Bisikan Mereka ✔

By askhanzafiar

222K 18.2K 726

Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dal... More

Siapa aku?
Membantu Mereka
Diganggu
Kejanggalan
Petak Umpet
Play With Tere
Televisi
Rekaman Berdarah
Kepiluan dan kabar gembira
Ekskul
Sakit
Kejadian Berdarah
Penginapan
Kampung Maksiat
Tentang Author #1
Rumah Sakit
Rumah Sakit '2
Uji Nyali
Villa Delia'2
Tentang Author #2
Gua Sunyaragi
Teman Pemakai Susuk
Teman Pemakai Susuk '2
Tertukar.
Bukan Penyakit Biasa
Bukan Penyakit Biasa'2
INFO PENTING PAKE BANGET.
Rumah Omah
Rumah Omah '2
Vc terakhir.
A Piano.
Siapa Dia?
Kak Kenan?
A Mystery
Siapa pelakunya?
Akhir dari segalanya?
Empat Tersangka.
Ending?
Terungkap!
Menuju Cahaya?
Sejatinya
Persiapan pelantikan
Keganjilan
Ternyata?
Tragedy's
Pergi?
HEI INI PENTING BANGET!
Tentang Mamah
Ending! 🔚
LANJUTAN BISIKAN MEREKA
Hororwk

Villa Delia

4.1K 323 0
By askhanzafiar

"Kau tau tidak, Dira? Sepupuku punya villa baru. Rencananya aku ingin ikut ke villa barunya. Kau ingin ikut tidak?" Di akhir jam pelajaran ini, Elsa terlihat sangat antusias sekali. Pantas saja. Ternyata itu alasannya.

Aku tampak menimbang-nimbang ajakannya sembari memasukkan beberapa buku pelajaran ke dalam tas.

"Ayolah kumohon kau ikut, ya?" Tanganku diraih olehnya. Matanya nampak berbinar menaruh banyak harapan padaku.

Aku hanya bisa terkekeh. "Nanti antarkan aku pulang untuk izin dulu ke Mamah, ya?"

"Hore! Eum, baiklah. Ayo, pasti Okta sudah menjemput!" ujar Elsa dengan semangat yang tinggi.

Suasana sekolah yang masih sangat ramai membuat kami nampak mencari-cari keberadaan mobil milik sepupu Elsa itu. Dan tak lama, sebuah mobil hitam mengklakson kami dan menyuruh untuk segera masuk.

"Hai, Okta!" Sapaan Elsa itu dibarengi oleh tepukan dengan sepupunya.

"Hai, Elsa! Sudah siap?" tanya Okta dan melirik ke arahku.

"Oh iya, ini Dira temanmu itu?" Okta tersenyum ramah kepadaku. Elsa dan aku langsung membalas dengan anggukan kepala.

"Hai! Aku senang bertemu denganmu. Semoga kita bisa jadi sahabat baik," ujar perempuan itu sembari mengajakku bersalaman.

Aku menerima ulurannya. "Oke."

Setelah sampai rumah dan mendapatkan izin dari Mamah, aku bergegas berpamitan, membawa barang seperlunya dan melaju ke arah villa di Bogor.

Ternyata perjalanan menuju villa itu sungguh melelahkan. Lika-liku jalan beraspal berhasil kami tempuh dalam kurun waktu tiga jam. Hawa dingin mulai menyeruak ketika memasuki wilayah dengan sebutan "Kota Hujan" itu.

Hingga sampailah kami di depan villa unik dan megah di sebrang jalan. Pak supir memakirkan mobilnya di halaman rumah milik pribadi yang terbilang cukup luas.

Okta mempersilahkan kami turun.

"Assalamualaikum, Pah!" Okta berteriak sembari memeluk dan mencium kening seorang pria yang kira-kira berumur empat puluh tahun.

"Wa'alaikumussalam, Putri ajaibnya Papah. Eh, ada Elsa .... Kalau ini, siapa?" Seorang lelaki yang dipanggil Papah oleh Okta itu melayangkan senyumannya ke arah kami.

"Saya Dira, sahabat Elsa." Dengan hormat aku langsung bersalaman dengan Papah Okta.

"Oalah .... Kalau saya, Renal. Panggil saja Om Renal."

Aku tersenyum sembari mangut-mangut. "Oke, Om."

Kulirik Okta yang ternyata tengah asik melihat pemandangan sekitaran villa yang akan segera ia tempati itu.

Namun, sepertinya aku merasakan keganjalan sedari tadi. Tengkukku agak panas, seperti ada yang sengaja mengembuskan napas.

Aku menoleh ke arah belakang. Namun, tak ada apa-apa. Yang ku dapati hanyalah sebuah perkebunan tua di samping villa ini. Ah, mungkin hanya perasaan saja.

"Assalamualaikum." Seorang pria datang kepada kami dengan pakaian jaket dinas dan tersenyum simpul.

"Wah, Pak Hardi, ya? Waduh, kami belum sempat masuk rumah. Kalau kita duduk di ayunan besar itu saja, bagaimana?"

Pak Hardi tersenyum sembari mengangguk. Tak ada tanda-tanda kalau beliau keberatan.

Aku menatap ayunan itu terus menerus. Hawa mistis dapat kurasakan jelas saat penghuni ayunan tersebu merasa terganggu dengan kedatangan kami.

"Duduk sini, Dira!" ajak Elsa yang sudah terlebih dahulu duduk di atas ayunan besar itu.

Aku menggeleng dan tersenyum. Lebih baik aku memilih berdiri di samping ayunan itu tanpa mau menatap penghuninya yang bisa saja mengajakku bicara saat tahu aku dapat melihatnya.

"Saya kesini untuk membawa data-data yang Bapak inginkan. Boleh saya jelaskan sekarang? Atau saya diperkenankan untuk minum kopi dulu?" Pak Hardi tersenyum iseng sembari mengucapkan bahwa itu hanya kalimat candaan saja.

"Kalau Bapak mau nanti-"

"Tidak usah repot-repot, Pak Renal. Saya hanya ingin menyampaikan data yang bapak butuhkan. Saya hanya bercanda saja tadi," jelas Pak Hardi sembari membenarkan topinya.

"Jadi begini ...

Bogor 1922.

Pembangunan villa ini bisa dibilang yang pertama kali dibuat di sekitaran lereng bukit. Villa berukuran 2.495 kaki persegi ini dibuat dengan material berbahan super kuat dan dirancang langsung oleh arsitektur asli dari Belanda. Para pekerja dikerahkan sekitar 23 orang asli pribumi.

Villa ini memiliki ketinggian mencapai 16 kaki. Dilengkapi dengan dua kamar mandi di lantai atas dan tiga kamar mandi di lantai bawah. Terdapat setidaknya 12 kamar minimalis. Ruang dapur terdapat di lantai bawah dan juga satu ruang makan selebar lima kaki.

Balkon pun dibuat bernuansa Belanda pada tahun ke 1800-an. Loteng besar bisa dibuka tutup menggunakan tangga yang tersedia. Bagasi di dalamnya muat untuk satu mobil dan dua motor. Ditambah dengan satu ruang kantor pada lantai bawah.

Harganya sekitar 45 juta."

Apa?! 45 juta untuk villa sebesar ini? Apa tidak terlalu murah? Pasti ada yang tidak beres!

"Apa ada mitos masyarakat yang beredar?" tanya Okta yang langsung dapat pelototan tajam dari Om Renal.

Pak Hardi tersenyum. "Kalau kalian berkenan mendengarkan, saya akan ceritakan."

"Ceritakan, Pak!" Pak Renal hanya bisa mengiyakan saja ketika putrinya itu sudah terlanjur menanyakan hal yang seharusnya tidak ditanyakan.

"Baiklah, jadi begini ...

Bogor 1937.

Lima tahun sudah villa ini di tempati oleh sepasang suami istri. Georgie van Houten, seorang pedagang kaya Raya dari negri kincir dan juga Delia Georgina salah satu perempuan Belanda yang tersohor akan kecantikan dan kebaikan hatinya.

Hidup mereka benar-benar bahagia dan dikaruniai satu orang Putri yang sangat cantik jelita bernama Jirania Jessi.

Hingga suatu saat kejadian naas itu terjadi. Kecelakaan yang mengakibatkan salah satu kaki Delia harus diamputasi hingga selutut. Ia kehilangan dua buah jari pada tangan kanannya akibat benturan keras dengan aspal. Sementara Georgie, suaminya tidak mengalami cedera berat. Hanya luka sayat dan memar saja yang memenuhi badannya. Beruntung mobil yang mereka tempati tidak terbakar. Mereka sudah berjanji pada anaknya, Jirania, bahwa mereka akan menemuinya untuk merayakan ulang tahun anaknya itu.

Jirania kecil hanya menangis melihat kedua orang tuanya yang hanya tergeletak di tempat tidur rumah sakit.

Tak lama dokter memvonis Delia mengalami geger otak karena benturan yang terlalu keras pada bagian tempurung kepalanya. Delia hanya bisa terdiam di tempat tidur. Tidak bisa melakukan apapun. Untuk berbicara pun rasanya keluh. Sang suami setia menemani dan Jirania kecil tak bisa henti-hentinya menangisi sang ibu. Hari yang seharusnya disambut bahagia, malah mengecewakan dirinya.

Hanya beberapa bulan saja Delia bertahan, hingga akhirnya ia mengembuskan nafas terakhirnya ketika baru sampai di villa ini. Kini, Jirania kecil sangat membenci hari ulang tahunnya. Ia selalu menyebutkan bahwa bertambah umurnya lah yang membuat ibunya pergi.

Kekecewaan dan kesedihan ini juga sangat dirasakan oleh Georgie. Istri yang merupakan anugerah terindah dari Tuhan kini telah berpulang selama-lamanya. Ia yang sangat menyalahkan dirinya sendiri. Sebelum kecelakaan, Georgie mengajak sang istri untuk mengambil perlengkapan ulang tahun sang anak yang ia titipkan pada seorang temannya.

Andai saja ia memilih untuk tak mengajak istrinya, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini, pikirnya. Tapi ketika istrinya sudah meninggal, ia seperti merasakan bahwa istrinya itu masih setia menemani. Makanan selalu tersedia di meja makan setiap pagi, siang, dan malam. Karena terlalu risih dengan kejadian itu, akhirnya Georgie memilih untuk mengajak Jirania kecil keluar dari villa itu.

Kepemilikan selalu berpindah tangan. Alasannya klasik, karena gangguan makhluk halus dan kejanggalan yang kerap terjadi. Awalnya banyak orang yang mengidam-idamkan memiliki villa mewah itu. Walaupun dijual dengan harga yang fantastis sekalipun. Tapi lambat laun, orang-orang semakin percaya bahwa villa itu memiliki penghuni yang selalu iseng untuk mengganggu.

Ada satu kisah yang membuat rumah itu semakin horor, yakni ketika kepemilikan villa itu berada di tangan Hj. Haki Masyu'aid. Tepatnya pada tahun 1958.

Ia mengaku bahwa di loteng rumahnya sering ada yang membereskan barang. Padahal ia mengaku bahwa ia hanya tinggal bersama dua rekan bisnisnya. Ia juga sengaja memindahkan lemari kaca yang berada di dekat jalur penghubung antar dapur dan kamar mandi. Namun baru sehari ia memindahkan, kejadian janggal sudah menyelimutinya. Mulai dari ayamnya yang mati dengan luka bekas gigitan dilehernya, munculnya bangkai ayam hitam beserta bau busuk di kamar mandinya, juga jari kaki temannya yang terpotong karena terjepit di kamar mandi. Dia mengaku bahwa ada orang yang sengaja mendorong pintunya. Tidak hanya itu, suara bel juga sering berbunyi kencang. Padahal di rumahnya tidak ada sama sekali bel ataupun lonceng.

Ketika ia bertanya pada tetangga, tak ada satupun yang mengaku mempunyai bel ataupun lonceng. Karena memang pada jaman dulu, orang pribumi belum memakai lonceng atau bel untuk apapun.

Hj. Haki semakin geram. Apalagi ketika aroma Melati dan jahe setiap malam selasa selalu mengganggu indra penciumannya. Konon katanya, mendiang Delia dulu suka sekali menanam bunga Melati dan sering menghangatkan dirinya dengan meminum air jahe wangi.

Kejadian janggal yang begitu mengganjal di hatinya adalah ketika ia sedang mengeteh ditemani dengan televisi yang menayangkan setelan kaset wayang. Saat itu, mereka sedang asik-asiknya menonton tokoh Semar dan Petruk. Lampu ruang tengah tiba-tiba nyala dan mati sendiri. Suara wayangnya tiba-tiba menjadi kusut dan berputar balik sendiri. Kurang lebihnya suara yang sangat terdengar adalah seperti ini.

PERGI KALIAN DARI SINI.

Tiba-tiba muncul seorang perempuan dengan jari tangan yang melebar dan tidak utuh. Dengan kaki yang hanya tinggal satu. Ia melompat-lompat bak pocong menghampiri mangsanya. Kepalanya ia putar kesegala arah.

PERGILAH. KALIAN TIDAK AKAN BISA HIDUP TENANG DI VILLA INI!

Semenjak saat itu, Hj. Haki menjual villanya. Harganya sebanding dengan harga belinya. Namun, tak ada satupun yang melirik. Kabarnya ... rumor tentang hantu berkaki satu itu telah beredar dengan cepat. Sehingga tak ada satupun yang berminat untuk membeli. Hj. Haki menurunkan harganya hingga 3 kali lipat dari harga aslinya.

Namun butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan rumor itu agar ada yang berminat untuk membeli villa ini lagi." Pak Hardi menjelaskan secara detail.

Aku merinding. Mendengarkannya saja sudah membuatku tampak lemas.

"Pah, pindah saja, yuk! Okta enggak mau tinggal di sini," rengek Okta sembari menarik-narik kemeja sang ayah.

"Hus! Kamu sudah tidak percaya Tuhan hingga takut pada makhluk tak kasat mata?" tanya Om Renal.

"Tapi Pah, kan-"

"Sudahlah. Kamu belum pernah merasakannya. Lebih baik kita berserah diri pada Allah." Om Renal tersenyum pada putrinya

"Baik. Kalau begitu, saya izin pulang dulu ya. Terimakasih banyak. Permisi," pamit Pak Hardi sembari bersalaman dengan kami.

Om renal merogoh kantung sakunya. Mengambil kunci dan membuka pintu yang lumayan susah untuk dibuka. Kalau dilihat-lihat, kuncinya sudah lumayan seret.

Ceklek ....

Pintu berhasil dibuka dan menampakkan luas villa yang benar-benar memukau. Lampu terang benderang menghiasi setiap ruangan.

Cetek ....

Baru satu langkah kami masuk, lampu tiba-tiba padam.

"Maaf, yah, kami penghuni baru. Tolong jangan diganggu. Kita sama-sama menghargai saja. Jangan saling mengusik satu sama lain." Ucapan lantang Om Renal terdengar sebagai tanda peringatan.

Lampu menyala kembali secara tiba-tiba. Om Renal membaca beberapa doa dan segera masuk ke dalamnya.

Kami bertiga hanya berdiam diri.

"Loh, masuk sini! Kenapa masih di luar?" tanya Om Renal yang menatap kami dengan wajah bingung.

Kami menggeleng-gelengkan kepala.

"Jangan takut kepada mereka. Niscaya mereka akan sombong." Om Renal langsung menyuruh kami untuk cepat masuk dengan alasan pamali jika berada di depan pintu.

Kami berjalan pelan-pelan sembari bersholawat bersama-sama.

"Pah, Okta mau mandi."

"Ya sudah mandi sana." Om Renal terlihat langsung merebahkan diri pada sebuah sofa.

Okta menolehkan kepalanya ke arah lain. "Okta takut, Pah!"

Om Renal menggelengkan kepalanya. "Subhanallah, okta. Papah bilang apa? Jangan takut! Sudah sana baca-baca doa." Om Renal langsung memejamkan matanya.

Aku dan Elsa hanya duduk terdiam di kursi yang lain.

Secara spontan, mataku menjelajahi setiap sudut ruangan. Hingga akhirnya mataku terpaku pada seorang perempuan. Sepertinya itu adalah perempuan yang diceritakan Pak Hardi tadi.

Sosok itu tersenyum ke arahku sambil melambai-lambaikan tangan dan ....

Menghilang.

"Wuaaa!"

"Astaghfirullah." Om Renal nampak terkejut dan langsung menghampiri Okta yang menjerit di kamar mandi.

"Kenapa, Okta?" tanya Om Renal sembari menyuruhnya untuk membenarkan pakaiannya yang belum selesai dikenakan.

"Li-liat, Pah! Airnya itu!" Wajahnya sudah pucat sembari menunjuk-nunjuk ke arah keran air. Matanya ia tutup dengan tangan yang satunya lagi.

"Loh, kenapa airnya? Jernih gini, kok, Ta." Om Renal masuk ke dalam kamar mandi sembari membuka tutup air kerannya.

"Papah lihatnya yang bener, dong! Itu yang ke luar darah, loh, bukan air. Okta takut, Pah. Hiks .... " Okta pun menangis dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.

Om Renal mengelus kepala anak semata wayangnya itu. "Okta manis, coba kamu tengok dulu airnya. Tidak ada apa-apa, kok."

Okta membuka matanya sembari melihat isi ember itu dengan ragu-ragu.

"Ta-tapi, pah, tadi Okta lihat darah ke luar dari kerannya. Benar Okta engggak bohong! Papah enggak percaya sama Okta?" Wajah Okta masih terlihat pucat dengan bibirnya yang lumayan membiru.

Aku dan Elsa hanya bisa berdiam diri dan menahan rasa ingin ikut campur.

"Mungkin kamu halusinasi saja. Makanya jangan suka mikir yang aneh-aneh. Sudah baca doa sebelum masuk kamar mandi?" Om Renal langsung menggapai tangan gadis kecilnya itu.

"E-eh? Lupa, Pah," sahut Okta sembari menggaruk-garuk kepala.

Om Renal mengembuskan napasnya. "Nah, setan itu suka menggoda manusia jika manusia itu sedang lemah iman. Apalagi ketika kita lupa baca doa sebelum melakukan sesuatu. Jangan dipikirkan seperti itu. Nanti kamu malah depresi." Om Renal berusaha menenangkan Okta lagi.

Okta mengangguk saja. Ia mulai memeluk papahnya. "Pokoknya Okta enggak mau ditinggal sendiri di rumah. Setiap Papah pergi, Okta harus ikut!" rengeknya.

"Iya, Putri ajaib." Pandangan Om Renal Kini beralih padaku dan juga Elsa.

"Maaf ya. Gara-gara masalah ini, kalian jadi parno, ya?"

"Enggak apa-apa, Om," sahut Elsa yang berusaha untuk tidak memperlihatkan ketakutannya.

Aku melirik ke arah pojok kamar mandi. Hantu Delia tersenyum dari sana. Wajahnya masih terlihat manis dan belum memperlihatkan kekejamannya. Namun, sorot matanya tajam dan sadis.

"Dira lihat apa?" Suara bariton milik Om Renal Lumayan mengagetkanku.

"Enggak, Om-"

"Dira ini indigo, Pah," ujar Okta sembari nyengir.

Aku refleks ikut memperlihatkan deretan gigiku.

Om Renal menatapku untuk menanyakan kebenarannya. "Benar?"

Aku mengangguk sekilas.

"Tadi kamu lihat apa?" tanya Om Renal lagi.

"Hantu Delia, om," sahutku.

Om Renal mengerutkan keningnya. "Pemilik rumah ini?" tanya Om Renal memastikan.

Aku mengangguk sembari tersenyum.

"Apa dia yang mengerjai Okta?"

Aku mengangguk lagi. Karena memang itulah kenyataannya.

"Lalu apa responnya setelah itu?"

"Hanya tersenyum, Om. Sepertinya tadi ia hanya bermaksud untuk berkenalan. Namun, ia tak tau cara yang benar," ujarku.

Om renal terlihat berpikir, berusaha memutar otak. "Bisa kamu bicara padanya?" tanya Om Renal.

"Tidak sekarang, Om. Dira sedang lemas. Berbicara dengan mereka butuh banyak tenaga ekstra." Aku tersenyum dan tak enak juga sebenarnya untuk menolak.

Om Renal mengangguk-angguk. "Baiklah. Kalau dia muncul lagi beritahu Om."

Aku mengangguk mengiyakan.

Keadaan seketika canggung.

Plash ... Wus ... Wes ... Wos ....

Seketika jendela besar di samping pintu utama terbuka sendiri. Tirainya melambai-lambai seperti tertiup angin kencang. Kami sama-sama mendekati jendela itu dan melihat ke arah luar.

Anehnya tak ada angin sekencang itu dari luar.

"Benar-benar mengganggu. Padahal kita tak pernah mengganggunya sejak datang ke sini." Suara Om Renal utu terdengar sangat geram.

"Itu Delia, Om!" ucapku sembari menunjuk dengan arahan mataku.

Prang ....

Vas bunga yang berisi bunga Melati kini telah pecah dan terhampar di lantai. Aku merinding. Delia menampakkan wajah memerahnya.

"Hei, Siapapun kamu! Saya tidak kenal! Kami tidak pernah mengusik kamu! Kenapa kamu seenak jidat mengganggu kami?!" Teriakan Om Renal terdengar cukup keras.

Delia terlihat tersenyum.

"Paman ... katanya ia hanya ingin berkenalan dengan penghuni baru," jelasku setelah mendengar apa yang diucapkan Delia.

"Cara berkenalanmu tidak sopan!"

Om Renal mengeluarkan pisau yang ada di saku celananya. "Saya kasih satu kesempatan pada kamu. Jika kamu masih terus-menerus menghantui keluarga saya, saya musnahkan kamu!"

Hening.

Delia pergi tanpa ancang-ancang. Sampai-sampai aku tak tau letak keberadaannya.

"Sudah aman, Om," ujarku.

"Sudah hampir malam. Saya dan Dira ingin pamit pulang, Om." Elsa tersenyum sembari menggendong tasnya kembali.

"Oh iya, Pak! Pak Hanung!"

"Nggih, Pak.. Ono opo?" sahut Pak Hanung sembari menunduk hormat.

"Tolong antarkan Elsa dan Dira untuk pulang, ya!"perintah Om Renal.

"Nggih, Pak. Saya izin siapkan mobil dulu."

"Mari kita tunggu di luar," ajak Om Renal sembari menutup pintu villanya.

"Oh iya, Dira, apa kau punya kenalan seseorang yang bisa mengatasi ini? Tapi bukan paranormal." Ucapan Om Renal utu langsung kusahuti dengan anggukan.

"Siapa?"

"Pamanku, Om."

"Ustadz?"

Aku menggeleng. "Hanya orang biasa, Om, tapi Alhamdulillah masih mampu mengatasi segala jenis gangguan semacam itu."

"Boleh minta nomer telponnya?"

Aku mengangguk dan memperlihatkan nomor Paman agar Om Renal bisa langsung menambahkannya.

"Terima kasih."

Dari kejauhan terlihat Pak Hanung yang berjalan menghampiri kami. "Mari, Non, mobilnya sudah siap."

"Oh iya, Dira balik dulu, ya Om Renal, Okta. Terima kasih banyak. Assalamualaikum," salamku dan Elsa sembari menyalaminya.

"Waalaikumussalam."

Belum nge-feel ya? Maaf deh 🙁

Continue Reading

You'll Also Like

50.6K 7.8K 38
Misteri/Thriller+Horor+Teenfic+Roman, dll bergabung menjadi satu:) ______________ Di dunia ini memiliki banyak kebetulan yang disebut takdir. Tapi...
8.3K 453 16
Ini tuh bukan cerita yang bisa dibilang badboy ketemu badgirl, atau prince cool ketemu good girl dan sebagainya. ini tuh kisah seorang gadis yang pen...
596K 63.3K 58
Horor - Thriller Bagaimana jika seorang indigo bertemu dengan psikopat? Dan bagaimana jika psikopat bertemu dengan indigo? Seperti inilah kisahnya...
10.2K 1.4K 30
[COMPLETED] Seri Cerita SETAN Bagian 1 Perasaan Samsul dan Nadin sangat tidak enak, ketika mendengar kabar bahwa seorang pemuda dari kelas 10 di seko...