Rabu pagi, pukul sepuluh. Hampir semua orang mendatangiku ke bilik rumah sakit sejak kemarin dan mereka kurang lebih hanya memberi kami buah-buahan segar dari toko yang dibungkus plastik. Lalu mereka menanyakan kabarku, lalu berbincang dengan Mom dan Dad lalu setelahnya pamit pulang. Tuan dan Nyonya Andrew (yang rumahnya berhadapan dengan rumah kami) berkunjung untuk waktu yang cukup lama dari yang lain. Aku dengar Nyonya Andrew sempat menyebut-nyebut 'Julia dan keluarganya' ketika Mom dan wanita itu membelakangi ranjangku, membicarakan sesuatu.
"Mereka imigran gelap dari Islandia," Mom berseru, seolah itu adalah sebuah kabar paling menakjubkan di Bloomington.
"Mom!" kupanggil Mom yang kemudian menoleh ke arahku, memberiku tatapan 'ada apa?' Aku memelotot pada Mom, dan ia tahu apa maksudnya sehingga berbalik lalu berjalan ke arahku, memutuskan mengakhiri 'pembicaraan di belakangku'. Aku berbisik, "Kau bilang, 'lupakan keluarga itu' padaku tapi kau menyebutkannya lagi barusan."
Mom tersenyum, melirik Nyonya Andrew dengan waspada, lalu berbisik, "Itu sebuah alasan sekaligus jawaban. Kau kecelakaan bukan tanpa sebab."
Ya, ya, ya. Aku tertabrak mobil karena beralasan. Julia-lah alasannya. Dan gadis itu pergi begitu saja. Mereka—keluarganya, berpulang ke negaranya.
"Apa mereka datang ke sini sebelum pergi?" tanyaku pada akhirnya.
"Ya, beberapa jam setelah kau masuk UGD. Mereka meminta maaf seolah itu cukup lalu selang beberapa jam berikutnya, pamit pulang." Mom menghela napas dan mengembuskannya tepat di depan wajahku. "Kau tahu? Setelahnya, mereka tidak kembali lagi. Aku tidak menyalahkan mereka, ini takdir, dan memang seperti seharusnya," kata Mom, dan kudengar Mom mengatakannya dengan pasrah, seolah ia benar-benar menerima segalanya—tentang kecelakaanku. Lagipula, jika Mom ingin marah, ia harus marah pada siapa? Pada keluarga Carpenter? Huh, keluarga itu bahkan sudah pergi dengan sendirinya. Oh astaga, bahkan tanpa pamit kepadaku. Julia—
"Mrs. MacMillan?" Nyonya Andrew berseru dari belakang Mom sehingga Mom menoleh padanya. "Saya rasa saya harus pergi."
Beberapa detik berikutnya, Tuan Andrew muncul dari balik pintu bilik, diikuti Dad di belakangnya. Tuan Andrew memberi isyarat kepada istrinya dengan anggukan lalu tersenyum ke arahku. "Tuan dan Nyonya MacMillan, kami senang melihat keadaan Jason yang membaik saat ini. Dan, ini saatnya kami pamit."
Orangtuaku bersalaman dengan pasangan Andrew sesudahnya sebelum tetangga depan rumah kami itu pergi. Aku memetik anggur di atas nakas dari tangkainya sebelum akhirnya kumakan sendiri. Mom duduk di kursi besi samping ranjangku, memberiku tatapan penuh harapan semoga-aku-segera-sembuh sementara Dad duduk di sofa yang terletak di sisi tembok dan membuka koran paginya. Seth sedang berada di sekolah dan dia bilang dia akan langsung mampir ke rumah sakit jika sudah pulang.
Mom menggumamkan sesuatu, seperti doa atau semacamnya namun kuyakin itu pasti tidak akan ada gunanya karena sejauh satu hari aku siuman, dokter belum menunjukkan tanda-tanda bahwa aku diperbolehkan pulang atau kalau memang ternyata sudah, aku mungkin belum tahu yang sebenarnya. Lalu Mom bilang, katanya, pemeriksaannya bagus. Tidak ada tulang yang patah juga tidak ada cidera otak. Nanti sore dokter akan memeriksa sekali lagi sebelum aku bisa dinyatakan bisa kembali pulang ke rumah besok pagi. Sial, oh, tidak. Sial, aku harus sekolah lagi.
---
Dokter datang ke bilikku pukul tujuh malam—bukan sore. Ya, seperti tipikal dokter-dokter sibuk di seluruh dunia yang dipenuhi jadwal praktek, kuyakin ia setengah lupa kalau ternyata harus memeriksaku. Pria itu menanyakan bagaimana perasaanku—bagaimana rasanya tubuhku—apakah mati rasa atau ada bagian yang sakit yang kujawab tidak. Aku benar-benar sudah dalam keadaan normal, tidak ada rasa sakit, tidak ada gejala-gejala pusing atau sejenisnya. Karena aku menjawab dengan yakin bahwa aku benar-benar tidak apa-apa lagi, dokter itu memberitahu kami bahwa besok pagi aku diperbolehkan pulang. Yay, atau, lebih tepatnya, hell, no! Kurasa lebih baik aku langsung tertabrak mati saja daripada harus kembali menjalani rutinitas—di samping itu, tanpa Julia. Ya, tidak ada Julia.
Begitu dokter berperawakan tinggi itu pergi bersama perawat yang mendampinginya, Mom menciumi dahiku dengan penuh hingga kuyakin pasti meninggalkan bekas di permukaan kulit dahiku. Dad berkata ia yang akan mengemasi barang-barang dan menyarankan aku sebaiknya tidur saja untuk esok hari. Mom kembali duduk di sofa di sisi tembok, di samping Dad ketika tiba-tiba pintu terbuka, memunculkan Seth di baliknya dengan tangan yang menjinjing plastik penuh makanan.
"Ini dari teman-teman sekelasku. Katanya, mereka mencintaimu tapi tidak bisa datang," Seth mengatakannya dengan muka jijik lalu meletakan bungkusan itu di atas meja. "Kurasa, kau tidak boleh makan makanan sembarangan. Jadi, aku akan bantu habiskan."
"Persetan kau, Seth," umpatku.
Seth duduk di kursi besi di dekat ranjang lalu membuka bungkusan. Ia mengambil satu kap salad beserta sendoknya. "Kau mau salad? Kurasa ini enak. Orang-orang di media sosial membicarakannya. Salad dari toko Kismet." Aku menggeleng, aku tidak suka salad sepanjang hidupku. Rasanya benar-benar lembek dan memuakkan. Seth membuka tutup kap salad di tangannya lalu segera melahap sayuran lembek itu. "Omong-omong, aku dapat telepon dari Penelope. Katanya, mereka akan datang malam ini."
"Mereka?"
"Ya. Julian dan Penelope." Ah, mereka masih bersama—masa bodoh sebenarnya.
Beberapa jam kemudian, pasangan itu benar-benar datang ke bilikku. Julian menyapaku dan bertanya bagaimana kabarku yang kemudian dijawab Seth bahwa besok aku bisa segera pulang. Penelope hanya berkata 'hai' dan tersenyum padaku untuk beberapa saat yang lama, seolah ia telah tersetrum.
"Kami telah mendengar semuanya, dan ... kuharap kau baik-baik saja, dan ... jangan terlalu banyak memikirkannya," kata Penelope.
"Well, tidak akan," kataku, dan setelahnya kata-kata itu menggantung di udara ruangan.
Mulut Seth yang penuh salad berbicara sesuatu, kudengar seperti, "—napa kalian memutuskan bersama?" Aku tahu itu ditujukan untuk Penelope dan Julian. Mirisnya, Seth tidak melagukan nada keberatan atau kecanggungan sama sekali ketika anak itu mengucapkannya di samping kenyataan bahwa dulu anak ingusan itu sempat menyukai Penelope.
"Tidak ada," Julian memutuskan bicara, "Kurasa kami hanya sering bertemu dan bertengkar setelah kejadian dimana aku pernah menonjok Jason," katanya, melirik Penelope lalu menatapku.
Kataku, "Well, aku mengingatnya. Dan, itu sakit, man. Dan oh," aku tiba-tiba teringat sesuatu—tentang Julian—yang menolongku waktu itu (saat aku diserang Tuan Carpenter...) "omong-omong, kenapa kau tiba-tiba baik kepadaku? Waktu itu, saat aku terkapar di jalanan."
"Yah, apa menolong teman butuh alasan? Aku bahkan tidak tahu alasan kenapa aku menolongmu. Hanya tidak sengaja melihatmu diserang oleh orang asing di jalanan ketika lewat, bung. Aku baru saja pulang mengantar Penelope, omong-omong," jelas Julian.
Aku mengangguk mengerti, berusaha mengerti seolah itu semudah takdir. Julian tersenyum sedetik padaku lalu berkata lagi, "Omong-omong, bisakah akhir pekan ini kau datang ke acaraku? Kami mengadakan syukuran kecil-kecilan."
Seth menyela tiba-tiba, "Apa?! Kalian tidak bilang memutuskan untuk menikah, bukan?" Seth melirikku, memberi tatapan 'jangan cemburu, oke?'.
"Tidak," kata Penelope, "Julian menerima beasiswa olahraga masuk universitas di Brooklyn."
"Apa?" aku terperangah, kaget, lalu benar-benar tidak menyangka apa yang baru saja kudengar. Aku berusaha bangkit dari tidurku lalu menyandarkan punggung, lalu melayangkan tinju ke arah lengan Julian. "Sulit dipercaya, bung! Kau hebat!"
Ya, benar-benar sulit kupercaya namun sejujurnya, itu bukan sesuatu yang penting untukku. Julian jelas bisa masuk universitas dengan mudahnya, lalu aku? Ini sudah semester terakhir di tahun terakhir kami bersekolah dan ini pertengahan Februari sementara aku belum melakukan sesuatu yang besar untuk membangkitkan semangat kembali belajar dan fokus meraih nilai. Oh, sial, ke mana aku harus kuliah nanti? Hal-hal seperti itu tidak pernah kupikirkan sebelumnya dan memang tidak niat kupikirkan karena kurasa akhir-akhir ini, para Carpenter mencuri perhatianku. Julia—oh, astaga, sialan.[]