

Alih-alih mereka, yang nongol justru Bi Inah yang sudah memakai daster bung-bunganya siap untuk pergi tidur. Mata Bi Inah terbelalak lebar melihat sepatu yang berserakan didepan pintu.

"Sumpah Non, bukan saya."

"Aku tahu ko' ,Bi." Ponsel bang Jake berdering, dia keluar untuk menjawabnya. "Mana bang Adid , Bi?"

"Mas Adam dan mas Idris pergi bersama teman-temannya."

"Mama sama Ayah?"

"Bapak , Ibu sama non Fani pergi kondangan, Non." Bi inah mulai memunguti sepatu yang berserakan dan menaruhnya pada lemari sepatu yang menempel pada tembok disebelah kananku.

Tch. Tahu gini tadi lanjutin ikut makan di Appleback aja deh.

Aku mendengar suara mobil diikuti seruan pamit dari bang Jake. Aku menguap selebar-lebarnya bebarengan dengan suara perutku yang kosong. Aku meminta tolong pada Bi Inah untuk membawakan makanan ke kamarku karena aku mau mandi ,udah gerah. Tapi rupanya mataku tidak mau bekerja sama dengan perutku. Begitu aku meletekkan kepalaku pada bantal, berniat merem sebentar, aku malah kebablasan tidur tanpa makan.

--------------------------------------------⇝

Gue males ngedit. Jd maklumi kalau banyak typos and error.

-jealoucy

Continue Reading

You'll Also Like

203K 17.3K 30
Sebagai raja muda yang ambisius, Musa berhasil memperoleh kemenangan atas tanah Graha. Kepulangan sang raja disambut penuh suka cita oleh segenap kel...
59.4K 3.4K 38
this story is NOT mine
1.9M 121K 32
[PRIVATED ON SOME CHAPTERS] Apa jadinya kalau dibenci oleh keluarga sendiri? Ayah dan ibu sendiri pun malu memiliki anak sepertinya. Bahkan kakak lel...
86.5K 13.2K 25
[COMPLETED] Pt. 1 - 7 : PUBLIC Pt. 8 - END : PRIVATE =========================================== ET DILECTIO [Bittersweet Stories #1...