Bisikan Mereka ✔

By askhanzafiar

222K 18.2K 726

Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dal... More

Siapa aku?
Membantu Mereka
Diganggu
Kejanggalan
Petak Umpet
Play With Tere
Televisi
Rekaman Berdarah
Kepiluan dan kabar gembira
Ekskul
Kejadian Berdarah
Penginapan
Kampung Maksiat
Tentang Author #1
Rumah Sakit
Rumah Sakit '2
Uji Nyali
Villa Delia
Villa Delia'2
Tentang Author #2
Gua Sunyaragi
Teman Pemakai Susuk
Teman Pemakai Susuk '2
Tertukar.
Bukan Penyakit Biasa
Bukan Penyakit Biasa'2
INFO PENTING PAKE BANGET.
Rumah Omah
Rumah Omah '2
Vc terakhir.
A Piano.
Siapa Dia?
Kak Kenan?
A Mystery
Siapa pelakunya?
Akhir dari segalanya?
Empat Tersangka.
Ending?
Terungkap!
Menuju Cahaya?
Sejatinya
Persiapan pelantikan
Keganjilan
Ternyata?
Tragedy's
Pergi?
HEI INI PENTING BANGET!
Tentang Mamah
Ending! 🔚
LANJUTAN BISIKAN MEREKA
Hororwk

Sakit

4.8K 399 11
By askhanzafiar

"Aduh, Dira, kenapa kau hujan-hujanan, sayang? Mamah harus larang Dira berapa kali? Kok Dira mulai bandel, ya?" Mamah memandangku dengan wajah yang sedikit kecewa. Aku hanya bisa menunduk sembari menyesali perbuatanku.

"Maaf, Mah. Dira hanya ingin merasakan hujan saja, Mah. Sudah lama Dira tidak merasakan hujan lagi." Kugigit bibir bawahku dengan sedikit keras karena rasa bersalah yang semakin jelas terasa di hatiku.

Mamah mulai meluluh dan mengelus kepalaku yang telah basah karena siraman air hujan tadi.

"Ganti baju. Nanti kalau kau sakit, siapa yang khawatir?" Mamah menghela napasnya dengan cukup berat dan tersenyum perlahan.

Aku menganggu dan langsung berlari menuju kamar mandi. Kuatur air panas untuk mandi.

Sehabis mandi, aku tak pernah lupa untuk menghanduki badan dan memakai lotion sebagai perawatan rutin untuk kulit dan wajah.

"Hachi...."

Badanku terasa menggigil, menandakan flu mulai menjalar di hidungku. Rasa panas sudah melekat di seluruh tubuh.

"Hachi...."

Kini baru kusadari bahwa diriku terserang demam dan flu. Kugapai minyak kayu putih di atas laci dan mulai menggosok-gosokannya ke tanganku, berharap hawa dingin bisa hilang dari sela-sela tangan.

"Dira minum susu dulu saya–"

"Hachi...."

Mamah menatapku perlahan. Ia pasti mengetahui keadaanku sekarang.

"Dira mau ikut kata Mamah atau mau bandel lagi?" tanya Mamah dengan lembut sembari mengelus puncak kepalaku.

"Dira ikut kata Mamah. Maafkan Dira, Mah," ujarku sembari menyatukan kedua tangan dan menunduk.

Mamah mengangguk dan tersenyum hangat. Ia menempelkan tangannya di keningku.

"Auh, panas sayang. Berobat, ya?"

"Enggak usah, Mah. Minum obat saja. Dira enggak mau ke rumah sakit."

Mamah memahami diriku yang selalu menolak jika dibawa ke rumah sakit. Tentu saja Mamah juga akan mengkhawatirkan jikalau nanti aku bertemu dengan bangsa 'mereka'.

"Mamah mau beli obat dulu, sayang." Mamah mengambil beberapa alat yang diperlukannya dari kamarku.

"Mah, Papah ada di rumah?" tanyaku.

"Papah belum pulang. Mungkin habis maghrib. Kenapa, sayang?" Barang-barang yang dibawanya kini di masukkan ke dalam tas kecil.

"Mamah naik apa ke apotiknya?" Kumainkan rambutku sembari memegang dahiku yang memang sangat terasa panas.

"Mobil. Kau kenapa, Dira? Sepertinya ada yang kamu khawatirkan." Mamah menatapku dengan sedikit intens.

"Dira ikut mamah, ya. Dira enggak mau sendiri di rumah," pintaku sembari memainkan ujung baju kaos yang kupakai.

Mamah mengulas senyumannya dan mengecup keningku singkat. "Siap-siap sekarang."

"Dira sudah siap, Mah." Aku memperlihatkan setelan bajuku yang memang selalu terlihat rapih.

"Pakai jaketmu. Di luar dingin." Mamah mengambilkan sebuah jaket berwarna merah jambu dengan hiasan unicorn lucu dan memakaikannya kepadaku.

"Mah, Dira bukan anak kecil lagi." Aku terkekeh sembari menikmati perlakuan Mamah yang bagiku berlebihan.

"Mamah enggak mau menyia-nyiakan masa remajamu, Dira. Mamah enggak mau nanti kalau kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mamah yang menyesal karena tak sempat memanjakan anak Mamah yang cantik ini." Ia kembali mengecup keningku. Aliran cintanya memang tak pernah ada habisnya.

"Ayo, sayang!" Ajaknya sembari menggandeng tanganku.

Sore ini, aku dan Mamah menelusuri jalanan kota dengan perbincangan hangat. Aku bersyukur mendapatkan seorang Mamah sekaligus menjadi sahabat bagiku.

Aku melirik arlojiku. Jam menunjukkan pukul 17.48. Kemacetan mulai melanda di depan mata. Rinai hujan mulai menghiasi kaca jendela mobilku.

"Hari ini dingin, ya, Dira. Kamu tadi pulangnya diantar oleh siapa? Sepertinya kamu tidak sendiri, 'kan?" tanya Mamah sembari melirikku dari sudut matanya.

"Muhzeo, Mah." Kubuang pandanganku ke arah luar jendela.

"Siapa itu?"

"Laki-laki, Mah." Ucapanku barusan berhasil membuat Mamah terkekeh dan mengelus puncak kepalaku.

"Mamah tau itu, sayang. Dia siapamu?"

"Temanku." Tiba-tiba saja senyuman terlukis jelas di wajahku. Ah, ada apa dengan diriku?

"Ah, Mamah merasakan ada suatu getaran Cinta, nih." Ia menggodaku sembari menoel pipiku.

"Dia hanya sekedar temanku, Mah." Aku tertawa dan menikmati setiap bayangan wajah lelaki itu, lelaki yang semakin hari semakin bersemayam di pikiranku. Kututup wajahku dengan tangan agar Mamah tak dapat membaca ekspresi wajahku lebih lanjut.

"Mamah enggak bilang kalau kalian ada apa-apanya, loh! Kenapa kamu menjawab seperti itu, sayang? Wah, Mamah rasa anak gadis Mamah ini mulai menyukai seorang lelaki, ya? Betulkah tebakan Mamah?" Candaan Mamah berhasil membuatku sedikit salting.

"No, itu tidak benar. Dira hanya menganggapnya sebagai teman," elakku sembari terkekeh.

"Ajak dia mampir kapan-kapan, ya," pinta Mamah yang mulai memarkirkan mobilnya di depan apotek besar.

"Sudah tak gerimis rupanya. Ayo, turun!" Mamah membuka pintu mobilnya dan langsung turun terlebih dahulu.

Aku pun mengikutinya. Kuturunkan kakiku perlahan untuk memastikan bahwa sepatuku tak mengenai pijakan genangan air dan bergegas untuk masuk ke dalam apotek tersebut.

Aku melihat sekeliling. Ketika aku ke apotek, aku lebih suka ke bagian penjualan vitamin. Aku melirik beberapa merk vitamin dengan berbagai rasa. Ada yang berbentuk kenyal dan ada yang berbentuk tablet hisap berbagai gambar.

Aku mengambil vitamin kenyal bergambar space. Tak lupa tablet hisab bergambar sapi. Saat aku hendak berbalik....

Brugh....

"Uh."

"Auh, aduh, sakit," rintihku sembari memungut vitamin yang jatuh dan mengelus lututku.

Kisah klasik sekali. Pertemuan secara tidak sengaja akibat tabrakan. Entah karena aku yang terlalu teledor atau memang dirinya yang asal jalan saja.

"Dira?" Ucapan seseorang itu langsung membuatku menengadahkan kepala.

"Muhzeo?" Aku menggapai tangannya yang memberikan bantuan untuk berdiri.

"Enggak apa-apa?" tanyanya dengan lembut.

Aku menggeleng-geleng dan membersihkan debu di celana ketatku.

"Maaf, ya," lirihku sembari menunduk.

Ya Tuhan, kenapa rasanya deg-degan sekali? Ada apa ini?

Ia tersenyum, menyalurkan rasa hangat di tubuhku.

"Iya enggak apa-apa," sahutnya sembari tersenyum lagi dan lagi.

"Lo ngapain di sin–"

"Dira kamu eng–gak apa-apa?" Mamah menghentikan kalimatnya sejenak dan menatapi Muhzeo yang bertubuh jangkung itu.

"Dira enggak apa-apa, Mah. Maaf sudah buat mamah menunggu." Aku berjalan mendekat ke arah.

"Kamu siapa?" Pertanyaan interogasi mulai dilayangkan oleh Mamah. Jantungku terasa berdetak dengan lebih cepat.

Muhzeo tersenyum dan menyalimi Mamah dengan santun.

"Saya Muhzeo, teman Dira."

"Wah, kebetulan ketemu di sini. Tante penasaran banget sama yang namanya Muhzeo. Ternyata orangnya tampan dan manis," puji Mamah sembari tertawa.

Muhzeo ikut terkekeh. Kini yang kurasakan adalah malu dua kali lipat.

"Nak Zeo ke sini beli obat? Ada yang sakit, kah?"

Muhzeo menggelengkan kepalanya, "Enggak, kok, Tante. Hanya beli obat batuk untuk saudara," sahutnya sembari tersenyum.

Aku yang merasa seperti nyamuk pun akhirnya membuka percakapan, "Mah, udah, yuk, pulang!" ajakku sembari menarik-narik ujung baju milik Mamah.

"Dira kenapa minta pulang? Salting, ya, sayang?" Mamah meledek ke arahku sembari mengedipkan matanya.

Aku menutup mukaku, malu, dan kesal dengan ledekkan Mamah.

Muhzeo menatapku sembari terkekeh dan tersenyum puas.

"Mamah, Dira beli ini, ya?" Aku memperlihatkan beberapa bungkus vitamin yang telah kupilih tadi.

Mamah menggelengkan kepala sembari tertawa.

"Beli yang buat dewasa saja, sayang," saran Mamah.

"Enggak, Mah. Dira mau yang ini," ujarku yang terap kekeh.

Mamah mengelus kepalaku.

"Iya sudah ambil."

"Nak Zeo, Tante sama Dira pulang dulu, ya? Kamu mau ikut ke rumah? Mau mampir?" tawar Mamah.

"Eng ... gak usah, Tante. Sdah mau maghrib. Ze mau buru-buru pulang," tolaknya dengan halus tanpa menghilangkan rasa hormat.

"Ayo, ke kasir sama-sama!" ajak Mamah yang ditanggapi anggukan oleh Muhzeo.

Setelah selesai membayar, Muhzeo pamit pulang dan tersenyum ke arahku. Mamah tersenyum manis dan mulai menyuruhku masuk ke mobil.

👀

"Dira, sayang, jangan sekolah dulu, ya. Kamu masih panas gini badannya, loh!" Mamah baru saja mengecek suhu badanku dengan menggunakan termometer.

"Tapi, Mah, nanti Dira ketinggalan pelajaran, bagaimana?" tanyaku dengan sedikit lesu.

"Sayang, kalau Dira tambah drop, nanti Mamah yang khawatir. Kalau seperti itu, panasnya bisa berpotensi tambah parah, loh! Justru nanti Dira yang akan lebih lama masuk sekolahnya jika sudah seperti itu." Mamah menasehatiku sembari mengelus kepalaku.

"Iya, deh, Mah. Dira izin enggak masuk dulu." Kutarik selimutku dan kembali membaringkan tubuhku di tempat tidur.

"Princess Papah sakit, ya? Maaf semalam Papah mau ngecek keadaan Dira, eh, ternyata Dira sudah tidur. Masih tidak enak badan?" Papah datang secara tiba-tiba sembari mengelus kepalaku dengan cukup lembut.

Aku mengangguk dan tersenyum.

"Ayo, sayang, ke rumah sakit saja, ya?" ajak Papah yang kubalas dengan gelengan kepala dengan tegas.

"Dira, takut, Pah."

Papah tersenyum perlahan ke arahku dan duduk di sebelahku. "Dira, orang yang paling berani di dunia itu adalah orang yang dapat melawan rasa takutnya."

"Tapi tak apa. Papah yakin Dira bisa suatu saat nanti." ujar Papah dengan tegas.

"Mah, jagain Dira, ya. Papah berangkat dulu." Ucapan Papah tersebut mengakhiri percakapan mengenai kabarku hari ini. Meski ia orang yang sibuk, tetapi ia tak pernah sedikitpun melupakan keberadaan keluarganya. 

Mamah mengangguk spontan.

"Papah kerja dulu, ya." Papah tersenyum sembari mengecup keningku dilanjut dengan mengecup kening Mamah.

"Assalamualaikum," salamnya.

"Waalaikumussalam," jawabku dan Mamah bersamaan.

Mamah tersenyum ke arahku.

"Mamah mau bikin bubur buat Dira dulu, ya. Dira tunggu sini."

Pikiranku tiba-tiba melayang ke arah Tere. Dia sedang apa, ya? Apa dia bisa melihat keadaanku di sini? Biasanya kalau aku sakit, pasti dia yang akan merawatku hingga sembuh. Dia akan menghiburku hingga rasa sakitku terlupakan. Dia juga yang selalu membuatkanku bubur yang sangat encer dan asin. Entah bagaimana cara ia membuatnya. Ah, aku rindu padanya.

Rasa kantuk mulai menjalari bagian mataku. Aku menarik selimut ke seluruh tubuhku, berdoa dan berharap agar besok aku bisa lebih cepat pulih.

👀

Aku merasakan selimutku tertarik-tarik ke arah bawah. Aku menggeliat dan mulai menaikkan kembali selimut itu. Sesosok tangan mulai mengelus kepalaku.

Aku membuka mata secara perlahan.

"Loh, Muhzeo?! Ngapain lo di sini?" tanyaku dengan kesal dengan dirinya yang asal masuk tanpa permisi.

"Gua jenguk lo bareng temen-temen juga, tapi mereka lagi ada di bawah."

"Gua disuruh Mamah lo untuk mengantarkan bubur ini." Muhzeo menjulurkan semangkuk bubur ayam yang menimbulkan aroma khas .

"Makan dulu, ya! Nanti bisa tambah sakit kalau enggak makan." Muhzeo menyendokkan bubur dan bersiap untuk menyodorkannya kepadaku.

"Sedikit aja, ya?" pintaku.

"Sebisa lo." Muhzeo langsung menyuruhku berdoa dan mulai memasukkan makanan ke dalam mulutku.

"Dira," panggil Muhzeo yang membuatku langsung menoleh.

"Lo ngerasain hal yang berbeda, enggak?" tanyanya yang langsung membuatku mengerutkan kening.

"Hah? Ada apa? Kenapa?"

"Kayak ada yang enggak suka dengan kehadiran gua di sini. Apa lagi sambil nyuapin lo. Mendadak jadi agak panas dan mistis suasananya," ujarnya sembari terus melihat sekeliling dengan cermat.

"Dia bisa dirasakan kehadirannya, tapi dia tak bisa terlihat," timpalnya sembari masih menyendokkan suapan bubur ke arahku.

"Iya, sih, benar. Lumayan enggak enak," ucapku sembari memegangi tengkuk leher.

Aku mulai membaca doa dan juga mengatur pikiran untuk berpikir positif.

"Alhamdulillah, sudah lumayan mendingan suasananya," ujarnya sambil menyuguhkanku segelas air putih hangat.

"Maaf karena gua, lo jadi sakit gini." Muhzeo menatapku dengan tatapan penyesalannya.

Aku spontan menggeleng.

"Bukan salah lo. Kan gua sendiri yang mau main hujan-hujanan. Udah jangan salah-salahan gitu," ujarku sembari tersenyum manis.

Dia membalas senyumku dan mengangguk.

Brak....

Tiba-tiba mahkota mainan pemberian Tere yang berada di meja riasku langsung terjatuh tanpa sebab.

"Enggak ada angin, loh. Kok bisa jatuh, ya?" Muhzeo beranjak dari tempat tidurku dan menghampiri mahkota itu. Sepertinya ia berinisiatif untuk mengambilnya.

"Jangan!" cegahku yang langsung membuat Muhzeo agak kaget dan segera mengurungkan niatnya.

"Kenapa?" tanyanya dengan agak khawatir.

"Itu pemberian Tere. Lo masih inget anak Belanda yang waktu pertama kali sekolah lo liat itu, 'kan?" tanyaku.

Ia mengangguk dan duduk di pinggiran kasurku kembali.

"Itu pemberian dia. Mungkin dia takut kalau lo itu berbuat jahat sama gua. Mungkin juga dia hanya memberi peringatan buat lo agar enggak berbuat yang aneh-aneh," opiniku sembari menyingkirkan rambut yang menutupi mata.

Muhzeo mengangguk tanda paham.

"Niat gua mau jagain lo, Dira. Gua mau selalu ada buat lo. Gua ingin kita menghadapi kemampuan ini sama-sama dan saling melengkapi. Agar salah satu di antara kita enggak ada yang terluka," ujar Muhzeo sembari tersenyum.

"Gua juga selalu akan ada buat lo, Ze," ujarku sembari mengacak rambutnya.

"Makasih, Dira. Lo udah mau hadir di kehidupan gua. Seenggaknya gua jadi tahu mana jalan yang benar berkat lo." Muhzeo menghadirkan guratan senyumnya kembali.

"Alhamdulillah, syukur kalau begitu." Aku turut senang mendengarkannya.

Gubrak....

Pintu terbuka lebar. Aku dan Muhzeo saling berpandangan satu sama lain.

Sshhh ... Sthh ....

Suara desisan mulai membuatku menutup kuping, namun masih tetap melihat ke arah pintu.

Cetak cetak ...

Suara sakelar ruangan luar kamarku berbunyi seiring dengan dentingan jam dinding.

Rasanya ruangan ini semakin mencekam. Aku dan Muhzeo hanya terdiam tanpa mau memalingkan mata dari pintu.

"Wua, pada panik, ya?" ujar seseorang dengan cengiran lebar yang membuatku seketika kesel.

Aku melemparkan bantal super besar ke arahnya.

"Eh, enggak kena! Meleset, wlee!" Lelaki ajaib bin nyebelin itu menjulurkan lidahnya sembari tertawa kencang.

"Paul si crazy people!" ketusku sembari berkacak pinggang.

Dia tertawa puas dan masuk ke kamarku disusul oleh Elsa dan juga Hilmi.

"Abisnya lo berduaan aja. Nanti kalau ada setan, bahaya, loh!" Tanpa basa-basi, Paul langsung duduk di pinggir kasurku.

"Badan lo masih panas?" tanya Paul sembari mengarahkan tangannya ke arah keningku.

Baru niat awal memegang, Muhzeo langsung menepisnya dan menunjukkan muka datarnya.

"Kenapa, deh, Ze? Lo cemburu? Ya elah, gua cuma mau mastiin kalau temen gua enggak apa-pa. Cemburuan banget, sih," ketusnya sembari menyentil hidung mancung milik Muhzeo.

"Apa, deh? Gua cuma takut Elsa ngambek sama lo. Lo liat aja tuh mukanya. Kuku jarinya juga udah siap untuk nyakar lo," ujar Muhzeo sembari membereskan mangkuk buburnya.

"Dih, kenapa gua jadi kambing hitam?" ketus Elsa sembari menatap ke arah muhzeo dengan sorot yang tajam.

"Udah, deh, kenapa jadi berantem?" Aku mencoba untuk melerai mereka semua.

"Minggir!" Elsa berkata dengan sedikit judes sembari menyuruh Muhzeo dan Paul untuk bergeser dari tempat tidurku.

"Kau masih sakit?" tanya Elsa sembari menaruh tangannya di atas keningku.

"Lumayan mendingan, kok. Nanti malam juga InsyaaAllah sudah sembuh," jawabku sembari tersenyum ke arah sahabatku yang paling unyu itu.

"Kalau kau besok sudah sembuh, ikut kerja kelompok saja di rumah Paul!" ajak Elsa dengan semangat.

"Paul?" Aku langsung menatap paul sekilas.

Dia tersenyum hangat dan mengangguk.

Aku menoleh ke arah Muhzeo.

"Gua jagain." Ucapan Muhzeo barusan menandakan bahwa dirinya seakan tau maksudku.

"Tapi–"

"Karena gua nonmuslim, ya, Dira?" Aku menggeleng dengan cepat. Takut-takut jikalau Paul tambah salah paham.

"Big no! Bukan itu. Gua enggak biasa dengan lingkungan baru. Lo tau kan kelemahan gua itu–"

"Eits, Dira, aku dan Muhzeo akan jaga kau. Keep calm, ya," pesan Elsa sembari merangkulku.

Aku mengangguk dengan berat hati.

"Oke. Besok di rumah gua sekitar jam 10, ya, sobat! Semoga saja lo bisa dateng, ya, Dira." Paul tersenyum lebar ke arahku.

"Loh, nanti Dira ke sananya sama siapa, ya?" tanya Elsa yang mulai berpikir sejenak.

"Gua," ujar Muhzeo dengan singkat.

"Hilmi?" tanya Elsa.

"Gua bawa motor sendiri, kok," ujarnya yang sedang asik bermain gadget. Yeah, habits buruknya jika sedang berkumpul dengan teman-teman.

"Btw, kan tadi masakan ibu lo enak banget deh, Dir!" ujar Paul sembari cengengesan.

Hilmi spontan meneloyor kepala Paul.

"Malu-maluin lo! Makanan aja cepet banget." Nada bicaranya terdengar ketus namun diiringi dengan kekehan.

"Ih, gua kan muji doang. Emang enak, kok! Buktinya aja lo sampai nambah dua kali, 'kan? Ngaku lo!" ujar Paul sembari memasang muka meledek.

Yang meledek malah menampakkan muka jahilnya.

"Dari pada lo tiga kali nambah udah gitu masih makan cupcake sama muffin-nya. Euh." Ucapan Hilmi itu langsung disambut gelak tawa dari semuanya.

"Intinya lo berdua itu sama-sama rakus. Dah titik!" tegas Elsa.

Drt ... Drt ....

Hilmi merogoh kantongnya dan nampak nada panggil yang ada di layarnya.

"Bentar, ya, gua angkat telepon dulu," pamitnya sembari berlalu ke luar kamar.

Aku dan yang lainnya masih membicarakan soal tugas esok.

"Bos, gua pulang dulu, ya. Nyokap minta anter ke pasar." Hilmi langsung mengambil tasnya yang berada di sofaku.

"Aku dan Paul juga mau pulang, deh. Soalnya sehabis pulang sekolah ini, aku belum sempat izin ke Mamah untuk jenguk dirimu, tak apa kan, Dira?" tanya Elsa.

Aku mengangguk dan tersenyum puas.

"Gua juga pulang kalau gitu." Muhzeo ikut bangkit dan membenarkan seragamnya yang terlihat kusut.

"Lo jaga diri dan istirahat yang cukup. Jangan lupa banyak minum air putih," pesan Muhzeo sembari mengacak rambut poniku.

"Hm," dehamku sembari tersenyum.

"Balik, ya. Assalamualaikum," salam Elsa diikuti dengan yang lain.

"Waalaikumussalam," jawabku.

Aku tersenyum sembari memandangi kepergian mereka. Sekali lagi aku bersyukur pada Sang Maha Pencipta karena masih diberikan umur panjang untuk mengenal teman-temanku yang sangat pengertian. Semoga saja mereka tidak akan berubah dalam artian negatif.

Next?

Continue Reading

You'll Also Like

143K 16.6K 76
Intinya kalian bakal bingung baca cerita ini heuheu. Karena, SEMUANYA BISA TERJADI DISINI! Gendre: Humor, Fanfiction, Fantasy, Horror, romance. Ini...
35.5K 222 9
(FIKSI) Flora,seorang Mahasiswi bertubuh molek penasaran dengan kamar Sebelah di tempat Kos-an ny.Ada misteri yg menunggu...
8.3K 453 16
Ini tuh bukan cerita yang bisa dibilang badboy ketemu badgirl, atau prince cool ketemu good girl dan sebagainya. ini tuh kisah seorang gadis yang pen...
9K 1.8K 22
Femila merupakan gadis miskin yang serba kekurangan, sifatnya yang urakan sudah menjadi ciri khas dirinya, namun apa jadinya jika tiba-tiba dia terba...