Komet 101

Bởi saturnisa

632K 60.2K 81.9K

Teman Kos - Kos-mate - Komet. [SUDAH DITERBITKAN, TERSEDIA DI TOKO BUKU] Info terkait terbit dan lain-lain a... Xem Thêm

Komet - Intro
The Atmojo's
Boncengan Motor Satrio
Acid & Dica pt.1
Acid & Dica pt.2
Origami Biru pt.1
Origami Biru pt.2
Bagas Arrizqi Gunawan - Just a Friend to You? pt.1
Bagas Arrizqi Gunawan - Just A Friend to You? pt.2
Pensi SMA Galang pt.1
Pensi SMA Galang pt.2
Naufal Akbar
Double N
Fariz, The Prince Charming
Fariz, The Prince Charming pt.2
Jafar & Perempuan pt.1
Jafar & Perempuan pt.2
Janji Jime pt.1
Janji Jime pt.2
Kampung Halaman Awang pt.1
Kampung Halaman Awang pt.2
Davi dan Bulan April
Davi dan Bulan April pt.2
Dzaky, "I love your mess"
Hanif dan Maaf
Ponyo as Partner
The Atmodjo's - Pembuka dan Penutup
PENGUMUMAN PRE ORDER KOMET 101

Ucup & Double N

14.8K 1.6K 2.8K
Bởi saturnisa

Saat bosan mengerjakan tugas di kamar, biasanya anak Komet akan memanfaatkan banyak titik di dalam indekos tersebut dan tanpa sadar titik-titik tersebut menjadi teritorial mereka. Misalnya Galang yang sejak dulu selalu memilih ruang tamu untuk mengerjalan tugas maupun tidur-tiduran dengan kakinya yang panjang menggantung, menonton film, video-video dari channel youtube, anime atau hanya mendengarkan musik menggunakan headphone-nya yang saking jumbonya pernah disebut Wawan sebagai headphone sakti, suara bakteri ngegosip juga kedengeran kalau kita pakai headphone itu.

Kemudian Ariq Biru yang tidak hanya memanfaatkan balkon sebagai tempatnya melamun menatap langit sore tapi juga membawa meja lipat dan laptopnya untuk mengerjakan tugas dengan damai ditemani angina petang. Damai dengan catatan Opang dan Fariz tidak sedang dalam misi meneropongi burung dari balkon.

Ruang tengah sifatnya lebih umum, penghuni Komet bergantian mengerjakan banyak hal di situ, meski jika Wawan yang mengerjakan tugas, tentu saja judulnya berubah dari 'mengerjakan tugas' jadi karaoke dadakan saking stressnya dan berujung pada ketiduran dengan kepala di karpet dan kaki di sofa. Teras depan juga biasanya spot terbaik Acid untuk melamun atau mengobrol serius dengan Rama, meski yang mengetahui soal ini hanya segelintir orang saja.

Terakhir ruang makan yang menyatu dengan dapur, hanya Iqbal dan Yusuf yang menganggap ruangan ini kondusif untuk mengerjakan tugas, Iqbal dengan alasan makanan dan Yusuf dengan alasan yang sama tapi dengan tambahan: 'Kalau kita diem di dapur, kita gak bakal ketinggalan info terkini, posisinya strategis, jangkauan pandangan luas, sampai ke seantero lantai bawah Komet, dekat dengan kamar mandi, kita akan selalu tau situasi apa yang sedang terjadi di ruang tengah, berita yang ditayangin di TV juga kedengeran.'

Menurut Yusuf, jika Komet adalah sebuah markas, dapur dan ruang makan merupakan titik pusatnya. Malam Minggu ini juga, Ucup yang sudah kuliah tingkat pertama memilih mengerjalan tugasnya di meja makan, ditemani sebotol air dingin dari kulkas, snack yang baru dibelinya di minimarket sepulang kuliah kemarin, digabung dengan snack Iqbal yang hanya bermurah hati pada orang-orang tertentu, termasuk Yusuf.

"Kuliah capek gak, Cup?" tanya Iqbal seraya merogoh kantong chips.

"Ya lo liat aja guee. Malem Minggu gini pacarannya sama laptop, sama lu." Yusuf memicing julid. "Cukup menjelaskan kan?"

"Kan gue nanyanya capek apa nggaaak."

"YA CAPEK."

"GAK USAH NGEGAS DONG??"

"EH IYA AMPUN BAL, JANGAN DIBAWA CHIPSNYA!"

Iqbal tetap duduk meski masih mengerucutkan bibirnya. Suara TV dari ruang tengah bersama tawa beberapa abang Komet terdengar sampai ke dapur.

"Gue pengen cepet-cepet kuliah deh, Cup." Ujar Iqbal, matanya menerawang sambil mulutnya mengunyah pelan-pelan.

Yusuf menghentikan ketikannya sejenak untuk melirik Iqbal, "Mau ngapain emang?"

"Mau cepet-cepet sibuk aja."

"Sekarang lo kurang sibuk? Kerjain tugas gue nih."

"Yeee, bukan itu maksud gue." Iqbal menghembuskan napasnya lalu sekilas menoleh ke arah keributan di ruang tengah. Dari satu gerakan itu saja, Yusuf dengan segera paham.

"Lo takut bakal kesepian banget ya setelah Bang Rama nikah terus gak tinggal di sini lagi?"

Iqbal tidak menjawab, ekspresinya juga tidak berubah tapi Yusuf tahu terkaannya benar. Ditambah fakta bahwa Rama sudah mengemas hampir semua barangnya dari Komet.

"Bentar lagi kok, Baaal." Hibur Yusuf, "Ntar pas udah kuliah lo langsung tebar jari dah tuh."

"Tebar jari?" Iqbal mengerutkan kening. "Apaan tuh maksudnya?"

"Tebar jari tuh.. kayak tebar jaringan, lo ikut kegiatan apa aja, kenalan sama siapa aja, siapa tau ntar lo ketemu pacar juga."

Iqbal menatap Yusuf lekat-lekat, "Lo kayak gitu juga?"

"Iyalah. Makanya temen gue banyak."

"Terus kok lo belom punya pacar?"

Yusuf terbatuk mendengar pertanyaan lugu Iqbal.

"Hayo? Kenapa? Kan lo udah ikut banyak kegiatan terus kenalan sama banyak orang? Kenapa lo belom punya pacar?"

"DOOOH KALO ADA BALSEM, UDAH GUE BALSEMIN NIH MULUT LO." Yusuf kembali ngegas.

"Ih, kan gue cuma nanya."

"Ya karena belom ada yang sreg, Bal. Kayak lo sekarang, kalo gue balikin pertanyaannya ke lo, gimana? Kenapa lo belom punya pacar?"

Iqbal bengong sepersekian detik sebelum mengangkat bahunya, "Emang tau dari mana sreg sama nggaknya?"

"Dari hati lo sendirilah, Baaal." Yusuf gregetan. "Pas ketemu orangnya yang pengen lo jadiin pacar nih ya, lo bakalan tau aja gitu. Gak terencana."

"Kok lo bisa tau?"

"Hah?"

"Lo tau berarti lo udah pernah ketemu orang yang pengen lo jadiin pacar dong?"

Kini giliran Yusuf yang bengong.

"Ya kan? Terus kenapa orang itu gak lo jadiin pacar?"

Wajah seseorang berkelebat di pikiran Yusuf, membuatnya semakin tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Iqbal.

Tepat saat itu Wawan melesat melewati mereka menuju kamar mandi, "YAH? MASIH ADA ORANG DI DALEM?" Tanyanya panik begitu berhadapan dengan pintu kamar mandi yang tertutup.

"Masih." Sahut Iqbal.

"SIAPE SIH?"

"Gak tau, dari pas tadi Iqbal ke dapur udah ada orang."

"ANJIS. WOY!! BUKA WOY!! SPADAA??? GUE KEBELET NEH??"

Tidak ada jawaban dari dalam.

"Kamar mandi atas aja, Bang." Usul Iqbal.

"LAH KAN KAMAR MANDI ATAS KERANNYA COPOT SAMA SI OPANG, BELOM DIBENERIN."

"Oh iya ya."

Wawan kembali menggedor pintu kamar mandi, "EH ANJIR, BENERAN CEPET BUKA PINTUNYA! PUNYA GUE UDAH MENGINTIP MALU-MALU NIH."

"Apaan sih, Bang. Jorok banget." Protes Yusuf sementara Iqbal yang polos benar-benar melongokkan kepalanya mencari tahu apa yang dimaksud Bang Wawan dengan mengintip malu-malu.

"Udeeeh, lo ke steam motor lagi aja. Bukannya lo dapet voucher di steam motor legend itu, Wan?" Komentar Acid dari ruang tengah, setengah cekikikan.

"JANGAN NGARANG LO SETAN, GUE KE STEAM CUMA NUMPANG CEBOK!"

Acid tambah terbahak.

"DUUH MASA GUE NUMPANG BAB DI KOS PUTRI DI SEBERANG SIH." Wawan mulai putus asa lalu lanjut heboh, "LAGIAN NI ORANG NGAPAIN LAMA AMAT DI DALEM? JANGAN-JANGAN PINGSAN??? WOY WOY GIMANA KALO KITA DOBRAK?"

Saat Wawan bersiap mendobrak pintu, perlahan pintu dibuka dan Opang dengan wajah tanpa dosanya keluar dari kamar mandi.

"YASALAAAAM. ELO TERNYATA YANG BERSEMEDI DI DALEM? NGAPAIN SIH LO???"

Jime yang masuk ke dapur untuk mengambil makanan di kulkas bersiul melihat Opang. Opang keluar kamar mandi dengan setelan Malam Minggunya, kaos polos ditumpuk jaket kulit dan jeans, rambutnya juga sepertinya ditata menggunakan gel.

"Edaaan, wanginya ngalahin wangi Ramaaaa." Jime mengendus-endus.

"Jadi lo lama-lama di dalem persiapan Malem Mingguan?" Alis Wawan nyureng, campuran efek kebelet, "Lo tau gak, lebih lama dari ini, ntar lo keluar kamar mandi tau-tau udah ada peradaban baru, Pang!"

Opang lalu melipir karena Wawan menerobos masuk untuk menuntaskan hajatnya, masih sambil misuh-misuh.

"Lama banget di dalem bos, masih grogi aja lo?" Ujar Yusuf tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.

"Tau niih, udah berapa Malem Minggu dilalui bersama Nanad juga." Jime ikut menimpali.

Opang kelihatan salah tingkah, setelah menabrak kulkas dan tersandung kaki meja, ia merapikan kembali rambutnya lalu berdeham dan keluar dari dapur. Samar-samar terdengar gumamannya: "Mudah-mudahan gak hujan."

Sudah bisa ditebak, saat Opang melintasi ruang tengah, para abang yang sedang skip Malam Mingguan atau belum berangkat langsung riuh menggodanya.

"WIDIIIIH UDAH SIAP NIH ANDELAN GUEEE."

"ASEEEK JAKET KULIT, KEHANGATANNYA BERAPA PERSEN TUH KALO DIPAKEIN KE NANAD?"

"OLEH-OLEH PANG!"

"ATI-ATI NYASAR!"

"Jangan tau-tau berenti cuma buat mungut batu, Pang."

"Pang, biar wanginya gak cepet ilang, lo pake jas hujan aja selama jalan."

"Awas jangan salah lagi, mau beliin martabak nyebutnya matabrak."

"Pang, tanyain Nanad ya kapan bisa fitting baju pager ayunya."

"Selalu heboh tiap Opang yang ngedate ya." Gumam Iqbal sambil melanjutkan ngemilnya.

Terdengar Yusuf mendengus, "Tau. Padahal gak ada yang spesial juga."

Mendengar itu, baik Jime maupun Iqbal sama-sama menatap Yusuf, merasa ganjil, tapi Yusuf sepertinya tidak sadar.

Namun tanggapan Jime tertahan karena giliran Acid melesat menuju kamar mandi dan menggedor pintunya.

Jime mengernyit, "Napa lo? Kebelet juga?"

"Bukan—WAN!!! AYANG LO NELPON NIH!"

"SIAPE SIH JING?"

"INI LHOOO DI PHONEBOOK LO NAMANYA 'PIPIYOT DARLING'"

"NGACO LO."

"EH BENERAN!"

"BILANGIN GUE LAGI SIBUK!"

"Hallo, Vio? Ini Wawannya lagi boker. Lo telpon lagi ntar ya. Tahan dulu kangennya. Hah? Berapa lama? Waduh, tau sendiri cowok lo kalo boker lama banget, kira-kira pas dia keluar WC udah abad 22 gitu deh."

"EH BANGSAT!"

*

Hanif mengernyit saat teman sekamarnya Yusuf langsung berguling dan bangun dari tempat tidurnya begitu mendengar suara pagar dibuka. Hanif melirik jam dinding kamar mereka, sudah jam lewat jam dua belas malam, ia pikir Yusuf sudah tidur sejak tadi sementara ia menyelesaikan tugasnya.

"Ke mana aja sih tu orang sampe lewat tengah malem gini? Gak ada takut-takutnya, padahal pergi sama cewek." Yusuf menggerutu cepat, Hanif nyaris tidak menangkap perkataannya. Ia menatap punggung Yusuf yang sedang mengamati ke luar jendela.

Hanif menghela napas, kesibukannya sebagai mahasiswa baru jurusan arsitektur membuatnya lupa pada kebiasaan Yusuf setiap Malam Minggu, terutama setiap Opang ada agenda keluar bersama Nanad. Yusuf layaknya mata-mata yang tidak sabaran akan meloncat begitu terdengar tanda-tanda Opang pulang kemudian mengeluhkan jam pulang Opang yang semakin molor dari satu Sabtu Malam ke Sabtu Malam berikutnya, dan memprotes banyak hal lainnya.

Awalnya Hanif memandang kebiasaan itu sebagai hal yang wajar mengingat pribadi Yusuf yang mulutnya gak bisa banget tenang, semuanya ditanggapi, tapi lama kelamaan Hanif curiga.

Hipotesisnya yang pertama waktu itu adalah: 'Cup, sorry, tapi... lo suka sama Opang ya?'. Hipotesis yang sukses membuat Yusuf tertawa histeris dan memukul Hanif memakai guling.

Seiring berjalannya waktu, Hanif bisa menyimpulkan sendiri alasan sikap Yusuf, Yusuf bukan menaruh perasaan pada Opang, ia menyimpan perasaan pada pacar sahabatnya. Nadhila.

Itu juga cukup menjelaskan sikap Yusuf yang sensi waktu hari ulang tahun Nadhila, bahkan Yusuf tidak datang hari itu, membiarkan Opang memiliki momen sepenuhnya.

Mata Hanif kembali mengikuti Yusuf yang menutup gorden dan kembali masuk ke dalam selimut, lamat-lamat terdengar dengusan kerasnya saat langkah Opang sampai ke depan pintu kamarnya sendiri lalu suara pintu dibuka dan ditutup. Belum selesai dengan aksinya, Yusuf mengambil hpnya dari bawah bantal dan membuka Instagram, mulutnya mengerucut persis anak kecil ngambek selagi ia membuka profile Nadhila, mengecek storynya untuk tahu apa agenda Malam Minggu pasangan Nanad Opang.

"Cup," panggil Hanif pelan, membuat Yusuf tersadar kalau sedari tadi ada yang memperhatikannya.

"Lah lo masih bangun, Nif?"

Hanif tidak menjawab, sebaliknya ia melipat tangan, masih memperhatikan teman sekamarnya.

"Tidur kali lo, udah jam segini masih aja nugas. Bikin rancangan rumah apaan sih? Susah bener kayaknya. Rumah keong ya?"

Hanif menggeleng-geleng, "Gue belom sampe ngerancang rumah kali."

Alih-alih membalas, Yusuf menaruh kembali hpnya di bawah bantal dan kembali menyelubungi sekujur tubuhnya dengan selimut.

"Cup,"

"Diem lo. Gue lagi jadi pocong."

"Gue sebenernya gak ngerti, kalo lo emang suka sama Nanad dari SMA, kenapa lo dulu dukung dia sama Opang?"

Hanif sudah siap kalau-kalau pertanyaan to the pointnya akan membuat Yusuf ngamuk dan menyerangnya lagi dengan guling, tapi ternyata ia salah, Yusuf bergeming.

Terdengar embusan napas kesal. Hanif sangat memahami temannya, pasti Yusuf tidak tahan diam lama-lama dan menyimpan semua kerisauannya sendiri. Alangkah kagetnya Hanif ketika mendengar suara muram yang seperti bukan keluar dari mulut Yusuf Assidiq, krucil paling ramai dan paling antusias di Komet, yang tidak pernah kelihatan sedih.

"Karena gue baru sadar kalo gue suka sama dia setelah dia sama Opang, Nif."

Hanya dalam satu kalimat yang terucap dari balik selimut itu, Hanif bisa mendeteksi hati yang patah dan berserak.

Sementara itu sepotong kenangan memaksa hadir di dalam pikiran Yusuf, kenangan beberapa tahun silam, sewaktu mereka pertama kali sekelas.

Kalau Opang punya cerita tentang celana olahraga dan pertemuan di kantin saat hari berhujan, Yusuf punya cerita sendiri tentang upacara dan UKS. Hari itu hari Senin, hari pertama tahun ajaran baru dan upacara. Karena keteledorannya tidak sarapan, Yusuf hampir pingsan dan harus diangkat tandu oleh anak PMR ke UKS. Padahal karena gengsi, Yusuf sempat menolak diangkat menggunakan tandu meski matanya sudah berkunang-kunang dan badannya lemas, tidak kuat berdiri. Semenit kemudian, sambil menahan rasa malu ia berbaring di salah satu tempat tidur di UKS.

"Eh, kita sekelas kan?" Terdengar suara samar yang didengar Yusuf dari tempat tidur sebelahnya. Di UKS ini hanya terdapat dua tempat tidur, kalau ada pasien sakit atau hampir pingsan lagi seperti Yusuf, ia tidak tahu harus ditempatkan di mana, mungkin ada kasur cadangan?

Yusuf mengerjap-ngerjap saat menoleh dan menatap mata perempuan yang duduk di tempat tidur sebelahnya.

"Sorry, sorry, masih pusing ya, udah gue ajak ngobrol aja." Perempuan manis itu buru-buru meminta maaf.

"Gak apa-apa." Yusuf mengucek matanya, kepalanya memang masih pusing tapi entah kenapa, mata perempuan itu membuatnya tidak tega untuk mengabaikannya.

"Kenapa? Lo belum sarapan?"

Yusuf mengangguk lemah.

"Muka lo pucet banget."

Padahal sendirinya juga pucet. Batin Yusuf.

"Mau susu gak? Gue punya susu tapi rasanya moka. Suka gak?"

"Eeeeh gak usah." Yusuf mengamati perempuan itu, hanya beberapa menit mereka bertemu, pertanyaan yang terlontar dari mulutnya sudah begitu banyak. Pada kondisi biasa, Yusuf mungkin akan membalas sama antusiasnya, tapi kali ini dia terlalu lemas.

"Gue udah duga lo bakalan pingsan, tadi berdiri lo udah oleng-oleng gitu."

"Hah?" Yusuf melongo, "Kok lo tau?"

"Lho? Kan gue yang mapah lo ke sini." Jawab perempuan itu dengan nada lugu.

Yusuf tambah melongo, "Kok gue gak sadar ya?"

"Namanya juga pingsan." Dia tertawa, suara tawanya malu-malu.

"Lo anak PMR emang?" Yusuf mencoba bangun meski kepalanya masih terasa berat.

"Bukan. Emang nolongin lo aja."

Yusuf menahan malu karena ternyata yang menolongnya anak perempuan. Dia gengsi.

Saat anak perempuan itu kembali sibuk, pintu UKS terbuka lagi, pasien baru lagi. Ternyata banyak juga yang pingsan saat upacara. Yusuf sudah bersiap bangun untuk memberikan tempat tidurnya tapi perempuan itu sudah lebih dulu meloncat bangun.

"Aku gak apa-apa kok, pake tempat tidur yang ini aja!" Katanya.

"Makasih ya, Nadhila." Akhirnya salah satu anggota PMR yang memapah siswa setengah pingsan seperti Yusuf itu menyebutkan nama perempuan tersebut.

Nadhila. Yusuf baru menggumamkan nama itu dalam hati ketika tahu-tahu mata berbinar perempuan itu sudah berada dekat dengannya, "Jadi, mau gak susu mokanya?" Tanyanya ramah.

Sejak perkenalan di UKS itu—diselingi dengan susu rasa moka yang diberikan Nadhila—mereka berteman baik di kelas. Yusuf bersama juga dengan teman-teman yang lain menjadi teman yang sering membantu Nanad, menemaninya ke kantin, dan mengerjakan tugas bersama.

Sejauh yang Yusuf tahu, Nadhila hanya sekadar mengenal Opang, teman satu indekosnya, tidak pernah mengobrol. Karena itu Yusuf kaget sejadi-jadinya saat Nadhila mengaku ia menyukai Opang.

Berkelebat pula bayangan saat Nadhila diperlihatkan foto-foto masa lalu Opang oleh Yusuf. Tatapan mata yang Yusuf tidak akan pernah lupa, tatapan gemas dan tulus apalagi saat perempuan itu berkata: 'Gemes banget.'

Nadhila sangat pure.

Sangat manis.

Kadang Yusuf berpikir bahwa Opang tidak pantas mendapatkan Nadhila.

Kadang Yusuf menyesal membantu Nadhila jadian dengan Opang.

Kadang Yusuf merasa kehilangan teman akrabnya.

Hingga semua kadang itu menjadi sering, lalu Yusuf tiba pada pemahaman bahwa ia sebenarnya cemburu.

Yusuf terlambat menyadari kenyataan bahwa Nadhila sebenarnya adalah cinta pertamanya, dan sebagaimana kisah cinta pertama yang menyedihkan: cinta pertama kita punya cinta pertamanya sendiri.

Bukan kita.

*

Di lantai dua Komet, tempat kamar-kamar krucils, terdapat berpetak-petak lantai yang dibiarkan kosong tanpa barang apapun, hanya terhampar satu karpet yang tidak terlalu besar untuk sekadar duduk-duduk. Sebelumnya ada alat treadmill yang sering digunakan Satrio dan Dzaky tapi beberapa waktu lalu keduanya sepakat memboyong alat itu ke bawah karena setiap mereka menggunakannya, mereka selalu diprotes krucils, misalnya Opang yang selalu sewot setiap Satrio work out: 'Abang olahraga apa niup balon udara sih? Huh hah huh hah. Berisik banget.'

Malam itu beberapa penghuni lantai atas seperti Yusuf, Hanif, Opang, Fariz, Biru, Davi, dan Iqbal berkumpul di karpet tengah tersebut untuk membantu Iqbal menempelkan label kartu undangan abangnya. Sementara Bang Rama bersama abang-abang di bawah sedang membahas beberapa hal yang kedengarannya seperti pesta bujang dan best man di ruang tengah lantai bawah.

"Kok kita gak dikasih undangan juga sih? Kan pengen juga gue dapet undangan tulisannya 'Fariz & Partner di Tempat.'"

"Yaela gak usah dikasih undangan juga kan lo pasti bakal dateng sama Hana, Riz." Cetus Yusuf sambil memasukkan undangan berwarna krem itu ke dalam plastik setelah melabelinya.

"Tau. Kan udah dipasangin pager ayu pager bagus." Timpal Iqbal cuek. "Fariz sama Hana, Opang sama Nanad, Galang sama Kak Echa, Biru sama Senja,"

Biru terbatuk salah tingkah mendengar namanya disebut.

"Davi, Ucup, Hanif sama sodara cewek dari keluarganya Kak Mala." Sambung Iqbal.

"Terus lo sendiri sama siapa, Bal?" Yusuf sengaja menyenggol bahu Iqbal, yang disenggol malah memajukan bibirnya persis bocah.

"Sama yang selalu nemenin lo main basket itu bukan? Siapa namanya? Kania ya?" Biru yang menyahut, membuat Davi kontan terbahak.

"Ih Ariq sejak kapan sih lo gengges?"

"Tau lo, gue kasih tau Senja nih." Ancam Iqbal.

Biru mengernyit, "Ya udah sana kasih tau aja. Apa urusan gue?"

"Kok lo nyolot, Riq? Kalo gak ada rasa, biasa aja dong?"

"Rasa apaan sih? Rasa-rasa ingin memukul lo sih ada nih, Bal."

Fariz ikutan tertawa bersama Davi melihat mata Biru sudah seperti sinar laser.

"Udah, udah," Yusuf menengahi, "yang penting bener kan, Bal? Pasangan pager ayu lo Kania?"

"Iyalah siapa lagi." Cicit Fariz pelan, menghindar dari sikutan Iqbal.

"Abang yang nentuin! Ya udah, gue nurut!"

"Bukannya lo emang ngajuin sendiri tuh?" Biru masih balas dendam akibat diledek perihal Senja terus menerus.

"Eh! Kalo Senja gak sama lo, gue bakalan sama Senja kali. Ini gue ngalah aja sama yang lagi pdkt!"

"DOOOOH. INI DUA-DUANYA SAMA-SAMA PDKT AJA BERANTEM DAH." Yusuf mulai gusar, saat seperti itu, ia mirip sekali Bang Jime.

"Eh lo gimana, Pang?" Davi teringat sesuatu, "Kan tinggal Nanad yang belom fitting baju pager ayunya."

"Hmm kok wangi kartu undangannya kayak wangi Bang Rama ya." Alih-alih menjawab, Opang malah mengendusi kartu undangan di tangannya.

"Heh, gak usah norak. Nanad kapan fittingnya? Udah lo kasih tau belom??" Tegur Davi.

"Udah kok kemaren udah dikasih tau." Opang akhirnya menjauhkan kartu undangan itu dari hidungnya.

"Jackpot tu yang dapet kartu undangan." Fariz menggeleng-geleng.

"Kata Nanad besok dia ke sini balik dari acara Mendongeng."

Yusuf refleks mendongak dari ketekunannya menempel label, "Acara Mendongeng di mana?"

"Di kampus. Acara jurusan dia."

Yusuf tertegun, dia, seperti juga krucils lain yang masuk kuliah tahun ini masuk ke kampus yang sama, hanya berbeda jurusan. Termasuk juga ia, Opang, dan Nadhila. Yusuf masuk jurusan Antropologi, Opang Geografi, sedangkan Nanad memilih Sastra Indonesia. Sejauh yang Yusuf ketahui, di tahun pertamanya kuliah ini, Nadhila memang sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, ia berkali-kali menjadi volunteer, mengajar di daerah terpencil dan mendongeng di depan anak-anak jalanan. Yusuf tahu itu semua berkat kegiatan stalking instagram yang tidak pernah absen ia lakukan.

"Lo gak ikut, Pang?" Tanya Yusuf hati-hati.

"Ikutan apa? Ngedongeng?"

Davi menyemburkan tawa, "Cup, lo pake nanya lagi. Ya kali, ntar anak-anaknya kabur pas dia ngedongeng."

"Soalnya ngedongeng cerita mistis ya." Gelak Fariz.

Opang mengangkat bahu, "Lagian besok gue gak bisa."

"Mau ngapain lo? Biasanya aja nganggur."

"Kalo gue yang ikut boleh gak?" Sekejap hening setelah Yusuf menyuarakan pertanyaan itu. Hanif sebagai satu-satunya orang yang tahu, melirik Yusuf dengan lirikan ganjil.

Opang terdiam, ia menatap Yusuf membuat Yusuf sempat berdebar, merasa ia telah salah mengambil langkah. Sejurus kemudian, pertanyaan Opang mematahkan dugaannya.

"Ikut ngedongeng apa ikut fitting?"

Yusuf mendengus, merasa percuma sudah berdebar takut tadi.

"Acara ngedongengnyaaaa."

"Ya udah ikut aja, kayaknya masih bisa kalo lo mau daftar. Cek di IG Nanad."

"Okeee."

Tanpa curiga, Opang meneruskan menempel label sambil sesekali mengendus wangi kartu undangan di tangannya.

Terdengar keributan lagi dari lantai bawah, rupanya para abang sedang berdebat tentang posisi best man.

"Udah pasti guelah, Raaaam. Gue yang paling tau elo. Nih, gue tau nama lengkap lo, Raden Pramadipta Atmojo." Ujar Acid sombong, pede dia yang akan ditunjuk sebagai best man.

"Yeeee, areng batok. Itu mah gue sama seluruh rakyatnya Rama juga tau." Wawan bersungut-sungut. "Udahlah Ram, ngapain sih lo pusing-pusing? Udah jelas temen sekamar lo tuh best man lo kaleeee?"

"Temen sekamar bala, tukang ngorok gangguin Rama. Mending gue Ram, kalo gue lo jadiin best man, ada benefit yang bisa lo ambil." Satrio mengacungkan tangannya.

Rama menahan tawa, "Apaan benefitnya?"

"Intro Akad sepuluh jaaaaaa—" Satrio keburu disumpel bantal kursi.

"Ram udahlah ngapain pake mikir sih??? Gue kan best man lo? Gue kan???" Wawan terlihat seperti mau mencekik Rama namun keburu dihalau Acid dengan jurus silat. Apaan sih ni orang.

"Guelah Ram. Gila kita kan udah solmet banget? Lo sol, gue metnya. Ya kali gak best man."

"Bacot lo. Ram! Gue lebih tau lo daripada si Acid!"

Acid mengibaskan tangannya, "Eh emang lo tau MaFa MiFa-nya Rama? Gak tau kan?? Gue doang yang tau!"

"Mafa mifa apaaan anjeeeeng???"

"Makanan Favorit, Minuman Favorit. Lo gak pernah ngisi biodata pas SD ya? Gue aja sering ngisi di bindernya kakak gue."

"Udah, Ram! Gue aja! Gue tau nama kakek lo!"

"Gue tau merk parfum lo!"

"Gue tau jumlah bulu kaki lo!"

"Najis Wan, lo itungin???"

"SILEEEEENT!!!" Jime berteriak dengan suara yang diberatkan seperti kakek-kakek untuk mengentikan debat kusir Acid dan Wawan. "Di antara lo berdua gak ada yang jadi best man, karena best mannya gue, iya kan, Ram?"

"Dih? Gue kali? Lo lupa, Ram, siapa yang nyelametin vacuum cleaner lo waktu ampir jatoh dari tangga?" Sela Awang nyaring.

Rama memijit pelipisnya, tambah pusing. Untungnya Jafar dan Dzaky yang sedari tadi hanya mesem-mesem tidak ikut menuntut juga.

"Gini ya," Rama memulai sebelum Acid dan Wawan jambak-jambakan. "semuanya gue anggap best man gue kok. Udah ya, jangan berantem. Beneran lo semua tuh best man gue." Rama sengaja menatap mereka satu persatu bergantian untuk meyakinkan mereka.

"Gak bisa gitulah Ram, yang ngasih speechnya siapa?" Protes Acid sepertinya terobsesi sekali unjuk gigi di pernikahan Rama.

"Urusan pidato emang mending gue Ram, gue pernah juara ceramah tingkat RT waktu SD. Tanya ayah gue." Wawan kembali berisik.

"Jangan mau, Ram. Ntar aib-aib lo dibocorin semua sama Wawan."

"Ntar si Wawan di depan malah ngelawak."

"Ato nggak, jatoh merosot di panggung kayak video kocak orang marawis itu tau nggak lo?" Satrio belum selesai cerita sudah tertawa mengingat video orang jatuh dari panggung itu.

"Tidak ingin pernikahan Anda berubah jadi acara slapstick comedy? Jauhkan Wawan dalam radius seratus meter."

"Tempatkan Wawan di stand somay."

"Brengseeek." Umpat Wawan melihat teman-temannya semakin nafsu mempermalukannya.

"Lagian gak elok gitu Wan kalo lo yang ngasih speech. Inget lho, banyak tamu keraton."

"Ram, lo yakin gak mau ngasih tanggung jawab ke gue aja? Gue duta ikhlas nikahan lho?" Jime tidak mau kalah.

"Siapapun yang speech, BGMnya tetep TERETETETETERET."

"Sat, diem dulu bisa gak."

Jafar tersenyum prihatin melihat Rama semakin kepusingan, sebenarnya sebelumnya Rama sempat mengobrol dengan Jafar tentang pemilihan best man ini. Awalnya Rama merasa speech best man itu tidak perlu tapi setelah berpikir lagi dengan matang akhirnya ia menyerah dan katanya akan meminta tolong Jafar atau Rasyid untuk bicara di pernikahannya mewakili teman-teman yang lain. Rama masih ragu dengan keputusannya menunjuk Rasyid si tengil, tapi mengingat banyaknya cerita yang mereka bagi sampai ke hal-hal yang tidak diketahui Anak Komet yang lain, Rama merasa ia dan Rasyid sebenarnya punya semacam ikatan erat.

Melihat situasi sekarang, Jafar bisa menebak, saat Rama mengumumkan siapa best mannya pasti akan terjadi kericuhan dipimpin oleh Wawan. Akhirnya Jafar berdeham dan angkat bicara.

"Temen-temen, sebenernya speech best man itu formalitas aja. Mewakili pesan-pesan kita semua buat Rama, kan gak mungkin satu-satu ngomong, bisa abis durasinya."

Rama melempar pandangan berterima kasih pada Jafar.

"Tadi kan Rama bilang sendiri, kita semua udah jadi best man dia. Soal yang ngasih speech sih perwakilan kita aja, bukan berarti Rama membeda-bedakan. Semuanya rata kok sayangnya, iya kan, Ram?"

"Duileee sayaaaang. Iya, gue juga sayang lo, Ram." Acid pura-pura mau memeluk Rama.

"Iya, jadi... yang bakal ngasih speech di nikahan gue, Jafar sama..." Rama menghela napas, "Rasyid."

"YAHUUUUUUU!!!"

Wawan langsung bertampang kecut, siap ngambek.

"Wan, lo juga best man gue kok. Beneran."

"Pilihan yang tepat sekali, Mas Raden!" Acid berkoar-koar sengaja.

"Serius si Acid, Ram?" Jime mengangkat alis, "padahal dia sama si Wawan masuk daftar orang yang bakal kita plester mulutnya selama nikahan lo. Takut bikin onar."

Rama meringis, "Cid, tapi speechnya tetep harus gue baca dulu ya. Takutnya—"

"O gak bisa dong!" Acid menggoyang-goyangkan telunjuknya. "Ntar lo gak ada efek terharunya kalo udah tau duluan."

Rama mengembuskan napas keras, sudah menduganya. "Ya udah, atur aja deh."

"Tiati kalo best mannya dia, ntar ikut di pelaminan, nyempil." Komentar Wawan penuh dengki.

"Emangnya gue Iqbal? Nggaklah." Acid tertawa senang.

"Girang banget lu, yang mau nikah elu apa Rama sih?" Satrio mengernyit.

"Dia langsung abis Rama nikah, numpang jam sewa gedung." Wawan asal jeplak.

"Eh tapi yang bakal nikah abis Rama siapa ya?" Awang tahu-tahu bergumam, membuat yang lain ikut memikirkannya.

"Gue kali ya?" Jime menunjuk dirinya sendiri, ngarep. "Iyalah gue, Ram tularin ke gue, Ram."

"Beresin dulu kuliah S2 lo, Jim." Balas Rama bijak.

"Wawan masih lama, base-nya aja baru nyampe base pertama." Seloroh Satrio.

"Wey bangsat. Lo duluan aja kalo gitu, kan lo udah homerun."

Satrio ngakak.

"Jafar masih lama targetnya."

"Dzaky apa Dzaky?"

Dzaky menggeleng, "Gue masih lama."

Rama melirik Acid yang sedang mesem-mesem sekilas sebelum kembali ke topik pernikahannya. "Udah ya, urusan best man selesai?"

"Ntar dulu! Minta ke guenya yang romantis kek, Ram! 'Acid, will you be my best man?' gitu." Acid langsung membuat Rama bergidik ngeri.

"Kok jadi kayak gue mau ngelamar lo?"

"Wan, biar lo gak ngambek nih." Acid meraih tangan Wawan, "Will you be my Yuyu Kangkang?"

Acid sukses kena tendang.

Sementara itu, di lantai atas, Krucils yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan di bawah sembari mengurusi undangan terdiam sejenak, sibuk dalam pikirannya masing-masing sampai Iqbal bersuara.

"Seru ya best man, best man gitu. Jadi mikirin kalo gue nikah kayak Bang Rama, best man gue siapa."

Semuanya menatap Iqbal ragu, Iqbal membicarakan pernikahan rasanya seperti mendengar anak bayi bicara tentang saham.

"Guelah, Bal?" Timpal Davi, "Makanan kan gak bisa lo jadiin best man."

"Yang udah pasti sih Opang noh." Ujar Yusuf sambil lalu, "Udah jelas pasti partner agennya lah, Fariz."

"Asal tu acara nikahan gak berubah jadi sinetron kolosal aja." Davi berdecak.

"Gak cuma Fariz doang kok." Ucapan Opang serta merta membuat yang lain menatapnya bersamaan, Opangnya sendiri dengan santai menempelkan label yang salah ke dahinya.

"Terus siapa selain gue?" Tanya Fariz, ada nada cemburu dalam suaranya, padahal Opang kelihatan asal bicara dengan label bertuliskan 'Bpk Supriadi di Tempat' di dahinya.

"Ucup lah. Ucup juga best man gue." Tandas Opang. Yusuf merasakan gelombang yang aneh menerpanya begitu mendengar perkataan Opang.

"Bisa sweet juga lo, Supriadi." Ledek Davi, merujuk pada nama di jidat Opang.

Sementara Yusuf rasanya sudah mau menangis.

Seandainya Opang tahu perasaan Yusuf, apakah Opang akan tetap memilihnya jadi best man kelak?

Belum selesai Yusuf terharu, Opang mengangkat wajahnya, menatap Yusuf dan bertanya datar, "Emang best man apaan sih? Yang bantuin ngangkatin piring ya?"

Hening.

"Tai lo, Pang."

*

"Hai, Cup! Lo beneran dateng!" Sambutan ceria Nadhila dengan segera menciptakan senyuman di wajah Yusuf. Gadis itu terlihat menggemaskan mengenakan hoodie berwarna kuning dan bandana berpita, sangat cocok dengan rambut pendeknya. Yusuf jadi teringat cerita yang lain tentang Opang waktu Nadhila pertama kali memotong rambutnya jadi pendek, 'Opang K.O.', 'Gak ketolong', 'Opang berubah jadi batu gara-gara Nanad potong rambut.'. Kini Yusuf bisa mengerti karena rasanya ia juga bisa berubah kapan saja jadi batu, bahkan candi.

"Makin cantik lo! Udah lama gak ketemu!!!" Tutur Yusuf layaknya Ucup yang biasa, Ucup teman Nanad sejak SMA.

"Ucup juga makin ganteeeng." Balas Nadhila cerah.

"Lo menyesuaikan ya karena mau ngedongeng di depan anak-anak, lo-nya juga jadi bocah gitu, gemes."

"Iya dooong, jadi juru dongeng harus berani jadi anak-anak."

Energi positif Nadhila dengan cepat menjangkit Yusuf, "Eh gue di-briefing dulu dong Nad, gue kan baru pertama ikut acara ngedongeng sama volunteer gini, gak kayak lo. udah biasa."

"Oh iyaaa, Ucup kan dadakan ya daftarnya, jadi belom tau. Ya udah sini." Nadhila menepuk-nepuk ruang kosong di sebelahnya di undakan samping panggung kecil yang akan dipakai mendongeng nanti. "Nanti ada sekitar tujuh orang yang ngedongeng di depan, durasinya masing-masing gak lebih dari sepuluh menit kok. Ceritanya udah diapalin sama setiap juru dongeng, mereka juga udah bawa medianya sendiri."

"Lah terus gue gimana dong?"

"Ucup nemenin Nadhila."

"Hah? Nemenin lo?"

"Iya, kita jadi partner. Gantian. Satu cerita dibagi, misalnya aku bagian awal, Ucup bagian akhirnya."

"Bentar, dongengnya beneran yang lo kirim semalem itu?"

"Iya, udah dibaca kan? Tiga Anak Babi?"

Yusuf mengangguk ekspresinya agak panik, "Tapi gue gak apal, Nad."

Nadhila tersenyum menenangkan, "Gak apa-apa. Buat yang volunteer dan gak biasa ngedongeng gak dituntut buat pake metode macem-macem, Cup, yang penting cerita dan anak-anak yang dengerin ceritanya seneng. Nanti aku bantuin kalo grogi."

Nadhila merogoh kantong besar yang sedari tadi ia bawa lalu mengeluarkan satu persatu paper puppet karakter-karakter tiga anak babi dan serigala yang berukuran besar.

"Itu lo yang bikin?" Mata Yusuf melebar.

"Iya hehe. Jelek ya gambar gue?"

"Nggak, bagus banget malah."

"Makasiiih."

Ada ukulele juga yang menyembul dari dalam kantong berisi alat-alat perang Nadhila si Juru Dongeng. Di sebelahnya, Yusuf memperhatikan Nadhila dengan sinar mata kagum, "Nad,"

"Hm?"

"Lo tuh dari dulu emang pengen jadi storyteller gini ya? Kok gue baru tau."

"Hehe awalnya iseng doang, Cup, kan aku punya dua adek masih pada kecil di rumah, mereka sering aku dongengin macem-macem kalo mau bobo. Terus waktu awal masuk sastra, ada tugas yang bikin aku nonton video tribute buat Pak Raden, lo tau Pak Raden kan?"

"Oooh Unyil?"

"Iyaa!! Aku nangis nonton videonya. Pak Raden tuh juru dongeng favorit aku. Aku beberapa kali lho Cup, ngedongeng sambil pake kumis Pak Raden!"

Yusuf terpana beberapa detik melihat mata Nadhila yang jernih dan berkilat-kilat semangat. Rasanya ia bisa mendengarkan Nadhila sampai berjam-jam tanpa letih.

"Kenapa?"

"Eh? Kenapa apanya?"

Yusuf terkejut sendiri pada pertanyaannya, ia kira ia hanya menyuarakannya dalam hati, buru-buru ia melontarkan alasan, "Kenapa lo suka ngedongeng? Selain karena lo ngefans sama Pak Raden?"

"Karena aku seneng dan aku bikin seneng orang lain." Masih dengan binar yang sama, Nadhila mengarahkan pandangannya pada anak-anak dari sekolah anak jalanan yang sudah datang dan duduk manis di area depan panggung kecil dipandu kakak-kakak teman Nadhila. "Tiap aku ngedongeng, aku ngeliat anak-anak yang dengerin dongeng aku senyum, ketawa, bengong, sampe tepuk tangan bahagia. Aku seneng banget liatnya, Cup. Aku seneng bikin mereka seneng."

Yusuf ikut menatap kerumunan anak-anak itu dengan tatapan polos dan cengiran mereka. Ia mulai mengerti.

"Mereka masih kecil tapi mereka udah sering ngerasain hidup mereka gak lengkap, gak kayak anak-anak yang lain. Nah, ngedongeng ini cara aku buat bantu mereka ngelengkapin hidup mereka pake senyum, pake tawa, bikin mereka terhibur."

Yusuf bisa mendengar suara Nadhila sedikit bergetar, terharu.

"Kekuatan kata-kata gitu tuh, Cup, lewat dongeng, kita bisa melengkapi hidup anak-anak di dunia mereka yang emang seharusnya diisi seneng-seneng sama ceria. Bahagianya mereka juga ngelengkapin aku. Istilahnya tuh... dengan kita membahagiakan orang lain, kita juga lagi membahagiakan diri kita."

Yusuf mengangguk-angguk setuju.

"Nanti kamu rasain sendiri deh pas udahan ngedongeng! Pasti ngerasain hal yang sama kayak yang aku rasain."

"Nad, lo sebenernya malaikat ya?" Tanya Yusuf.

"Ih berlebihan deh Ucup."

"Nggak, serius. Lo baik banget jadi orang."

"Banyak orang baik kok, termasuk kamu juga, buktinya kamu ada di sini sekarang, mau ikutan bantuin. Kamu juga baik."

"Ah gue sih gini doang. Baru pertama pula."

"Gak ada 'gini doang' tau Cup kalo ngelakuin hal baik."

Obrolan mereka terputus saat MC yang juga teman Nadhila memberi isyarat pada Nadhila untuk naik ke panggung.

"Ayo, Cup."

"Eh?? Sekarang nih?"

"HALLO SEMUANYAAA!!!!" Tanpa menjawab pertanyaan Yusuf, Nadhila sudah melompat ke tengah panggung dan melambai-lambai semangat, menyapa semua penonton mereka. Yusuf dengan canggung mengikuti Nadhila duduk di tepi panggung. "Kenalin aku Nanad!! Dan ini temen aku, Ucuuup!!"

Nadhila mengeluarkan paper puppetnya, dengan sinar mata yang seperti sinar pelangi di mata Yusuf, Nadhila mulai bercerita, membuat Yusuf kagum dengan semua mimik yang bergantian di wajah gadis itu, menyesuaikan dengan cerita, kelihaiannya memainkan media di tangannya, mengatur intonasinya menjadi berbeda-beda pada setiap karakter.

Saking terpesonanya, Yusuf sampai lupa kalau ia juga dapat giliran.

"Ayo, Cup, terusin." Kata Nadhila pelan sambil menyodorkan paper puppet anak babi dan serigala.

Yusuf dengan cepat berpikir, menyalahkan sistem pikirannya yang sempat macet karena memperhatikan Nadhila.

"Cerobong." Bisik Nadhila membantu memberi clue.

"Hah? Kecebong? Kan cerita babi, Nad. Kok jadi kecebong?"

Nadhila menahan tawa, "Cerobong asap, Cup."

"OOH OH IYA. Serigala tidak menyerah! Serigala melihat cerobong asap di atap, serigala pun memanjat." Yusuf memainkan paper puppet serigala di tangannya, pura-pura sedang memanjat.

Nadhila di sebelahnya membantu dengan memberi backsound, "Dum.. dum.. dum..."

"Tapi ternyata!!" Yusuf mulai drama, matanya melotot, "anak babi sudah menaruh air panas dalam kuali di bawah cerobong asapnya!! SYUUUUUT.... Serigala pun terjatuh ke dalam air panas. AAAAAA TOLOOOONG! Jerit serigala."

Penonton mereka tertawa karena Yusuf yang sangat ekspresif.

"Akhirnyaaaa, setelah terbebas dari serigala, tiga anak babi berpelukan. YEAYYY BERHASIL."

"Yeeeeay!" Nadhila bertepuk tangan menyusul tepuk tangan riuh dari penonton. "Tiga anak babi menyadari kalau dengan bekerjasama, mereka bisa berhasil. Horeeee!!!"

"Horeee!!!" Yusuf ikut bersorak.

Nadhila lalu menyambar ukulele dari sampingnya dan mulai memetiknya dengan nada-nada yang menyenangkan.

"Tiga anak babiii hidup bersamaaa~ Melawan serigala yang jahat dan mau memakannyaaa~"

Yusuf tidak tahu liriknya sama sekali, tapi yang ia tahu, ia ikut bernyanyi, ia ikut tertawa dan ia akhirnya merasakan apa yang Nadhila bilang dengan melengkapi bahagia.

*

Hujan deras turun membuat panitia acara hari itu belum bisa pulang, termasuk Nadhila dan Yusuf yang berteduh di depan gedung jurusan Nadhila.

"Hujannya gede juga. Bakal lama nih." Ujar Yusuf seraya menatap gemericik air hujan yang memukul-mukul tanah.

"Iya, mudah-mudahan gak sampe sore banget, aku kan mau ke Komet."

Yusuf melirik Nadhila, "Oh iya, mau fitting baju ya?" Nadhila membalasnya dengan anggukan. "Padahal Naufalnya lagi pergi, aku jadi gak enak."

"Yaelah gak apa-apa kali. Anak-anak Komet udah pada kenal lo juga."

"Emang iya? Kan aku baru sekali ke sana, yang waktu itu dianter kamu, Cup, nengokin Naufal."

Yusuf tertawa pendek, "Iya, sekalinya dateng langsung ninggalin kesan banget lo, Nad."

"Ha? Masa sih?"

"Eh," mata Yusuf tertuju pada ukulele yang tadi dimainkan Nadhila di panggung, yang kini menyembul dari kantong ajaib Nadhila, "ternyata lo bisa main ukulele ya?"

Sudut bibir Nadhila terangkat, "Diajarin Naufal sebenernya. Dia yang jago."

"Oh." Ada yang diam-diam lebur ke tanah, selain air hujan.

Hujan yang melawan atap kembali jadi pengisi kosong di antara lamunan Yusuf dan senandung pelan dari mulut Nadhila. Ketika ada sekelebat kilat putih di langit bersamaan dengan hujan yang sepertinya semakin deras, Nadhila menunduk dan merogoh tas selempang rajutannya, mencari sesuatu. Apapun yang dicarinya saat itu, ia tidak sempat menemukannya karena suara petir yang cukup kencang membuatnya terlonjak. Refleks, ia memegang lengan Yusuf yang berada di dekatnya.

Yusuf membelalak selama beberapa detik menatap tangan Nadhila yang memegangi lengannya erat-erat. Tangan Nadhila gemetaran dan ia menunduk ketakutan. Yusuf seketika teringat ketakutan Nadhila pada petir.

"Nad," Ia salah tingkah, "gak apa-apa kok, petirnya—" Petir menyambar lagi sebelum Yusuf menyelesaikan kalimatnya, Nadhila semakin gemetaran, meski menunduk, Yusuf bisa menebak kalau sekarang perempuan itu sedang memejamkan matanya, ketakutan.

Tidak mampu menahan diri, Yusuf akhirnya mengulurkan tangannya untuk menenangkan Nadhila, sampai ia tidak menyadari ada seseorang menerobos hujan setengah berlari dan berdiri di depan mereka. Kucuran air dari ujung jaketnya dalam sekejap membasahi lantai.

"Pang?" Yusuf melepaskan tangannya dari tangan Nadhila sementara Nadhila yang masih takut-takut mengangkat kepalanya.

"Lho? Naufal? Kok ke sini? Bukannya kamu pergi?"

Mata Opang menangkap kabel earphone yang tidak sempat dikeluarkan dari tas selempang Nadhila, ia menghela napas, menatap Yusuf dengan tatapan yang sulit dijelaskan sebelum berkata, "Banyak petir. Mending neduhnya di dalem gedung aja."

"Lo ke sini cuma gara-gara hujan gede banyak petir?" Yusuf memastikan, hatinya seperti diremas.

Opang tidak menjawab tapi Yusuf tahu jawabannya.

*

Sudah seminggu Yusuf dan Opang tidak saling bicara. Selama mereka berteman, baru kali ini mereka puasa bicara selama ini dan situasinya juga begitu canggung. Selama berhari-hari, Yusuf selalu berjalan mengendap-endap, keluar kamar, berangkat maupun pulang kuliah sebisa mungkin tidak bertemu muka dengan Opang. Kini, Yusuf tahu rasanya jadi Biru waktu ia mati-matian menghindari Dzaky.

Sebenarnya setelah Opang menjemput Nadhila di kampus dan melihat Nadhila ketakutan di sisi Yusuf, Opang tidak bicara banyak, ia tidak marah atau menunjukkan ia terganggu dengan tindakan Yusuf, ia juga tidak menghindari Yusuf, tapi Yusuflah yang menghindari Opang.

Perasaannya untuk Nadhila yang selama ini berusaha ia sangkal dan sembunyikan membuatnya tidak bisa bertemu dengan Opang. Ia merasa bersalah.

"Lo gak bisa gitu terus, Cup." Ujar Hanif sore itu saat Yusuf untuk kesekian kalinya mengintip dari celah pintu, memastikan pintu kamar Opang dan Fariz tertutup.

Yusuf mendelik sebal pada Hanif yang sudah tahu karena Yusuf tidak tahan tidak cerita.

"Gue gak mau ketemu dia, Nif. Dia pasti udah tau."

Hanif menggeleng-geleng, "Selama lo kenal dan temenan sama Opang, lo pasti udah bisa nebak kali bakal kayak gimana reaksinya."

"Apa? Mukul gue?? Ngajak gue berantem di lapangan? Ngelindes gue pake pemotong rumput sampe gue botak??"

"Nif, lo berlebihan. Masa lo gak kenal Opang sih?"

Yusuf terdiam selagi Hanif melanjutkan, "Menurut lo dia bakal mukul lo? Opang?"

Hanif menghampiri Yusuf dan menepuk punggungnya. "Daripada kemakan pikiran-pikiran lo yang sebenernya belom tentu terjadi, mending lo omongin. Jangan ngerasa bersalah padahal gak ada yang nyalahin lo, Cup. Itu namanya lo nyiksa diri lo sendiri."

Yusuf mengembuskan napas berat, ia menggerak-gerakkan bibirnya sejenak, tanda berpikir sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar.

"Tenang, kalo lo botak, gue gak bakal ngatain lo lampu taman kok."

"Woy, Nif!"

"Becandaaa."

Setelah memberi peringatan mengecam pada Hanif yang kini tertawa, Yusuf melangkah menuju kamar Opang. Sudah waktunya ia bicara, benar kata Hanif, kalau dia terus menerus merasa bersalah dan menghindari Opang, ia sama saja menyiksa diri sendiri.

Biasanya kalau masuk ke kamar duo agen, Yusuf memang tidak pernah mengetuk. Jadi ia membuka pintu perlahan, "Hellowww, ada orang?"

Perkiraan Yusuf salah, hanya ada Fariz di dalam kamar, ia sedang mengetik di ponselnya dengan alis nyureng.

"Oi, Riz."

"Heh?" Fariz mengangkat wajahnya sedetik lalu kembali sibuk mengetik, entah sedang chat dengan siapa, "kenapa, Cup?"

"Opang mana?"

"Opang belom balik."

"Kok tumben lama, ke mana dulu dia?"

"Ngangon dulu." Sahut Fariz asal. "Coba lo chat aja, palingan dia nongkrong di warkop."

"Hmm, ya udah deh." Yusuf baru akan menutup kembali pintu saat suatu objek menyita perhatiannya. "Itu.. apaan, Riz?"

Fariz mengalihkan perhatiannya lagi dari layar hp dan menatap benda yang ditunjuk Yusuf di lantai.

"Oh itu.. tau tuh si Opang, kemaren seharian dia bikin. Katanya bikin kipas sate."

"Kipas sate ada gambarnya?" Yusuf mengerutkan kening.

"Ya tau sendiri kan si Opang, edgy." Fariz menimpali asal lagi, tidak sadar dengan perubahan raut wajah Yusuf.

Itu bukan kipas sate, itu adalah paper puppet yang dibuat dari karton dan digambar, seperti punya Nadhila yang digunakan untuk mendongeng. Di mata Yusuf muncul bayangan Opang duduk bersila di lantai, menggunting-gunting karton dan menggambar tokoh dongeng dengan wajah datar namun berniat.

Dengan perasaan campur aduk, Yusuf menutup pintu kamar Opang.

*

Opang celingukan menyadari baru ada dirinya seorang yang datang ke arena futsal langganan anak Komet. Opang mengecek lagi kesepakatan di groupchat krucils Komet, betul jam empat sore tapi belum ada tanda-tanda kehadiran anak Komet, pasalnya Opang datang langsung dari kampus, sepulang kuliah.

Opang baru akan mengetik di grup, menanyakan keberadaan mereka saat sebuah bola menggelinding ke dekat kakinya, ia otomatis menoleh dan mendapati Yusuf menghampirinya dengan senyuman di wajah, sudah mengenakan baju bola.

"Yang lain ke mana?" Tanya Opang setelah melongo beberapa detik.

"Ntar, mereka jam lima datengnya." Jawab Yusuf santai, ia mengambil bola dengan kakinya lalu memberi isyarat pada Opang supaya mengikutinya ke dalam lapangan.

Opang keheranan tapi tetap mengikuti di belakang Yusuf, "Bukannya lo bookingnya dari jam empat?"

"Iya, tapi satu jam ini gue pake buat ngomong sama lo."

"Ngomongin apaan mesti di sini?" Alis Opang terpaut melihat Yusuf duduk di pinggir, bersandar di pagar tinggi yang terpasang di sekeliling area lapangan.

Mau tidak mau, Opang ikut duduk, ia melepas jaketnya dan menaruhnya di atas ransel yang tergeletak di dekat kakinya. Bola yang tadi diambil Yusuf seperti menjadi penonton di depan mereka berdua.

Yusuf mengambil napas dalam-dalam sebelum bicara, "Pang."

"Cup. Jangan nembak. Gue udah punya pacar." Potong Opang polos, muka Yusuf langsung berubah sepet.

"SIAPE YANG MAU NEMBAK ELUUUU, KESEMEEEK."

Opang mengangkat bahu, "Terus?"

Yusuf mengacak rambutnya sendiri dengan barbar sebelum akhirnya berkata frustrasi, "Gue suka sama Nanad."

Hening. Skenario dalam kepala Yusuf tadinya sudah membayangkan Opang akan mengeluarkan jurus lidah api atau jurus patok ular tapi ternyata itu tidak terjadi. Opang hanya diam, masih dengan wajahnya yang tanpa ekspresi.

"Gue udah tau." Jawab Opang akhirnya.

"Kok lo gak marah sih???" Yusuf tambah frustrasi.

Opang mengernyit, "Kenapa harus marah? Emangnya salah lo kalo suka sama orang?"

"Tapi kan gue sukanya sama cewek lo, Pang!"

Alih-alih membalas, Opang malah menatap Yusuf, membuat Yusuf jengah.

"Pang, jangan gitu dong ngeliatinnya."

"Gue minta maaf, Cup."

"Hah??? Kok lo yang minta maaf??"

Opang kembali menatap lurus ke depan, "Maaf ya, pasti gue bikin lo sedih."

"Dih? Apaan sih lo?"

"Maaf juga soalnya gue gak bakal bisa ngelepasin Nanad."

Yusuf langsung bungkam, ia sudah seperti mau menangis waktu melempar bola di depannya ke kepala Opang.

"Emang udah seharusnya gitu, bego!!!"

"Maaf, Cup."

"Gue yang harusnya minta maaf!"

"Mau diterusin sampe lebaran taun depan nih maap-maapannya?"

"Anjir lo." Mata Yusuf mulai berkaca-kaca.

"Cup," Panggil Opang pelan.

"Ape??!!!" Balas Yusuf nyolot seraya menyedot ingus.

"Lo udahan nih ngejauhin guenya?"

"Udah! Gue emang pengen jujur dulu sama lo! Biar gak ngerasa bersalah!"

Opang mengangguk-angguk, "Soalnya gue juga gak berani nyamperin lo duluan, gue gak mau bikin lo tambah sakit hati."

"Sialan lo emang, kenapa baek bener sih jadi temen??" Yusuf tambah nyolot padahal air matanya sudah mengambang lagi. "Lo sama Nanad emang klop banget udahlah, sama-sama orang baik."

"Lo juga baik kok, Cup." ujar Opang tulus, "kalo bukan karena lo, gue gak bakal sama Nanad sekarang."

Yusuf menyedot ingus lagi.

"Gue yakin orang baik bakal ketemu sama orang baik lagi. Lo bakal ketemu cewek baik yang bakal sayang banget sama lo, Cup."

"Jagain Nanad ya, Pang. Awas lo nyakitin dia."

Yusuf bisa melihat ujung bibir Opang tertarik sedikit.

"Gue tau lo sayang banget sama Nanad, Pang, gue tau lo kemaren kepikiran seharian terus langsung nyusulin pas hujan gledek-gledek, gue juga tau lo diem-diem belajar ngedongeng biar bisa ngedongeng bareng Nanad."

"Lah lo tau dari—"

"Lo mungkin keliatannya cuek tapi gue tau banget dalem hati lo perhatiannya kayak gimana. Nanad juga sayang banget sama lo."

Opang menggaruk bagian belakang kepalanya canggung.

"Dari awal gue gak ada niat ngerebut Nanad kok, Pang. Gue cuma butuh waktu sampe perasaan ini ilang."

Opang menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti 'Gak apa-apa'.

"Udah, gue cuma mau jujur. Sekarang gue udah lega."

Sunyi sebentar.

"Udah nih? Gue kira lo bakal nantangin gue ngegolin bola ke gawang dulu."

"Drama banget lo, Pang. Ya nggaklah."

"Yah, padahal udah nginget-nginget teknik mainnya Tsubasa."

"Bodo amaaat."

"Nanad juga nanyain lo kok, Cup, karena lo sempet ngejauh." Cetus Opang serius. "Kalo lo emang udah bisa sama udah siap, lo kabarin dia gih."

Yusuf tersenyum, menghapus air matanya, "Iya."

"Dia seneng katanya ngedongeng sama lo." Gumam Opang lagi.

"Lo cemburu ya?"

"Nggak."

Yusuf nyengir mengingat paper puppet yang dibuat Opang, meski berantakan tapi benda itu dibuat dengan sangat berniat.

"Pang,"

"Apa?"

"Gue tetep jadi best man lo kan?"

Opang mengangguk tanpa ragu.

"Tapi artinya bukan tukang ngangkatin piring!!!" Gerutu Yusuf sambil menggebuk punggung Opang. Mereka lalu tertawa bersama.

Sampai....

"Udah nih? Kirain ada sesi gelutnya..." Komentar Fariz yang sedari tadi nguping di balik pagar bersama krucils yang lain.

"Tau, guling-gulingan kek lo berdua, atau nggak crossbar challenge." Iqbal menimpali.

Sore itu, Yusuf mungkin melepas cinta pertamanya, tapi ia tahu ia punya sahabat terbaik yang bisa ia punya dan itu sudah cukup.

*

Groupchat Anak Komet

Jime: ada yg maen futsal gak ajak2 neeh

*Jime send a photo*

Ucup: maap bang, ini acara anak muda

Jime: MAKSOOOD LOOO?

Jime: Kita gak sepuh2 amat kaleee

Biru: udh kelar tuh masalah opang sama ucup?

Jime: HAH?? EMG KENAPA?

Jime: KALIAN BERANTEM???

Jime: HEH??? @.Opang @.Ucup

Jime: SEMUA BISA DISELESAIKAN BAIK-BAIK SECARA KEKELUARGAAN

Opang: apa sih emg sapa yg berantem

Ucup: tau

Ucup: kita kan sohib ya pang ya

Opang: g.

Ucup: nih udh gue pasang di kamar mandi atas

Ucup:

Ucup: UDH GUE BENERIN JG KERAN YG LO RUSAKIN

Opang: y. thx

Wawan: ooo gitu ni bocah2 mengbal gak ajak2

Wawan: ntar pesta bujangnya rama jg kalian gak diajak ya

Iqbal: DIH??? GAK MAU!!! MAU IKUT

Wawan: gak bisa, anak kecil gak boleh ikut

Galang: emg pesta bujang ngapain aja sih?

Galang: masa kata papap party all night long sama kegiatan2 perjaka

Rama: -__-

Iqbal: kegiatan perjaka tuh gmn maksudnya

Wawan: kegiatan menarik

Satrio: nyetrika baju

Awang: diskusi ternak

Jime: nyari uban

Jafar: mengaji

Wawan: jep....

Iqbal: iqbal ikut pokoknya

Acid: ram, gue sbg best man lo udh nyiapin surprise buat pesta bujang lo

Rama: plis jgn aneh2

Acid: gak usah meragukan kemampuan best of the best man

Wawan: cih best of the best kok putus dua kali

Satrio: WKWKWK @.Acid

Acid: ooooh belom tau dia

Acid: tunggu di nikahan rama ya ;)

*

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

235K 5.8K 52
⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ જ⁀➴ 𝐅𝐄𝐄𝐋𝐒 𝐋𝐈𝐊𝐄 .ᐟ ❛ & i need you sometimes, we'll be alright. ❜ IN WHICH; kate martin's crush on the basketball photographer is...
303K 6.8K 35
"That better not be a sticky fingers poster." "And if it is ." "I think I'm the luckiest bloke at Hartley." Heartbreak High season 1-2 Spider x oc
1M 54.1K 35
It's the 2nd season of " My Heaven's Flower " The most thrilling love triangle story in which Mohammad Abdullah ( Jeon Jungkook's ) daughter Mishel...
508K 15.9K 74
Hiraeth - A homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost pla...