SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

33

2.7K 362 23
By SophieAntoni

***I'm so sorry for very very late updating...semoga bisa dimaklumi ya...

***Warning: typo


Ava Argani

25 Mei 1993

Papa membatalkan janji, Nak. Katanya kakakmu masuk Rumah Sakit. Kamu harus sabar ya. Kak Tania juga butuh Papa.

3 Juni 1993

Kamu kangen Papa, Nak? Mama juga. Sudah seminggu Papa nggak nengok kita. Papa juga belum telepon. Sabar ya, Nak. Mungkin Kak Tania masih membutuhkan Papa.

5 Juni 1993

Aku merindukannya. Kami merindukannya. Ava semalaman menangis terus. Dan aku rasanya mau gila dengan himpitan rasa marah dan cemburu ini. Sekali lagi kamu mengatakan kamu nggak bisa pulang karena kemarin ulang tahun Aldo. Ya, aku nggak punya hak merampas kebahagiaan anak-anakmu. Maafkan aku, tapi aku hanya manusia biasa...

Langit berubah mendung saat aku melangkahkan kaki keluar dari pavilun Mama diikuti Kak Tania, alam seperti sedang ikut merasakan suasana hatiku. Berada di depan Tania dan menatap kembali matanya dengan berjuta pertanyaan tergambar di sana membuatku tiba-tiba dilingkupi rasa sedih. Aku merassa seperti seorang pengkhianat. Aku terus menyembunyikan sesuatu dari Tania. Pertama tentang Erick dan sekarang tentang keluargaku. Dari raut wajah Tania yang sudah kukenal bertahun-tahun, aku tahu dia seperti tidak siap dengan berita ini. Bahwa aku memiliki keluarga lain selain keluarganya.

Ia mendahului langkahku dan berhenti tiba-tiba di depanku. Namun, ia terdiam.

"Aku tidak sengaja bertemu kembali dengan mereka." Aku memulai pembicaraan dan berharap Tania memutar tubuhnya ke arahku. "Aku nggak mencari mereka. Mereka yang mencariku." Lanjutku lagi dan berhasil membuatnya memutar tubuhnya dan memandangku.

"Lo bahagia?" tanyanya dengan nada yang datar namun matanya syarat kesan yang tidak bisa kuartikan.

"Ya." Jawabku samar. Aku menelan ludahku dan memandang Tania dengan tatapan yang lebih hati-hati.

"Lo pantas bahagia." Dia sedikit menunduk kemudian menghela napas dalam-dalam. "Gue hampir nggak pernah memposisikan diri gue di posisi lo. Sekarang gue baru sadar bahwa nggak mudah menjadi lo." Aku menangkap kedua matanya berkaca-kaca.

"Tapi yang lo harus tahu, Va. Gue nggak pernah sedikitpun mengharapkan kalo lo bukan adek gue. Sejak hari pertama Papa membawa lo ke rumah, gue udah merasa kita punya koneksi. Ada sesuatu yang membuat gue nggak bisa marah sama lo seperti bang Aldo. Sesuatu yang lo punya yang gue sendiri nggak tahu apa itu. Gue seperti terikat sama lo. Nggak bisa diabaikan kalau kita sedarah walau kita bukan dari rahim yang sama."

Aku tergugu mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Tania. Batang tenggorokanku terasa sesak. Aku perlu meneguk ludah berkali-kali karena aku merasa seperti tidak bisa berkata-kata lagi.

"Ini hari tersedih buat gue. Tapi gue juga lega karena gue nggak sendiri. Ada lo di sini." Dia menyeka matanya yang basah. Aku sendiri dengan sekuat tenaga mencegah air yang mulai menitik di setiap sudut mataku meski tak berhasil.

"Gue nggak mau kehilangan adek gue." Dia mendekatiku dan menarikku dalam pelukannya. Kami sama-sama terisak. "Dan mengenai Erick." Ia menarik sedikit tubuhnya dan memandangku lekat. "Sejak kapan lo punya selera cowok yang sama kayak gue?" dia menyipitkan matanya. Meski kata-katanya terkesan bercanda namun aku tahu ada perih di sana.

"Um....." aku mencoba lari dari pandangannya.

"Udah lupain." Dia mangayunkan sebelah tangannya di hadapanku dengan ekspresi candanya.

"Gue juga mau ketemu sama kakek nenek lo. Semua keluarga lo dari pihak ibu lo. Nggak apa-apa kan?"

"Mereka pasti senang kenal sama Kak Tania." Jawabku dan membuatnya sekilas tersenyum namun seperti bisa menghapus segala sedih di wajahnya. Aku kemudian pasrah dalam rangkulannya lagi. Aku sangat menyayangi kakakku ini. Meski dia tidak pernah tahu bahwa selama hidupku aku juga selalu menganggap dia malaikatku.

Aku rutin bersama Tania menjenguk Mama dan menemaninya selama proses operasi besar yang harus ia jalani. Mama harus mengangkat kedua ovarium dan juga rahimnya. Aldo harus mendekam dalam penjara karena kasus penggelapan uang partner bisnisnya. Mbak Mitha bersama anak-anak ikut tinggal di rumah Mama karena rumah mereka harus disita. Situasi ini benar-benar berat bagi Tania dan juga aku. Tania hanya bisa berbagi denganku sedang aku masih bisa berbagi beban ini bersama Erick dan tentu saja kakek dan nenek dan tante Lisa. Mereka berjanji ketika Mama sudah pulih mereka akan datang menemuinya dan meminta maaf atas nama Ibu. Aku tentu tidak sabar menanti saat itu.

"Minggu depan kamu ulang tahun." Beritahu Erick sambil mengelus rambutku. Aku hampir tertidur di bahunya karena semalaman menjaga Mama dan aku hampir tak pernah memejamkan mataku.

"Hmmm..." aku hanya menggumam.

"Kita ajak Tania makan?"

Kedua kelopak mataku yang hampir menutup mendadak membuka. Aku mengangkat kepalaku dari bahunya dan memandang laki-laki itu.

"Nggak boleh?" dia bertanya saat melihat ekspresi wajahku.

Aku membuang napas pelan dan mengatur posisi dudukku sambil berpikir sejenak.

"Bukannya nggak boleh. Aku juga ingin seperti itu tapi aku nggak tahu apa Kak Tania mau."

Dia mengangguk sambil tak lepas memandangku.

"Kamu kelhatan lelah banget. Kamu tidur aja dulu, nanti sebelum ke bandara aku singgah ke sini. Kamu bilang aja ya kalau pengen makan apa nanti aku bawa sekalian. Dan masalah ulang tahun kita bicara lagi nanti."

Aku mengangguk sambil memijat area sekitar mataku yang perih. Erick mengulurkan tangannya ke arahku membantuku bangkit dari sofa.

"Aku kangen." Keluhku sambil memeluk tubuhnya. Aku berani melakukan ini karena tidak orang di rumah. Tania, Kak Mitha dan Bi Imah sedang ke rumah sakit.

"Aku lebih kangen." Erick balas mendekapku. "Apa aku perlu nemenin kamu bobo?" dia mengerling nakal ke arahku yang dibalas dengan cubitan ke perutnya. Dia mengaduh.

***

Erick Leitner

Aku menghempaskan pintu mobil cukup keras sebagai pelampiasan rasa kesalku karena tidak bisa menemani Ava lebih lama. Aku berjalan gonti melewati taman samping dan mendapati Papa sedang terkantuk-kantuk di atas kursi rotan andalannya. Kacamata bacanya sudah turun hingga ke bagian bawah hidungnya. Buku yang ia baca tergeletak di pangkuannya. Aku mendekatinya dan perlahan mencoba membangunkannya.

"Pa," sapaku pelan. "Papa, tidur di dalam aja." Aku menepuk pelan tangannya.

"Hmmm..." Dia menggumam dan membuka matanya. "Kamu dari mana?" tanya Papa sambil melepas kacamatanya dan meletakkanya di atas meja di samping kursinya.

"Dari rumah Ava."

"Hmmmm" jawabnya. Aku sedang menunggu reaksinya saat aku menyebut sebuah nama yang tntu saja asing di telinganya. Dan bebeapa detik kemudian aku mendapatkan reaksi itu.

"Siapa Ava." Dia memandang ke arahku. Aku kemudian memutuskan untuk duduk di sebelahnya.

"Ava itu pacarku, Pa."

Papa terdiam.

"Bukannya pacar kamu Michelle?"

"Emang Papa nggak bisa paham juga kalau aku nggak cinta sama Michelle? Reaksiku waktu itu sama sekali nggak meyakinkan Papa?"

"Ya, Papa pikir kalian cuma berantem aja waktu itu. Lagian Michelle baru aja pulang dari sini." Aku mendengus cukup keras mendengar informasi ini. Aku tidak bisa terlalu lama mendiamkan hubungkanku dengan Ava. Semua orang di rumah ini harus tahu bahwa aku bukan pacar Michelle, tapi Ava. Secepat mungkin aku harus membawanya ke rumah ini.

"Dia kesini lagi?" aku menghela napas tak percaya.

"Oke Papa mengerti sekarang. Michelle begitu tergila-gila padamu dan kamu justru mencintai gadis lain. Papa tidak masalah dengan siapapun pilihanmu, Rick. Tapi kamu harus menegaskan pada Michelle agar dia tidak terus berharap sama kamu."

"Kurang tegas apa aku sama dia, Pa? Waktu itu contohnya. Aku sudah terang-terangan menolaknya tapi dia seperti nggak mau tahu. Ah sudahlah jangan bahas dia lagi. Itu urusanku, aku akan selesaikan. Dan aku akan segera membawa Ava ketemu Papa." Aku memastikan. Papa tersenyum.

"Coba saja Mama bisa melihat keseriusan kamu saat ini." Ada nada berat dalam suara Papa. "Mamamu dulu selalu bilang ingin sekali mendengar kamu datang padanya menceritakan tentang gadis yang kamu cintai."

Kata-kata Papa sedikit membuat jantungku berdesir sedih. Aku termangu sesaat ketika bayang wajah Mama melintas dalam benakku.

"Rick." Papa memandangku penuh arti. "Papa bisa melihat kalau kamu benar-benar mencintai..." Papa terdiam sesaat.

"Ava, Pa. Namanya Ava."

"Ya, Ava. Menikahlah." Senyum perlahan tercipta di bibirku. "Ajak dia makan siang atau makan malam di sini saat kamu libur nanti."

"Baik, Pa."

***

Erick Leitner

Aku semakin membulatkan tekad untuk membawa Ava ke rumah dan mengenalkannya pada Papa setelah Michelle kembali menerorku dengan telpon-telponnya. Aku memutuskan untuk menemui Michelle setelah perjalanan terakhirku kali ini dan itu artinya sehari menjelang ulang tahun Ava.

Aku memenuhi permintaan Michelle untuk bertemu di apartemennya, meski sebenarnya ini bukan keputusan yang cerdas di pihakku. Aku seharusnya meminta dia menemuiku di tempat yang lebih umum namun aku juga tidak mau menarik perhatian orang-orang jikalau perempuan itu histeris dan emosional nantinya. Michelle sebenarnya bukan tipe perempuan seperti itu saat aku mengenalnya pertama kali dan bersama dengannya beberapa waktu, dia tipe wanita karir yang elegan. Namun sikapnya akhir-akhir ini yang menggila membuatku berkesimpulan bahwa hal yang kukhawatirkan bisa saja terjadi. Aku menyesali perubahan yang terjadi itu, dan terkadang sedikit menyalahkan diriku atas perubahan itu.

Dan aku cukup terkejut saat mendapati sikap michelle yang begitu tenang saat aku mengutarakan semua isi hatiku padanya. Memintanya untuk memahami bahwa aku tidak mencintainya. Bahwa aku mencintai perempuan lain dan berencana menikahinya.

Dia hanya berdiri menatapku dengan wajah tenang, ada kilat di kedua bola matanya.

"Michelle," tegurku. "Kamu mengerti kan?"

"Ya..." jawabnya singkat. "Perempuan itu...Tania?"

"Bukan." Jawabanku terdengar seperti bunyi geledek bagi Michelle. Dia kelihatan terkejut dan memutar lehernya cepat ke arahku. Itu berarti selama ini ia mengira Tania adalah perempuan yang kucinta. Mungkin ini yang membuat dia terus berharap padaku mengingat dia pernah mengingatkanku tentang reputasi Tania. Bahwa dia mungkin lebih baik dibanding Tania di mata Papa atau keluarga besarku.

"Siapa dia?" dia berjalan mendekatiku.

Aku menghela napas.

"Kamu nggak mengenalnya."

"Siapa dia, Rick?" nadanya tiba-tiba berubah tinggi.

"Aku rasa pembicaraan kita sudah selesai. Dan tidak ada lagi masalah di antara kita. Semua sudah clear. Aku harap kamu bahagia, Chell." Aku sempat melihat Michelle menyeka matanya saat aku berlalu dari hadapannya. Dia tidak berkata satu katapun untuk menghentikan langkahku. Aku menarik napas lega meyakini bahwa Michelle bisa menerima semuanya dan kekhawatiran yang sempat melintas di kepalaku tadi seketika sirna.

****

Ava Argani

Dulu saat masih kecil dan saat Papa masih ada, aku biasa merayakan ulang tahun bertiga bersama Papa dan Tania. Dan setelah Papa pergi, Tania masih mau merayakan ulang tahun bersamaku. Biasanya dia membawakan kue kecil dan diam-diam masuk ke kamarku, mengejutkanku dan menemaniku meniup lilin. Namun menjelang aku lulus SMA hingga kuliah, tradisi itu perlahan hilang. Tania memang tidak pernah lupa ulang tahunku, dia tetap mengirimiku ucapan selamat dari tempat-tempat yang ia kunjungi bersama pacarnya saat itu. Ya, Tania dulu hampir tidak pernah ada di rumah. Kuliahnya berantakan karena dia lebih suka travelling bersama laki-laki yang berbeda yang ia sebut pacar. Hingga suatu saat Mama mematikan kartu kreditnya dan Tania mulai menumpang hidup dari laki-laki yang ia sebut pacar-pacarnya itu, sampai ia berkali-kali mengalami kekerasan.

Sekarang Tania sudah berubah dan apakah sekarang ia bersedia merayakan kembali ulang tahunku? Bertiga? Namun kali ini dengan Erick? Entahlah aku masih ragu untuk memintanya.

Aku seharusnya sekarang sudah kembali ke rumah setelah semalam menemani Mama yang kondisinya mulai stabil. Namun aku mencoba untuk bicara dengan Tania dulu sebelum pulang. Bicara mengenai rencana aku dan Erick mengundang Tania dalam makan malam besok.

"Lo belum balik?"

"Aku mau..." kataku ragu.

"Mau apa?" Dia memandangku dengan ekspresi menyelidiki. "Ah iya...lo kan ulang tahun besok." Dia mengingatnya. Aku mengangguk.

"Karena itu aku mau ngajak Kak Tania makan malam."

"Mau banget." Jawabnya dengan wajah ceria.

"Tapi dengan Erick." Sambungku. Senyumnya tidak seketika hilang namun aku bisa melihat ekspresi lain yang tercipta seiring senyumnya yang perlahan pergi.

"Ah gue lupa, lo udah punya pacar."

"Kak." kataku dengan sedikit merengek mendengar kata-katanya itu.

"It's okay...gue usahain datang. Kasihtau aja jam berapa dan dimana." Jawabnya. Aku mengangguk lega. "Lagian udah lama rasanya nggak ngelihat lo tiup lilin." Candanya dan membuatku tertawa kecil. Dulu sekali aku selalu iri bila melihat pesta kecil yang diadakan Mama untuk merayakan ulang tahun Aldo atau Tania. Sampai mereka remaja pun selalu ada tradisi tiup lilin di meja makan saat sarapan. Mama tidak pernah tahu ulang tahunku karena memang dia tidak mau tahu dan aku selalu tau diri akan hal itu ketika aku mulai mengerti posisi diriku dalam rumah itu.

Papa berusaha membuat suasana rumah tetap damai dengan tidak memaksakan kehendaknya untuk meminta Mama membuat tradisi yang sama saat ulang tahunku. Saat kecil aku selalu bertanya kenapa ulang tahunku dirayakan secara berbeda dari Tania dan Aldo, Papapun selalu meyakinkanku bahwa ulang tahunku lebih spesial karena Papa dan Tania akan membawakan kue ulang tahun kecil di kamarku dan meniupnya bersama-sama. Dan saat itu aku memang selalu merasa spesial dan hal itu berhasil menghentikan rasa ingin tahuku yang besar.

Erick menjemputku di rumah. Dan aku cukup berhasil membuatnya terpesona dengan mini dress hitamku. Ia mengecup keningku dan membisikkan selamat ulang tahun, sebelum menggandeng tanganku dan membukakan pintu mobil. Ia membawaku ke sebuah restoran di sebuah hotel bintang lima. Aku cukup senang dengan suasana restorannya yang tenang dan tidak begitu banyak orang. Kami di bawa ke sebuah meja di sudut ruangan dengan pemandangan ke arah taman yang memanjakan mata. Ini bukan makan malam romantis karena akan ada Tania nantinya.

"Tania udah kamu beritahu kan?"

"Udah."

"Semoga dia nggak berubah pikiran. Aku akan lebih lega kalau kita sudah berhasil duduk bersama dan mengobrol tanpa beban atau rasa yang tidak nyaman."

Aku mengangguk meski aku ragu apakah nanti kami bisa mengobrol dengan nyaman. Perasaanku tiba-tiba jadi tidak keruan dan jeleknya aku berharap Tania membatalkan kedatangannya. Mungkin kami bisa duduk bertiga di kesempatan yang lain? Ah..entahlah.

"Aku ke toilet sebentar." Pamitku. Aku harus menenangkan perasaanku karena seharusnya aku tidak berpikir seperti itu. Bagaimanapun posisi Tania yang lebih tidak enak karena dia punya perasaan yang tidak terbalas pada Erick. 

Saat aku hendak beranjak dari kursiku ekor mataku menangkap langkah seseorang mendekati meja kami. Aku mengangkat wajahku dan tersenyum lega karena Tania akhirnya datang dan tiba-tiba rasa khawatirku menguap pergi.

"Oh-my-God." Aku mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Erick. Senyumku hilang saat mendapati bukan Tania yang ada di depan kami. "Ngapain kamu di sini?" sambung Erick lagi sambil memandang perempuan itu. Aku menelan ludah karena dalam beberapa detik memoriku bekerja dan menghadirkan ingatanku tentang perempuan ini.

"Aku hanya penasaran siapa perempuan itu? Kamu nggak pernah mau meberitahukan padaku." Dia berkata sambil memandangku tanpa berkedip. Namun beberapa detik kemudian ia tertawa kecil.

"Kamu serius Rick?" ia berganti menatap Erick dengan nada mencemooh. Aku menggigit bibirku dengan perasaan kesal. Aku tahu dia perempuan yang pernah mendatangi Tania saat kami makan siang waktu itu.

"Aku selalu serius dengan Ava. Dan...what the hell are you doing here?" kemarahan jelas tergambar di wajah Erick. "are you crazy or something?" dia menggeleng tak mengerti dan memandang perempuan itu seperti ingin menelannya hidup-hidup.

"Sakit jiwa nih cewek." Aku menutup wajah dengan kedua tanganku saat aku mendengar kalimat itu dan tahu dari mana suara itu berasal. Kenapa hidupku penuh dengan drama, Ya Tuhan? Jeritku dalam hati.

Continue Reading

You'll Also Like

79.9K 7.5K 37
"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal...
1K 108 43
Kehidupan dewasa yang kosong dijalani tanpa arah yang pasti. Walau memegang teguh pesan dan nilai hidup, ketidakhadiran orang tua menjadikan semuanya...
6.6M 339K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
25K 347 8
Cerita di privat, silakan follow dulu. Gadis cantik, karir okay, punya usaha dibidang kuliner. Kurang apalagi coba, dibalik kesuksesannya dia memend...