Bisikan Mereka ✔

By askhanzafiar

219K 18.1K 725

Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dal... More

Siapa aku?
Membantu Mereka
Diganggu
Kejanggalan
Petak Umpet
Play With Tere
Televisi
Rekaman Berdarah
Kepiluan dan kabar gembira
Ekskul
Sakit
Kejadian Berdarah
Penginapan
Kampung Maksiat
Tentang Author #1
Rumah Sakit
Rumah Sakit '2
Villa Delia
Villa Delia'2
Tentang Author #2
Gua Sunyaragi
Teman Pemakai Susuk
Teman Pemakai Susuk '2
Tertukar.
Bukan Penyakit Biasa
Bukan Penyakit Biasa'2
INFO PENTING PAKE BANGET.
Rumah Omah
Rumah Omah '2
Vc terakhir.
A Piano.
Siapa Dia?
Kak Kenan?
A Mystery
Siapa pelakunya?
Akhir dari segalanya?
Empat Tersangka.
Ending?
Terungkap!
Menuju Cahaya?
Sejatinya
Persiapan pelantikan
Keganjilan
Ternyata?
Tragedy's
Pergi?
HEI INI PENTING BANGET!
Tentang Mamah
Ending! 🔚
LANJUTAN BISIKAN MEREKA
Hororwk

Uji Nyali

4.3K 335 7
By askhanzafiar

Pagi ini aku terbangun dari tidur pulasku. Semalam, aku pulang diantar Muhzeo sekitar pukul sepuluh. Karena notif bejibun dari beberapa penggemarku di blog, akhirnya aku memutuskan untuk membalas satu persatu komentar mereka hingga pukul dua belas malam. Alhasil, aku baru terbangun pukul sepuluh pagi setelah tertidur kembali sehabis sholat subuh.

Ceklek..

"Astaghfirullah anak gadis, kok baru bangun sih?" tanya Mamah sembari memperhatikan wajahku yang sudah menjadi jalur perlintasan menuju pulau kapuk, rambut yang acak-acakan, baju tidur yang sudah sudah lecak, dan nyawa yang belum terkumpul seutuhnya.

"Hehe, hoahem.... Selamat pagi Mamah cantik," sapaku sembari memperlihatkan deretan gigi putih yang bagi orang sangat menawan.

Mamah hanya geleng-geleng kepala melihatnya. "Mandi sana, Dira! Jangan lupa nanti sarapan, ya," ujar Mamah sembari mengecup keningku.

Aku hanya mangut-mangut dan bergegas pergi ke kamar mandi.

Setelah beberapa menit konser di kamar mandi, aku langsung menggunakan pakaian dan bergegas menuju ruang makan.

Mamah menyambutku dengan senyuman memukaunya. Kubalas dengan sebuah kecupan singkat di keningnya.

"Habiskan, ya!" Mamah menatapku sembari membuat sebuah susu hangat untuk mengawali pagiku.

Aku hanya mengangguk dan mulai memakan nasi kebuli buatan mamah. Sungguh rasa rempah-rempah yang begitu memanjakan lidah.

Selesai makan, aku segera bergabung dengan Mamah yang sedang asik menonton TV. Hari minggu yang benar-benar membosankan.

Ting nong ....

Mamah hendak berdiri untuk membukakan pintu. Namun kutahan dengan cepat.

"Biar Dira saja yang buka," ucapku sembari menaruh bantal sofa yang sedari tadi berdiam di atas pahaku.

Ceklek ....

"Hei!" Sapaan dari Elsa dan yang lainnya langsung membuatku senyumku mengembang seketika.

"Mari masuk!" ajakku sembari membuka pintu dengan lebar.

Mereka segera bergabung dengan Mamah di ruang tamu. Aku memutuskan untuk membuat sirup markisa dan membawakan setoples biskuit selai kacang.

"Waduh, jadi enak, nih!" Paul nyengir sembari menatap makanan yang ada dengan mata berbinar.

Kulihat Elsa melotot ke arahnya dengan sangat tajam. Namun, Paul tak menghiraukan dan langsung mengambil kue biskuit dalam toples.

"Ngomong-ngomong, kita mau ikut uji nyali, nih. Lo mau ikut?" tawar Paul yang mewakili ucapan yang lain.

Aku melirik ke arah Mamah karena takut tak diizinkan. Ternyata tebakanku salah. Ia tersenyum dan mengangguk.

Wajahku langsung menampilkan senyum cerah seketika. "Ikut!" ujarku dengan sangat antusias.

"Kalau gitu, sekarang ganti baju. Kita akan berangkat ke sana sama-sama," ujar Muhzeo.

Aku mengangguk dan segera berlari ke arah kamar. Membawa setidaknya dua setel baju ganti, ponsel, earphone, beberapa camilan, dan sedikit kebutuhan make-up natural.

Setelah selesai bersiap, kami langsung meminta izin kepada Mamah dan bergegas masuk ke dalam mobil yang dibawa oleh Muhzeo.

"Jadi, kita akan ke daerah Cirebon karena kebetulan akan ada casting uji nyali di sana. Gua juga belum tau kita akan ikut uji nyali atau sekedar nonton-nonton aja, sih," terang Muhzeo sembari fokus mengemudi.

Elsa menoleh ke arahnya. "Uji nyalinya di salah satu rumah? Atau di kebun? Atau di mana gitu?"

"Setahu gua, kali ini mereka bakal casting di salah satu tempat peninggalan Belanda yang sudah enggak kepakai dan ya ... lumayan angker pastinya. Eh, pernah juga dipakai sebagai tempat dinas kerja, tapi karena gangguan makhluk halus, tempat itu langsung ditutup total. Dengar-dengar di dalamnya ada roh jahat. Sampai saat ini belum ada yang bisa mengusirnya." Paul terlihat membaca informasi dari ajang uji nyali yang ternyata dia follow di Instagram.

"Lah, terus cara masuk ke sana gimana?" tanyaku sembari mengutak-atik aplikasi pelacak hantu, berusaha mengaktifkan notif untuk mengetahui daerah terlarang dan hantu yang berkeliaran.

Anehnya tebakan aplikasi di ponsel ini tidak melesat sedikitpun. Apapun yang ditunjukkan aplikasi inj benar-benar dapat kurasakan.

"Tim uji nyali sudah bekerjasama dengan pemilik tempat itu. Jadi, khusus malam ini, kita bisa melakukan uji nyali di sana," jelas Paul yang ternyata benar-benar sudah mengetahui informasinya secara pasti.

"Oh iya, sekolah kita, bagaimana? Uji nyali paling cepat selesai sebelum azan subuh, loh!" Elsa nampak menatap kami satu-persatu.

"Nah, setelah kita sampai di Cirebon, usahakan istirahat dan tidur terlebih dahulu di tempat yang disediakan penyelenggara uji nyali. Jadi malamnya kita begadang. Dan tentunya sudah siap stamina," terang Muhzeo.

Aku mengangguk saja mendengarkan percakapan mereka.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya kami semua sampai di daerah Cirebon dan disambut oleh beberapa tim pemandu acara.

"Dengan saudara Muhzeo?" tanya salah satu panitia dengan sebuah senyuman ramah.

"Iya betul, Mas. Kenalkan ini teman-teman saya, Dira, Paul, dan Elsa." Muhzeo membalas senyuman orang tersebut.

"Oh, hai! Senang bertemu dengan kalian. Oh iya, kalian istirahat dulu, yuk! Mari saya antar. Pasti kalian lelah, bukan?" Sang pemandu acara itu langsung menjadi komandan bagi jalannya kami.

Kami dibawa ke tanah lapang yang sedang digunakan untuk pembangunan tenda. "Maaf kami hanya bisa memberikan fasilitas seperti ini. Semoga kalian tidak keberatan," ujar sang pemandu sembari menunduk hormat.

"Ah, tidak mengapa, Mas. Terima kasih banyak," sahut Paul sembari mengalihkan pandangannya ke arah tanah lapang kembali.

"Nah, itu tendanya sudah siap. Kalian bisa pilih dua tenda sesuai keinginan kalian. Oh iya, jangan lupa untuk pilih salah satu teman kalian yang akan diikutsertakan pada uji nyali ini. Saya permisi dulu." Sang pemandu menepuk bahu Muhzeo dan segera pergi menjauh dari kami.

Paul dan Elsa saling berpandangan. Dan keduanya mulai menatap ke arahku. "Lo aja, Dir," ujar Paul.

Ucapannya itu langsung dibantah kesal oleh Muhzeo. "Hei! Apa-apaan lo? Enggak bisa!"

Elsa yang semula menatapku itu langsung memelototi Paul dengan tatapan mematikan. "Daripada nyuruh orang, mending lo aja yang ikut! Berani?" tantang Elsa yang mulai tersulut emosi juga.

Aku langsung berubah menengahi mereka. "Eh, kenapa jadi debat begini? Udah gua aja enggak apa-apa, kok,"u ujarku dengan santai.

Entah mengapa sekarang ini aku lebih suka menantang nyaliku untuk bertemu dengan segala makhluk gaib. Selain itu, aku juga ingin membuktikan, apakah benar rumah itu memiliki roh jahat yang sulit untuk dihilangkan?

"Eh, enggak!" Muhzeo kini menampakkan muka khawatirnya.

"Aku tak setuju, Dira," ujar Elsa sembari menggelengkan kepalanya dan cemberut seketika.

"Biarkan Dira lebih terbiasa dengan hal misti–"

"DIAM!" gertak Muhzeo dan Elsa ke arah Paul.

"Lo tau? Gua ngajak Dira ke sini bukan sebagai bahan atau umpan!" Muhzeo mulai menaiki nada bicaranya.

"Eh, serius gua enggak apa-apa, kok. Gua pengen banget ikut, ze! Boleh, ya?" Aku memegang tangannya dan berusaha menunjukkan wajah penuh harap.

"Dira–"

"Muhzeo, gua bisa, kok! Gua enggak mau terus-menerus dilanda ketakutan soal ini. Gua pengen lebih berani." Ucapanku itu terdengar lantang agar bisa meyakinkan dirinya.

Muhzeo terlihat mengembuskan napas kasar. "Oke," ujarnya sembari tersenyum hangat.

"Ya sudah kalau begitu, sekarang semua tidur di tenda masing-masing. Sore nanti kita bangun," ujar Elsa.

"Aku mau sholat dulu, El," ucapku sambil menoleh ke arah lain.

"Astaghfirullah, iya sampai lupa. Ayo, aku ikut!" sahut Elsa dan disusul oleh Muhzeo.

"Lo enggak apa-apa sendiri?" tanya Muhzeo kepada Paul.

Paul tersenyum dan mengacungkan jempolnya. "Enggak apa-apa, kok! Lagian gua juga mau ganti baju dulu, gerah."

Aku berjalan terlebih dahulu di depan Elsa dan Muhzeo. Para tim sedang sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Aku jadi tak enak untuk bertanya letak masjid kepada mereka.

"Dir, tanya pada Kakek itu saja!" Ucapan Elsa itu membuatku menoleh kepada seorang pria tua dengan rambut, kumis, dan jenggot yang sudah memutih.

Tampang kakek tua itu nampak aneh dengan sarung yang melingkari pundaknya, kaus putih oblongnya sudah kotor dan robek, tongkat yang dipegangnya erat-erat, serta tatapan mata yang sedang menyebrang jauh ke arah lain.

"Permisi, Kek ... boleh bertanya? Di mana letaknya masjid, ya?" tanyaku yang mencoba untuk tersenyum ramah.

Ia melirik kami dari atas hingga ke bawah. Tatapannya sinis seolah-olah penuh kebencian. Kami hanya bisa berharap ia menjawab. Walaupun tanpa senyum yang terpatri di wajah tuanya.

Ia memegang tongkatnya dan bersiap untuk berdiri. Dipalingkan wajahnya sebelum akhirnya berjalan tanpa menoleh sekali pun.

"Dih? Sudah aki-aki bukannya cari pahala untuk di akhirat, eh, malah nyari ribut," ketus Elsa.

"Hus! Tidak baik bicara seperti itu, Elsa," tegurku sembari memegang tangannya.

Elsa hanya mendengus kesal seraya membuang wajahnya.

"Maaf ... Mbak, Mas, ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang crew yang menghampiri sembari tersenyum ramah.

Muhzeo tersenyum menanggapi. "Masjid dimana, ya, Pak?"

"Oh, itu? Mari saya tunjukkan." Crew tersebut mempersilakan kami untuk ikut.

👀

"Dira, bangun!" Suara Elsa sangat kencang terdengar di telingaku

"Eum?" Aku melenguh sembari berusaha mengumpulkan nyawa.

"Ayo, sudah sore! Sholat ashar dan mandi cepat!" Elsa ternyata sudah siap dengan peralatan mandi dan mukena di tangannya.

Aku menguap sebentar, menetralkan mata yang masih tertutup dan terbuka diiringi kantuk yang masih melanda.

"Oh iya, kau akan mandi atau sholat dulu?"

"Mandi dulu. Kau saja yang sholat terlebih dahulu," sahutku sembari memasuki kamar mandi minimalis yang lumayan bersih.

Tak sampai dua puluh menit, aku keluar dengan Elsa yang menunggu di depan pintu kamar mandi.

"Segera sholat!" Elsa terlihat langsung masuk dan menutup pintu kamar mandi.

Aku mengangguk saja dan segera sholat ashar agar tak terlalu sore. Selepas itu, aku menunggu Elsa di depan masjid sembari memakai sepatu.

"Lama, ya, aku mandi?" tanyanya yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.

Aku sedikit mengerutkan kening ketika melihat wajahnya yang tampak pucat. Berbeda dengan yang terakhir kali ku lihat. Apakah karena kedinginan? Ah, sepertinya air di kamar mandi biasa saja, kok.

"Ah, enggak apa-apa, kok! Ayo!" ajakku sembari berjalan di sampingnya.

"Loh, Dira? Kok aku ditinggal?!" Aku bingung mendengar suara Elsa yang berada jauh di belakangku. Setelah kutolehkan kepala ke samping, aku terkejut saat tak melihat Elsa di sana.

Loh, bukankah Elsa tadi sudah memakai sepatu dan berjalan di sampingku?

Aku menoleh ke arah belakang dan melihat Elsa yang cemberut merajuk ke arahku. Aku langsung menghampirinya kembali.

"Kau tega sekali!" kesalnya.

"Elsa? Bukankah kau tadi sudah berjalan di sampingku? Kenapa sekarang ada di belakang? La–lu tadi itu siapa?" tanyaku sembari menolehkan kepala ke arah lain.

Elsa menatapku sembari merubah raut wajahnya yang semula kesal kini menjadi lebih melunak. "A–ah, perasaanmu saja mungkin. Sudah langsung balik ke tempat, yuk!" ajaknya dengan cepat dan langsung menarik tanganku.

Selepas isya, kami digiring ke tempat makan prasmanan. Di sana telah ada Muhzeo dan Paul yang menyuruh kami untuk bergabung.

"Gila, ini ayam rica-ricanya nampol banget pedasnya," komentar Elsa yang memang penggila pedas.

"Gua enggak berani ambil itu. Ayam bakarnya saja sudah pedas," ujar Paul sembari menghabiskan nasi goreng dan ayam bakarnya.

Entah bagaimana rasa ayam bakar dengan nasi goreng. Tanyakan saja pada yang memakannya.

"Ikan saus tunanya enak juga, loh!" ujarku sembari melahap beberapa potong ikan tuna balut tepung yang dibumbui dengan saus. 

"Mohon makannya dipercepat, ya! Waktu sebentar lagi menunjukkan pukul sembilan. Kita harus segera beres-beres." Suara crew yang memandu membuat kami langsung mempercepat makan.

23.58

"Mengerti?" tanya salah satu crew ke arahku.

Aku mengangguk setelah mendengarkan beberapa panduan yang akan kulakukan nanti.

Aku sudah bersiap di depan rumah angker dengan lilin sebagai sumber penerangan.

Teng ... Teng ... Teng ....

Jam menunjukkan pukul 00.00 tepat. Walaupun rumah itu sudah lama, ternyata jamnya masih berfungsi dengan aman. Namun, suaranya sudah agak sember.

"Mulai ... action!"

Perlahan aku mulai memasuki ruangan gelap itu. Sebagian barang telah ditutupi kain putih sebagaimana rumah kosong yang tak ditinggali. Dengan bermodal lilin dan kamera yang sengaja dipasang di kepalaku, kini aku berusaha lebih masuk ke dalam rumah angker ini. Bau usang menyeruak masuk ke hidungku. Di tambah suasana yang pengap dan seram.

Dug ... Dug ....

Aku melihat sesosok makhluk yang sedang membenturkan kepalanya ke tembok. Tetes demi tetes darah mengucur deras dari bagian tempurung kepalanya yang terus menerus terhantam. Ia melirikku sebentar sembari memperlihatkan deretan gigi besar dan mata ovalnya. Tanganya melambai ke arahku sembari mengeluarkan suara.

Hi ... Hi ... Hi ... Hai ....

Aku tak mau tinggal diam dan langsung berlari menaiki tangga yang mulai rapuh. Tanda-tanda akan adanya makhluk lain belum nampak terlihat jelas.

"Sudah berapa tahun dibiarkan terbengkalai seperti ini, ya?" tanyaku pada diri sendiri karena terlalu tak kuat dengan aroma-aroma yang semakin lama semakin tercium.

Temboknya sudah banyak terkelupas dan seperti tertoreh oleh tanah. Setelah sampai di lantai atas, aku dikejutkan dengan barang-barang yang super mewah di dalam ruangan yang benar-benar sangat luas.

"Mengapa tidak ada yang tertarik untuk menjual barang-barang yang memiliki nilai tinggi seperti ini?" Pemikiranku semakin meluas.

Walaupun rasa takut melanda, aku tetap memutuskan untuk melanjutkan perjalananku.

Dan semakin kujalankan kakiku ke penghujung ruangan, suasana di sini semakin kotor. Penerangannya meremang dan ditambah dengan bau yang semakin menyengat. Seperti perpaduan bau usang, kotoran tikus, bau apek, dan juga bau anyir. Ya Tuhan! Aku sampai hafal betul!

"Meong! Wrak .... "

"Kyaaaa ... Astaghfirullah, kucing!" Dadaku berdegup kencang ketika muncul sesosok kucing hitam yang menyenggol tubuhku dengan cepat dan masuk ke bawah kolong meja rias.

Aku menunduk dan segera memeriksa kolong meja rias tersebut. Tak lupa untuk menyodorkan lilin agar mampu melihat jelas apa yang ada di bawah meja rias itu.

Betapa terkejutnya aku saat kucing hitam tadi sudah hilang. Kini yang nampak hanya bola besar dari kaca juga salju dan rumah-rumahan di dalamnya. Padahal jelas-jelas tak ada tanda pergerakan lagi setelah kucing itu masuk ke bawah meja rias.

Aku mulai berdiri.

Fyuh ....

Hawa panas tiba-tiba hinggap di belakang tengkukku. Aneh! Seperti ada yang meniupkan udara.

"Tolong! Tolong aku, hiks .... Siapapun itu, hiks .... "

Bulu tanganku berdiri. Suara lirihan perempuan berhasil membuatku bergidik ngeri.

"Si–apa? Siapa di sana?!" teriakku yang berusaha untuk melawan rasa takut. Karena kata paman, kalau kita tak gentar, maka setan yang akan takut pada kita.

"Tolong aku! Temukan diriku dan bantu aku, hiks ... kumohon." Ucapan perempuan itu semakin terdengar jelas.

Aku berusaha mencari-cari di berbagai tempat, tapi aku tak mengetahui kalau ada orang lain di sini selain aku. "Dari mana asal suara itu, sih?"

Sebuah benda berbentuk bola  menggelinding ke arahku. Sepertinya aku pernah melihat benda ini. Loh, ini yang aku temui di kolong meja rias tadi, 'kan?

Wajahku tiba-tiba pucat saat mengetahui bahwa ada seorang perempuan yang berada dalam bola berisikan salju itu.

"To–tolong aku! Aku kedinginan di dalam sini. Tolong, uhuk-uhuk ...." lirihnya dengan wajah yang benar-benar pucat.

Aku mengambil bola itu dengan sedikit ragu. Namun, dengan cepat kutepis segala kekhawatiran buruk yang terlintas. Embun menutupi permukaan bola salju itu. Perempuan tadi tampak meringis kedinginan.

"Siapa kau? Mengapa kau bisa berada di dalam sini?" tanyaku sembari mengajaknya bicara.

"A–aku Hwana. Aku arwah perempuan Jepang yang sengaja ditahan roh jahat di dalam sini. Roh jahat itu adalah peliharaan tentara Belanda pemilik rumah ini. Mereka tak suka dengan gadis Jepang yang ikut dengan ayahnya saat berperang. Apalagi ayahnya sedang menjalankan tugas negara di sini. Di tempat para pribumi ini, aku benar-benar tak tahu maksud dan alasan mereka melakukan semua ini. Tolong bebaskan aku! Aku kedinginan," ujarnya dengan suara yang terdengar menggigil.

Aku sedikit kasihan. Arwahnya hingga kini masih berada di dalam bola salju itu. Apakah aku harus memecahkannya? Kuyakin pasti tidak akan semudah yang dibayangkan.

"Eum, tunggu sebentar. Akan kucarikan sesuatu dulu." Mataku langsung menoleh ke segala arah guna mencari keberadaan benda besar yang sekiranya dapat digunakan untuk memecahkan kaca bola salju itu.

"Aha, dapat!" ujarnya saat melihat sebuah batu besar tergeletak di tepi meja rias.

Ketika tanganku hendak mengayunkan batu itu ke arah bola salju, tiba-tiba saja angin berhembus kencang dan membuat tubuhku hampir terhempas.

Wus ... Wus ....

"Ada apa ini, Hwana?" tanyaku padanya.

"Berhati-hatilah! Roh itu benar benar jahat. Jangan sampai kau lengah," ucap Hwana yang terlihat sudah sangat tak berdaya.

Dan saat itu juga, muncul sesosok makhluk besar berwarna coklat dengan tulang yang hampir keropos di setiap inci tubuhnya. Pundaknya menonjolkan gigi taring yang sangat tak lazim untuk dilihat. Kepalanya disertai tanduk seperti kerbau. Bola matanya hijau seperti mata kucing. Bentuk mulutnya menganga lebar dengan gigi yang tak terlihat. Lidahnya terjulur melambai-lambai. Kuku tangannya panjang dan berwarna merah darah. Tubuhnya hanya setengah dan terpaut dengan asap merah menyala bak kobaran api sungguhan.

Aku mundur selangkah. Suasana makin mencekam dan badanku kian lama kian kaku.

"LANCANG SEKALI KAU BERNIAT MERUSAK MAINANKU ITU!" Teriakan makhluk itu berhasil menghempaskan angin besar sampai-sampai membuat lilinku mati.

Tidak ada terang di sini. Badanku semakin dingin dan lemas. Hanya cahaya api dari badan makhluk hidup itu saja yang mampu menerangi gelapnya ruangan.

"MAU APA KAU GADIS KECIL? APAKAH KAU INGIN KUBUNUH DAN KUKURUNG BERSAMA DENGAN ARWAH JEJADIAN GADIS ITU?" tanyanya sembari menyeringai.

Aku menunduk. Mulutku benar-benar kelu sekali.

"AYOLAH BICARA! JANGAN HABISKAN WAKTUKU UNTUK MELADENI DIAMMU ITU, GADIS MANIS," ujarnya sembari memainkan kuku panjangnya.

Aku menangis, tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menyebut Asma Allah dan berharap takdir Allah akan menolongku.

"TERIMALAH INI." Mulut sosok itu terbuka lebih lebar dan bersiap menyemburkan kekuatannya ke arahku.

Aku yang mulai pasrah pun hanya bisa memegang dada dan berharap kalau Allah akan menolongku. "Tolong! Allahu Akbar." Aku langsung menutup mata kuat-kuat.

Tring ... Zlap ....

"Huwargh ... Argh ... Panas ... Kyaaa!"

Aku membuka mataku dan mendapati seorang ustad berada didepanku sembari menyodorkan gelas ke arah roh itu.

Gelas yang dibawa ternyata mampu memantulkan kekuatan roh tersebut dan mengenai tubuhnya hingga lenyap bersamaan dengan asap yang mulai memenuhi seisi ruangan ini.

"Uhuk ... Uhuk ...." Kini banyak orang telah mengerumuniku, termasuk teman-temanku.

"Terima kasih banyak, Pak Ustad," ucapku yang masih seperti berada di ambang kematian. Antar tidak percaya masih hidup atau sudah mati.

"Bersyukurlah! Gemakan dzikir dan Asma Allah di hatimu. Alhamdulillah, sekarang semuanya baik-baik saja." Ustadz tersebut membantuku untuk berdiri.

Elsa, Muhzeo, dan Paul memegangiku yang masih belum bisa bergerak seperti biasa.

"Sekarang saatnya untuk membantu melepaskan gadis ini dari kutukan roh jahat itu agar arwahnya lebih tenang di alam sana." Pak ustadz nampak membacakan serangkaian doa yang selalu kudengar dari mulut Paman.

Sampai akhirnya aku melihat dengan jelas kalau Arwah Hwana telah terbebas dan mengepulkan asap tebal.

"Terimakasih, Dira. Semoga kau bisa terus membantu yang membutuhkanmu. Semoga Tuhan selalu mengasihi gadis baik seperti dirimu. Selamat tinggal, Dira." Ucapan terakhir dari Hwana membuatku tersenyum lega.

Akhirnya aku bisa menggunakan kemampuanku ini dengan sebaik-baiknya. Terima kasih, Ya Allah!

"Ayo, cepat-cepat bantu Dira!" ujar salah satu crew sembari membantu menggendongku yang masih lemas.

Aku dibawa ke tenda. Pak ustadz memberikanku air putih yang telah beliau bacakan beberapa surat Al-Qur'an.

"Minum dan baca ayat kursi terlebih dahulu!" ujar Pak ustadz sembari menenangkanku.

Aku mengikuti perintahnya. Waktu menunjukkan pukul 02.06. Aku telah berada di dalam rumah itu selama dua jam lewat enam menit. Akhirnya setelah badanku terasa enak, kami memutuskan untuk segera kembali ke rumah masing-masing. Mumpung masih pagi, belum macet dan mengejar waktu untuk sekolah. Memang sungguh pelajar nekad.

"Terimakasih atas kerja samanya adik-adik. Semoga kalian selamat di jalan. Dan ingat! Jangan dipaksakan jika mengantuk," saran salah satu crew.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak juga. Maaf jika kami banyak merepotkan kalian semua. Pak ustadz, terimakasih banyak. Jika tidak ada Bapak, kami tak tahu bagaimana nasib teman kami." Muhzeo mulai bersalaman dengan para crew dan juga Pak ustadz.

"Berterima kasihlah pada Allah. Tanpa-Nya, saya takkan bisa membantu teman kalian."

"Baik. Kalau begitu, kami pamit pulang dulu, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," jawab mereka.

Kami segera memasuki mobil Muhzeo dan merebahkan diri di sana. Kini giliran Paul yang menyetir mobil.

"Lo enggak akan mengantuk, 'kan Paul?" tanyaku memastikan.

"Tenang aja. Gua udah minum kopi dua gelas," ujarnya sembari menancap gas.

Kami yang berada di dalam mobil pun langsung terlelap dan hanya menyisakan Paul saja yang terjaga.

You're enjoy? Next!

Continue Reading

You'll Also Like

65.3K 5K 55
[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP...
618 96 16
[Kumpulan Cerpen] #DWCNPC2023 ❝Every day holds new magic.❞ ================================= Karya ini diikutsertakan dalam "Daily Writing Challenge...
918K 7.1K 9
(FIKSI) Lulu,gadis manis bertubuh indah menikah dengan jin,bukan untuk "pesugihan" tapi untuk "perlindungan"
17.3K 2.7K 13
[ SHORT STORY ] Semuanya bermula ketika mereka berlibur di villa itu.