Bisikan Mereka ✔

By askhanzafiar

222K 18.2K 726

Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dal... More

Siapa aku?
Membantu Mereka
Diganggu
Kejanggalan
Petak Umpet
Play With Tere
Televisi
Rekaman Berdarah
Kepiluan dan kabar gembira
Ekskul
Sakit
Kejadian Berdarah
Penginapan
Tentang Author #1
Rumah Sakit
Rumah Sakit '2
Uji Nyali
Villa Delia
Villa Delia'2
Tentang Author #2
Gua Sunyaragi
Teman Pemakai Susuk
Teman Pemakai Susuk '2
Tertukar.
Bukan Penyakit Biasa
Bukan Penyakit Biasa'2
INFO PENTING PAKE BANGET.
Rumah Omah
Rumah Omah '2
Vc terakhir.
A Piano.
Siapa Dia?
Kak Kenan?
A Mystery
Siapa pelakunya?
Akhir dari segalanya?
Empat Tersangka.
Ending?
Terungkap!
Menuju Cahaya?
Sejatinya
Persiapan pelantikan
Keganjilan
Ternyata?
Tragedy's
Pergi?
HEI INI PENTING BANGET!
Tentang Mamah
Ending! 🔚
LANJUTAN BISIKAN MEREKA
Hororwk

Kampung Maksiat

4.2K 372 2
By askhanzafiar

Setelah beristirahat dengan cukup, malamnya Paman langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Hingga sampailah kami di suatu perkampungan. Pada bagian pagarnya terdapat ucapan selamat datang yang ditempeli kerangka kepala kerbau dan rusa. Penjaga yang membawa tongkat berujung tanduk mempersilakan kami masuk. Puluhan sesajen tertata rapih di sepanjang jalan. Se-creepy inikah suasananya?

Orang-orang yang sedang menyembah pohon–yang mungkin saja memang ada iblisnya–memberikan sesajen babi guling. Indra penglihatan kami kini telah dipenuhi dengan pemandangan yang sangat tak lazim itu. Kami dan yang lain tiada henti mengucapkan kalimat tauhid. Jangan sampai kami melakukan hal-hal musyrik di sini, naudzubillahimindzalik.

Kami menuju rumah sang kepala suku yang ditunjukkan oleh dua orang berbadan kekar. Sekitar setengah jam kami menunggu, keluarlah dua orang perempuan sambil membenahi bajunya. Rambutnya acak-acakan dan terdapat bercak merah di sekitaran badan bagian atasnya.

Naudzubillahimindzalik, benar-benar kampung maksiat.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya kepala suku yang baru saja ke luar sembari membenahi kancing bajunya dan rambut yang berantakan.

"Oh, Bapak yang menghubungi saya lusa kemarin, ya?" tanyanya seraya mengerjapkan mata.

"Nggih, Pak. Saya orangnya. Saya ingin mengembalikan ini." Paman menunjukkan kalung yang ditemui membawa sebuah perkara itu.

"Oh, ini kalung milik Suratmo. Dia sudah meninggal beberapa hari yang lalu karena kalung ini tidak jatuh kepada orang yang tepat. Justru orang yang terkena kalung sebelum kalian, menyantet Suratmo hingga mayatnya hangus terbakar," terang Sang Kepala Suku.

Aku meneguk ludah tak percaya. "Di mana kami bisa meletakkan kalung ini?" tanya Paman yang tak ingin berbasa-basi lebih lama dengan orang semacam ini.

"Berikan saja kepada keluarganya. Tunggu! Akan saya suruh pengawal saya untuk menunjukkan rumahnya." Kepala suku itu langsung memanggil seorang bermata merah, badannya hitam legam tampak bukan seperti orang pada umumnya.

"Tunjukkan pada mereka rumah Suratmo!" perintah kepala suku itu yang langsung disambut anggukan tanpa ekspresi.

"Silakan ikuti saja dia!" Ucapannya langsung membuat kami mengangguk. Paman selalu mengingatkan untuk tidak lupa menyebut Asma Allah.

Sesampainya di sebuah rumah kecil, sosok bermata merah itu menoleh ke arah kami. "Ini rumahnya. Saya permisi dulu," ujarnya sembari berjalan dengan agak melamban.

Rumah dari bilik bambu beratapkan alang-alang yang telah mengering kini berada tepat di depan kami. Berbagai macam sesajen menghiasi luar rumah itu. Wangi kemenyan memasuki indra penciuman kami dengan sangat pekat. Bunga Melati tergeletak di sepanjang jalan kecil.

Aku mendekat ke arah Muhzeo. Ia memegang pundakku bermaksud untuk menenangkanku dan meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Paman menyuruh kami untuk menunggu di halaman. Ia masuk ke teras rumah yang hanya dilapisi beberapa lapis daun pisang. Ia mengetuk pintunya.

Kriet ....

Pintu terbuka dengan lebar. "Siapa, ya?" tanya seorang perempuan dengan kantung mata yang menghitam, darah segar mengalir di sudut bibirnya.

"Benar dengan rumah Almarhum Suratmo?" tanya Paman dengan nada yang sepelan mungkin.

"Jangan sebut nama itu lagi, sialan!" umpatnya dengan sorot mata tajam nan merah menyala.

"Maaf, kami hanya ingin mengembalikan kalung ini." Paman memperlihatkan kalung hitam tersebut.

"Terkutuklah dengan kalung itu! Setan!" Perempuan itu terus mengumpat dan mengumpat.

"Sabar! Kami hanya ingin mengembalikan kalung ini." Paman berusaha untuk tidak terbawa emosi.

"Mamah, ada apa? Mamah tidak jadi menghisap darahku, kah?" Pertanyaan lugu nan tabu itu berasal dari ke luarnya anak kecil dari dalam rumah yang pada bagian lehernya sudah terdapat bekas gigitan dan darah segar yang menetes sedikit demi sedikit.

Astaghfirullah, apa jangan-jangan mulut ibunya itu berdarah karena habis menerkam anaknya sendiri?

"Kalian bisa mengembalikannya di dekat sumur tua itu. Ada sebuah makam di sana dan kalian bisa menimbun kalung itu di dalamnya. Semoga berhasil," ujar perempuan itu sembari menggendong anaknya dan mengisap darah anaknya kuat-kuat.

Kami melotot tajam. Aku bersembunyi di balik badan Muhzeo. Kami sama-sama merasakan kengiluan yang sangat membuat kami merinding. Tidak masuk akal, 'kan? Tapi ini benar-benar terjadi.

"Kalau begitu, kami izin pamit. Permisi." Paman mengangguk hormat dan bergegas mengajak kami pergi dari tempat itu, takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Kurasakan tubuhku kian melemah. Mataku mulai berkunang-kunang. Jangan bilang kalau tenagaku terkuras akibat suasana mistis di sini?

"Dira, tahan!" Paman langsung menyuruh Muhzeo mendudukkanku di sebuah bangku panjang yang biasa disebut bale.

Di samping badanku yang melemah, Paman mendekatkan tangannya ke arahku, merapalkan doa sembari menutup mataku.

"Gusti Allah, Gusti Allah selamatkan kami. Kuatkanlah iman kami. Astagfirullahaladzim." Hanya kalimat itu yang berhasil kudengar.

Setelah beberapa menit beristirahat, akhirnya aku mulai sadar dan Paman memberikan air putih kepadaku. "Minumlah! Sebut asma Allah berulang kali," ujar Paman yang langsung kupatuhi perkataannya.

Aku merasakan tubuhku mulai segar. Mataku mengerjap beberapa kali. Dapat kulihat bahwa Muhzeo menampilkan muka yang harap-harap cemas. Begitu juga yang lain.

Aku tersenyum dan mulai berusaha bangkit. "Alhamdulillah, kau sudah lebih baik. Mari kita lanjutkan sebelum hari mulai malam!" Paman bangkit dari duduknya sembari melihat lagi keadaan sekitar.

Kami mengangguk. Muhzeo berusaha menuntunku walaupun sudah kubilang, aku tak mengapa. Dia tetap bertahan terhadap pendiriannya. Aku hanya tersenyum, merasakan sesuatu yang aneh dan kerap kali terjadi ketika berdekatan dengannya.

Hingga sampailah kami di sebuah sebuah perkebunan. Di dalamnya terdapat sumur tua yang sudah sangat usang. Tepat di sebelah utaranya terdapat satu makam yang cukup dipenuhi dengan sesajen dan beberapa ikat daun suji.

"Muhzeo, bantu Paman timbun kalung ini. Elsa, karena tidak ada lelaki lain yang bisa mengazankan Dira, tolong azankan dia jangan sampai lengah. Paul, pegang Dira kuat-kuat. Dira, apapun yang terjadi, kau diam saja!" perintah Paman yang membuat suasana seketika langsung mencekam.

"Loh, kenapa? Kenapa aku?" ujarku bertanya-tanya.

"Paman tidak ingin kau jadi korban lagi. Tolong kerjasamanya,"ujarnya sembari berjalan perlahan mendekati kuburan itu.

Paman berhenti sebentar dan menahan muhzeo agar berhenti terlebih dahulu. Hutan yang rimbun itu berhasil membuat suasana semakin suram. Angin dengan kecepatan sedang berhembus ke arah utara. Hingga akhirnya, aku melihat sosok makhluk dengan perawakan besar nan tinggi memegang tongkat bak iblis menghalangi jalannya Paman. Wajahnya lebih kepada wajah rusa tua. Kakinya berbentuk kaki kambing. Tangannya panjang seperti ular. Dan badannya dipenuhi sisik ikan.

"Ada apa kau berani-beraninya mengganggu tempat ini?" ujar iblis itu sembari melenggak-lenggokan kepalanya.

"Kami tidak berniat mengganggu. Kami hanya berniat membantu," sahut Paman.

"Mau apa?!" gertaknya.

"Mengembalikan ini!" Paman menunjukkan kalung tadi.

"Silakan saja kalau kalian bisa!" ujar iblis tersebut yang langsung menghilang ditandai dengan asap yang mengepul di udara.

"Audzubillah himinassyaiton nirrajim
Bismillahhirrahmannirrahim.
Alhamdulillahi rabbil 'alamin."

Terdengar suara teriakan mengerang kesakitan. Elsa tak berhenti-hentinya untuk mengazankanku.

"Arrahma nirrahim. Maliki yaumiddin. Iyyaka na'kbudu waiyyaka nasta'in."

"Lepaskan belenggu ini, huargh urwagh ehiyuh wa ergh!"

"Ihdinassiratal mustaqim. Siratal lazina an'amta'alaihim ghairil maghdubi 'alaihim waladdhalin.
Aamiin."

"Wuarh euhaggg!"

"Kalian jangan mencoba mengganggu kami!"

"Ikuti kami!"

"Anta maulana fansurna alal-qaumil-kafirin."

"Arghhh, tidak!"

"Anta maulana fansurna alal-qaumil-kafirin."

"Aug ahhh, hentikan!"

"Anta maulana fansurna alal-qaumil-kafirin."

Bles ....

"Astagfirullahaladzim, hanya kepada engkau kami berlindung dari segala godaan syaitan yang terkutuk." Paman masih Setia melantunkan ayat suci Al-Qur'an hingga tak ada lagi suara-suara aneh yang timbul.

Ia bergegas mengeluarkan kain putih dan membungkus kain itu dengan simpul yang agak aneh.

Paman menyuruh Muhzeo untuk menggali tanahnya. Alangkah terkejutnya kami ketika tanah itu keras bak batu sungai.

Paman mengambil alih menggali tanah dan menyerahkan kalung itu kepada muhzeo. Atas seizin Allah, tanah itu dapat digali dan ketika Muhzeo hendak memberikan kalung itu kepada paman, ia seperti tertarik oleh kalung itu. Ia diterbangkan dan dilayangkan berulang-ulang.

Dengan sepenglihatanku, ada sehelai kain yang berusaha menarik paksa kalung itu, tapi aku tak tau bentuknya seperti apa.

"Kalimat Tauhid!" ujar paman berteriak.

"Lailla haillallah. Muhammadar Rasulullah. Lailla haillallah. Lailla haillallah. Lailla haillallah. Lailla haillallah." Muhzeo memegang erat kalung tersebut.

Blus ... Debuk ....

Muhzeo terjatuh ke tanah dengan posisi kepala terlebih dahulu. "Muhzeo!" Aku tak tega melihatnya. Sungguh.

"Diam, Dira!" Paman mengingatkanku agar tetap mengikuti aturannya.

Aku mengangguk, menutup mataku agar tak terpengaruh oleh rencana makhluk-makhluk jahat itu. Aku hanya bisa diam sembari mendengarkan lantunan azan dari telinga kananku.

"Dira, kemarilah! Ikuti aku," ujar seseorang tepat di telinga sebelah kiriku.

Aku hampir saja tergoyah hatinya. Namun, kusegerakan membaca ayat kursi dan beberapa surah Al-Qur'an yang kuhapal.

Aku melihat Paman dengan cepat mengubur kalung tersebut. Ia memberi doa agak lama dan kemudian menyuruh kami untuk segera menjauhi tempat itu.

Dengan langkah kaki yang panjang dan tempo yang cepat, kami langsung berlari kembali ke arah mobil yang terlah terparkir tadi. Tepat di sebelah kananku, ada upacara pesugihan bayi yang hendak dilakukan. Kami semakin muak dengan tempat ini. Kami berterima kasih kepada para penjaga karena sudah mengamankan mobil kami. Dan sembari bertasbih, paman mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

"Kita akan berendam dulu di daerah dekat sini," ujarnya ketika setengah jam kita sudah berada di perjalanan.

"Kenapa tidak langsung pulang saja, Paman? Paul lelah," ujar Paul sembari memijit pelipisnya pelan.

"Kalian mau ditempeli terus?" Paman membelokkan mobilnya ke arah tempat pemandian yang bernama ....

Kubangan warna.

"Ditempeli?" Elsa mengulang perkataan yang tak ia ketahui maksudnya.

"Mereka sengaja menaburkan sesuatu ke badan kita saat kita sedang berbicara dengan perempuan yang ada di rumah Suratmo. Paman hanya diam. Beruntung Paman membawa sebotol air yang semalam paman bacakan ribuan doa. Kita harus segera membersihkan diri. Mereka licik. Dari tampilan depan mereka tak menampakkan bahwa mereka akan mengajak kita untuk menyembah apa yang mereka sembah. Namun, dari belakang dia melakukan sesuatu yang tak terduga. Salah satu makhluk ada yang mengikuti kita. Makhluk itu tak dapat dilihat, walau dengan orang indigo sekalipun," terang Paman sembari memberhentikan mobilnya.

"Ayo, turun!" ajak Paman.

Kami mengikuti kata-katanya. Benar sekali, kami merasakan badan yang benar-benar sangat berat dan pegal.

Paman menyewa dua kolam yang hanya dibatasi dengan bilik bambu untuk merendamkan diri.

Paman mengucapkan basmalah sembari menuangkan setengah botol ke kolamnya dan setengah botol ke kolamku.

Wangi semerbak bunga lavender tercium harum dan benar-benar menyejukkan.

"Ini bukan wangi bunga asli, ini wangi dari doa-doa yang memang sudah tertanam di air botol tadi," jelas Paman sembari bersiap.

"Jangan lepas apa pun yang kalian pakai ketika di sana," ujar Paman yang langsung berendam ke arah kolam yang pertama.

Aku dan Elsa segera berendam ke kolam kedua. Hangat, sejuk, dan melegakan sekali.

Subhannallah ....

"Kau tidak mau berendam?" tanya Paman kepada Paul yang masih bisa kami dengar dari kolam sebelah.

"Aku bukan orang Islam. Doa-doa itu bukan bagian dari doa-doaku," sahutnya.

"Kau masih mau ditempeli? Tidak ada aliran sesat di dalam kolam ini. Berendamlah! Rasakan apa yang terjadi setelahnya."

Dengan ragu-ragu Paul segera meredamkan dirinya sembari menutup mata.

Setengah jam kami berendam dengan jari-jari yang mulai mengeriput, akhirnya kami berdiri dan bergegas mengganti pakaian.

"Kita akan menginap. Kebutulan di sini terdapat penginapan dan dari puluhan kamar, tersisa dua untuk kita." Paman merapikan tatanan rambut kunonya.

"Kalau kejadiannya seperti kemarin, bagaimana, Paman?" tanya Elsa yang trauma akan kejadian kemarin.

"InshaaAllah, tidak. Tadi paman sempat konfirmasi dengan bagian penjaganya, katanya di sini tempatnya cukup ramai walaupun malam sudah larut. Setiap tempat pasti ada penghuninya. Tergantung iman kita sedang lemah atau tidak." Paman tersenyum sembari mengajak kami ke arah tempat kamar penginapan.

Lantai dua di sini benar-benar ramai. Koridornya tak pernah sepi dengan lewatnya beberapa orang. "Ini kunci kalian. Jangan lupa berdoa," ujar Paman yang langsung mengajak Paul dan Muhzeo masuk.

Aku dan Elsa menyegerakan sholat Isya. Tak lupa dengan rutinitas membaca dua ayat terakhir surah Al-Baqarah, Ayat Kursi, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas sebanyak tiga kali, Berdzikir menyebut asma-Nya, dan memohon ampun atas segala apa yang kami perbuat.

Kami berdua melipat mukena dengan cekatan. Baru saja ingin merebahkan badan ke tempat tidur, ada suara ketukan pintu berkali-kali.

Tok ... Tok ....

"Dira, Elsa, makan dulu, yuk!" panggil Muhzeo dari balik pintu.

"Ayo, Dira, kita makan dulu!" ajak Elsa sembari memasukkan ponsel ke dalam sakunya.

Aku pun mengembuskan napas panjang. Andai lapar bisa ditahan, aku pasti lebih memilih untuk tidur ketimbang makan. Rasanya lelah sekali.

Aku dan Dira keluar dari kamar. Paman, Muhzeo, dan Paul sudah berada di luar kamar dengan pakaian rapi. Muhzeo tersenyum ke arahku.

"Jangan berpacaran di sini." Ucapan Paman itu diselingi dengan senyuman jahil.

Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Ah, paman membuat suasana menjadi sangat canggung.

"Ayo!" ajaknya sembari berjalan ke lantai bawah.

Tepat di ruang tengah penginapan ini, terdapat tempat makan yang lumayan luas. Sudah banyak orang yang singgah untuk makan malam. Penginapan yang jauh dari kata kuno.

Seorang pelayan mengantarkan menu harian ke meja kami. "Selamat makan," ujar Sang Pelayan sambil tertunduk hormat.

Di depan kami kini tersedia steak daging sapi, nasi kebuli, capcay, teriyaki chicken, sop buntut, lemon tea, dan esteh dalam teko unik.

Kami semua menatap makanan itu dengan tatapan buas. Baru sekitar 10 menit, makanan itu langsung ludes tak tersisa. Dan jangan heran kenapa kami tak memesan makanan yang kami inginkan. Karena biaya makan dan penginapan sudah menjadi satu dan kami bebas memakan sebanyak apapun, tetapi pilihan menunya berasal dari penginapan ini.

"Paman, Dira ngantuk. Dira balik ke atas duluan ya," ujarku sembari menutup mulutku yang sudah beberapa kali menguap.

"Elsa, ikut Dira kalau begitu!" ujarnya.

Paman mengangguk dan melanjutkan perbincangannya dengan Muhzeo dan Paul.

Sesampainya di kamar atas, tubuhku langsung bertubrukan dengan kasur dan membaringkan diri di sama tanpa mempedulikan Elsa yang masih betah menatap layar ponselnya.

Waktu semakin larut. Bisa kupastikan kini jam menunjukkan pukul satu malam. Aku terbangun karena merasakan selimut yang kupakai tertarik ke samping. Kudapati Elsa yang tengah menyesuaikan deru napasnya yang agak kacau.

"Kau kenapa?" tanyaku sembari menghadapkan badanku ke dirinya. Mataku masih sayup-sayup setengah sadar.

Terlihat jelas bahwa wajahnya pucat pasi. Tak ada ekspresi apapun selain terkejut yang berlebihan.

"Enggak apa-apa, kok. Aku ngantuk. Biar ku ceritakan besok saja. Selamat tidur, Dira!" Elsa langsung memejamkan matanya dengan cukup erat. Seperti dipaksakan.

Aku pun hanya menaikkan bahu dan berusaha untuk tidak mempedulikannya. Mataku mulai terpejam dan aku tertidur kembali.

👀

Selepas sholat subuh tadi, aku segera mandi dan berhias seadanya. Kupakaikan bedak dan pelembab bibir secara tipis. Aku menoleh ketika Elsa baru saja keluar dari kamar mandi.

"Kau semalam kenapa?" tanyaku lagi sembari membereskan tempat tidur. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi saat Elsa terlihat masih agak ketakutan.

"Kemarin aku belum tidur hingga jam satu. Aku sibuk mengurusi kucing-kucingku di game petshop yang baru ku download seminggu yang lalu." Ia mulai mendekatiku dan memegang tanganku. Ia menoleh ke arah kanan dan kiri entah untuk memastikan apa.

"Tau tidak apa yang terjadi?" tanyanya yang semakin membuatku penasaran.

Aku pun hanya diam untuk lebih menyimak kelanjutan ceritanya.

"Tiba-tiba ada bunyi panci jatuh. Kupikir itu hanya ulah tikus. Ya, wajar saja kalau aku tidak menghiraukan bunyi-bunyi itu." Ia mencoba mengatur deru napasnya. Sepertinya rasa ketakutannya itu masih membekas. Kentara sekali dari raut wajahnya yang mulai pucat.

"Sepuluh menit kemudian, bunyi itu hilang, Dir. Tuh kan bener, ternyata cuma ulah tikus," ujarnya yang bermonolog pada dirinya sendiri.

"Dari situ, aku mulai melanjutkan permainan pada handphone-ku, tapi ...."

"Entah kenapa, suara panci jatuh itu terdengar lagi. Semakin lama, semakin banyak yang jatuh. Enggak hanya panci. Mungkin wajan, sendok, mangkok melamin, dan masih banyak lagi."

"Karena saking penasarannya, ya, sudah aku langsung mengeceknya ke arah dapur." Ia nampak menelan ludahnya.

"Tapi aku lupa, Dira...." Aku mengerutkan kening. Bingung dengan ucapannya yang tak kunjung dilanjutkan.

"Lupa kenapa?" tanyaku sembari berusaha membantunya untuk menenangkan diri.

"Kamu ingat? Kita pesan kamar penginapan yang paling murah dan tersisa dua buah, 'kan? Di dalam kamar penginapan ini kan tidak ada dapur. Apalagi alat masak." Ucapan Elsa barusan berhasil membuatku sontak terkejut. Elsa langsung bergegas memasukkan baju kotornya ke dalam kantong kresek.

"Eum, ta-tapi aku tidak mendengar apa-apa loh, El." Aku berusaha membuatnya untuk sedikit ber-positive thinking.

"Makanya itu, aku sempat heran juga. Kenapa suara sekencang itu, kau tidak mendengarnya? Apalagi kau bukan perempuan yang ber-notabene kebo." Elsa melipat bagian bawah celananya yang agak kepanjangan.

Ting ....

Suara notifikasi dari ponsel berhasil membuatku menoleh seketika. Buru-buru aku membuka isi pesan yang ada.

Muhzeo

Keluar! Gua udah di depan kamar sama Paman dan juga Paul. Dari tadi gua panggil ke kamar kalian, gak ada sama sekali sahutan. Udah beres-beres kan? Kita mau pulang sekarang.

Aku agak terperanjat sebentar. Loh, manggil? Perasaan dari tadi keadaan sepi-sepi aja tidak ada yang memanggil. Padahal kamar ini sama sekali tidak kedap suara.

"Kau mendengar suara Muhzeo memanggil tidak, El? Katanya dia sudah menunggu di luar dari tadi. Nih pesannya!" Aku menyerahkan ponselku agar Elsa dapat melihat jelas isi pesannya.

"Loh, tidak ada suara apa-apa dari tadi kok." Elsa mengerutkan keningnya karena bingung. Sama seperti diriku.

Klontang ....

Suara panci jatuh seketika membuat kami berdua terdiam. Kami saling berpandangan cukup lama. Sejurus kemudian, kami langsung bergegas mengambil barang yang sudah dibereskan dan ke luar dari kamar. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi.

Kami melihat koridor yang pagi-pagi seperti ini sudah sangat ramai. Mataku celingukan mencari keberadaan Muhzeo yang katanya sudah menunggu di luar kamar dengan Paman dan Paul.

"Loh, mana? Katanya udah nungguin?" tanya Elsa dengan suara kesal.

Ceklek ....

Suara pintu terbuka terdengar dari arah kamar sebelah. "Loh, kok kalian sudah rapih? Baru saja tadi Paman mau mengingatkan kalian untuk bersiap," ujar Paman yang baru ke luar dari kamarnya bersama dengan yang lain.

"Tadi Muhzeo chat Dira, katanya kalian sudah menunggu di luar. Makanya kami cepat-cepat ke luar," jelasku.

Muhzeo nampak mengerutkan alisnya. "Gua enggak nge-chat lo," ujarnya sembari mengecek kembali ponsel di tangannya.

"Nih, liat!" Muhzeo memperlihatkan room chat kami dan pesan terakhir tersebut adalah kemarin ketika Muhzeo menyuruhku untuk tidak lupa berdoa sebelum tidur.

"Eh? tadi jelas-jelas lo chat gua, kok! Tunggu gua cari dulu chat-nya." Aku langsung fokus ke arah chat yang tadi sempat dikirim Muhzeo.

Aku dan Elsa sama-sama terkejut. Pesan tadi sudah menghilang begitu saja.

"Lo–loh tadi jelas-jelas ada. Kau melihat ada pesan dari Muhzeo, 'kan, Elsa?" tanyaku memastikan.

"Iya lah!" ujar Elsa yang mulai mendekat ke arahku.

"La–lu tadi si–siapa?" tanyaku yang langsung saling berpandangan dengan Elsa.

"Hus! Sudah-sudah. Makannya jangan terlalu banyak berbicara yang aneh-aneh kalau di tempat orang. Paling mereka cuma iseng aja. Udah, yuk, balik ke mobil!" ajak Paman sembari merangkulku dan bermaksud menenangkanku.

Aku masih memikirkan kejadian tadi. Memang aku tak melihat apa-apa selama di sana. Tapi bayangan kejailan mereka yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya. Apakah itu semacam perkenalan?

Panci jatuh.

Chat misterius.

Lalu apa lagi selanjutnya?

Muhzeo melihat ke arahku dan mulai mengacak-acak rambut. "Jangan dipikirin!" ujarnya sembari tersenyum.

Aku hanya membalas dengan anggukan dan sebuah senyuman. Kupasang earphone ke telingaku. Ku tenangkan diri dengan mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari ponselku. Sungguh, perjalanan yang benar-benar melelahkan, bukan?

👇🏼The revision contains a note for January 10, 2021.👇🏼

Hallo, Readerswey-ku. Kali ini bukan update yang nongol, but aku mau bagi-bagi kesenangan aku karena salah satu part dari Bisikan Mereka masuk di YouTube and Spotify-nya Podcast Bagi Horror yang dikelola oleh Kak Arga. Untuk kalian yang penasaran bagaimana pembawaan Kak Arga mengenai The Genk of Pembasmi Syaiton, yuk, silakan mampir sebentar! Only 20 menit, kok!
Pembawaannya mantap banget, deh!

Kalau kalian pecinta Spotify garis keras, terutama podcast seram, pasti enggak asing dengan nama Kak Arga! Oh iya, ini eksklusif di Spotify, loh!

Pokoknya harus nonton, hihi.

Oke, deh, terima kasih atas waktunya!
Jangan lupa untuk terus vote and comment, beb♥️.

Salam
⚒️Bisikan Mereka×Podcast Bagi Horror⚒️

Continue Reading

You'll Also Like

72.4K 9.7K 55
Tak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku t...
35.7K 222 9
(FIKSI) Flora,seorang Mahasiswi bertubuh molek penasaran dengan kamar Sebelah di tempat Kos-an ny.Ada misteri yg menunggu...
193K 14.1K 11
"Kenapa kita harus tidur dengan posisi kaki diikat?" Tentang Penari Ballerina dimana akan mengikuti kompetisi Internasional Dance yang akan diadakan...
10.2K 1.4K 30
[COMPLETED] Seri Cerita SETAN Bagian 1 Perasaan Samsul dan Nadin sangat tidak enak, ketika mendengar kabar bahwa seorang pemuda dari kelas 10 di seko...