Bisikan Mereka ✔

By askhanzafiar

222K 18.2K 726

Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dal... More

Siapa aku?
Membantu Mereka
Diganggu
Kejanggalan
Petak Umpet
Play With Tere
Televisi
Rekaman Berdarah
Kepiluan dan kabar gembira
Ekskul
Sakit
Kejadian Berdarah
Penginapan
Kampung Maksiat
Tentang Author #1
Rumah Sakit '2
Uji Nyali
Villa Delia
Villa Delia'2
Tentang Author #2
Gua Sunyaragi
Teman Pemakai Susuk
Teman Pemakai Susuk '2
Tertukar.
Bukan Penyakit Biasa
Bukan Penyakit Biasa'2
INFO PENTING PAKE BANGET.
Rumah Omah
Rumah Omah '2
Vc terakhir.
A Piano.
Siapa Dia?
Kak Kenan?
A Mystery
Siapa pelakunya?
Akhir dari segalanya?
Empat Tersangka.
Ending?
Terungkap!
Menuju Cahaya?
Sejatinya
Persiapan pelantikan
Keganjilan
Ternyata?
Tragedy's
Pergi?
HEI INI PENTING BANGET!
Tentang Mamah
Ending! 🔚
LANJUTAN BISIKAN MEREKA
Hororwk

Rumah Sakit

4.4K 352 8
By askhanzafiar

Setelah 4 hari mengambil cuti sekolah, kami masuk tepat di hari jum'at. Sayup-sayup kudengar gosip yang menyebar tentang Hilmi. Mereka menggosipkan bahwa Paul memelihara makhluk tak kasat mata di rumahnya hingga berhasil membahayakan Hilmi. Namun, isu tak mengenakkan itu ditepis kasar oleh Paul yang baru saja datang.

"Heh! Kalau ngomong diayak dulu lah! Lo pikir gua mbah dukun yang bisa memelihara makhluk enggak jelas? Mulut kalian semua itu ember! Diasah mulu setiap hari, sih! Jangan mentang-mentang gua nasrani, lo bisa menghakimi gua seenak jidat lo!" gertak Paul sembari mendorong salah satu laki-laki yang sedang asyik menimbrung dengan teman perempuannya.

"Apa lo? Lawan gua kalau lo cowo!" gertak Paul sembari mengangkat kerah baju lelaki itu.

Jeen namanya, lelaki berperawakan bule, dan tubuhnya tinggi kekar. Namun, gaya bicaranya seperti seorang perempuan.

"Berani lewat omongan doang lo! Dasar flamboyan! Eh, iya emang bener flamboyan, 'kan?" ujar Paul sembari menubrukkan Jeen ke tembok.

"Paul sudah!" leraiku sembari menarik badannya menjauh dari Jeen.

"Hei, gua belum puas! Mulutnya belum gua sumpal pakai kaos kaki gua, nih!" ujarnya yang sepertinya sudah tidak sabar lagi.

"Hus! Sudah!" gertakku yang langsung membuatnya diam.

Sementara Elsa dan Muhzeo yang baru saja datang hanya bisa terheran-heran melihat kejadian ini.

"Loh, kalau enggak merasa, buat apa lo marah, boy?" ujar Jeen yang memang dasarnya mulut pancingan dan berhasil menarik emosi Paul kembali.

"Berani main sama gua?" Hampir ketika tangan kekar paul memukul Jeen, Muhzeo mendorong Paul hingga dirinya terjungkal ke lantai. Elsa dengan sigap membantu Paul bangkit.

Kini, Muhzeo yang mulai tersenyum miring ke arah Jeen, berusaha mengambil alih pertengkaran yang hampir terjadi itu. "Hai, makhluk sejenis lelaki bermulut perempuan! Tidak malukah Anda mempunyai mulut seperti itu, hm? Tidak Malu dengan body kekar Anda, tetapi mulut Anda sangat amat lenjeh seperti kurang perhatian? Pejantan tidak hanya adu mulut, tapi adu nyali dan otot. Apalagi sampai mengadu ke orang tua, huh, kacau!" ujar Muhzeo sembari tersenyum meremehkan.

Jeen menatap marah ke arah Muhzeo. Ia sangat amat merasa dipermalukan. "Kenapa mukanya memerah seperti itu, manis? Blushing seperti yang dilakukan perempuan pada umumnya? Atau malu? Kok malu, sih? Dari kemarin kemana saja rasa malunya, Bu? Merasa biasa saja untuk menampakkan mulut embernya. Dasar flamboyan," ujar Muhzeo dengan kata sengitnya lagi.

Jeen semakin mengepalkan tangannya. Muhzeo tersenyum miring. "Aduh, ngepalin tangan? Mau nonjok? Ayo, deh! Sebelah mana, hm? Pipi? Perut? Wajah? Ayo di mana saja asalkan gua bisa liat sisi lelaki lo, manis!" ujar Muhzeo gemas.

Jeen masih diam tak berkutik. "Aduh ambil tisu, dong! Kasian dia terharu sama kata pernyataan yang ke luar dari mulut gua. Temen-temen gengnya mana, nih? Memang tidak ada niatan untuk membela? Kasihan ini temennya ada yang mau minta balon," ledek Muhzeo sembari tersenyum sinis.

Kurasakan aura kemuakan dalam dirinya. "Ah, cape bicara dengan patung yang biasa muncul di tempat pencucian motor. Ketika menyebarkan gosip, aduh, mulutnya nyerocos sampai kuahnya tumpah-tumpah. Eh, ketika didatangi, langsung diam." Muhzeo merangkul paul yang sudah berada di sampingnya.

"Makannya, Mbak, eh salah, Mas maksudnya. Kalau bicara mboh, ya diayak dulu. Cari tahu kebenarannya. Jangan asal menyebarkan gosip yang sama sekali enggak terjadi dan fakta lapangannya pun tidak ada," ujar Muhzeo sembari tersenyum.

"Baikan atau bagaimana, nih? Eum, atau mau adu jotos di lapangan?" tawar Muhzeo sembari terkekeh.

Jeen menghentakkan kakinya, ke luar kelas tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Muhzeo menatap anggota kumpulan geng Jeen. "Temennya enggak mau disamperin, tuh?" tanya muhzeo.

Seakan mempunyai malu yang sangat besar, mereka pun berpura-pura menyibukkan diri.

"Ya sudah lah. Begitulah orang. Ingin dihargai namun tak mau menghargai orang lain. Ingin dihormati namun tak mau menghormati orang lain. Lah, itu yang begitu wujud dari makhluk hidup atau bendera?" Ucapan Muhzeo itu berhasil membuatku langsung mencubit pinggangnya.

"Auh, sakit Dira," ujarnya sembari mengacak-acak rambutku.

"Sakitan hatinya si Jeen tau!" ujarku sembari ngakak.

Muhzeo terkekeh. "Perlu dikasih arahan mental dia tuh. Hidup glamor dan sering dimanjakan di rumah sepertinya berakibat fatal bagi seorang anak, ya," ujar Muhzeo.

"Hm," ujarku sembari tertawa.

"Nanti pulang sekolah mau ikut jenguk Hilmi?" tanyanya sembari menaruh tas di bangku.

"Sama siapa saja?" tanyaku.

"Elsa dan Paul tentunya. Siapa lagi, memang?" tanyanya sembari menopangkan tangannya di dagu.

Kini posisinya menghadapku. Ia tersenyum manis. Aku membuang tatapan darinya dan berusaha menahan senyum saltingku. "Kenapa makin hari lo makin cantik, sih?" tanyanya.

"Ini gombalan lo ke wanita yang ke berapa kali, hm?" tanyaku sembari terkekeh.

"Hm, satu. Seribu gombalan untuk satu wanita yang cantik ini!" ujarnya sembari mengacak rambutku.

"Aduh, baper, deh!" ujarku sembari meledeknya.

"Huh? Kalau baper beneran, ngomong aja kali," ujarnya sembari tertawa.

Aku menggelengkan kepala. "Anda terlalu geer, Pak!" ujarku ikut tertawa.

"Permisi," ujar seseorang dari luar kelas.

Kami menoleh dan mendapati salah satu anak rohis berdiri di depan kelas. "Bisa bertemu dengan Muhzeo?" tanya lelaki itu.

Muhzeo menepuk pundakku sebagai tanda ia pamit untuk pergi. Ia menghampiri anak tersebut segera bergegas pergi keluar kelas.

"Ze, kenapa?" Tanya Elsa yang baru datang dari kantin bersama paul.

Aku hanya mengendikkan bahu tanda tak tahu. Kubuka novel bersampul biru muda dan mulai hanyut tenggelam kepada untaian kata-kata yang sangat kusuka.

👀

"Dira, ayo!" ajak Muhzeo sembari menutup resleting jaket birunya.

Aku mengangguk. Sesuai perjanjian tadi, kami semua akan kembali menjenguk Hilmi yang masih berada di rumah sakit. Ia sempat terkejut waktu kami ceritakan kejadian sebenarnya.

Muhzeo menghentikan motornya ketika sampai di depan parkiran rumah sakit. Baru beberapa langkah hendak meninggalkan area tersebut, aku langsung menarik ujung jaket muhzeo. "Kenapa?"tanyanya.

Aku menunjukkan sesuatu dengan menggunakan arahan daguku. Ia melihat ke arah yang kutunjukkan. Ia tersenyum. "Cuma mau menyapa saja mungkin. Tenang aja. Kan ada gua," ujarnya tanpa rasa takut sedikit pun.

Pasalnya yang kulihat ini adalah seorang anak yang memakai baju sekolah lengkap. Kepalanya lumayan retak. Kakinya benar-benar buntung sebelah dan masih menyisakan tetesan darah segar di ujungnya. Kalau boleh kutebak, mungkin ini adalah korban kecelakaan.

"Tapi dia melihat ke arah kita seperti aneh sekali!" ujarku sembari bersembunyi di belakang tubuh jangkung milik Muhzeo.

Ia terkekeh. "His, sudah, ayo!" ajaknya dan segera masuk terlebih dahulu ke dalam rumah sakit.

"Ze, tunggu!!!" teeiakku yang langsung lari menghampirinya.

Sepanjang perjalanan kami sama-sama diam. Paul dan Elsa sudah terlebih dahulu ke rumah sakit daripada kami.

Ceklek ....

"Asalamualaikum," salamku dan Muhzeo sambil memasuki ruangan.

"Waalaikum salam," jawab Elsa dan Hilmi bersamaan.

"Gimana kabar, Bro? Sehat?" tanya Muhzeo sembari menaruh bingkisan buah yang sempat kami beli tadi.

"Kata dokter, sih, seminggu lagi baru bisa masuk. Soalnya masih ada luka yang belum kering," ungkap Hilmi sembari tersenyum.

"Sakit, enggak?" tanyaku dengan polos.

Tak ....

"Aduh," aku melenguh ketika Muhzeo menyentil keningku.

"Ngaco aja sih kalau ngomong," ujar Muhzeo sambil menggelengkan kepalanya.

"Kan mau tahu. Memang enggak boleh?" tanyaku sembari mengusap kening.

Paul melirik ke arahku. "Jangan terlalu polos jadi perempuan," ujarnya sembari mengambil satu buah.

"Woy, itu buat hilmi, oncom!" teriak Muhzeo yang merasa tak enak karena ulah Paul yang dirasa kurang sopan itu.

Paul hanya bisa cengengesan sambil berkata, "Nyoel dikit." Ia pun mulai menggerogoti apel merah.

"Itu digerogoti! Bukan dicoel!" ketus Muhzeo.

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala karena ulah Paul yang selalu menjadi biang keributan. "Oh iya, gua mau keluar dulu, ya," ujarku sembari menaruh tas sekolah di sofa.

"Gua temenin." Perkataan Muhzeo itu langsung membuatku menggelengkan kepala. "Enggak usah! Hanya ingin duduk di ruang tunggu aja. Lagian di luar juga ramai," ucapku meyakinkan Muhzeo bahwa aku tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Muhzeo tampak berpikir sambil menatapku. Kemudian ia mengangguk. Aku pun segera ke luar ruangan.

Untuk seukuran siang yang akan berganti sore, rumah sakit ini terbilang cukup ramai. Anak-anak yang berlarian, perawat yang mengantar makanan, dan juga dokter yang setia memeriksa pasien menjadi daya tarikmu untuk mengetahui tentang rumah sakit ini lebih dalam.

Kapan terakhir aku ke tempat seperti ini, ya? Rasa-rasanya sudah sangat lama sekali.

"Hei, kau tau ndak, jeng?" Suara khas mirip ibu-ibu yang suka menggosip membuatku langsung menoleh, tapi dengan gerakan yang hati-hati.

Terlihat jelas bahwa ia adalah seorang yang kaya raya dengan gelang emas memenuhi pergelangan tangannya.

Panggil saja namanya Yeti.

"Ada apa jeng?" respon salah satu ibu yang lain menanggapi.

Panggil saja namanya Uni.

Aku tertarik untuk mendengar apa yang ibu-ibu itu akan katakan. Apakah tentang rumah sakit ini?

"Rumah sakit ini lumayan seram, loh, jeng!" ujar Bu Yeti sembari memperlihatkan ekspresi takutnya.

Ternyata benar!

"Ah, semua rumah sakit pasti punya seluk beluk menyeramkannya, jeng!" ucap Bu Uni yang berusaha untuk berpikir positif sembari mengipaskan badannya dengan kipas tangan.

"Ih, yang satu ini pasti bikin Jeng merinding, deh!" Bu Yeti memperlihatkan ekspresi lebaynya, ya, uang mungkin aku sendiri yang sudah pernah melihat 'Mereka' pun tidak akan selebay itu ekspresinya.

"Ono opo toh, jeng?" jawab Bu Uni.

Bu Yeti menggerakkan badannya. "Jeng, lihat ke sana! Itu ruang Melati yang di ujung sana." Ucapan Bu Yeti itu juga sukses membuatku ikut mengikuti arah yang ia tunjuk.

"Sepi, jeng." Bu Uni masih memperhatikan ruangan itu dengan saksama. Sementara aku belum sama sekali melihat keanehan di sana.

"Katanya di sana suka ada penampakan, Jeng. Kemarin saudara saya enggak sengaja lewat situ. Terus nih, ya, dia itu mencium bau melati. Dan yang bikin semakin seram itu saat ia mendengar ada yang bilang, 'Bang, mau kemana. Sini makan Melati bareng neng,' Jeng, Ya Ampun, merinding saya mendengar ceritanya. Sudah gitu, ruangannya gelap sekali kalau malam hari. Akhirnya saudara saya itu langsung demam seminggu enggak turun-turun," ujar Bu Yeti.

Bu Uni terlihat tak percaya. Aku hanya bisa mendengar ucapan mereka lebih dalam. "Ah, masa, Jeng?" tanggapan Bu Uni membuat Bu Yeti semakin gencar untuk bercerita.

"Nah, semenjak saat itu, saya berusaha mencari tahu tentang ruang Melati di sana. Dan menurut hasil yang saya dapat, katanya ruang Melati itu sudah ndak terpakai selama dua tahun silam! Kalau malam, para dokter ndak berani lewat sana. Katanya akan ada yang bicara, 'Dok, tolong sakit, dok! Tolong nyawa saya, dok!'. Duh, saya, sih, perlu mikir berjuta kali buat lewat sana." Bu Yeti terlihat mengelus-elus lengannya. Mungkin karena aura mistis yang ia ciptakan sendiri.

"Wah, angker sekali, Jeng!"

"Iya, Jeng! Usut punya usut, nih, di sana itu pernah ada korban luka bakar. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka bakar. Ih, saya jadi rada kurang enak menceritakannya. Nah, dia meninggal ketika terakhir dia bilang, 'Ah, panas! Pecahkan saja gelembung saya sus,'. Dia bicara seperti itu ketika ingin diganti infusannya. Mitosnya setelah kematiannya, sering ada penampakan orang sedang memecahkan gelembung luka bakar itu. Lalu dia juga sering ngesot dan menimbulkan suara kelenjar gelembung pecah di lantai. Hih! Gimana, ya, Jeng. Wlee!" Terlihat Bu Yeti seperti orang yang pura-pura menahan mual.

"Ih, naudzubillahimindzalik, deh, Jeng! Jiji saya mendengarnya," ujar Bu Uni sembari memegangi tengkuk lehernya.

"Mom, ayo pulang!" Seorang anak perempuan yang masih kecil terlihat menarik-narik ujung pakaian yang dipakai Bu Yeti.

"Oh iya, Mom sampai lupa. Jeng, saya duluan, ya! Mari!" Bu yeti menepuk bahu Bu Uni sebagai tanda perpisahan.

Kini tatapanku tak terlepas dari ruang Melati pada pojok rumah sakit ini. Aku hanya ingin mengetahui kebenaran cerita itu. Eum, atau mungkin hanya sebuah gosip belaka?

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Namun, awan gelap telah berhasil menutupi sebagian kawasan ibu kota ini. Aku terus menatap tempat yang dideskripsikan angker tersebut. Hingga ada sesosok orang hendak membuang sampah. Namun, tidak jelas secara keseluruhan badannya. Dan ketika ia menengok ke arahku, ia terkejut dan berusaha lari kembali secepat kilat memasuki kamar di salah satu ruang Melati.

Tak hanya dirinya, aku pun juga sempat terkejut. Kutolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, berharap tak ada Muhzeo, Paul, ataupun Elsa yang melihatku hendak ke sana. Entah dorongan dari mana aku bisa seberani ini.

Aku melajukan kaki perlahan, menyusuri koridor dan tersenyum manis pada mbak-mbak cleaning service. Kutunggu orang itu pergi. Lalu kulanjutkan perjalananku yang tinggal separuh jalan lagi.

Tap ... Tap ....

Aku terlonjak kaget ketika mendengar derap langkah kaki mengikutiku dari belakang. Segera kubalikkan kepala dan hasilnya nihil. Tidak ada siapa pun di sana. Rasa penasaranku semakin meninggi. Dengan bermodalkan rasa penasaran itu, aku tak mempedulikan rasa takutku dan mencoba jalan kembali dengan langkah kaki yang sedikit pelan. Namun, tepat di depan ruang Melati, ada seonggok kayu rapuh bertuliskan ....

JANGAN DEKATI. RUANGAN INI SUDAH TIDAK TERPAKAI LAGI. KECUALI PETUGAS YANG BERKEPENTINGAN.

Aku merasa berkepentingan di sini. Berkepentingan untuk menghilangkan rasa penasaran soal ruangan ini.

Eh, tapi tunggu sebentar! Kalau semisal ruangan ini sudah tidak terpakai lagi, lalu yang tadi masuk ke dalam ruangan, siapa?

Aku melongok sekilas. "Astaghfirullah." Detak jantungku mulai tak terkontrol saat itu juga. Kulihat jelas bahwa ada sesosok makhluk yang terbakar mengintipku dari jendela. Namun, secepat mungkin ia menyembunyikan wajahnya kembali.

Ah, mengapa aku jadi sepenasaran ini?

Bau Melati menyeruak masuk ke dalam hidungku. Leherku seperti tertiup hembusan napas seseorang. Lagi-lagi ketika aku membalikkan tubuh, tidak ada siapapun di sana.

Kumajukan diriku kembali, hingga hawa nyaman bersemayam dalam diriku. Aku menghirup napas dalam-dalam, menikmati aroma Melati yang nampak menenangkan.

Aku melirik ke arah lantai dan mendapati boneka biru muda yang telah usang. Di beberapa sisi sudah robek dan mengeluarkan gumpalan kapas. Aku hendak meraihnya namun ....

Puk..

"Allahu Akbar, Allah!" kagetku ketika seseorang menepuk pundakku.

"Ngapain, sih, di sini? Gua cari lo sampai ke kantin tau!" kesal Muhzeo sembari bernapas lega.

Aku menggeleng kepala sembari menunduk.

"Kenapa? Jelaskan saja," ujar Muhzeo dengan nada agak melembut. Aku menunjuk ke arah ruang Melati dengan arahan daguku.

Muhzeo melirik sekilas. "Sudah tau ada plang tulisan tidak boleh didekati. Masih saja susah dibilanginnya." Muhzeo langsung menarik tanganku untuk menjauhi ruangan itu.

Pandanganku tak bisa terlepas dari ruangan itu. Ketika sesosok tangan tanpa badan melambai-lambai ke arahku, aku melotot tajam dan segera memalingkan wajahku.

Lagi-lagi tangan itu ....

Tangan yang sama dengan tangan yang hendak membuang sampah tadi!

Next?

Continue Reading

You'll Also Like

39.9K 8.8K 22
Sad ghost 3 - Genre : Horor Comedy. ________ Takdir membawa Agnes harus kembali bertemu dengan hantu-hantu konyol dari kalangan SAD GHOST dimensi 3...
72.4K 9.7K 55
Tak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku t...
176K 25.8K 33
Apa yang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kata indigo? ---------------------------------------------------- Hana Sabita, gadis 16 tahun y...
4K 511 15
UPDATE [ SABTU & SENIN] There was something behind the room _______________________________________ Ketujuh anak muda yang diantaranya baru saja naik...