PUTRI PELANGI (Selesai)

By cinkiaewys

767K 48.4K 4.5K

Linda Putri Pelangi yang bisa merasakan apa yang adik kembarnya rasakan harus berjuang mengalahkan dirinya se... More

PENGUMUMAN!!!
PROLOG
1. Love
2. Submit Your Music
4. Canon Rock
5. Eskul Musik
6. MOS Hari Pertama
7. MOS Hari Terakhir
8. Sang LOVE
9. Cinta Mati
10. Hati, Tubuh dan Masakan
11. Melukai Harga Diri
12. Lelaki Aneh Berseragam SMA
13. Tidak Mungkin, kan?
14. Pengkhianatan
15. Pangeran Nuada, Putri Nuala
16. Go Public?
17. Tolong ... sekali ini saja
18. Asing
19. Sia-sia
20. Rindu
21. Kosong
22. Jangan Membencinya
23. Pernyataan Perang!
24. Langkah Pertama
25. Comeback!
26. Band Baru
27. Benang Raja
28. Aku tidak gila
29. Sebuah Trauma
30. Akhir Benang Raja
31. Hari yang Berat
32. Rahasia lain
33. Pelangi Kembar
H-30
H-29
H-28
H-27
H-26
H-25
H-19
35. Benang Raja vs Achazia(?)
36. Linda Putri Pelangi
37. Berubah
38. Detik-Detik Terakhir
39. Pengumuman
40. Sebelum Penampilan
41. Final
Sebelum Epilog - Biru Samudra (Spin Off)
Sebelum Epilog - Sedikit Cerita Linda & Mezian
Epilog - Kehidupan Baru
Extra Part - Just The Way You Are
Extra Part - It's Okay, Putri (Sequel)
Extra Part - Linda Setelah Dua Tahun

3. Taruhan

27.2K 1.4K 191
By cinkiaewys

Ruangan itu sama bagusnya dengan ruang guru. Besarnya sama dengan kelas yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Cat temboknya berwarna putih, memiliki tiga pendingin ruangan--peninggalan para pendahulu--serta rak-rak kayu berisi buku dan dokumen yang kebanyakan sudah tak terpakai lagi mengisi sisi sebelah kiri. Meja komputer dan sofa mengisi sisi sebelah kanan. Lemari besar berisi plakat dan penghargaan diletakkan di sisi paling belakang. Di tengah ruangan tersebut tersusun rapi kursi-kursi saling berhadapan yang dipisahkan oleh meja besar. Tiga kursi lainnya disusun di ujung meja, paling dekat dengan papan tulis dan pintu. Kursi itu milik ketua umum, ketua satu dan dua.

Jangan tanya kenapa ada dua wakil ketua di sana. Sejak beberapa tahun yang lalu, pembina OSIS sudah menerapkan sistem ini. Dimana kursi wakil ketua dua akan diisi oleh anak kelas sepuluh yang nantinya akan dipersiapkan sebagai ketua OSIS tahun berikutnya.

Di luar sana, terik matahari yang perlahan beranjak dari atas kepala terasa menyengat di kulit. Berbanding terbalik dengan ruangan dingin yang kursinya kini sudah mulai diisi oleh mereka yang memiliki kepentingan sebagai panitia MOS.

Sepuluh menit sudah terlewat dari jadwal rapat seharusnya. Tetapi sang ketua OSIS yang sudah tak memakai jersey basket itu sama sekali tidak terlihat terganggu. Dengan punggung bersandar santai di sandaran kursi, kaki terlipat dan jari-jari yang bergerak lincah sedang memainkan permainan di ponsel.

Lima menit kembali berlalu, sekarang gerutuan mulai terdengar dari tiap sisi. Saling timpal menimpali dengan sindiran halus soal kursi ketua dua yang masih kosong.

"Yan, nggak mau dimulai aja rapatnya?" Laki-laki yang bertanya itu duduk di kursi ketua satu. Dia memiliki potongan rambut cepak. Tubuhnya tegap dan sedikit berisi. Kulitnya terlihat coklat karena terbakar matahari. Pakaiannya rapi dari ujung kaki hingga ujung kepala. Bahkan tanpa perlu mengatakan atau melakukan apa pun, jiwa kepemimpinan dan sikap tegas sudah terpancar dengan jelas. Penampilan khas untuk mereka yang merupakan bagian dari Paskibra. Sandy.

Laki-laki yang ditanyai itu masih sibuk dengan ponsel. Asik sendiri dengan permainan yang sedang ia mainkan. "Tunggu Linda bentar lagi," ujarnya tanpa menoleh.

"Double standar lo, Yan. Kalo kita yang telat dateng lo marah-marah. Kalo si Linda yang telat dateng, lo anteng aja." Terdengar celetukkan dari salah satu kursi.

Mezian terdiam sebentar, kemudian menghela napas dengan raut wajah yang masih terlihat santai. Posisi duduk sudah dibenarkan. Punggung tak lagi bersandar. Permainan di ponsel sudah dikeluarkan dengan sekali tekan. Jarinya sekarang sudah bergerak lincah, mencari nomor orang yang mereka tunggu. Linda.

Laki-laki itu meletakkan ponselnya di telinga. Menunggu jawaban dari seberang sana.

"Lagi di mana?" tanya Mezian lembut saat telepon itu di angkat. Suaranya cukup kuat untuk membuat semua mata menoleh ke arahnya.

"Oh, masih ketemu dengan Pak Haris ... masih bahas konsep kegiatan kita yang harusnya udah selesai dari minggu lalu ya? Itu, yang nggak selesai karena anggota-anggota kesayangan kita ini nggak bisa dateng rapat dan juga nggak ngerjain tugasnya? ... oh, enggak kok. Kita mulainya tunggu lo udah ke sini aja ... nggak apa-apa. Mereka nggak akan marah. Gue yakin anggota tersayang kita ini dengan senang hati menunggu lo kembali ... oke, nggak usah buru-buru. Santai aja, Lin." Panggilan itu dimatikan.

Tanpa Mezian mengangkat kepala atau pun menekankan setiap kalimat, seharusnya anggota OSIS yang lain sudah paham, 'kan? Bukan justru kembali menyahuti dengan alasan dan sindiran.

Mezian masih diam. Mendengarkan. Membiarkan suara-suara bising itu mengotori telinga. Hingga setelah sepuluh detik dan tak ada tanda-tanda anggotanya itu akan diam, Mezian melemparkan ponsel ke atas meja. Menimbulkan suara cukup kuat dan membuat semua orang yang berada di ruangan itu terdiam.

Sekarang Mezian kembali menjadi pusat perhatian. Mata yang biasa menatap dengan jahil dan menggoda itu tetap sama. Bahkan dia masih nyengir, menampakkan sederet gigi yang terawat dengan baik. Terutama taring yang terlihat khas dan menjadi poin penting dari senyumnya yang memesona.

"Kalo kalian jadi anggota OSIS cuma biar keliatan keren, biar bisa tebar pesona sana-sini saat MOS, cuma mau terima beres dan nggak mau capek kerja, kalian bisa pulang sekarang. Memangnya nggak bisa tinggal ngehargain orang yang udah capek-capek ngerjain kerjaan kalian? Atau karena Linda cewek dan masih kelas sebelas kalian jadi semena-mena?" Suara laki-laki itu memang tidak meninggi, bahkan cenderung terdengar santai. Matanya sudah berkeliling menatap satu-satu orang yang berada di ruangan tersebut.

Hening. Tak ada tanggapan. Bahkan ketua OSIS satu yang duduk di sampingnya juga ikutan terdiam.

Beberapa detik kemudian, Mezian meraih ponsel, berjalan pergi meninggalkan ruangan.

***

Linda memutar pergelangan tangan sekali lagi, melihat arloji yang melingkar di sana. Dia sudah terlambat hampir tiga puluh menit. Rupanya ia tertahan di ruang guru cukup lama dari yang diperkirakan. Buru-buru ia menuju ruang OSIS dan mendapati Mezian yang sedang bersandar pada salah satu tiang koridor. Menatapnya sambil tersenyum lebar.

"Bisa nggak sih nggak usah cantik terus setiap hari?" rayunya.

"Seharusnya lo bilang kayak gitu ke perempuan yang hatinya lemah." Linda berkata cuek. Berjalan melewati Mezian begitu saja.

"Tanpa lo kasih tau gue juga udah ngelakuin itu kok." Mezian menjawab bangga.

Linda yang sudah memegang handel pintu ruang OSIS itu hanya menggeleng. Belum sempat ditekan pegangan pintu itu, dia kembali menoleh kepada Mezian yang posisinya belum berubah.

"Lo abis marah-marah lagi?" Linda bertanya curiga.

"Semua orang tau kok kakak kelas lo yang satu ini nggak pernah marah-marah." Senyumnya semakin lebar.

Linda hanya menghelas napas, menggeleng pelan, masuk lebih dulu dan diikuti Mezian kemudian.

Ruangan itu kembali hening saat Mezian masuk. Ia sudah duduk di kursinya semula. Kembali melipat kaki dan menyandarkan punggung. Sedangkan Linda sudah mengambil spidol, menuliskan susunan kepanitiaan di sana.

"Ini yang udah saya bahas dengan Pak Haris tadi. Ada yang kurang jelas?" Linda berkata untuk kali pertama setelah masuk ruangan. Hening sejenak. Anggota-anggota OSIS itu mulai saling sikut, berbisik dan memberikan kode.

Seseorang akhirnya berani bersuara. "Gue kemaren udah usul mau jadi pendamping kelas, kok gue di panitia perlengkapan?" ungkapnya kecewa.

"Iya, gue juga mau jadi pendamping kelas, malah jadi panitia kesehatan," timpal yang lainnya.

Ruangan itu kembali berisik karena protesan dari tiap sisi yang saling menimpali. Berujung dengan komentar pedas karena Linda memutuskan segalanya sendiri. Mezian mengurut pelipis. Dia sudah menjulurkan telempap ke belakang kepala, ke arah Linda, meminta spidolnya.

Mezian berdiri. Hening. Disodorkan spidol yang dipegangnya ke arah udara. "Gue kasih kesempatan kalian untuk nyusun kepanitiaan sendiri. Silakan," ujarnya dengan nada santai.

Lama. Tak ada tanggapan. Spidol itu akhirnya dijatuhkan ke atas meja dengan sengaja. "Jangan cuma bisa protes kalo tiap rapat nggak dateng dan disuruh kasih ide nggak bersuara." Dia menghela napas pelan. "Lanjutin, Lin."

Jika melihat dua orang yang duduk berdampingan itu sekilas, pasti kalian akan menilai, orang yang duduk di kursi ketua satu lebih bisa diandalkan dan pada Mezian yang selalu terlihat santai dan cengengesan. Bukan tanpa alasan dengan karakter Mezian dia bisa menjadi ketua OSIS. Itu sudah terbukti. Seperti saat ini. Setidaknya dia bisa diandalkan untuk mengendalikan situasi.

Diam-diam Linda mengulum senyum menghadap papan tulis. Ia sudah mengambil spidol lain. Enam tabel besar sudah digambarnya di samping nama-nama panitia. Mengisinya dengan poin-poin konsep acara.

"Sekarang kita akan bahas konsep acara."

***

Matahari hampir tergelincir di kaki barat saat OSIS selesai rapat. Lebih lama dari yang diperkirakan. Linda melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan, dia akan terlambat jika tak segera pulang saat ini juga.

Di kursinya, Mezian sedang melakukan perenggangan. Seluruh tubuh itu terasa pegal. Begitu pula dengan anggota OSIS lain yang sudah mendesah lega.

"Ayu dan Reni malem ini kerjain proposal, ya. Besok kita cek lagi." Mezian berkata lembut mengingatkan kepada bendahara dan sekretaris yang sudah beranjak dari kursi.

Kedua perempuan itu ikutan tersenyum, sempat menggoda dan menawarkan laki-laki itu untuk makan bersama mereka yang kemudian ditolak dengan halus. Sekarang laki-laki itu sudah menyapa anggota yang lain, menyuruh mereka untuk berhati-hati saat pulang, juga tersenyum dan melambaikan tangan tak ketinggalan. Hingga dia tak menyadari bahwa Linda sudah menghilang bersama anggota OSIS-nya yang lain. Tanpa pamit.

Mezian sempat bergumam kesal. Dia beranjak. Mencari di mana perempuan calon penerus jabatannya itu berada, dan beruntunglah dia karena bisa menemukan perempuan itu sedang tertahan di depan ruang ekskul klub sains yang bersebelahan dengan ruang OSIS. Laki-laki itu kemudian menyandarkan punggung ke tembok, memperhatikan Linda yang sekarang sudah mengambil kertas dan pensil yang disodorkan kepadanya.

Jelas sekali bahwa perempuan itu sedang dimintai pertolongan untuk menjawab pertanyaan oleh dua orang anggota ekskul klub sains yang menahannya. Juga, dia baru ingat Linda adalah salah satu anggota ekskul tersebut.

Linda terlihat mencoret-coret kertas yang dipegangnya dengan mudah, masih dengan posisi berdiri. Kemudian dia memperlihatkan jawabannya, menjelaskan sedikit dan meminta izin untuk segera pergi. Namun, kedua orang yang meminta pertolongan itu kembali menahannya.

"Plis, besok udah deadline." Terdengar suara memelas.

Mezian yang masih memperhatikan menimbang sebentar, mungkin seharusnya dia membantu Linda yang mulai terlihat gelisah untuk kabur. Atau justru dia ingin membantu mereka menahan Linda lebih lama.

"Kalian kerjain aja dulu. Nanti mana yang belum yakin kirim ke email gua. Sekarang gua harus pergi." Linda menjelaskan dengan cepat. Kemudian terdengar ucapan terima kasih berulang kali mengikuti langkahnya yang hampir setengah berlari di tengah koridor.

Mezian menegakkan punggung, berjalan membuntuti perempuan yang sekarang sudah mencapai tengah lapangan dengan terburu. Linda tiba-tiba berhenti mendadak, diikuti oleh Mezian yang juga berhenti tak jauh di belakangnya.

Ia mengeluarkan ponsel. Ada telepon masuk. Mezian masih memperhatikan dan menajamkan telinga.

"Gitar dan baju aku--ah, baru aja aku mau bilang gitu. Yaudah ketemuan di sana ya. Kamu hati-hati!"

Ia menebak bahwa yang menelpon barusan adalah adik kembarnya. Tak lama kemudian Linda sudah kembali melangkah dengan cepat. Nyaris berlari, menuju gerbang dan langsung menyebrang jalan. Menunggu angkutan umum yang lewat sebelum hari benar-benar gelap.

Sekarang Mezian berdiri tepat di hadapannya dengan jalan sebagai pemisah. Laki-laki itu menatap sebentar, kemudian tersenyum saat sepasang manik itu bertubrukan. Buru-buru dia mengeluarkan ponsel, mengetikkan pesan dengan cepat.

To : Love

Ada cewek cantik di sebrang gue
Mau taruhan nggak?
Kalo dia bales senyum gue, lo traktir gue makan.
Kalo dia tetep kayak gitu sampe naik angkot, gue yang traktir lo makan.

Laki-laki itu mengulum senyum. Memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Kepalanya sudah terangkat, kembali menatap ke seberang jalan penuh harap. Perempuan itu masih berdiri di sana.

Sesaat Mezian sempat mematung, sosok di depannya itu terlihat seperti lukisan. Terbingkai indah oleh pantulan cahaya sang bola api raksasa yang mulai kembali keperaduan. Beberapa helai rambut Linda bergerak pelan, tertiup angin sore, membuat Mezian tersadar, perempuan itu bukan lukisan.

Mezian tersenyum semakin lebar.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

Mereka masih saling mengunci pandangan. Ekspresi perempuan itu tetap sama. Bibirnya masih membentuk garis lurus. Mata masih menatap tajam ke arah Mezian. Hingga angkutan umum merapat. Linda langsung meloncat masuk. Membuat Mezian mendengus sebal. Menggerutu. Susah sekali membuat perempuan itu membalas senyumnya.

Dia langsung mengeluarkan ponsel.

Ada pesan masuk.

From : Love

Lo yang traktir. 

Continue Reading

You'll Also Like

6.9K 1.3K 60
#Kisah Cinta segilima "Walau raga tak bersama, jiwa kita akan tetap abadi. " Judul awal: - Antara Fajar, Senja, dan Cintia -Cinta dan Tangis Rank # (...
93.7K 6.4K 33
Azura hanya berharap satu hal saja. Nicholas Alexander Riley yang menerima pertunangan itu dan jatuh cinta kepadanya. Sesimpel itu. Tapi tidak jika N...
3.9K 862 40
Juwita adalah cewek paling perfect di sekolahnya. Dia selalu nomor 1 di segala hal. Namun, semua menjadi bencana saat Alleta memutuskan satu sekolah...
49.4K 835 78
Highest rank (August 19th; 2020): #1 on Kaskus #1 on Sepi #3 on Ceritakita "Bi?" "Ya?" "Aku mau nulisin cerita buat kamu, 100 chapter lebih" "Banyak...