House of Cards✓

By dydtedi

8.5K 1.3K 788

Even if you say you see the end Even if you say it will collapse again Even if you say its a useless dream Ju... More

Prolog
2nd Card
3rd Card
4th Card
5th Card
6th Card
7th Card
8th Card
9th Card
10th Card
11th Card
12th Card
13th Card
14th Card
15th Card
16th Card
17th Card
18th Card
Secret Card
19th Card
20th Card
21st Card
22nd Card
23rd Card
24th card
25th Card
26th Card
27th Card
Epilog
Author's Card

1st Card

497 64 12
By dydtedi

Bangku-bangku masih kosong, meja-meja dibersihkan agar terlihat lebih rapi. Ruangan bernuansa cokelat kayu tersebut tampak mulai sibuk meski jam buka restoran masih menunggu beberapa menit lagi. Aroma masakan menguar dari arah dapur. Tampak Kim Seokjin, koki utama restoran tersebut tersenyum bangga melihat hasil masakannya. Resep baru yang rencanannya akan dicantumkan sebagai menu baru restoran ini.

"Bagaimana?" tanyanya, memperhatikan Hoseok yang tengah sibuk mencicipi makanan. Atasannya itu mengangguk disela kunyahan. Membuatnya bertanya-tanya, apakah rasa masakannya sudah tepat seperti apa yang diinginkan Hoseok.

Setelah menghabiskan beberapa suap dalam diam, Hoseok meneguk segelas air putih. Pria itu menatap Seokjin, koki kepercayaannya yang juga dianggap sebagai kakak sendiri. Tatapannya datar, membuat Seokjin memicing penasaran.

"Apa ada yang aneh?" tanya Seokjin sekali lagi.

Hoseok tersenyum, menggeleng kecil. "Kau memang tidak pernah mengecewakan, Hyung."

Laki-laki itu mengangkat dua ibu jarinya membuat Seokjin mendesah lega.

"Tapi untuk tampilannya mungkin butuh penyempurnaan. Tidak apa-apa, kita bisa cantumkan menu baru ini minggu depan. Pastikan kau berdiskusi dengan Taehyung, dia juga harus membuat desain poster untuk mempromosikan ini," ujar Hoseok panjang lebar, Pria itu kembali menikmati makanannya, mengingat dia melewatkan sarapan untuk hal ini. Seokjin mengangguk sebagai jawaban meski laki-laki di depannya sudah tak lagi memperhatikan.

"Kau benar-benar semangat untuk mengembangkan restoran ini ya?" komentar Seokjin, membuat Hoseok menoleh. Dia mengenal Hoseok sebelum ini sebagai anak laki-laki dari pemilik restoran tempatnya bekerja. Usia mereka yang hampir sepantaran membuatnya tidak sungkan lagi.

"Restoran ini sudah berdiri terlalu lama dengan konsep yang sama. Sedikit pembaruan bisa menarik pengunjung datang untuk meningkatkan pendapatan," balas Hoseok yakin.

"Tapi bukankah sebelum ini kau tidak begitu tertarik untuk melanjutkan bisnis keluargamu?" Hoseok diam. Apa yang dikatakan Seokjin memang sepenuhnya benar. Menjadi pewaris restoran turun temurun milik keluarganya sama sekali tidak membuat Hoseok senang. Dia lebih senang dengan profesinya sebelum ini. Seorang dancer. Meski apa yang didapatnya tidak terlalu menjanjikan, tapi dance adalah dunianya. Hoseok menjalaninya dengan sepenuh hati. Banyak kemenangan telah dia raih bersama timnya. Juga menjadi partisipan dari acara-acara besar dan bergengsi. Namun, semua itu sama sekali tidak berarti bagi ayahnya. Ayahnya terlalu penuntut.


"Mana yang kau bilang bisa membanggakanku Jung Hoseok? Aku sudah pernah menanyakan hal yang sama padamu. Apa yang bisa kau banggakan dari menjadi seorang penari?"

Hoseok tahu pembicaraan ini akan terus disinggung selama dia belum mau menuruti keinginan ayahnya. Pembicaraan yang sangat tidak dia sukai. Hal inilah yang membuat Hoseok enggan pulang ke rumah jika sedang tidak ada jadwal. Tapi hari ini adalah ulang tahun ibunya dan merayakan hari penting anggota keluarga dengan makan malam adalah sesuatu yang tidak boleh ditolak.

"Ayah?" Suara lembut sang istri sama sekali tak menghentikan ayah Hoseok. Perempuan itu mencoba memperingatkan suaminya agar tidak terlalu keras pada putra mereka. Hoseok hanya diam, meski tidak sepenuhnya mendengarkan. Apa pun yang dikatakan ayahnya hanya dianggap seperti angin lalu. Percuma jika didengar, hanya akan menambah sakit hati, pikir Hoseok.

"Penghasilanmu bahkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Jiwoo. Padahal kakakmu seorang perempuan, kau laki-laki. Kau yang mempunyai kewajiban lebih untuk bertanggung jawab perihal keuangan keluargamu nantinya, apakah kau ingin kalah dengan kakakmu?"

Hoseok mengangkat wajah, menatap ayahnya. "Di sini bukan persoalan kalah dan menang, Ayah. Hidup ini perjalanan, bukan pertandingan," jawabnya berani. Jika Jiwoo ada di sini sekarang pasti kakaknya itu akan melemparkan pandangan sengit pada Hoseok. Dia selalu tidak suka jika Hoseok bersikap membangkang. Sayangnya setelah menikah beberapa bulan yang lalu Jung Jiwoo memutuskan untuk tinggal bersama suaminya di luar kota. Dia baru akan datang besok pagi karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat untuk perjalanan jauh..

"Tahu apa kau tentang hidup?" Tuan Jung menanggapi Hoseok dengan tak kalah sengit. "Bukankah yang kau tahu hanya bersenang-senang? Menari di setiap pesta. Apa hal itu cukup membuatmu merasa hebat?"

"Ayah, cukup!" Nyonya Jung berusaha menengahi sekali lagi. Hoseok dan ayahnya adalah dua pribadi yang sama kerasnya. Hanya saja Hoseok lebih senang menyimpan apa yang dipikirkannya dalam hati. Dia tidak terbiasa menunjukkan emosinya. Dance adalah salah satu pelampiasannya.

"Tidak, Seul Hye. Anak ini harus disadarkan. Ayah dan ibumu sudah tua, Jung Hoseok. Jika saja ada orang lain yang bisa kami andalkan dan kami percaya untuk melanjutkan bisnis kami, tapi sayang kakakmu sudah menjadi tanggung jawab suaminya sekarang."

"Ayah memiliki banyak karyawan yang cukup loyal."

Tuan Jung mengeram pelan mendengar jawaban Hoseok. Kesabarannya makin menipis. "Selama ini aku hanya diam melihatmu menghabiskan waktu utnuk hal konyol. Tapi sekarang tidak lagi, Hoseok! Sekarang kau yang menurutiku. Tinggalkan hal bodoh yang selama ini kau lakukan, kau akan menjadi penerus restoran itu."

"Dan jika aku tidak mau?"

"Kalau begitu bersiaplah untuk tidak lagi menjadi bagian keluarga ini!"

"Ayah!"

Hoseok menegang sejenak. Telapak tangannya terkepal erat menahan amarah. Dia cukup terkejut dengan perkataan ayahnya.Begitu juga ibunya. Nyonya Jung tidak menyangka jika suaminya sampai akan mengatakan hal itu. Hoseok tidak bisa mengubah keputusan ayahnya. Namun, Hoseok juga tidak akan membiarkan dirinya kalah.

"Kalau memang itu keputusan Ayah." Pemuda itu bangkit dari duduknya dan hendak melangkah pergi. Hingga sebuah tangan menahan lengannya.

"Hoseok-ah, mau ke mana kau, Nak?" Nyonya Jung bertanya lirih. Air mata sudah tampak menghiasi wajahnya. Dia ingin suasana hangat di hari ulang tahunnya, tapi malah pertengkaran suami dan anaknya yang dia dapat

"Ayah bilang aku sudah bukan bagian keluarga ini lagi. Aku tidak berhak ada di sini," ujarnya dingin. Tidak berusaha melepaskan cekalan tangan ibunya.

"Ayahmu sedang emosi Hoseok. Jangan sekeras ini. Jangan pergi meninggalkan rumah. Ini ulang tahun Ibu," mohon ibunya, memeluk lengan Hoseok erat. Hoseok terdiam, hatinya tersayat pedih mendengar Nyonya Jung terisak. Dia merasa gagal menjadi seorang anak. Selama ini dia belum bisa membahagiakan ibunya. Sementara ibunya selalu mendukung apapun langkah yang dipilihnya. Ibunya tidak pernah protes ketika dia lebih memilih masuk ke fakultas seni daripada memilih jurusan bisnis sesuai keinginan ayahnya. Ibunya selalu melindunginya dari kekerasan hati sang ayah. Hoseok merasa tidak pernah melakukan apapun untuk ibunya selain membuatnya bersedih.

"Jika ayahmu begitu teguh dengan keputusannya. Ibu mohon kali ini kau yang mengalah," lanjut Nyonya Jung, tahu jika Hoseok akan mendengarkannya. "Ibu tidak bermaksud membela siapa pun, tapi Ayahmu benar. Kami sudah semakin tua, Hoseok-ah. Ibu tidak pernah meminta apa pun sebelumnya. Kali ini, tolong turuti permintaan ayahmu."

Ketika ibunya mulai meminta, Hoseok tidak punya pilihan lain selain mengangguk menyetujui. Ini semua demi ibunya. Jika memang ini yang beliau inginkan, Hoseok akan mengambil alih kepemilikan restoran dan mengurusnya.

Nyonya Jung tersenyum lega di sela tangisnya, memeluk Hoseok semakin erat. Memang semudah itu untuk Hoseok menuruti permintaan Nona Jung. Kelemahan terbesar baginya adalah perempuan nomor satu di hidupnya. Perempuan yang sudah rela mempertaruhkan hidupnya untuk membiarkannya lahir di dunia.

"Tapi aku ingin mengajukan persyaratan," ujar Hoseok pelan, tapi masih mampu didengar ayahnya. Nada suaranya bahkan tidak berubah dari sebelumnya.

Tuan Jung menjawab datar, "Apa?"

"Jika aku bisa membuat kemajuan pesat pada restoran. Ayah akan mengijinkan aku kembali pada jalan hidup yang aku pilih," ujarrnya yakin. Dia tidak akan membiarkan sang ayah mengatur hidupnya untuk selamanya.

Tuan Jung terkekeh, nada suaranya jelas meremehkan. "Jika kau bisa, Jung Hoseok. Tapi aku tidak terlalu yakin. Lusa kau harus menemui kakakmu untuk belajar bagaimana caranya berbisnis. Minggu depan kau akan bersama kami menemui keluarga Han."

"Keluarga Han?" Hoseok berbalik, memandang ayahnya dengan kening berkerut. Apa lagi ini? Siapa itu keluarga Han? Nyonya Jung yang masih setia di samping Hoseok berusaha memberi isyarat pada suaminya bahwa ini bukan waktu yang tepat. Walaupun Nyonya Jung tahu, pendapatnya tidak akan terlalu diperhitungkan.

"Kau orang yang terlalu mudah berubah pendirian. Kau membutuhkan seorang pendamping yang bisa mengurusmu. Untuk itu Ayah dan Ibu sudah menyiapkan pasangan yang cocok. Persiapkan dirimu."

"Ayah ini hidupku!" protesnya keras. Hoseok tidak bisa lagi mentolerir ini. Darahnya seakan mendidih mendengar setiap apa yang dikatakan ayahnya. "Ayah tidak berhak mengatur hidupku lebih dari ini. Aku bukan anak kecil lagi!"

Tapi Tuan Jung seakan tidak peduli dengan amarah Hoseok. Pria tua itu sama sekali tidak goyah. "Namanya Han Jihye. Dia gadis yang cukup mandiri. Ibumu sangat suka padanya. Ayah harap kau juga bisa memperlakukannya dengan baik."

Hoseok menggeram, "Ayah keterlaluan!"

"Hoseok!"


"Hoseok!"

"Jung Hoseok!"

Seokjin menepuk keras bahu Hoseok, menyadarkan pria itu dari lamunannya. Kembali dia teringat perdebatannya dengan sang ayah beberapa waktu lalu.

"Ponselmu terus bergetar sedari tadi. Mungkin itu penting," ujar Seokjin sembari berlalu meninggalkan Hoseok. Pria itu lalu meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Dilihatnya ada dua panggilan tak terjawab dari nomor yang sama, juga satu dua pesan yang belum terbaca. Hoseok tersenyum melihat nama pengirim pesan. Buru-buru membukannya.

From : Hana

Ada yang ingin kubicarakan. Bisa kita bertemu?

xxxxx

Bingung mau kasih authornote apa. Tolong beri pendapatmu untuk part awal ini ya. Terima kasih :)

Dydte, 11 Desember 2018

Continue Reading

You'll Also Like

35K 1.9K 5
Mereka bilang, cinta itu sederhana. Hanya saat cinta itu datang dan membawa hatimu pergi, biarkan berjalan sesuai semestinya. Biarkan semesta menuntu...
234 90 29
Banyak yang bilang Amaya sudah gila, dia sering raib entah kemana, atau meskipun ada di rumahnya pikirannya sibuk melanglang buana, satu orang yang d...
26.8K 4K 10
tentang jimin dan segala tipu muslihatnya untuk kelabuhi hea. © 2018
17.7K 335 6
Salah satu karya penting seorang Tan Malaka selain Madilog. Karya inilah yang membuat Tan Malaka disebut-sebut sebagai konseptor pertama negara Repub...