You Never Walk Alone√

By Reika_Rei

228K 24.4K 3.6K

[Completed] Jimin selalu sendirian dalam hidupnya, ia tak pernah menerima kasih sayang baik dari orang tua at... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36 [Last]
Epilogue

Chapter 29

4.8K 560 119
By Reika_Rei

Setengah jam lamanya Jimin menahan rasa tak nyaman kala berada di hadapan bangunan tempatnya selama ini tinggal. Rumah yang menyimpan banyak kenangan pahit, namun juga satu-satunya tempat ia pulang.

Beberapa hari dilalui dengan begitu cepat sejak Jimin meminta izin satu minggu untuk memulihkan keadaannya, ia menetap di markas bangtan dengan ditemani pelayan yang dibayar oleh para sahabat, pun mereka bergantian mengunjungi setiap hari, terkecuali Yoongi yang harus kembali ke Daegu.

Terhitung sudah 4 hari berlalu setelah kejadian mengerikan itu, Jimin masih belum terbiasa dengan semuanya. Setiap sedang sendiri di kamar, ia selalu bertanya-tanya,

Mengapa di sini sepi sekali?

Ke mana perginya appa dan eomma?

Mengapa mereka tidak bertengkar seperti biasanya?

Dalam beberapa menit kemudian, ia menyadari bahwa dirinya sudah terbebas dari mereka.

"Jimin, kenapa melamun?" tanya Namjoon yang mengangkat sebuah kotak besar berisi buku-buku milik Jimin dan meletakannya di bagian belakang mobil.

Jimin sempat menatap kotak tersebut, melihat beberapa novel yang dulu ia beli setelah menabung secara diam-diam dan teringat bahwa sang ibu pernah melihat koleksi tersebut dari satu kali, namun tidak pernah berkomentar apa pun.

Hatinya terasa sesak lagi. Meski tidak pernah diperlakukan dengan baik, meski ia mengakui berkali-kali ingin membenci kedua orang tuanya, tapi selama ini Jimin tetap dibesarkan oleh sang ibu. Eunji tetaplah ibunya.

Dan ketika kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidup kita, kenangan di masa lalu, momen berharga bahkan yang terkecil sekalipun akan kembali teringat.

"Eunji itu mandul sejak kami belum menikah, ia tidak bisa punya anak! Kau hanyalah anak yang kami pungut dari jalanan." Jimin mencengkram rambutnya ketika suara itu kembali terdengar dalam benak.

Namjoon yang sedari tadi memperhatikannya refleks mendekat, "Jimin-ah, kenapa? Di mana yang sakit?"

Hanya gelengan yang dapat diberikan oleh Jimin, membuat Namjoon mengarahkannya untuk duduk di dalam mobil. Seokjin yang melihat kejadian itu segera menghampiri mereka dan meringis saat menyadari wajah sang adik kembali terlihat pucat.

"Jimin, kalau kau ingin menangis jangan ditahan, kalau ingin berteriak maka keluarkan. Jangan seperti ini, kumohon." suara Seokjin bergetar saat mengatakan ucapan tersebut, melihat Jimin yang sedang kesakitan membuat hatinya hancur.

"Ada apa hyung?" tanya Jihoon yang entah sejak kapan berdiri di dekat mereka, memperhatikan kedua kakaknya mencoba menenangkan Jimin.

Seokjin menggeleng pelan, "kami tidak tahu. Tapi sepertinya ia sedang menahan sesuatu yang membuatnya tertekan."

"Aku tidak apa-apa." suara lemah Jimin terdengar. Sosok itu kini sudah tidak terlihat kesakitan lagi dan sedang mencoba mengatur napasnya.

Lengan Namjoon terangkat merapikan rambut sang adik dengan lembut, sedang Seokjin mengambil sebotol air putih yang selalu tersedia di mobil mereka dan memberikannya pada Jimin.

Dengan patuh sang adik meminum air tersebut dan mencoba tersenyum setelahnya agar bisa menenangkan mereka yang tengah panik karena dirinya, "aku hanya teringat sesuatu. Tidak ada yang sakit kok."

Namjoon dan Seokjin serentak menghela napas sedang Jihoon hanya tersenyum lembut, "hyung, kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, ceritakan saja pada kami."

"Aku hanya bingung dengan apa yang harus kulakukan mulai dari sekarang, semuanya masih terasa aneh bagiku." Jimin mengigit bibir, ingin ia memberitahu mereka tentang apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan, namun dirinya merasa tidak perlu membahas hal yang belum pasti untuk sekarang.

Belum sempat ada yang menanggapi ucapannya, Taehyung, Jungkook, Hoseok dan Eunhyuk menghampiri ke arah mereka setelah selesai membereskan beberapa bagian rumah keluarga Park tersebut.

"Ada apa?" tanya Eunhyuk cemas ketika menyadari wajah Jimin terlihat sendu pun sedikit pucat.

Seokjin dan Namjoon bergeser dari posisi mereka, berniat membantu Taehyung dan Jungkook yang membawa barang-barang terakhir milik Jimin sekaligus memberikan kesempatan Eunhyuk untuk mendekat pada sang adik.

Sementara Jimin hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepala pelan, "tidak ada apa-apa, hyung. Hanya terlalu memikirkan banyak hal, hehe."

Sang kakak tersenyum lembut, memaklumi apa yang mungkin dirasakan Jimin saat ini, "kau adalah orang terkuat yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Aku yakin kau bisa melewati ini semua dan menemukan kebahagiaanmu suatu hari nanti. Semuanya akan baik-baik saja, Jimin-ah."

Anggukan diberi oleh Jimin, hatinya menghangat mendengar ucapan yang dilontarkan Eunhyuk itu, sosok yang selama ini selalu ia anggap sebagai kakak kandung sendiri, yang belum dapat ia balas kebaikannya.

"Sudah siap menuju rumah barumu, Jim?" kali ini Taehyung menyahut untuk mencairkan suasana, lengkap dengan senyum kotak terukir di wajahnya.

"Tae-hyung bilang ia akan mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan untukmu, hyung." Jungkook berucap dengan semangat, membuat Hoseok yang berada di sampingnya tertawa.

"Yak, Kookie! Apa kau lupa jika kita sudah sepakat untuk memberi kejutan pada Jimin. Bagaimana dia akan terkejut kalau kau memberitahunya duluan?" Hoseok benar-benar tidak bisa menahan tawanya, disusul oleh Namjoon dan Seokjin.

Sedang Taehyung menjitak pelan kepala Jungkook yang tak hentinya bergumam kata maaf.

Jimin tersenyum melihat keceriaan mereka yang selalu bisa membuat hatinya merasa hangat. Benar, mulai saat ini ia akan tinggal bersama Taehyung, menjadi bagian dari keluarga Kim seperti apa yang sangat diinginkan sang sahabat.

"Semuanya sudah beres, kan? ayo kita berangkat!" seru Hoseok setelah berhasil menghentikan tawanya.

-----

Ketika sampai di rumah yang jauh lebih besar dari rumah lamanya itu, Jimin kembali dirundung rasa cemas. Bagaimana ia bisa menyesuaikan diri di sini? Mungkin dengan Taehyung ia tidak ada masalah, namun bagaimana Donghae? Kedua orang tua mereka?

Dua hari yang lalu, ibu Taehyung sempat menelepon dan berkata akan dengan senang hati menerimanya sebagai bagian keluarga baru. Sempat Jimin bingung bagaimana beliau menerima begitu saja, namun Taehyung berkali-kali meyakinkan.

"Ibuku itu memang selalu sibuk sampai jarang sekali memperhatikan anak-anaknya. Tapi dia adalah orang yang sangat baik, pun ayahku. Mereka langsung menyetujui saat aku ingin kau menjadi saudaraku. Kau bisa menemaniku saat Donghae-hyung sudah menikah nanti." Itulah yang dikatakan olehnya saat Jimin selalu meragu tentang keputusan adopsi tersebut.

Langkah mereka terhenti ketika Taehyung menunjuk sebuah ruangan, tempat yang akan menjadi kamar Jimin, maka kesembilan pemuda itu bergegas menghampiri ruang tersebut.

"Astaga.." Jimin bergumam pelan saat melihat betapa luas kamar barunya itu, sungguh tidak sebanding dengan yang dulu.

"Well, aku tidak tahu kau menyukai kamar yang bagaimana. Nanti kita bisa mendekor ulang sesuai dengan keinginanmu." ucap Taehyung.

"Taehyung, ini terlalu luas. Apa tidak ada yang lebih kecil?" tanya Jimin dengan pelan, ia merasa ini terlalu berlebihan untuknya.

Beberapa di antara mereka saling pandang, anggota bangtan yang sering menginap tentu saja sudah tahu kalau tidak ada kamar berukuran lebih kecil dari yang satu ini.

Taehyung menggaruk pipinya canggung, "em.. Tidak ada Jim. Aku tahu mungkin awalnya akan terasa tidak nyaman untukmu, tapi cobalah untuk beradaptasi ya? Nanti lama-lama juga terbiasa."

Pada akhirnya Jimin hanya bisa pasrah, tentu ia harus benar-benar beradaptasi dengan semua ini. Perubahan hidup yang terlalu ekstrim.

Seluruh anggota bangtan maupun Eunhyuk membantu Jimin menata barang-barangnya di kamar tersebut. Butuh waktu satu jam hingga setengah pekerjaan mereka terselesaikan, hanya sisa beberapa yang lebih baik dikerjakan oleh Jimin sendiri.

"Ah, aku haus." keluh Jungkook saat mereka memutuskan untuk beristirahat di ruang keluarga.

"Tunggu sebentar." Taehyung pergi ke arah dapur, berniat mengambil minuman dingin untuk mereka.

Keheningan melanda ruang tersebut sebelum Eunhyuk pamit untuk pulang terlebih dahulu. Jimin memeluknya erat saat mengantar sampai pintu depan, berkali-kali mengatakan 'terima kasih' membuat sang kakak terkekeh gemas.

"Tidak usah berterima kasih, kau sudah aku anggap adikku sendiri, Jimin-ah. Sebenarnya aku sedikit patah hati saat Taehyung mengatakan tentang keputusan ini, sedang dulu sulit sekali membuatmu tinggal bersamaku. Tapi, selama kau baik-baik saja, selama kau berada di tempat yang aman bersama orang-orang terpercaya, sudah cukup untukku." Eunhyuk mengelus puncak kepala Jimin pelan, sedang sang adik hanya membalas dengan senyuman hangat.

Setelahnya ia berbalik untuk segera pulang, "aku pergi dulu, ya! Sampai jumpa di pesta nanti."

"Sampai jumpa, hyung. Hati-hati di jalan." Jimin melambaikan tangannya sebelum kembali memasuki rumah megah tersebut.

Tidak jauh dari ruang keluarga, Jimin memandangi para sahabatnya yang kini sedang memakan camilan seraya bercanda riang. Ia lagi-lagi merasa beruntung memiliki mereka dan berharap momen seperti ini akan selalu menghiasi harinya di masa yang akan datang.

"Jimin-ah, ayo ke sini. Taehyung bawa banyak makanan." sahut Seokin yang membuat Jimin tersenyum tipis dan menghampiri mereka.

Terima kasih, semuanya.

-----

Pesta yang gagal menjadi kejutan itu dilaksanakan sehari setelah Jimin tinggal di kediaman Kim. Yang datang hanya anggota bangtan, Eunhyuk, Donghae berikut kekasihnya, kedua orang tua Jungkook, juga bibi Jihoon.

Sayang sekali Yoongi tidak bisa datang karena sudah mulai sibuk mempelajari bagaimana mengurus perusahaan sang ayah. Taehyung sempat merajuk dan terlihat begitu sedih, namun yang lain mampu menghiburnya kembali.

Acara mereka tidak terlalu meriah, karena Jimin menolak sesuatu yang berlebihan. Ada sebuah tulisan besar yang terpampang di dinding ruang keluarga, 'Selamat bergabung di keluarga Kim, Jimin', beberapa orang di sana meniup terompet kecil di sekeliling sang tokoh utama malam itu. Dan berakhir dengan makan malam bersama.

Setelah semuanya selesai, dan beberapa orang dewasa pulang. Keenam sahabat itu memilih untuk menginap, maka Taehyung membagi kamar sesuai yang ada.

Jungkook memekik senang saat tahu akan sekamar dengan Jihoon, membuat yang lain keheranan dengan reaksi berlebihannya.

"Kenapa Kookie?" tanya Namjoon seraya mengangkat sebelah alisnya.

"Tak apa, hyung, hehehe." cengiran Jungkook membuat yang lain hanya bisa menggelengkan kepala.

Beberapa saat kemudian mereka sudah berpencar ke kamar masing-masing. Jungkook yang terlihat bersemangat segera menarik lengan Jihoon dan membawanya ke salah satu kamar, kemudian mengunci pintu ketika sudah masuk.

"Kenapa dikunci, Kook?" tanya Jihoon heran.

Yang ditanya hanya terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menatap Jihoon dengan serius, "ada hal yang ingin sekali aku tanyakan Ji."

"Soal Jimin-hyung?" tebak Jihoon yang dibalas anggukan. Tentu saja ia sudah mengira Jungkook akan menagih penjelasan setelah pengakuannya beberapa hari lalu.

Jihoon kini berganti menarik Jungkook untuk duduk di pinggiran kasur, "tentang apa yang kau ingin tanyakan dulu?"

"Mengapa kau tidak mengatakan hal ini pada Jimin-hyung? Mengapa kau dan kakak pertamamu diam saja? Kau tahu, bisa saja perkiraan itu benar kan? Aku akan sangat bahagia jika benar ia adalah kakakmu, Ji." Jungkook berkata dengan tidak sabar.

"Kau bahkan belum mengetahui keseluruhan ceritanya." Jihoon menghela napas lelah, ia menaiki ranjang dan mengambil salah satu guling sebelum menyandarkan punggunya pada headboard.

Sedang Jungkook hanya bisa mengikuti apa yang dilakukan sang sahabat, "kalau begitu ceritakan semuanya."

Hening, Jihoon memejamkan mata mencoba mengingat semua hal yang terjadi di Busan sebelum ia kabur ke sini, "pertama, aku minta maaf. Aku sebenarnya setahun lebih muda darimu. Aku masuk ke taman kanak-kanak lebih cepat dari teman seumurku."

"Kenapa kau tidak memberitahu hal ini sejak awal? Aku kan ingin dipanggil hyung juga!" protes Jungkook mencoba membuat sedikit rileks.

Dan benar saja, pemuda itu terkekeh dibuatnya, "maaf-maaf."

"Lanjutkan." pinta Jungkook lagi.

"Dan juga, aku berbohong padamu soal Minhyuk-hyung. Ia pindah ke Seoul bukan karena dialihkan tugas pekerjaan, namun ia kemari setelah bertengkar hebat dengan kedua orang tua kami." Jihoon menjeda sejenak, menarik napas dalam sebelum melanjutkan.

"Aku tidak sengaja mendengar pertengkaran mereka, yang saat itu jugalah aku mengetahui bahwa aku memiliki kakak lain selain Minhyuk-hyung. Park Jimin namanya."

Jungkook mengangguk-nganggukkan kepala, ia sudah mengetahui tentang kesamaan nama itu sebelumnya. Dan tetap diam, tidak berniat menginterupsi cerita Jihoon.

"Aku memaksa appa untuk menceritakan apa yang terjadi, siapa itu Jimin, tepat setelah Minhyuk-hyung mengatakan akan pergi keluar dari rumah. Dan ayahku menjelaskan semuanya." Jihoon menatap Jungkook dengan ekspresi sendu.

"Beliau berkata, bahwa hyung memiliki adik lain selain aku. Saat itu Minhyuk-hyung masih berumur 5 tahun di mana ia sedang senang-senangnya bermain dengan Jimin-hyung yang berumur 1 tahun. Mereka hampir tidak bisa dipisahkan saat sedang bersama. Bahkan orang tua kami sendiri sering diabaikan. Sampai ketika sahabat dari eommaku menculik Jimin-hyung. Merenggutnya dari keluarga kami."

"Diculik??" Jungkook menutup mulutnya dengan telapak tangan, saking terkejut.

"Iya. Minhyuk-hyung terlibat kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit, eomma sangat panik hari itu. Ia sedang hamil muda, dan Jimin-hyung sedikit demam, terlelap dalam kamarnya. Karena itulah eomma meminta salah satu teman dekatnya untuk menjaga Jimin-hyung di rumah. Namun siapa sangka, kejadian itu justru berujung pada penculikan."

Helaan napas terdengar, membuat Jungkook menepuk-nepuk pundak Jihoon mencoba memberi ketenangan. Suasana hening beberapa saat.

"Appa tidak menjelaskan bagaimana kejadian sebenarnya. Namun sejak kepergian Jimin-hyung, Minhyuk-hyung selalu menanyakan keberadaannya, setiap hari selalu mencari dan memanggil namanya, sering menangis ketika tidak mendapati keberadaan Jiminnya.

"Semua usaha sudah dilakukan appa untuk menemukan Jimin-hyung. Tapi tidak ada satu pun yang berhasil. Hingga kami mendapat kabar bahwa keluarga sahabat eommaku itu meninggal dalam kebakaran rumah baru mereka. Termasuk Jimin-hyung. Makam mereka pun ada di dekat sana."

Jungkook hampir tidak bisa menahan air mata yang berontak ingin keluar, baru sampai sini saja hatinya sudah terasa sangat sakit. Membayangkan bagaimana perasaan kedua orang tua Jihoon saat itu, bagaimana dengan Minhyuk.

"Kedua orang tuaku tentu saja terkena shock berat, mereka mendatangi makam Jimin-hyung tanpa memberitahu Minhyuk-hyung, menangis dan meminta maaf padanya di sana. Menyesal karena tidak berhasil menemukannya lebih cepat. Semua berkas Jimin-hyung yang ikut diambil terbakar, satu-satunya yang tersisa adalah sepatu mungil miliknya. Sampai sekarang sepatu itu masih kami simpan." Jihoon memejamkan matanya untuk menahan sesak yang kembali terasa.

"Ba-bagaimana dengan Minhyuk-hyung?" tanya Jungkook, tak berhasil menahan rasa ingin tahunya.

"Karena saat itu Minhyuk-hyung masih kecil, mereka memutuskan untuk menutupi kematian tersebut. Dan berpura-pura melanjutkan pencarian Jimin-hyung. Mereka mengira Minhyuk-hyung akan bisa melupakan adiknya itu di kemudian hari. Namun mereka salah." air mata kini turun di pipi Jihoon, yang segera ia hapus dengan cepat.

"Rasa sayang Minhyuk-hyung sangat besar. Ia masih menanti kepulangan Jimin bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Kelahiranku pun tidak merubah hal itu, terkadang ia selalu memperlakukanku sebagai Jiminnya saat aku masih kecil. Beberapa kali salah menyebut namaku. Tentu saja dulu aku mengira jika ia hanya salah menyebut nama tanpa menyadari bahwa yang hyung sebut adalah nama dari kakakku yang satunya."

Tangan Jihoon sedikit bergetar, mengingat beberapa memori di mana ia sedang dimanja oleh Minhyuk, namun tetap tidak bisa merasakan kasih sayangnya. Berkali-kali menganggap bahwa ia tidak diharapkan oleh sang kakak.

"Sampai ketika aku berada di kelas 2 SMP, Minhyuk-hyung mengetahui kebenaran tentang Jimin-hyung, ia marah pada kedua orang tua kami dan mereka bertengkar hebat. Selanjutnya kau sudah tahu seperti apa. Ia pergi ke Seoul dan tidak pernah sekali pun mengabari kami lagi."

"Tunggu.. Jika memang begitu, mengapa kau berkata Jimin-hyung mungkin adalah kakakmu? Maksudku, bukankah semuanya sudah jelas? Jika hanya nama, mungkin karena kebetulan sama." tanya Jungkook.

Jihoon menggeleng keras, "Setelah mengetahui semua tentang Jimin-hyung, aku mulai mengamati banyak hal. Mencari tahu ini itu, bahkan mengintai keluarga yang memberi kabar kebakaran tersebut.

"Mereka orang tua dari sahabat ibuku. Aku sering kali mengamati dari kejauhan. Terkadang bersama partner in crimeku, Yoon Jisung. Ia satu-satunya teman yang aku ceritakan semua masalah ini. Dan satu hal yang berhasil kuketahui adalah kebenaraan tentang suami dari sahabat ibuku masih hidup, bernama Park Sihyun, sedang aku ingat jelas pada makam yang kutemui dekat makam Jimin-hyung terpampang nama tersebut."

Ucapan Jihoon terhenti ketika ketukan pintu terdengar. Ia berniat untuk membukanya, namun Jungkook mencegah dan menggelengkan kepala, "biarkan saja. Mereka akan menganggap kita sudah tidur."

Maka Jihoon hanya bisa mengangguk dan menunggu ketukan itu berhenti sebelum melanjutkan cerita. Setelah dirasanya aman, ia kembali menyambung,

"Jisung-hyung saat itu berkata, jika ada kemungkinan keluarga sahabat ibuku berbohong tentang kebakaran itu, bisa saja rumah yang mereka tunjukkan memang sudah terbakar sejak lama, dan ini semua adalah rekayasa.

"Tapi aku tidak ingin memberitahu keluargaku sebelum semuanya jelas. Aku menyadari keadaan kami kian memburuk, eomma selalu bersedih, hyung yang tidak ingin kembali dan appa yang tidak mampu berbuat apa-apa." suara isakan semakin terdengar, Jungkook merangkul pundak Jihoon dan mengusapnya perlahan.

"Aku muak, ingin mengembalikan kehangatan keluarga kami, aku ingin kami kembali utuh. Dan mencaritahu tentang Jimin-hyung adalah satu-satunya harapanku."

Beberapa menit selanjutnya hanya suara isakan yang terdengar, seraya Jungkook yang masih menenangkan Jihoon walau dirinya sendiri ikut terisak.

"Kau kemari karena sudah tahu soal Park Jimin kami?" tanyanya saat melihat Jihoon sudah lebih tenang.

"Benar, Jisung-hyung tinggal di sini sejak kecil, mempunyai banyak koneksi. Dialah yang mencari keberadaan Park Sihyun, dan setelah mencaritahu lebih dalam, ia memberiku informasi tentang Jimin yang kita kenal sekarang." jelas Jihoon.

"Jadi kemungkinan ia kakakmu itu besar?"

Jihoon menggeleng pelan, "tidak, karena nama ibu mereka berbeda. Sahabat ibuku bernama Park Yura, maka dari itu aku ragu. Tapi Kook, terkadang ikatan darah selalu bisa terasa bukan? Entah mengapa hatiku merasa bahwa ia Jimin-hyung, anak kedua keluarga kami, adik Minhyuk-hyung, kakakku."

"Bagaimana dengan Minhyuk-hyung? Bukankah kau sudah memberitahunya?" Jungkook menatap dengan raut bingung, sungguh situasi seperti ini sangat membingungkan.

"Dia tidak mau memercayaiku. Katanya ini hanya kebetulan. Sudah lama ia mencoba menghilangkan rasa sakit yang diakibatkan kepergian Jimin-hyung, mengubur semua rasa sayang padanya. Ia tidak ingin berharap lagi." Jihoon mendesah kasar.

Jungkook mengangguk paham, "tapi, jika kau mau bukankah lebih baik mengajak Jimin-hyung bertemu dengan kedua orang tuamu untuk tes DNA? Itu satu-satunya cara yang akurat."

"Tadinya aku sedang mempertimbangkan hal itu, namun siapa menyangka situasinya akan seperti ini? Jimin-hyung baru kehilangan kedua orang tua. Bagaimana perasaannya jika mengetahui ia bukanlah anak kandung mereka? Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan lagi dengan semua ini."

Jungkook mengerang, benar juga apa yang dikatakan Jihoon. Tidak mungkin mereka mengatakan hal seperti ini, sesuatu yang belum pasti pada Jimin di saat sang kakak masih membutuhkan waktu untuk pulih.

Walau masih banyak sekali pertanyaan dalam benaknya, Jungkook memilih untuk menghentikan perbincangan saat melihat Jihoon sudah lelah dan mengantuk. Mereka memutuskan menunggu waktu untuk membicarakan hal ini lebih dalam lagi, pun mungkin memberitahu para hyung.

Tbc
.
.
.

Long time no see💜

Maaf apabila ada typo atau kesalahan lainnya :")

Thank you so much CkremidotBom for being there with me at my hard times, and helping me for my comeback♡

See you all in the next chap!💕

Continue Reading

You'll Also Like

185K 17.8K 82
[ 박 지민 ] JANGAN DITIRU! [REVISI] JIMIN x BTS Park Jimin. Bocah yang sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang dalam hidupnya. Itu juga dimulai...
177K 8.7K 29
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
787 63 13
tentang seorang park jimin si anak indigo yang mempunyai kekuatan tersembunyi Tapi di cerita ini jimin itu bisa ganteng,cantik,imut,ceriah,savega pen...
398K 40.6K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...