Girls Meet Boys

By hellnosandheadache

70.5K 3.5K 1.3K

Senari Ayana Callandrie, ditunjuk sebagai 'Leader' di jurusannya oleh angkatan sebelumnya. IPS. Kedudukannya... More

#1. "High Schooler"
#2. "Best Of The Best"
#3. "The Question. "
#4. "The Dinner Disaster. "
"CAST" Updated!
#5. "The Decision. "
#6. "Mondaze. "
#7. "Perjanjian. "
#8. "Another Love Line."
#9. "Serendipity"
#10. "Mengubah Takdir."
#11. "We Camp"
#12. "Lost"
#13. "We Together."
#14. "Lost in Us."
#15. "Terperangkap"
#16. "Bukan Penyihir"
#17. "Si Ganteng Hansel dan Para Putri Es."
#18. "Shit Happens!"
#19. "Mad"
#20. "That Person."
#21. "Dangerous."
#22. "His Attention."
#24. "After School."
#25. "Selesai."
For the rest of my life

#23. "Her..."

2.1K 123 9
By hellnosandheadache


🎵guess i'm stuck with you, and that's that... -alan walker

***

Suasana kantin sekolah yang ramai di jam istirahat kedua, diikuti oleh kelima gadis IPS yang duduk di salah satu kursi yang memutari meja.

"Jadi, lo udah denger semua penjelasan Azka kemarin, Na?" tanya Roza.

Sena mengangguk mengiyakan, tanpa memperjelas.

Nara mengernyit. "Segampang itu?"

"Maksud lo?" Kali ini, Sena bertanya.

"Ya, kemarin-kemarin kita coba sekuat tenaga buat jelasin ke elo, tapi ternyata dia cuman datang sekali dan lo langsung menerima penjelasannya? Gak adil, Na!" Nara berseru dengan kesal.

"Masa sih?" Sena mengangkat satu alisnya. "Gue juga gak tau kenapa bucin gitu ke dia."

Alena menatap Sena dengan senyum penuh. "Oh, jadi ngaku bucin, nih?"

"Siapa bilang bucin?" Sena balas bertanya dengan kening berkerut.

"Tadi, lo bilang," balas Alena sengit.

"Gue bilang benci banget sama dia, bukan bucin!" Sena menjawab dengan nada penekanan.

Alena melengos, seraya menatap Sena kesal. "Masih sakit nih orang!"

Adriene berdeham pelan, membuat keempatnya menatap cewek itu serentak.
"Bentar lagi semester lima bakal selesai. Udah pada nyari universitas belum?"

Seketika Alena menjetikkan jarinya di depan wajahnya. "Gue udah mikirin ini semua, gue bisa ngeramal masa depan kita, guys. Gue bakal jadi Akuntan di UI, Adriene jadi sekolah jurnalis di luar negeri, Sena juga pasti bisa lanjut ke luar negeri dengan jurusan apapun dia kayanya mampu, terus Nara ke UGM jadi mahasiswi psikolog, dan Roza mau jadi penyiar berita berarti ambil Ilkom di UI sama gue. Keren banget, kan?!"

Keempatnya menatap Alena yang terlalu bersemangat merancang -imajinasi- masa depan mereka, dengan kening berkerut.

Roza menghela napasnya pasrah. "Gue sebenarnya sadar diri sih, ada universitas negeri yang mau nerima gue aja, udah syukur banget kok."

Nara ikut meluruhkan bahunya di sandaran kursi. "Gue juga. Ortu gue gak bakal bolehin anaknya tinggal jauh dari mereka, karena gue lemah."

"Lagian, gue gak yakin Harvard bakal nerima gue," balas Adriene masam.

Sena ikut menyangkal imajinasi rancangan Alena. "Ya ampun, mikirin jurusan aja belum tahu, apalagi universitas. Dan lo bilang sekolah luar negeri? Yang bener aja!"

Alena tercengang mendapati jawaban super pesimis dari teman-temannya. Perempuan itu menggebrak mejanya sedikit keras, menatap teman-temannya dengan kesal. "Ini tuh rencana masa depan. Seenggaknya gue bisa tahu kalau lo udah punya pilihan. Optimis dikit kenapa, sih?"

Keempatnya terdiam kembali. Malas mendebati Alena dan semangatnya.

"Aminin, dong. Kan gue udah ngerancang masa depan lo semua. Siapa tahu malaikat denger terus jadi mencatat kata-kata gue dan mengabulkan."

"Amiin..." Kempatnya menjawab perkataan Alena serempak.

Kelimanya terdiam, untuk membiarkan diri mereka menikmati santapan untuk mengisi perutnya di siang hari. Beberapa detik kemudian, suara ramai dan teriakan di sudut kantin membuat seisi kantin, menengok ke sumber suara. Begitu juga kelimanya.

"Bagus banget, lo udah numpahin minuman ke sepatu gue!" Seorang perempuan dengan aksesoris ramai, berteriak ke seseorang di depannya. Didampingi kedua dayangnya.

"Sorry, kak. Saya gak sengaja banget. Abis kakak sedikit ngehalangin jalan, sih."

Roza mengernyit ketika mengetahui siapa orang yang barusan meminta maaf itu.
"Itu Kintan yang kelas sebelas, kan? Bendahara OSIS, Na?" tanya Roza memastikan.

Sena mengangguk kecil, kemudian menjawab singkat. "Iya."

Alena bertanya, "Belain gak, nih?"

Sena terdiam. Benaknya juga memikirkan hal itu, ingin membantu adik kelasnya yang baik itu, ketika ia kembali mengingat orang yang memarahinya adalah Jenny, yang juga telah berani menyesatkan dirinya dan teman-temannya. Cewek itu mengurungkan niatnya.

"Gak usah. Nanti juga ada yang bantuin," jawab Sena singkat, membuat yang lainnya menatap cewek itu heran, karena harus menjadi penonton di saat genting.

Jenny menatap tajam pada seseorang yang tengah menunduk di hadapannya. Dan kembali berteriak, "Lo tahu gak, ini sepatu gue beli di Zurich. Limited edition! Dan harganya lebih tinggi dari gaji kedua orang tua lo!"

Kintan mengangkat kepalanya seketika, ketika mendengar kakak kelasnya yang sok hebat itu tidak hanya merendahkan dirinya.
"Saya tahu saya emang salah, bukannya orang tua saya, jadi gue rasa gak penting buat kakak ngomongin itu."

Jenny tersenyum sinis. "Kenapa? Malu ketahuan jadi satu-satunya yang cuman punya orang tua sebagai penjaga kebun orang? Lo beruntung ortu gue dengan sangat baik mau nyekolahin lo di sekolah mahal ini."

Kintan balas menatap Jenny tajam. Kemarahan atas perkataan kakak kelasnya itu membuatnya mendapat keberanian.
"Saya masih ingat kok ortu kakak yang ngebayarin saya sekolah bukan kakak sendiri. Jadi, saya gak ada urusan sama kakak. Dan, seenggaknya saya punya otak yang waras. Enggak seperti kakak yang gak pernah punya kewarasan sedikitpun!"

Mata Jenny menggelap seketika, ketika ia baru saja diteriaki 'tak waras' oleh adik kelas yang bahkan tak sederajat dengannya.

Perempuan itu meraih rambut Kintan dengan cepat dan menariknya kasar, membuat kegaduhan terjadi dalam beberapa detik di sudut kantin, kalau saja seseorang tidak datang dan memisahkan mereka dengan cepat.

Alena dan Roza yang sudah berdiri ingin membantu, bahkan langsung kembali terduduk, ketika seseorang sudah berhasil memisahkan mereka.

Sena berkata dengan tenang pada teman-temannya. "Kan, pasti ada yang nolongin, kok."

Keempatnya mengalihkan mata pada Azka dan cs nya yang sudah datang lebih dulu dan membubarkan kegaduhan itu.

***

Sena berjalan keluar dari bilik kamar mandi, berniat untuk kembali ke kelas, ketika langkah kakinya terhenti dan menemukan seseorang yang tengah merapihkan dirinya di depan wastafel.

Perempuan itu berjalan mendekat, lalu mengulurkan sesuatu padanya. "Nih, mungkin berguna buat nutupin kulit lo yang berdarah."

Kintan menoleh pada Sena, lalu menerima dua buah plester luka yang diulurkannya. "Makasih, kak."

Sena mengangguk singkat. Kemudian, ia berbicara serius. "Saran gue, Kin, kalau lo berhadapan sama Jenny, jangan dilawan."

Kintan menatap Sena dengan tatapan tidak setuju. "Kenapa gitu? Kan dia yang udah keterlaluan, kak."

Sena terdiam sejenak, lalu kembali bersuara. "Gue bukannya ngajarin lo buat jadi pengecut. Justru gue salut sama keberanian lo tadi. Tapi menurut gue, dia seseorang yang suka main-main. Apalagi dengan hidup seseorang."

Kintan menatap Sena tidak mengerti. Namun, tidak menyuarakan pikirannya.

"Gue balik ke kelas yah, jangan lupa besok kumpul OSIS." Sena melangkah keluar dari kamar mandi, meninggalkan Kintan yang terdiam.

Sena berjalan menuju kelasnya dan menemukan dua temannya yang sedang menunggu di luar kelas dengan tatapan khawatir.

"Lo kemana aja, sih? Katanya lo abis dari Uks, sakit lo kambuh lagi?" Alena langsung mencecari Sena dengan pertanyaan.

Cewek yang ditanya, menggeleng singkat. "Gak kenapa-napa, kok."

Kali ini, Nara yang kembali berbicara. "Tadi gue liat catetan Uks, lo minta plester luka. Coba liat mana yang sakit, jahitan di kepala lo gak lepas lagi, kan?"

Sena memutar bola matanya. "Ya, enggaklah."

Alena dan Nara mengangguk paham. "Gue kira kepala lo bocor, niatnya kalau iya pun, kita berdua bersedia mengantar lo ke rumah sakit, kok. Soalnya abis ini Matematika." Alena menyengir kepada Sena yang menatapnya kesal.

Sena memutar bola matanya malas, lalu meninggalkan kedua temannya di belakang.

***

Pelajaran terakhir menjadi semangat bagi anak-anak kelas IPA satu. Apalagi pelajaran olahraga, yang selalu memungkinkan siswa-siswinya untuk menghirup udara.

Setelah berganti seragam, bapak guru yang mengajar mata pelajaran tersebut menyuruh anak-anaknya untuk bermain bebas, sebagai hari terakhir pelajaran olahraga di semester lima.

Di lapangan yang luas yang dijadikan tempat olahraga, terbagi menjadi dua. Para anak laki-laki yang memainkan sepak bola, dan anak perempuan yang hanya bermain bola asal-asalan. Tanpa teknik, dan tanpa tenaga.

Aron mengoper bola yang sedang berada di bawah kakinya pada Azka, seraya bertanya sesuatu. "Jadi, gimana kabarnya?" tanya Aron.

Azka menoleh pada temannya sekilas, setelah menendang bola pada salah satu anggota timnya. "Gue baik."

Aron berdecak kesal. "Gue gak perlu tahu kabar lo, bung. Lo kelindes mobil, atau kesantet online pun, lo cuman bakalan bilang lo baik-baik aja. Tapi, yang gue tanyain, kabar orang yang lo jenguk kemarin. Dia baik?"

Azka tanpa mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Aron, namun tetap menjawab singkat. "Dia baik... katanya."

Aron mengangkat satu alisnya, mendengar jawaban Azka yang kurang yakin. Ia memutuskan menjawab tanpa menanyai lebih lanjut. "Oke, dia baik, tapi lo yang gak baik sekarang. Aneh."

Satu tepukan di bahu Azka membuat orang itu menoleh. Kali ini, ia menemukan satu temannya yang lain, yang pasti akan ikut bertanya.

Membuat Azka menghela napasnya lelah. Dia hanya ingin fokus bermain sepak bola, tanpa para wartawan di kelilingnya ini. Ia merasa seperti David beckham sekarang ini.

"Omong-omong, gimana cara lo bisa jadi super hero dadakan gitu? Setahu gue yang dadakan itu cuman tahu bulat," tanya Arlan disertai kalimat pengikut yang tidak penting buat Azka.

Namun, jawaban seseorang yang tiba-tiba datang ke tengah lapangan mengalihkan ketiganya. "Serangan jantung juga dadakan. Kematian juga ada yang mendadak, eh... Hamil juga bisa mendadak, tuh."

Ketiganya menatap Eroz yang memakai seragam berbeda dengan orang-orang di lapangan, dengan jenuh.

"Gak penting banget jawaban lo," tukas Aron.

Arlan menatap Eroz yang berbeda kelas dengan mereka. "Gak masuk kelas lo?"

Eroz mendribbel bola basket ditengah-tengah anak-anak IPA satu yang sedang memainkan sepak bola. "Lagi ada seminar kampus di kelas gue. Males dengerin, mahasiswa semua yang dateng."

"Oh iya, jawaban gue belum terbalaskan, Ka." Arlan berucap kembali pada Azka, menagih jawaban atas pertanyaannya tadi.

Cowok yang disebut Arlan itu menghela napasnya, lalu memutuskan untuk menjawab singkat. "Eroz yang bilang ke gue."

Keduanya mengangguk singkat, sedangkan Eroz tersenyum congkak. "Yo'i, gue ngirim pesan ke Azka dengan sembunyi-sembunyi. Kalau enggak, kepala gue udah ditebas sama sang ratu merah."

Tiba-tiba Arlan meraih bola basket yang sedang berada di pelukan Eroz dengan cepat, cowok itu mendribbelnya sekali lalu berniat melemparnya pada tiang basket yang cukup jauh, ketika mereka malah mendengar teriakan kesakitan dari seorang perempuan yang tengah berjalan sendirian di sisi lapangan.

"Aw!! Siapa sih orang buta yang ngelempar bola ini ke gue?!" Alena berteriak di sisi lapangan. Namun, tak cukup keras untuk menarik perhatian IPA satu yang berada di sisi terjauh dari perempuan itu. Kecuali, keempat cowok yang menyadari teriakan Alena.

Mata Alena mencari-cari seseorang yang mungkin sedang menginginkan bola yang diambilnya, ketika tiba-tiba mata cewek itu menyipit marah saat mengenali empat cowok yang dikenalnya dan menatap ke arahnya.

Alena berjalan mendekat. "Siapa yang ngelempar bola ini ke gue?!"

Keempatnya terdiam, sampai Eroz menunjuk Arlan dengan jujur. Membuat Arlan terpaksa mengaku.
"Gue!"

Mata Alena semakin menyipit ketika mengetahui bahwa tersangkanya adalah orang yang memang telah ia sangka.
"Lo buta? Gak bisa bedain yang mana tiang, dan yang mana tubuh manusia? Gue bukan tiang, asal lo tahu!"

Arlan tersenyum menyeringai. "Oh, gue gak liat sih, jaraknya deketan."

Alena menatap cowok itu semakin kesal. Padahal jarak antara tiang dan dirinya sangat jauh.
"Sebagai anak IPA, lo harusnya bisa memperkirakan jarak antara tiang sama gue. Itu jauh banget!"

Arlan mendengus, ketika mendengar cewek itu meremehkannya sebagai anak IPA. "Dan sebagai anak IPS, lo harusnya tahu apa yang bakal terjadi kalau lo lewatin sisi lapangan, ketika ada banyak orang yang lagi olahraga. Anak IPA pun tahu apa jawabannya!"

Eroz berbisik pada Aron di sampingnya, ketika Alena membalas perkataan Arlan dengan sengit, begitu juga sebaliknya. "Mereka debat apa sih? Cerdas cermat?" tanya Eroz heran.

Aron menggeleng pelan di sampingnya. "Bukan. Debat capres!"

***

Happy reading 💃💃💃

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 268K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

951K 51.6K 51
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
678K 78.8K 10
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.7M 274K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...