My Cool Bodyguard, Let Me Fre...

By iinajid

1.2M 122K 2.2K

Ayari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawa... More

1. Me
2. My Papa
3. I Am (Not) The Boss
4. (Never) Been Punished
5. I (Do) Not Have A Life
6. Missing Time
7. Under Sunshine
8. A Runaway Plan
9. One Step Closer
10. My Priceless Life
11. Fight
13. Protect Me ✅
14. Jealous ✅
15. Forgiving ✅
16. My True Heart ✅
17. Run Away ✅
18. Dice with Death ✅
19. His Exasperation
20. Cry Over Spilled Milk
21. A Necklace
22. Reveal The Secret
23. My World is You ✅
24. Saving Mindy✅
25. Saving Mindy (2) ✅
26. Kiss Of Death✅
27. Gone With The Wind
28. Miss You Like Crazy
29. Be Healthy, Aya!
30. Between Two Mothers
31. The Days Without You
32. New Life
33. The Last Message
34. Still Miss You
35. Finally, Meeting Him
36. Hurt
37. The Sorrow Night
38. Fly Away
39. Leave Me Alone
40. Waiting
41. Little Happiness
42. (Real) Family
43. Friendship Never End
44. Love Call
45. Let Me Free to Love You!

12. Promise For Ayari

27K 3K 54
By iinajid

~ Qori Salahudin Malik ~

Saat Pak Rahman memanggilku, setengah memohon untuk menerima pekerjaan sebagai pengawal putrinya, aku tahu ini pasti bukan tugas yang mudah.

Sudah setahun aku tak lagi berminat lagi pada apapun yang berhubungan dengan kemiliteran. Aku seorang pemilik pertanian sekarang.

Menjaga kebun, sawah, mengurus bebek dan ayam, sesekali bermain dengan kuda-kudaku, jauh lebih mudah daripada berurusan dengan sesuatu yang paling kubenci. Kekerasan.

Memang, bayaran untuk menjadi bodyguard sangat lumayan, jauh dibandingkan hasil panen selama setahun.

Tapi aku sudah lelah lahir batin berkecimpung di dunia yang penuh ketidakpastian dan ketakutan. 

Semua karena seseorang yang sangat kuhormati dan kusayangi. Ibu Kasih. Wanita tomboy tapi baik hati dan penyayang.

Istri pertama Pak Rahman yang dulu rutin mengunjungi panti asuhan tempatku berada. Wanita yang tak segan mengajari kami cara melindungi diri.

Aku mengenal Judo dan Kendo darinya. Ia baru berhenti melakukan itu ketika suatu hari datang dengan perut besar.

Katanya seorang adik perempuan akan datang pada kami. Ibu juga memintaku tinggal bersamanya setelah adikku lahir.

"Nanti kamu yang jaga adikmu ini."

Aku ingat setelah kelahiran 'adik' itu, aku seperti hidup di dunia mimpi.

Bagaimana tidak? Seorang anak yatim piatu yang tak tahu orangtuanya, mendadak tinggal di sebuah rumah besar bersama sepasang orangtua yang baik hati dan adik cantik bak malaikat. Aku menyayangi Ibu dan Bapakku, juga adik bayiku.

Dua tahun aku tinggal di dalam dunia mimpi itu, hingga terbangun saat mendengar teriakan dan jeritan dari rumah utama. Itu suara Ibu dan Bapak.

Rumah gelap gulita, suara barang pecah dan terlempar juga terdengar hingga ke kamarku.

Ada apa ini? Aku memilih bersembunyi di bawah tempat tidur karena takut.

"Jaga adikmu, Lik!"

Kalimat yang diulang-ulang Ibu setiap hari membuat keberanianku bangkit. Di tengah kegelapan, aku merayap menuju kamar bayi dan menggendong adikku itu menjauh dari rumah.

Apapun yang terjadi, aku akan melindungi adikku dan kami akan kembali setelah rumah kembali terang. 

Aku membawa adik kecilku ke balkon kamar bayi, bersembunyi di sana sampai Bapak menemukan kami. Tanpa banyak kata, Bapak membawa aku dan adik ke mobil. Tanpa ibu.

Berjam-jam rasanya Bapak menyetir. Entah ke mana. Hingga aku tertidur, dan terbangun saat mobil Bapak sampai di sebuah pertanian. 

Lebih dari 10 tahun sejak Ibu menghilang, barulah aku mulai mengerti. Sesuatu yang dibuat Ibu sebagai seorang peneliti, ternyata membawa bencana.

Malam itu, Ibu pulang dengan wajah pucat pasi dan tangan terluka. Bapak yang kebingungan, justru jadi marah karena Ibu justru bergegas menyiapkan tas dan paspor.

Sebelum berangkat, mereka bertengkar hebat. Ibu tak banyak bicara, hanya meminta Bapak menjaga Ayari sebaik mungkin karena akan ada orang yang mengejarnya.

Belum lagi Bapak selesai bicara, Ibu meninggalkan rumah begitu saja. Tak sampai setengah jam, beberapa orang dari perusahaan tempat Ibu bekerja datang dan menggeledah rumah termasuk bertanya di mana Ibu dan putrinya.

Untunglah aku sempat menyembunyikan adik, kalau tidak entah apa yang terjadi.

Bingung, kalut dan tak tahu apa yang terjadi, Bapak mengajak kami ke rumah lain sampai penyelidikan selesai. Sampai suatu hari Bapak memberitahu,

"Ibu menemukan sesuatu yang berbahaya tapi berguna untuk umat manusia, Lik. Itu yang membuat ia dikejar-kejar.  Karena ia tak pernah muncul, royalti benda itu pun di-postpone. Sampai nanti saat Ayari yang akan mewarisi hak royalti itu. Nanti saat usianya 18 tahun."

Setelah kejadian itu, aku tak pernah melihat Ibu lagi. Bahkan ketika kami kembali ke rumah besar. Hingga Bapak menitipkanku pada rekannya. Tak ada yang mengurusku, begitu alasannya.

Tapi Bapak berjanji, akan menyediakan semua yang kubutuhkan. Sampai aku mampu menghidupi diriku sendiri.  

Menjadi tentara di Angkatan Darat adalah pilihan akhirku sebelum benar-benar hidup dengan kemampuanku sendiri.

Bapak Syah Rahman Aditya tetap hadir dalam semua acara kelulusan sekolah, penghargaan bahkan ikut mengantarku saat bertugas sebagai perwakilan negara untuk PBB di daerah Timur Tengah.

Perannya sebagai Bapak, ia jalani dengan sungguh-sungguh. Walaupun tetap saja, aku merindukan Ibu.

Sebuah kecelakaan karena ranjau membawaku kembali ke Jakarta, menjalani operasi sebelum akhirnya Bapak yang kuatir memintaku berhenti.

Patuh dengan sarannya, aku bergabung di perusahaannya, menjadi bodyguard sekaligus pelatih bela diri profesional.

Aku tak pernah bertemu Ayari, tidak satu kalipun sejak kami terpisah. Aku tidak mau.

Di hadapan gadis itu, aku takut kerinduan pada Ibu akan membuatku menjadi pria lemah. Ibu yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan informasi apapun. Bahkan Pak Rahman sendiri tak pernah mau menjawab pertanyaanku.

Aku berhenti ketika makin lelah menghadapi klien-klien sombong dan kadang menyebalkan. Kembali ke pertanian yang dulu pernah menjadi rumah sementara kami setelah Ibu pergi, menjadi peternak sekaligus petani.

Ini lebih menyenangkan dan lebih menenangkan. Mengisi siang hariku dengan bekerja mengurus pertanian, lalu menulis di malam hari untuk menyalurkan ilmu pengetahuan buat yang lain. 

Setahun berlalu, dan tiba-tiba Pak Rahman muncul di belakangku.

"Saya butuh kamu, Lik."

"Tapi saya sudah berhenti, Pak."

"Saya mohon, Lik. Saya tidak tahu lagi harus percaya sama siapa. Beberapa bulan lagi Ayari 18 tahun dan kamu sendiri tahu apa yang akan saya hadapi."

Aku mengangguk. Tapi itu tak ada hubungannya denganku. Aku bukan siapa-siapa.

"Ayari itu berbeda dengan ibunya, Lik. Dia... dia sangat emosional. Saya gak tahu lagi harus titip ke siapa. Tak ada yang sanggup."

"Mas Doni?"

"Doni harus kembali ke kantor pusat. Ia harus menghandle semuanya sebelum hari ulang tahun Ayari. Minggu ini saya harus hadiri konferensi di Jenewa dan tak ada siapapun yang bisa saya percayai selain kamu."

Menolak mentah-mentah hanya akan membuat Pak Rahman semakin penasaran. Tapi menerima pekerjaan ini juga aku tidak suka.

Klien yang dulu kutangani kebanyakan para pejabat yang sudah berkeluarga, ada beberapa yang sudah punya anak gadis dan sejujurnya, mereka itu justru menjadi beban bagiku saat bertugas menjaga orangtuanya.

Karena itu, aku paling tidak mau berurusan dengan anak muda apalagi anak perempuan.

Saat aku hendak menolak, ponsel Pak Rahman berbunyi. 

"Ya halo Doni? Ada apa?" tanya Pak Rahman. Wajahnya yang tadinya tenang, berubah gelap saat mendengar laporan dari Doni.

Pak Rahman melirikku. Rahangnya mengeras. Sesuatu telah terjadi. Aku berdiri. "Mereka mulai bergerak," katanya padaku sebelum kembali bicara pada Doni.

Tubuhku menegang. Teringat wajah malaikat kecil yang dulu pernah diperlihatkan seorang bayi perempuan mungil yang digendong Bu Kasih.

Aku masih ingat betapa mungilnya tubuhnya, hingga aku sempat tak berani menyentuhnya. Memikirkan kemungkinan seseorang akan menyakiti malaikat kecil itu, aku tak bisa lagi berpikir. 

Aku ke kamarku, menge-pack ransel besarku. Membawa apapun yang biasa kugunakan saat bertugas. Menelpon dua karyawan kepercayaanku agar segera datang. Mereka akan tiba saat aku dan Pak Rahman sudah pergi, jadi ku-briefing mereka melalui telepon sambil terus bersiap.

Tak sampai setengah jam, aku sudah turun dan Pak Rahman sudah menungguku di teras. Malam itu, kami mencari penerbangan tercepat untuk segera sampai.

Dan bayi berwajah malaikat itu kini sudah menjadi gadis. Wajahnya masih secantik dulu, meski matanya ... aneh.

Mata itu menatapku dengan emosi saat kami pertama kali bertemu. Tapi, makin lama makin sering aku menangkap kesenduan di sana.

Ia lebih suka melamun, duduk sendiri, memandang bulan dan menatap orang diam-diam. 

Ayari Nayla Putri

Aku ingat saat Bu Kasih memintaku memilih nama. Ayari. Itu nama panggilan yang kupilih, untuk bayi mungil berwajah malaikat yang dulu mudah sekali tertawa. Kini, jangankan tawa, senyum saja bibirnya hampir tak pernah. 

Bu... putri mungilmu itu berubah. 

Ketika ia melupakan satu kejadian, barulah aku mengerti maksud 'emosi' yang dikatakan Pak Rahman dan Bu Irna, istri kedua Pak Rahman. 

Bayi mungil itu tak hanya berubah. Ia sakit. Fisik dan mental. Tubuhnya kurus dan wajahnya selalu pucat.

Dari informasi Pak Rahman, Ayari jarang masuk sekolah karena gampang sakit.

Tak hanya itu, emosi gadis itu sudah berada dalam tahap menyedihkan. Ia bahkan melupakan kejadian yang membuat emosinya bangkit.

Aku benar-benar tak percaya kenyataan ini. 15 tahun ini aku mengira, bayi kecil itu hidup baik-baik saja. Tumbuh normal seperti gadis lainnya.

Bukan seperti Ayari yang seperti sekarang. Gadis yang hanya ingin menyingkirkanku dari hidupnya. Bagaimanapun caranya.

Tapi... saat aku mengira bisa mengubahnya, aku justru mengubah pandanganku terhadapnya.

Ayari tak seperti yang kukira, ia masih putri Pak Rahman dan Bu Kasih yang dulu. Ia hanya membungkus dirinya karena kesepian.

Aku tahu itu, karena ternyata  saat ia membuka diri sedikit, aku bisa melihat senyumannya. 

Saat melihatnya memeluk leherku sambil berteriak membelaku, aku tahu inilah Ayari yang sebenarnya. Gadis yang tak tega menyakiti siapapun.

Aku bahkan tak bisa bicara, saat melihatnya menangis tersedu-sedu sambil mengobati tanganku. Tangannya begitu dingin dan bergetar, mengoleskan salep dan membalut telapak tanganku penuh kehati-hatian.

Mulutku terkunci rapat. Bukan karena aku menyalahkannya. Bukan karena aku marah padanya. Tidak sedikitpun. 

Tapi itu karena hatiku. Setiap deraian airmatanya yang jatuh, hatiku juga terbebani. Makin lama makin berat. Sampai nafasku terasa sesak. Sungguh menyakitkan melihat airmatanya yang mengalir karena aku itu.

Aku akan melindungimu, Ayari. Aku akan membuat cahaya matamu yang sendu berubah. Tak ada siapapun yang akan melukaimu, dan airmata yang jatuh itu akan kubayar semua dengan seluruh jiwa ragaku. 

Aku janji, Ayari.

****



Continue Reading

You'll Also Like

324K 16.1K 32
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...
143K 4.7K 48
Cover by @kadekprasetya Untuk apa lagi bertahan ? Saat cinta memang sudah tak pernah memihak padamu sedari dulu ?
3.5M 362K 38
Satu tahun tinggal di apartemen, Almira tidak pernah berinteraksi dengan tetangga kanan dan kirinya. meskipun tidak berinteraksi, bukan berarti ia ti...
1.5M 106K 50
Araya Maharani menyadari rasa ketertarikan kepada sepupunya, Aditya Dewangga. Pemuda tampan yang sayangnya memiliki sikap yang buruk sehingga dipinda...